NovelToon NovelToon

Cinta Terhalang System

01

Kevin Aprilio pernah berkata dalam lagunya Vierra berjudul Seandainya;

'Kau akan terbang jauh menembus awan...'

Iya aku tahu yang nyanyi Widy, tapi yang nulis Kevin. Maksudku, lirik itu menggambarkan situasi diriku sekarang.

Melayang terbang jauh setelah motor Nmax-ku menabrak mobil Fortuner yang tiba-tiba menyebrang.

Seenaknya aja nyebrang gak lihat-lihat.

Lihat aku sekarang terkapar di jalanan aspal! Mana cicilan motor belum beres lagi!

Percuma saja marah. Aku sudah kesulitan bernapas saat ini. Entah separah apa lukanya, perih dan sakit seperti tertusuk. Aku juga sudah tidak bisa merasakan sebagian tubuhku.

Wajar, setelah memacu kecepatan 80 kilometer per jam, setidaknya itu yang kuingat, harusnya aku sudah terluka parah. Keajaiban aku tidak pingsan.

Jangan salahkan aku! Itu jalan protokoler. Ya salah sih. Tapi, tetap mobil itu yang paling salah!

Yah bagaimanapun juga ini sudah terjadi. Sehebat apa pun 'sistem' pengereman kendaraan, tidak akan bisa menghentikan kendaraan secara mendadak begitu saja.

[Sistem terkonfirmasi, memulai penyatuan...]

Huh? Para warga sekitar berkata aneh.

Beruntung aku hidup di Indonesia, banyak orang yang selalu peduli. Aku tahu itu dari sayup-sayup keramaian dan sekumpulan orang yang menatapku. Tubuhku juga sepertinya diamankan, entah ke mana, mungkin sisi jalan atau warung.

[Lokasi terkonfirmasi, Indonesia.]

Iya, Indonesia! Eh? Apa aku mengigau dan salah nangkap pertanyaan warga yang sedang menatapku? Warga Jakarta ini kadang aneh. Andai saja aku tinggal di Bandung, warga di sana katanya kalau melucu lebih maksimal.

[Konfirmasi, Jakarta atau Bandung?]

Bandung, itu terkenal sebagai kota kembang. Tapi, terakhir aku kesana, khususnya Dago, aku tidak pernah lihat 'kembang' atau bunga di sekitar jalan.

[Lokasi terkonfirmasi. Dago, Bandung, Indonesia.]

Iya itu di Indonesia, apa sih ini para warga? Apa suaraku mencapai mereka ya? Dari tadi aku mencoba membuka mulut tapi aku tidak yakin ada suara yang keluar.

Sudahlah diriku. Semakin ku emosi, semakin sakit tubuhku. Pandanganku juga semakin samar-samar. Ini kah rasanya menuju kematian?

Rasanya tidak rela meninggalkan kehidupan yang sudah aku perjuangkan susah payah. Lulus kuliah aku langsung merantau ke Jakarta. Lalu, mendapat posisi sebagai Social Media Specialist.

Gaji gak seberapa bahkan di bawah UMR. Dasar start-up. Andai saja aku terlahir di keluarga orang kaya, aku tidak harus hidup susah, bekerja keras mencari nafkah di Ibukota.

[Berhasil memilih keluarga. Memuat yang tersedia...]

Memilih kah? Apa ini setelah kecelakaan para warga bertanya soal kehidupan?

Yah, andai saja aku bisa memilih. Aku ingin mempunyai keluarga utuh, secara literal. Hidup 25 tahun sebatang kara, aku ingin merasakan keluarga.

Dari kecil aku hanya hidup bersama paman, tapi saat aku memulai sekolah dasar ia sudah tiada. Hanya para tetanggaku yang mengurus. Waktu itu aku menolak masuk panti asuhan. Entah bagaimana Pak RT menjelaskan situasiku ke pemerintah.

