...Cerita ini adalah lanjutan dari Bukan salah Cinta ya Gengs... So yang belum mampir ke kisah sebelumnya, lebih baik baca dulu biar ceritanya nyambung dan kalian paham😊...
......................
'Krriingg...'
Bunyi alarm yang begitu nyaring di salah satu kamar begitu memekik telinga. Terlihat seseorang yang masih bergulung di balik selimut nya yang tebal, ia mulai terusik. Namun, wajahnya masih tersembunyi di balik selimut itu, hanya tangan nya saja yang bergerak- gerak mencari sesuatu.
Dor dor dor...!
Gedoran di pintu semakin membuat gadis itu mendesah kesal, ia menutup telinganya dengan bantal yang tengah ia tiduri.
"OCHAAA... BANGUN...!!" Pekik Windy dari luar kamar.
Ocha menyingkap selimutnya, gadis itupun terbangun dari kasur empuk nya. Cahaya matahari begitu menyilaukan matanya, Ocha menghalangi cahaya itu menggunakan tangan nya. Seulas senyum terbit kala ia bermain-main saat cahaya itu terhalang oleh telapak tangan nya.
"OCHAA... HENTIKAN ALARM NYA...! Berisik sekali !!" Teriakan dari balik pintu.
Ocha terperanjat, "Iya..." Pekik Ocha, buru-buru ia mematikan alarm jam weker nya.
"Huuh, Mama berisik sekali. Bahkan suara nya sampai mengalahkan alarm ini," gerutu Ocha meletakkan jam weker itu dengan sedikit kasar.
"Pagi Mah..." Sapa Ocha duduk di kursi santai halaman depan rumah nya.
"Pagi-pagi? Kamu tidak lihat ini jam berapa, ini sudah siang!" Jawab Windy ketus.
"Ya ampun Mah, baru juga jam sebelas... " Timpal Ocha menyeruput teh Mama nya.
"Dasar anak malas. Itu teh Mamah, kalo kamu mau buat sendiri dong!" Protes Windy kesal.
"Gak akh.. Bekas Mama itu lebih enak," sahut nya menyeruput teh nya lagi.
"Hh, anak ini."
Windy menggelengkan kepala melihat tingkah anak nya yang masih saja tidak berubah, sama seperti anak kecil.
"Cha, bukan nya hari ini kamu mau bantu Anin pindahan?" Ucap Windy mengalihkan pandangan nya.
Seketika Ocha menyemburkan teh dalam mulut nya, "Astaga Mamah...! Ocha lupa..." Pekik nya cempreng.
"Hayo lho... Anin pasti bakal marah kalo kamu gak ada bantuin dia," ucap Windy menakut-nakuti Ocha.
Mata Ocha membulat, dengan gerakan cepat ia beranjak melesat ke kamar nya lalu mandi. Jika biasanya Ocha akan mandi satu jam, kini cukup beberapa menit saja ia mandi. Ocha mengganti pakaian nya secepat kilat, lalu duduk di meja rias nya.
Ocha menyalakan ponsel yang semalam ia charge karna mati. Ocha menelan saliva nya kasar saat melihat begitu banyak pesan dan panggilan dari Anin, bahkan panggilan dari Vina pun turut memenuhi log panggilan nya.
"Mati gue..!"
.
.
.
Ting Nong...!
Pintu terbuka, tampak Bi Lani tersenyum menyambut kedatangan nya.
"Non Ocha, silahkan masuk Non.." Ucap Bi Lani.
"Anin belum pergi kan Bi?" Tanya Ocha.
"Belum. Non Anin masih ada di kamar nya," jawab Bi Lani.
Ocha bernafas lega, "Makasih ya bi..." Ocha melesat masuk menuju kamar Anin.
'cKlek!'
Pintu kamar Anin terbuka, pandangan Ocha tertuju pada wanita yang tengah membelakanginya. Sedang Vina menoleh ke arah nya,
"Ocha?" Ucap Vina pelan, "Ngapain Lo berdiri di situ masuk!" Titah Vina.
Sedang Anin masih saja membelakanginya, Ocha melangkah mendekat.
"Lo kemana aja sih Cha? Katanya mau bantuin Anin, tapi di telponin dari pagi gak aktif-aktif!"