Sudah terlalu lama melajang juga membuatku terus berkhayal membangun keluarga. Kapan ya terakhir aku berpacaran. Aku bahkan depresi mencari pasangan di kantor. Sudahlah, aku tidak mau mengungkit ingatan yang memalukan.

Kilas balik kah ini? Ternyata cerita-cerita fiksi itu ada benarnya.

Pandanganku semakin menggelap. Dingin menusuk tubuhku. Rasa sakit pun sudah tidak terasa. Sepertinya ini akhir hidupku.

Andai saja waktu berulang kembali, aku ingin memperbaiki semua kesalahanku. Aku ingin mencapai semua yang aku impikan.

Tidak, aku harus bersyukur, aku tidak boleh menyesal. Aku sangat berterima kasih pada kesempatan hidupku ini.

Terima kasih.

Terima kasih...

...****************...

[Pengembalian kesadaran dan penggabungan dengan entitas baru dimulai...]

[Berhasil. Mengkonfirmasi ulang...]

[Waktu, 16 Februari 2009. Lokasi, Dago, Kota Bandung, Indonesia.]

[Berhasil.]

[Selamat datang kembali.]

Hmm? Di mana aku? Aku tidak bisa menggerakan tubuhku. Seperti terbalut halus kain.

Kepalaku terpaku, aku hanya bisa melihat sedikit! Itu sepertinya langit-langit atap, aku tahu dari cahaya yang membias pada, entah kaca atau mika, yang pasti aku seperti berada di dalam sebuah wadah.

Dimana aku?

[Anda berada di rumah sakit.]

Rumah sakit? Tunggu siapa yang bilang itu? Apa aku tadi berbicara pada seseorang?

[Saya. Tidak, Anda belum dapat berbicara saat ini mengingat usia Anda.]

Si jelas.

Apa maksudnya usia ku? Loh, kenapa aku tiba-tiba ingin menangis. Seolah pilu dan kebahagiaan secara bersamaan memenuhi diriku.

Apa yang sebenarnya sudah terjadi?

[Anda telah bereinkarnasi.]

Reinkarnasi? Hidup kembali? Itu sungguhan? Aku telah mati?

Tidak, ini pasti tidak mungkin. Aku telah mati, sudah pasti. Tapi, reinkarnasi? Terlalu berlebihan menurutku.

[Iya.]

Iya? Tunggu bentar sama siapa aku bicara?

Aku tidak melihat siapa pun, juga tidak bisa menolehkan kepalaku. Sepertinya seseorang berada di sampingku. Namun, suara itu berasal dari dalam kepala.

[Saya.]

Anj*ng! Gak jelas banget.

[Maaf.]

Maaf katamu?

Tunggu, kenapa aku semakin merasa sedih, aku ingin menangis.

[Wajar.]

Kemudian, aku menangis kencang. Layaknya bayi, atau memangnya begitu? Entah apa yang aku tangisi, aku telah mati atau aku harus menjalani hidup lagi.

Aku tidak mau menjalani hidupku yang susah lagi.

...****************...

(Disclaimer: Semua ini hanyalah fiksi belaka, semua hal dalam kisah ini tidak berusaha untuk menjelaskan konsep tertentu dalam suatu kepercayaan dan tidak akan mengungkit sebuah kepercayaan. Di harap pembaca dapat memahaminya.)

02

Raditya Dika pernah berkata;

'Ternyata untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik, ...gue hanya perlu menjadi manusia setengah salmon.'

Untung saja aku tidak menjadi manusia setengah salmon. Tidak terbayang, sungguh. Tapi, setelah delapan tahun kejadian aneh itu, aku mendapatkan hidup yang lebih baik.

Tidak kusangka, aku terlahir kembali dengan keluarga yang utuh, ditambah mereka juga orang kaya! Hidupku benar-benar beruntung kali ini.