"Iya sorry... Gue ketiduran, semalam gue begadang ngurusin kerjaan. Terus hp gue mati, gue lupa nyalain..." Jawab Ocha beralasan, padahal ia lupa kalau hari ini Anin pindah ke rumah mertuanya.
"Nin... Sorry ya, Lo jangan marah gitu dong !" Kata Ocha di buat selembut mungkin.
Anin berbalik, wajah nya tidak banyak berubah. Walau tubuh Anin semakin berisi, namun tak mengurangi pesona nya. Kecantikan Anin semakin terpancar, rambut panjang yang di buat bergelombang membuat Anin terlihat begitu cantik.
Pandangan Ocha beralih pada perut Anin yang semakin membuncit. Ya, saat ini Anin tengah hamil, usia kandungan nya sudah menginjak delapan bulan.
Satu tahun berlalu. Semenjak pernikahan Anin dan Derald, mereka sudah jarang bertemu. Anin yang sibuk belajar menjalani peran nya sebagai seorang istri, Ocha dan Vina yang sibuk dengan pekerjaan mereka. Mereka hanya bertemu di saat ada waktu senggang saja, itu pun kalau jadwal mereka tidak bentrok.
Semenjak kehamilan Anin, Derald semakin membatasi kegiatan istrinya itu. So, mereka semakin jarang bertemu di luar lagi untuk sekedar jalan-jalan.
Ocha tau kalau Anin marah padanya, karna sejak tadi Anin tidak mau bicara padanya.
"Udah dong marah nya bumil... Kasian lho baby nya," Ocha mendekati Anin mengelus perut buncit Anin.
"Hallo sayang... Maafin aunty ya, kamu jangan marah sama aunty ya.." Ucap Ocha pada bayi dalam kandungan Anin.
Seperti mengerti apa yang Ocha katakan, bayi dalam kandungan Anin bergerak sambil menendang tangan Ocha yang tengah mengusap-usap perut Anin.
"Tuh liat Nin, anak Lo aja gak marah sama gue. Masa emak nya gitu aja ngambek," Anin menepis tangan Ocha.
"Bodo!" Ucap nya judes.
Vina cikikikan melihat Ocha yang di cueki Anin, Anin melenggang duduk di samping Vina.
"Nin... Jangan marah gitu, gue jadi gak enak nih. Maafin gue ya!" Anin masih diam, Ocha melirik Vina yang sedari tadi hanya menertawakan nya.
"Tanya Vina. Kerjaan di kantor lagi banyak banget Nin, makanya semalem gue sampe begadang makanya gue kesiangan bangun tadi.."
"Udah gak usah alesan. Gue tau Lo pasti lupakan!?" Sentak Anin.
Ocha menggaruk tengkuknya yang tak gatal sambil menunjukan deretan gigi nya yang putih. Anin mendelik kesal,
"Iya maaf..! Tapi Nin, soal semalem itu emang bener gue sibuk nyelesain kerjaan. Kalo Lo gak percaya tanya Vina, kita di kantor lagi banyak banget kerjaan kan Vin?" Ujar Ocha melirik Vina.
"Iya..." Jawab Vina singkat.
"Tuhkan Nin. Gue gak bohong," seru Ocha.
Ya, semenjak Anin tau kalau dirinya tengah hamil. Anin memutuskan resign dari kantor, Anin mempercayakan perusahaan nya pada kedua sahabatnya, Anin hanya akan memantau sesekali dari rumah saja. Anin meminta Vina membantu Ocha di perusahaan nya, karna Anin tau Vina memiliki jiwa pebisnis yang hebat.
"Hy girls..." Sapa Adrian.
Sapaan yang tak pernah berubah dari meraka masih SMA.
"Om tante !" Ocha menyalami Alin dan Adrian.
"Gimana, semua udah beres?" Tanya Alin.
"Sudah tante " Jawab Vina.
"Anin gak bawa banyak barang kok Mah, cuma yang penting-penting nya aja. Lagian disana juga udah di siapin semua sama Mommy dan Derald," kata Anin.
Alin dan Adrian mengangguk paham. Ocha menatap semua orang satu persatu, ia tidak menyangka. Waktu berjalan dengan begitu cepat, dulu ia Anin bersama kedua orang tua Anin selalu bersama sampai makan di meja makan berempat. Ocha dulu sering menginap di rumah Anin, rasanya sedih dengan keadaan sekarang yang sudah banyak berubah. Jangankan menginap bertemu dengan Anin sekarang sangat susah, selain karna tuntutan pekerjaan Ocha juga menghargai status sahabatnya sekarang.