Aku kemudian diberi nama Ethan Wijaya. Cringe banget kalau menurutku. Nama itu pemberian oleh ayahku saat ini. Katanya itu diambil dari tokoh yang diperankan oleh Tom Cruise dalam seri film Mission Impossible, Ethan Hunt.

Should you choose to accept it. (Kau harus memilih untuk menerimanya.)

Jadi teringat kalimat ikonik itu. Yah, aku juga gak protes dengan namaku, aku juga sama dengan ayahku itu, ngefans dengan Tom Cruise.

"Ethan, ayo sarapan. Ibu sudah menyiapkannya di bawah," ucap kakakku, Rita, dari balik pintu yang sedikit ia buka.

Aku pun menoleh padanya, beralih dari jendela besar yang sedari tadi aku pandangi. Aku tidak pernah punya jendela sebesar itu dikamarku, bahkan tidak di tempat tinggalku dulu.

Wajah oval, berkulit cerah sepertiku dengan kedua mata kecoklatan yang sedikit besar dan berhidung mancung, mengintip dari sela pintu hingga rambut panjang berponinya sedikit terayun.

Aku dan kakakku hanya berbeda setahun. Paras kita yang begitu mirip, banyak yang mengira kami berdua saudara kembar.

Yang jelas diriku saat ini, lebih tampan dari kehidupanku yang dulu. Bukan narsis, sungguh.

"Iya. Aku bentar lagi ke bawah, Kak."

"Jangan lama-lama di kamar," titahnya.

"Iya, Kak."

Kemudian dia menutup pintu itu dan berlalu, langkahnya terdengar mulai menuruni tangga.

Aneh sekali rasanya memanggil seseorang dengan 'kakak'. Dulu, aku menyebut 'kakak' hanya untuk ragam hormat pada orang lain. Tapi sekarang, itu secara literal, pada seorang kakak perempuan di keluargaku saat ini.

Sama sepertiku, dia diberi nama Rita berdasarkan aktris jadul yang terkenal di Amerika. Katanya itu aktris favorit ibuku saat ini, Rita apa gitu...

[Rita Hayworth, aktris papan atas pada era 1940-an. Film yang terkenal adalah—]

Iya itu lah pokoknya. Kedua orang tuaku ini benar-benar menyukai film.

"Aku tidak perlu info yang lebih detail!" Tanpa sadar aku memekik. Semoga tidak ada yang mendengarnya dan menganggapku gila.

[Baik.]

Huft. Terkadang, suara wanita ini mengisi kepalaku. Lembut dalam nada contralto, berkata kaku seperti asisten virtual pada komputer, tetapi mengganggu. Sepertinya aku terlahir dengan skizofrenia.

Datang tak diundang, pulang tak diantar. Aku terkadang bisa mengendalikan suara ini, dengan berbicara padanya, tapi seringkali sebaliknya.

[Memeriksa... Selesai. Anda tidak mengidap skizofrenia.]

"Ya terserah kau saja."

Ku tarik napas dalam, suara di kepalaku ini selalu memancing emosi. Sering kali dia hadir hanya untuk menjelaskan hal yang tidak bermanfaat, dan enggan menjawab pertanyaan yang justru lebih penting bagiku.

Menyebalkan sekali dia.

"Bersabarlah wahai diriku," gumamku.

Kemudian, dengan seragam sekolah dasar yang sudah aku kenakan, dan rambut hitam pendek yang sudah disisir rapi, aku berlalu dari kamar.

Tidak pernah terbayangkan, aku tinggal di rumah bertingkat, dengan kamarku berada di lantai tiga. Terlebih rumah sebesar dan semewah ini? Aku sangatlah bersyukur.

Rumah tiga lantai dengan gaya arsitektur modern, selera kedua orang tuaku ternyata boleh juga. Aku juga suka mendesain rumah impian seperti ini di The Sims.

Menuruni anak tangga kayu berundak di atas sela kosong seolah tangga itu melayang, dengan pagar kaca bening, terkadang membuatku paranoid terjatuh.