Anin melirik Ocha yang tiba-tiba diam dengan wajah berubah sendu.
"Mukanya gak usah sedih gitu. Gue kan pindah ke rumah Derald bukan ke alam lain," canda Anin dengan kekehan khas nya.
"Lo ngomong apa sih Nin? Gue gak suka ya!" Sambar Ocha memelototkan matanya.
Anin tertawa, sebenarnya Anin juga berat harus meninggalkan rumah ini. Apalagi kamar nya begitu banyak kenangan di kamar ini, bahkan dinding kamarnya pun menjadi saksi hidup nya selama ini.
Satu tahun pernikahan nya bersama Derald, Anin tinggal di rumah orang tuanya karna Anin masih belum sanggup meninggalkan kedua orang tua nya. Tapi, kini Anin memutuskan untuk tinggal bersama keluarga dari suaminya, kalau Ain terus tinggal di rumah ini maka akan semakin sulit bagi Anin untuk pergi. Bahkan, selama ini Derald tak pernah protes sedikit pun, ia selalu menuruti dan mengikuti kemauan nya. Derald tak pernah memaksa Anin, baginya dimana pun mereka tinggal asal Anin nyaman maka Derald tidak akan keberatan mengikuti keinginan istrinya.
'Tiinn!! '
"Sepertinya Derald sudah datang. Ayo, sayang.." Ujar Adrian.
Anin mengangguk. Anin di tuntun oleh Mamanya, sedang Vina dan Ocha mengikuti Anin dari belakang.
Mang Diman membantu memasukkan koper Anin kedalam mobil, Bi Lani turut mengantar Anin walau sampai depan rumah. Ia sangat sedih melihat Anin yang dari kecil di asuh nya, kini harus pergi ikut bersama suaminya.
Alin masuk ke mobil bersama suaminya di antar oleh supir.
"Lo sama gue aja," ajak Ocha.
"Mobil gue?"
"Udah tinggal aja."
Anin menoleh pada Bi Lani, "Bi Anin pergi dulu ya. Jaga diri bibi, Anin juga titip jagain Mama Papa ya. Bibi juga jangan cape-cape nanti sakit," pesan Anin.
"Iya Non. Non Anin juga baik-baik disana, jaga kesehatan dan jabang bayi..!" Kata Bi Lani terisak.
"Iya bi, makasih ya udah jagain Anin selama ini..." Menggenggam tangan Bi Lani.
"Non, bibi boleh peluk Non Anin?" Ucap Bi Lani di sela tangis nya.
Tanpa menjawab Anin langsung memeluk tubuh Bi Lani hangat. Tangis Bi Lani semakin pecah, ia sangat menyayangi Anin karna Anin sudah ia anggap sebagai anak nya sendiri. Anin sangat baik dan ramah, ia juga sangat perhatian pada semua pekerja di rumah ini, itu sebabnya semua pelayan di rumah ini sangat menyayangi Anin.
"Ayo sayang.." Derald menggenggam tangan Anin saat Anin melepas pelukan nya dengan bi Lani.
Anin mengangguk, Derald menuntun Anin masuk ke mobil. Satu persatu mobil meninggalkan kediaman Adrian, Alin juga nampak menangis di mobil bersama suaminya. Melihat bagaimana Anin memeluk Bi Lani membuat perasaan yang sudah ia tahan sejak tadi akhir nya tumpah. Alin tak bisa menutupi kesedihan nya lagi, berat baginya melepaskan Anin. Walau ia tau Anin hanya pindah rumah, tapi rasanya Alin tidak sanggup jika harus berjauhan dengan putri semata wayang nya.
Adrian berusaha menenangkan istrinya, ia juga sedih tapi mau sampai kapan ia menahan Anin. Anin sudah menikah dan Anin sudah menjadi milik Derald, Adrian sudah melepas tanggung jawab itu kepada Derald, ia mempercayakan putrinya kepada Derald, dan Adrian juga sangat yakin kalau Derald akan menjaga Anin, Derald akan mencintai dan menyayangi Anin seperti dirinya.
...****************...
Jangan lupa tinggalkan jejak kalian..
Tapi, pertama-tama follow dulu akun Author kemudian Like, Vote dan Komen ya. Terimakasih🤗
Mobil mereka terparkir rapi di halaman rumah Derald yang luas, Tamara bersama Davian dan
Citra turut menyambut Anin.
"Selamat datang sayang. Ayo mari silahkan masuk !" Ucap Tamara mengedar pandangan nya pada semua orang.
Anin mulai melangkah pelan dengan di bantu oleh suaminya. Semua orang turut mengikuti Tamara masuk, berbeda dengan Ocha yang malah tak bergerak sedikitpun saat melihat pria yang selalu ia hindari ada di depan nya.
Dia adalah Nichol. Semenjak Anin menikah dengan Derald Ocha jadi sering bertemu dengan pria itu. Namun, yang membuat Ocha kesal setiap mereka bertemu pasti ada saja yang membuat mereka bertengkar. Maka dari itu, Ocha selalu berusaha menghindari laki-laki itu.
Ocha berusaha bersikap cuek, ia berjalan melewati Nichol yang masih berdiri di dekat pintu begitu saja. Nichol hanya menatap gadis itu datar saja.
Keluarga Anin dan Derald tengah asik berbincang, Ocha merasakan desakan di bagian bawah perut nya.
"Vin, gue ke kamar mandi bentar ya " Kata Ocha.
"Oke."
Ocha bergegas pergi, ia sudah tidak tahan lagi. Saking buru-buru nya Ocha sampai tidak fokus dengan jalan yang ia lewati. Bersamaan dengan itu Nichol yang tengah minum air dingin pun terkejut saat Ocha menubruk tangan nya, hingga air dalam botol itu tumpah mengenai baju Ocha.
"Akh..!" Pekik Ocha terkejut dengan tumpahan air dingin di tubuhnya.
"Astaga! Baju gue..." Tutur nya meratapi baju nya yang basah.
Ocha mengalihkan pandangannya menengadah, menatap Nichol yang lebih tinggi dari nya.
"Heh. Lo tu punya mata gak sih? Liat, gara-gara Lo baju gue jadi basah! " Kesal gadis itu dengan suara cempreng nya.
"Lo nyalahin gue? Jelas-jelas Lo sendiri yang salah," sahut Nichol tak mau kalah.
"Gue yang salah? Heh, Lo liat gue jalan di jalan yang bener. Lo yang jalan sambil minum sampe gak liat ada orang di depan Lo," sentak Ocha.
"Makanya kalo punya badan tuh tinggian dikit, ampe ketutupan botol air aja gak keliatan! " Ledek Nichol tak berekspresi.
"Ihh... Ko Lo body shaming sih?! " Protes Ocha menatap Nichol tajam.
"Itu bukan body shaming, tapi emang kenyataan nya! " Balasnya menatap Ocha dengan tatapan mengejek.
"Dasar beruang kutub, rese. Minggir Lo! " Ocha mendorong tubuh Nichol cukup kuat.
Sebenarnya Ocha masih ingin meladeni pria menyebalkan itu, tapi karna panggilan alam yang sudah tidak bisa ia tahan lagi membuat Ocha mengalah untuk saat ini.
Sore ini, Ocha pamit pulang pada Anin. Karna ia dapat telpon dari Mamanya kalau Nenek nya dari kampung datang berkunjung ke rumah. Sebelum itu, Ocha mengantar Vina terlebih dulu mengambil mobilnya. Setelah itu mereka pun berpisah, pulang menggunakan mobil masing-masing.
Sesampainya di rumah, sejenak Ocha menghentikan langkah nya kala ia melihat Nenek dan Bibinya, bahkan mereka membawa serta seorang wanita yang ternyata sepupu Ocha, anak dari bibinya itu.
Ocha sebenarnya tidak suka pada bibi nya itu, karna bibinya memiliki mulut yang ceplas-ceplos, nyaris tak bisa menyaring ucapan nya. Namun, sebisa mungkin Ocha terlihat senang dengan kehadiran keluarga nya dari kampung.
"Eh, kamu udah pulang? Sini," ujar Windy pada putrinya.
Ocha mencoba melebarkan senyumnya, ia berjalan mendekati Mama nya. Kemudian Ocha menyalami Nenek, bibi dan sepupunya itu.
"Nenek apa kabar?" Tanya Ocha.
"Baik sayang. Kamu gimana?" Balas si Nenek.