Akhirnya, aku mencapai ruang makan di lantai dasar, dengan meja panjang di tengah ruangan dan sepuluh kursi mengitarinya. Pemborosan. Keluarga ini hanya beranggotakan empat orang.

Ayahku sudah duduk di sisi paling ujung sembari membaca koran, Rita duduk di sisi samping persis sebelahnya, sementara ibuku masih berdiri, sibuk memindahkan makanan.

"Hai, sayang. Udah keliatan ganteng aja pagi-pagi," goda ibuku sembari mempersiapkan sarapan di atas meja dengan kaca panjang di permukaan.

Ketika aku hendak menanggapi Ibu, Rita memotong.

"Namanya juga mau sekolah, Bu," timpal Rita. Kakakku itu selalu realistis, atau memang karena masih bocah.

"Jaga sikapmu, Rita. Ada etika bicara pada orang tua." Ayahku menegur tanpa memperlihatkan wajahnya. Ia selalu fokus jika sudah baca berita.

"Maaf." Rita menundukkan wajah.

Tidak tahan melihat situasi jadi canggung, aku kemudian membuka suara.

"Selamat pagi semuanya."

Ah, kaku banget. Terus terang hingga saat ini aku masih belum terbiasa hidup dengan keluarga. Bagaimana seharusnya aku bersikap?

"Pagi, Ethan." Mereka semua membalas serentak.

Ah, tidak tahan. Malu banget, rasanya tol*l banget.

Kemudian aku duduk di seberang Rita, dan tidak lama ibuku juga duduk di sebelahnya. Kami semua pun memulai sarapan.

"Ethan, gimana kalau kamu, ayah daftarkan les piano? Kamu mau?" tanya Ayah.

DING!

[Misi baru: Tolak permintaan Ayah. Ajukan permintaan untuk kursus bela diri.

Hadiah: 2.000.000 rupiah.

Batas waktu: 5 menit.]

Yang benar saja. Ayahku sudah menawarkan dengan baik-baik dan harus kutolak?

Kali ini bukan hanya suara wanita itu, tetapi juga layar hologram. Mengambang tepat beberapa senti dari mataku, berlatar warna putih dengan tulisan hitam di atasnya.

Aku tahu hanya aku yang bisa melihatnya. Sudah kupastikan itu karena sudah terjadi berulang kali.

Seperti dalam video game, aku mendapatkan sebuah misi. Misi ini jarang terjadi, tetapi sekalinya muncul benar-benar merepotkan.

Tentu, kalau menyelesaikan misi mendapat hadiah, selalu uang, terkadang hal aneh yang tidak kupahami. Namun, masa bodoh dengan hadiah, jika tidak mengerjakan misi aku akan sial.

Terakhir kali aku menolak misi ini, mendadak tubuhku kejang-kejang dan harus dirawat di rumah sakit. Aku tidak mau hal buruk terulang.

"Ethan? Kenapa diam saja?" tanya ayahku.

"Maaf Ayah, bukan bermaksud tidak menghargai tawaran Ayah. Jika bisa memilih, aku ingin les bela diri aja," jawabku.

Tidaaak, formal banget. Maafkan aku Ayah, kehadiranmu mengingatkanku pada suasana kantorku dulu.

"Oke, mau bela diri apa?" tanya Ayah.

"Karate? Pencak silat?" ucapku penuh keraguan.

Ibuku tertawa kecil menatapku. "Kamu ini kebanyakan nonton film."

"Gapapa, biar dia mencoba hal baru. Oke, nanti Ayah carikan tempat yang bagus dan cocok ya." Ayahku berkata dengan lembut.

[Misi berhasil. Mendapatkan: 2.000.000 rupiah.]

"Baik. Terima kasih, Ayah," timpalku.

Aku menghela napas panjang, akhirnya misi itu selesai dan aku baik-baik saja. Aneh sekali aku masih berkhayal tentang uang, dengan hidupku sekarang ini aku sudah tidak perlu mengkhawatirkan uang.