"Alhamdulillah, Ocha juga baik kok Nek " jawab Ocha dengan halus.
"Kamu baru pulang kerja?" Tanya si bibi.
"Oh, enggak. Ocha habis bantuin temen pindahan tadi," sahut Ocha sopan.
"Bantuin teman? Ngapain..? Harusnya kamu itu cari pasangan biar gak jadi perawan tua, " wajah Ocha berubah tak bersahabat.
"Lihat Ulfi, walupun umur nya lebih muda dari kamu tapi dia sudah menikah bahkan sekarang sudah punya anak. " Ucap nya mengusap pundak anak nya.
Ocha semakin jengah, ini yang Ocha tidak suka dari bibinya. Dia selalu membanding-bandingkan Ocha dengan anak nya. Tidak tau saja list cowok koleksi Ocha sebanyak apa, Ocha bisa saja mengajak salah satu teman cowok nya itu untuk menjadi pasangan nya. Tapi, Ocha tidak mau melakukan itu, ia tidak ingin sembarangan mencari pasangan hidup. Pilihan nya harus benar-benar matang, karna Ocha menginginkan laki-laki yang mencintai nya apa adanya. Laki-laki yang bisa menerimanya sepenuh hati, tentunya yang ia cintai juga dan bisa menjadi pendamping hidup nya selamanya. Ocha menginginkan pernikahan yang terjadi sekali seumur hidup.
Windy melihat putrinya yang sudah mulai risih, ia tau sikap adik nya itu. Dari dulu dia memang seperti itu, entah kenapa adiknya itu seperti tidak menyukai Ocha? Bahkan selalu membanding-bandingkan Ocha dengan Ulfi.
Jika di lihat, Ocha lebih cantik dari Ulfi. Walau tinggi badan Ulfi lebih tinggi sedikit dari Ocha, tapi jelas di lihat dari mana pun wajah dan penampilan Ocha masih unggul.
"Ibuu..." Teriak anak kecil memeluk Ulfi.
"Gimana main nya, seru?" Tanya Ulfi.
"Selu Bu, lumah Oma indi cangat besal. Zala suka," jawab anak kecil berusia tiga tahunan itu cadel.
Ocha menatap interaksi Ulfi dan putrinya, hati nya serasa tercubit. Ocha memang sangat suka anak kecil, sayang ia tidak punya adik.
"Oya Zara, kamu inget gak ini siapa?" Tanya Ulfi menunjuk Ocha.
Gadis kecil itu menggeleng pelan, namun pandangan nya tak sedikitpun teralihkan dari Ocha.
"Ini Kak Ocha. Kamu ingat sekarang?" Ujar Ulfi.
Anak manis bernama Zara itu menatap Ocha dengan memicingkan matanya.
"Kak Ocha?" Gumamnya menggaruk-garuk kepalanya.
Dulu, Ocha pernah mengunjungi Nenek nya di kampung dan ia bertemu dengan Zara bahkan mereka main bersama. Namun, saat itu usia Zara masih dua tahun, mungkin gadis kecil itu lupa. Karna Ocha tak pernah lagi datang ke kampung Neneknya lagi.
"Hai, Zara... Kamu apa kabar?" Tanya Ocha sambil berjongkok di depan anak kecil itu.
Zara hanya mengangguk kecil tanpa mengalihkan pandangan nya dari Ocha.
"Kamu pasti lupa ya sama aku, gak papa. Kalo gitu kita kenalan lagi aja, " Ocha mengulurkan tangan nya.
"Nama ku Ocha..." Ucapnya tersenyum lebar.
Gadis kecil itu pun tersenyum, walaupun awal nya ia takut tapi kini Zara mulai terlihat nyaman. Ia membalas uluran tangan Ocha, tangan kecil nya kini bersalaman dengan Ocha.
"Azala," jawab nya.
Ocha tersenyum, merasa lucu saat Zara mengatakan namanya cadel. Yang seharusnya Azara, tapi gadis kecil itu malah menyebut nya Azala.
"Nama yang cantik. Secantik orang ya," kata Ocha mencubit pipi Zara gemas.
"Kamu sangat menyukai anak kecil bukan? Makanya cepet nikah biar bisa punya anak yang lucu," ucap bibinya lagi.
Ocha tak menanggapi ucapan bibinya itu, ia lebih suka menatap Zara yang imut itu.
"Udah mbak, menurut aku mending mbak carikan saja laki-laki untuk Ocha. Di jodohin gitu," ucap bibinya pelan namun masih dapat di dengar oleh semua orang.
Ocha beranjak berdiri menatap Mamanya, "Ocha gak suka ya di jodoh-jodohin. Aku bisa kok cari cowok sendiri, lagian yang berhak menentukan pilihan itu aku. Karna ini adalah hidup ku! " Sentak Ocha ia tidak terima dengan usulan bibinya itu.
"Iya sayang. Lagian Mama juga gak akan pernah jodohin kamu," ucap Windy menenangkan putrinya.
"Sudahlah Santi, jangan terus membahas masalah pribadi Ocha seperti itu..!" Lanjutnya menatap adiknya itu.
"Lho mbak, aku itu peduli sama Ocha dia keponakan aku jelas aku ingin yang terbaik untuk nya. Mbak liat dong, umur Ocha semakin dewasa tapi dia belum juga punya pacar. Gini aja deh mbak, aku punya kenalan dan dia punya anak laki-laki dan sepertinya dia cocok dengan Ocha."
"CUKUP!! Sudah cukup. Aku udah bilang aku gak mau di jodohin, aku bisa cari pasangan sendiri. Jadi, aku mohon bibi jangan manas-manasin Mama dan aku mau ingetin satu hal. Ini hidup aku dan Bibi gak punya HAK mengatur hidup aku!!" Bentak Ocha, kemudian ia berlalu pergi ke kamarnya dengan marah.
Windy menatap putrinya cemas, "Kamu ini bicara apa sih San. Lihat gara-gara kamu Ocha jadi marah!" Sentak Windy kesal.
"Mbak aku bicara kenyataan, lagian Ocha itu gak punya sopan santun ia berani bicara dengan nada tinggi sama orang yang lebih tua. Pantas gak laku! " Hina nya lirih namun Windy dapat mendengarnya.
"Santi jaga mulut kamu!! Dia anak aku, jangan pernah menghinanya seperti itu. Ibu sudah disini lebih baik kamu pulang saja sekarang," Ucap Windy tegas.
"Oh, mbak ngusir aku. Ya sudah, ayok kita pulang!" Ujarnya meninggalkan rumah Windy dengan di ikuti anak dan cucunya.
...****************...
Jangan lupa Like, Vote and Komen ya😊
Babye...👋🏻
Ocha melempar tas nya ke sembarang arah, ia benar-benar kesal dengan tingkah bibinya. Ocha tidak habis pikir bagaimana mungkin bibinya bisa bicara seperti itu padanya, padahal Ocha itu keponakan nya sendiri.
"Cha..." Windy masuk ke kamar Ocha.
Ocha beranjak duduk di sisi tempat tidurnya. Windy menghampiri Ocha dan duduk di samping putrinya itu.
"Mama tau kamu pasti kesal dan wajar kalau kamu marah. Tapi, sayang jangan menunjukan kamu lemah di depan orang yang meremehkan kamu. Kamu harus terlihat kuat dan tegas menghadapi orang-orang seperti bibi kamu, siapapun itu dan bagaimana keadaan nya. Kamu harus menjadi perempuan kuat yang bisa menjaga harga diri kamu ya sayang..." Ucap Windy menasihati.
"Ocha kesal Mah, Ocha gak suka dengan cara bicara Bi Santi yang seperti itu. Kenapa sih, Bi Santi tu kaya gak suka sama Ocha? Salah Ocha apa? Kenapa Bi Santi sering mencari-cari kekurangan Ocha?" Buliran bening meluncur cepat di pipinya yang putih.
"Ocha masih muda, umur Ocha belum 25 tahun. Tapi kenapa Bi Santi bilang kalo Ocha itu perawan tua, ini jakarta. Disini banyak kok perempuan yang menikah di usia yang hampir kepala empat. Lalu kenapa? Apa salah nya? Hiks!"
Windy memeluk putrinya, ia tahu bagaimana perasaan Ocha saat ini. Windy tidak pernah mempermasalahkan tentang hubungan Ocha dan kapan Ocha akan menikah, toh ini hidup nya dan hanya Ocha sendirilah yang menentukan.