"Kamu aneh, Ethan," ledek Rita.

Aku hanya mengangguk tersenyum padanya. "Memang."

Kami berdua pun tertawa. Aku dan kakakku itu jarang sekali bertengkar. Kata orang, kakak beradik itu sudah biasa bertengkar, aku penasaran apa maksudnya.

"Buruan kalian berdua berangkat, nanti telat loh," ucap ibuku halus dengan nada mezzo-soprano.

"Baik, Bu." Kami menjawab serentak. Aku dan Rita pergi ke satu sekolah yang sama.

"Hati-hati kalian berdua. Baik-baik ya di sekolah," ucap ayahku.

Aku pun beranjak dari ruang makan, kembali ke kamar untuk mengambil ranselku, lalu keluar ke halaman depan. Di sana aku kembali menarik napas panjang.

Aku memang bocah saat ini, tapi tetap saja aneh rasanya kalau harus masuk sekolah dasar lagi.

Aku ini pria dewasa!

DING!

[Misi baru: Berkelahi di sekolah.

Hadiah: 10.000.000 rupiah.

Batas waktu: Tidak ada.]

03

Delapan tahun sejak reinkarnasiku, berarti saat ini tahun 2017. Tahun di mana Deddy Corbuzier mengunggah video dalam kanal Youtube-nya, mengatakan,

'Sekolah tidak penting.'

Kalau menurutku sekolah itu penting. Sangat penting untuk keselamatan diriku ini. Untuk menyelamatkan diri dari 'misi' yang tidak bisa kutolak.

Suara wanita di kepalaku ini selalu memberi 'misi' untuk pergi ke sekolah serta kegiatan di dalamnya, dan aku tidak mau lagi mendapat akibat dari tidak menjalankan misi itu.

Misinya selalu bermacam-macam, terkadang misi yang sama berulang, tapi yang hari ini aku dapatkan sangatlah berbeda.

[Misi baru: Berkelahi di Sekolah.

Hadiah: 10.000.000 rupiah.

Batas waktu: Tidak ada.]

Berkelahi sama siapa? Dan baru kali ini aku mendapatkan misi tanpa batas waktu. Apa yang terjadi kalau aku tidak melakukannya sama sekali?

Aku terus bertanya-tanya pada diriku, tapi suara wanita itu tidak menanggapi seperti biasa.

"Ethan? Kenapa kok serius gitu mukanya?" tanya Rita.

Sontak aku terbangun dari lamunan, mendapati wajah kecil kakakku itu sudah terlalu dekat.

"Eh, gak apa-apa. Lagi mikirin les bela diri tadi," jawabku berbohong.

"Aneh-aneh aja pengen belajar bela diri. Kaya aku dong ngambil les balet."

Aku tahu dia juga berbohong. Ibu memaksanya les balet dan aku tahu dia tidak menyukainya. Terakhir pulang les dia menggerutu seharian karena pengajarnya terlalu ketat.

"Iya," timpalku nada datar. Jujur aku pengen meledek dia tapi aku tidak mau memulai pertengkaran.

Setelah perjalanan panjang, akhirnya kami sampai di sekolah. Sekolah dasar swasta di daerah Dago. Kedua orang tuaku ini memang seperti pada umumnya, menginginkan pendidikan yang terbaik untuk anak-anaknya.

"Ini uang jajan kalian. Kata Bapak pulangnya nanti dijemput Bapak," ucap Pak Kirman, supir kami menoleh ke kursi belakang.

Uang jajan kami selalu diberi Pak Kirman. Kata orang tuaku biar kami bisa mengelola uang dengan baik, tidak boros dan tidak terus terbiasa meminta. Hebat si supir ini selalu amanah memegang uang.

DING!

[Misi baru: Tolak uang dari Pak Kirman.

Hadiah: 1.000.000 rupiah.

Batas waktu: 10 detik.]