Windy sudah tau dari dulu alasan Ocha tak suka berkunjung ke kampung halaman nya, salah satu alasan nya ya ini. Karna, Bibi nyalah yang duka bicara dan menyindir Ocha di depan banyak orang sampai membuat Ocha jadi bahan pembicaraan di kampung halaman Mama nya itu. Padahal jelas-jelas, di kota dan di kampung itu sangat berbeda. Tapi, mereka selalu saja mempermasalahkan status Ocha yang masih jomblo dan belum menikah.
Setelah menumpahkan segala keluh kesah nya pada Windy, Ocha hendak melanjutkan sisa pekerjaan nya yang sempat tertunda sedang Windy sudah pergi dari kamar Ocha.
Ocha membuka berkas dan juga laptopnya, namun tiba-tiba ponselnya berdering.
"Hallo..!" Ucap Ocha.
"...."
"Ketemuan? Malam ini?"
"...."
"Kamu gila?! Aku gak suka dateng ketempat seperti itu," tukas Ocha.
"...."
"Gak. Apapun alasan nya aku gak mau ketemu sama kamu di bar, gila kamu ya!"
"...."
Ocha nampak berpikir. Sebenarnya ia juga mau pergi ke luar, setidak nya Ocha bisa menenangkan pikiran nya. Tapi, di bar?
"Oke. Tapi, hanya sebentar! Kamu kirim aja lokasinya nanti aku kesana," ujar Ocha.
Setelah mendengar jawaban dari sebrang sana, Ocha menutup lebih dulu sambungan telpon nya.
Malam ini, Ocha sudah bersiap dia ingin menemui laki-laki yang beberapa bulan ini menjadi teman dekat nya. Hanya teman! Beberapa kali pria itu meminta Ocha untuk menjadi pacarnya, namun Ocha selalu menolak.
Ocha mau berpamitan pada Windy, tapi saat Ocha masuk Mamanya sudah tidur. Mungkin lelah, padahal ini baru jam sembilan.
Sesampainya di sebuah bar yang cukup terkenal, Ocha turun dari mobil nya, menatap tempat ini dengan rasa takut. Jujur Ocha kurang nyaman berada di tempat seperti ini, dari dulu Ocha tidak pernah menginjakan kaki nya di tempat seperti ini, dengan ragu ia melangkah masuk.
Setibanya di dalam ruangan, remang-remang lampu kerlap-kerlip, suara musik bising begitu memekik telinga. Rasanya kuping Ocha hampir budek mendengar nya, tempatnya begitu ramai. Pandangan Ocha menyapu ke setiap penjuru tempat itu mencari seseorang.
Ocha bergidik ngeri melihat pasangan yang berjoget dengan begitu intim, bahkan ada juga yang tengah berciuman di depan umum. Ocha memberanikan diri menyusuri tempat itu, semakin dalam aroma alkohol menyeruak kedalam indra penciuman nya.
Ocha merasa pusing, ia sudah tidak tahan berada di tempat ini. Hingga Ocha memutuskan pergi saja, namun tiba-tiba seseorang memegang bahunya. Ocha sempat terkejut, namun saat ia berbalik ternyata dia pria yang Ocha cari.
"Fiko.. Kamu kemana aja sih, dari tadi aku nyariin kamu tau gak?"
"Aku di atas. Terus kamu mau kemana?"
"Tadinya aku mau pulang lagi," jawab Ocha lirih.
"Kok pulang?"
Ocha menatap Fiko, "Fik. Kita pergi aja yuk, aku gak nyaman disini. Kita cari tempat lain aja," pintanya.
"Kamu tenang aja. Lama kelamaan juga kamu pasti nyaman kok," ujar nya.
Ocha menggeleng keras, "Gak Fik. Tempat ini gak baik, aku gak suka di sini. Mending kita pergi aja dari sini, ayo.." Ocha menarik tangan Fiko.
"Enggak!" Tolak Fiko tegas.
.
.
.
Di tempat lain. Nichol ke luar dari sebuah cafe, ia tengah menghadiri acara reuni dengan teman-teman kampus nya. Sebenarnya Nichol tidak minat untuk datang jika bukan karna paksaan dari teman dekat nya dulu di kampus. Nichol hanya hadir sebentar, merasa bosan ia pun memilih untuk pulang.
Nichol tidak menyukai acara seperti itu, ia lebih baik mengerjakan setumpuk pekerjaan dari pada harus melakukan hal yang menurutnya sangat konyol itu.