Hah?! Masa aku harus nolak uang jajan itu? Mana aku tidak megang uang lagi. Tidak ada bekal makanan juga.

"Hari ini tidak aku tidak perlu uang jajan, Pak."

[Misi berhasil. Mendapatkan: 1.000.000 rupiah.]

Sodoran uang 100 ribu dari Pak Kirman pun dengan berat hati ku tolak. Yah, dari kehidupan lamaku pun sudah biasa hidup terbatas, hari ini akan mudah.

"Hah?!" pekik Rita. "Kok tiba-tiba? Terus kamu gak jajan dong?"

Aku tahu Rita! Aku juga gak mau!

Tapi bagaimanapun juga aku tidak bisa menjelaskan situasinya. Apa yang harus kubilang pada mereka? Karena aku disuruh wanita misterius di kepalaku? Mereka akan mengira aku tidak waras.

"Naha tumben, Jang?" tanya Pak Kirman.

(Naha \= Kenapa, dalam bahasa sunda)

"Hehe, iya. Lagi belajar ga jajan." Aku tidak punya alasan yang bagus.

"Wah hebat euy, umur segitu pemikirannya jauh," timpal Pak Kirman.

Bukan hebat Pak Kirman!

Pria paruh baya itu selalu bepikir positif. Semoga dia selalu diberikan gaji yang setimpal, tidak seperti diriku dulu yang under paid.

"Aku sih masih mau Pak Kirman," ucap kakakku. Raut wajah itu jelas menunjukkan dia tidak mau kehilangan uang jajan itu.

"Yaudah ini uang Ethan buat teh Rita aja semua ya."

"Makasih, Pak Kirman. Ethan, kamu jangan minta uangku loh ya!" ucap Rita dengan wajah cerianya

Aku hanya bisa tersenyum menahan pedih hatiku karena tidak bisa jajan. Makanan di sekolah dasar ini enak-enak, walaupun mahal. Wajar sih sekolah swasta.

...****************...

Aku dan Rita pun masuk ke kelas kami masing-masing. Aku saat ini duduk di kelas tiga, sementara kakakku di kelas empat.

Setiap mata pelajaran, suara wanita seperti asisten virtual itu selalu memberikan misi baru. Seperti di kelas terakhir ini, mata pelajaran matematika.

DING!

[Misi baru: Selesaikan kuis sebagai orang yang pertama.

Hadiah: 1.000.000 rupiah.

Batas waktu: 5 menit.]

Hari ini memang sedang kuis 20 soal pilihan ganda. Tentu saja matematika sekolah dasar bukan masalah. Perhitungan dasar, teori dasar bangun datar, keterlaluan jika aku tidak bisa menjawabnya.

Ini semua mudah, walaupun jahat sekali batas waktunya hanya lima menit. Mayoritas soal kuis ini berupa studi kasus.

[Misi berhasil. Mendapatkan: 1.000.000 rupiah.]

Begitulah kata suara wanita itu, ketika aku mengumpulkan lembar jawaban kuis ke meja guru. Baik guru maupun teman sekelasku semua terkejut melihatku.

Beberapa teman sekelasku ada yang menangis karena merasa gagal. Kasihan, pasti tertekan oleh harapan orang tua. Belajar lagi ya, Dek.

Hari-hari di sekolahku selalu saja dituntut oleh misi seperti ini.

Tiada hentinya aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, juga pada suara wanita asisten virtual yang sudah menjadi bagian dari hidupku.

Apakah ini semua gejala delusi dan halusinasi? Apa aku tidak bisa membedakan khayalan dan kenyataan?

Tapi, aku sendiri tidak pernah berkhayal untuk menjadi lebih baik di sekolah. Aku lebih baik memilih bermalas-malasan saja.

Mungkin jika hadiah uang itu memang bagian dari keinginan terbesarku. Tapi itu kan cerita dulu. Saat ini, aku terlahir sebagai bagian dari keluarga orang kaya, seharusnya aku tidak khawatir mengenai uang.