Kini Nichol tengah berada di dalam mobil nya, ia berniat untuk kembali ke apartemen nya.
Ocha nampak terkejut, ia menatap wajah pria di depan nya itu intens. Wajah Fiko berubah mengerikan, tiba-tiba Ocha merasa takut dengan sorot mata Fiko padanya.
"Oke, kalo gitu aku pergi sendiri aja.. " Ocha berbalik hendak pergi.
Seketika langkah nya terhenti saat Fiko mencekal tangan nya, belum sempat Ocha protes Fiko sudah menarik tangan Ocha membawa nya pergi.
"Fiko, lepas! Kamu apa paan sih? Aku mau pulang," ucap Ocha berteriak.
Namun, Fiko tak menghiraukan ucapan Ocha. Ia terus menarik tangan Ocha dan membawanya ke lantai atas. Ocha mulai merasa resah, ia merasa ada yang aneh dengan Fiko.
"Fiko kamu mau bawa aku kemana?" Tanya Ocha gemetar.
Fiko masih saja tidak menghiraukan Ocha, Ocha mulai merasa bingung sekaligus takut. Hingga tepat keduanya berada di depan sebuah pintu, Fiko mengetuk pintu tersebut. Tak lama seseorang keluar dari dalam kamar, pria tua bertubuh gempal dengan wajah begitu mengerikan, usianya sekitar 60 tahunan.
Jantung Ocha berdebar tak karuan, Ocha merasa sangat takut sekarang.
"Ngapain kamu kesini?" Tanya pria tua itu.
"Saya ke sini membawa barang bagus buat Om," ujar Fiko melirik Ocha yang tengah bersembunyi di belakangnya.
Pria tua itu melirik Ocha, menatap gadis itu dari atas ke bawah lalu dari bawah ke atas, lalu tersenyum menyeringai. Ocha merasa risih, ia tidak suka di tatap seperti itu oleh pria tua ini.
"Bagaimana Om suka?" Tanya Fiko, menyadarkan pria tua itu dari lamunan nya.
"Masih gres?" Kata pria tua itu memainkan dagunya dengan pandangan terus tertuju pada Ocha.
"Tentu. Belum tersentuh sedikitpun," sahut Fiko.
Ocha yang sedari tadi mendengarkan mulai mengerti sekarang, "Fiko. Maksud Lo apa hah? Lo mau jual gue? Bajingan!! Lepasin gue...!" Bentak Ocha.
"Gak semudah itu!"
"Kenapa Lo ngelakuin semua ini sama gue?" Ocha mulai menangis saking takut nya.
"Lo tanya kenapa? Karna Lo selama ini udah manfaatin gue!!" Bentak nya.
Ocha sampai terperanjat, "Kapan gue manfaatin Lo hah?!"
"Selama ini gue selalu ada saat Lo butuh gue, tapi Lo. Lo itu cuma cewe yang bisanya mainin perasaan cowok! " Menunjuk wajah Ocha dengan suara tinggi, "Beberapa kali gue nyatain perasaan gue sama Lo, tapi apa? Lo nolak gue. Lo pikir apa, gue mau jadi mainan Lo?" Fiko tersenyum jahat.
"Sekarang giliran gue yang manfaatin Lo. Awal nya gue udah gak mau ketemu Lo lagi, tapi setelah di pikir-pikir Lo bisa ngasilin banyak duit buat gue."
"Jadi Lo ngejebak gue?!" Bentak Ocha menatap Fiko nyalang.
"Baru nyadar? Bodoh!" Fiko mendorong Ocha, hingga kini Ocha berada di tangan pria tua itu.
"Akhh..." Pekik Ocha.
"Lima ratus juta..." Desis Fiko menyeringai pada Ocha.
"Lo gila Fik. Lepasin gue! Jangan sentuh gue, brengsek!!" Umpat Ocha pada pria tua itu.
Pria tua itu mengkode Fiko, kemudian Fiko pergi.
"Enggak. Jangan tinggalin gue, Fiko..."
"Udah ayo masuk!" Pria tua itu membawa Ocha masuk kedalam kamar nya.
"Gak. Gue gak mau... Lepasin gue!!" Pekik Ocha kemudian menghilang saat pintu tertutup.
...****************...
Adudu.. Gimana ini?
Please Like, Vote, Komen nya jangan lupa ya...😊
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!