Apa yang terjadi pada diriku? Siapa diriku ini sebenarnya? Siapa kau wanita yang selalu mengisi kepalaku?

Tidak, tidak ada artinya memikirkannya sendirian. Sepertinya aku harus meminta berobat terapi mental pada kedua orang tuaku.

[Jawab: Saya adalah sistem dalam kehidupan Anda.]

"Akhirnya kau menjawabku!" Sontak ku memekik kegirangan.

"Jawab apa, Ethan?" tanya teman-teman sekelasku.

Mataku membelalak. Ternyata aku masih berdiri di depan kelas. Tidak menyadarinya karena sudah tenggelam dalam lamunanku.

"Tidak, maafkan aku," ucapku sembari menundukan kepala.

"Dia aneh."

"Silahkan kamu boleh pulang duluan, Ethan." Guruku hanya tersenyum manis padaku.

Beruntung kuis ini berada di ujung jam pelajaran, aku bisa segera bergegas pulang. Tanpa memedulikan tertawaan teman sekelasku, aku langsung mengambil ransel dan berjalan cepat pergi keluar.

"Apa maksudmu dengan sistem? Apa maumu kau menyiksaku dengan hidup begini? Apa arti kehidupan kedua ku ini?" gumamku penuh pertanyaan pada diriku sendiri. Tidak, justru pada wanita itu.

Sial, dia tidak kembali menjawab seperti biasa. Mana udah kepalang malu lagi, setelah semua orang melihatku berjalan sambil berbicara sendiri.

Jawab aku!

Tidak. Aku harus memintanya baik-baik. Itu sudah etika.

Ku mohon, tolong jawab aku...

[Aku sudah bilang tadi.]

Bilang apa?! Benar-benar menyebalkan.

Terus menerus aku bertanya pada diri sendiri hingga tenggelam dalam lamunan, dan tanpa sadar aku sudah berjalan hingga ke depan sekolah.

Kenapa dia tidak menjawab pertanyaan ku sih?

[Udah.]

Anj*ng! Bener-bener lu ye nyusahin!

"Ethan? Kenapa muka kamu kusut dan memerah begitu? Kamu berantem?" tanya Ayah.

Kembali aku tersadar dari lamunanku. Aku tidak mengira ayahku sudah berada di depan. Dia sudah berada di depan sekolah menungguku dan Rita sepertinya.

Aku akan menceritakan tentang sistem ini, walaupun baginya pasti tidak masuk akal. Setidaknya, semoga aku bisa dibawa ke psikolog olehnya.

DING!

[Misi baru: Anda tidak boleh menceritakan soal sistem ini pada siapapun.

Hadiah: 1.000.000.000.000 rupiah.

Batas waktu: Tidak ada.]

Cih. Dia berusaha menyogokku. Aku tidak peduli lagi, demi kesehatan diriku aku akan mengatakannya.

F*ck it, we ball.

Aku berjalan cepat mendekat pada Ayah, dan tanpa basa-basi, tanpa menjawab pertanyaannya, aku akan langsung mengatakan tentang suara wanita ini.

"Ayah ada yang harus ku—"

JEDER!

Kejut luar biasa mendadak menusuk seluruh tulangku. Menyengat, menggerogoti, linu, nyeri dan perih secara bersamaan pada tubuh. Sensasi serupa seperti sebelumnya.

Seolah sudah dikejutkan listrik dengan voltase tinggi walaupun aku tidak pernah merasakan sebelumnya, tapi ini lebih parah dari pengalamanku tersetrum aki motor.

Aku juga tidak tahu apakah justru petir yang menyambar padaku.

Sial, kesadaranku mulai menghilang. Aku tidak bisa berkata, bising pada telinga ini juga menyiksaku.

Tolong.

Siapapun.

Ayah.

"Ethan? Ethan! Tolong siapa pun panggilkan ambulan!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!