NovelToon NovelToon

Anak Kuntilanak Dan Teror Di Hutan Tua

1 : Kejadian Di Hutan Tua

“T—Tolong!”

Suara minta tolong seorang bocah, terdengar lemah dari belakang sana. Muhammad Syukur atau yang lebih akrab dipanggil Syukur, refleks menghentikan larinya. Bocah berusia lima tahun itu berangsur balik badan di tengah keringatnya yang berjatuhan. Iya, Syukur yakin dirinya tidak salah dengar. Bahwa baru saja, ada suara minta tolong dari bocah yang juga terdengar kesakitan.

Di hadapan Syukur merupakan jalan setapak menuju hutan keramat. Hutan yang pembatasnya sampai dihiasi taburan garam terbilang tebal sekaligus rapi. Batas yang juga membatasi kehidupan dunia dengan kehidupan di dalam hutan, dan kabarnya merupakan tempat tinggal makhluk tak kasatmata.

Warga setempat menyebut hutan di hadapan Syukur, sebagai Hutan Tua. Konon, siapa pun yang memasuki hutan tersebut khususnya anak-anak, tidak akan selamat. Banyak yang bilang, bahwa di sana juga ada suku manusia bertubuh kerdil, dan hobinya menyantap daging anak-anak. Warga beranggapan, jika memang bukan jin yang membuat anak-anak tidak selamat, bisa jadi memang para makhluk kerdil yang melakukannya.

“Sudah sore, nyaris maghrib. Ayo pada masuk rumah. Pamali, pamali ... ayo, ayo pulang!” Suara para orang tua terdengar lantang menggiring setiap anaknya untuk segera pulang.

Kini, waktu memang nyaris petang. Namun karena suara minta tolong dari seorang bocah kembali terdengar dari dalam hutan, Syukur nekat melewati pembatas garam di hadapannya.

“Syukur ....”

Sepanjang Syukur berlari melewati jalan setapak, suara seorang wanita layaknya barusan, makin sering terdengar. Suara tanpa penampakan dan memang selalu Syukur dengar, di setiap dirinya melakukan hal nekat. Apalagi berbeda dari anak seusianya, Syukur tipikal yang tidak memiliki rasa takut.

Di desa Harapan Kahuripan tempat Syukur tinggal, ada dua hal yang tidak boleh dilakukan khususnya oleh anak-anak.

Pertama, jangan main dengan Muhammad Syukur. Karena selain bocah berusia lima tahun itu sangat nakal, Syukur lahir dari wanita mati tidak wajar yang sempat menjadi kuntilanak. Ditakutkan, mama dari Syukur datang menuntut balas jika anaknya diusik.

Sementara larangan yang kedua, jangan pernah main ke Hutan Tua karena bocah mana pun yang main ke sana, pasti tidak pernah selamat! Namun kini, Syukur malah tengah melakukannya seorang diri.

“Syukur ... pulang, Nak!” Suara barusan terdengar lebih putus asa dari suara sebelumnya.

“Aku harus menolong yang minta tolong!” ucap Syukur terus berlari. Tekadnya sudah bulat, menolong sosok yang minta tolong.

Makin dalam Syukur memasuki hutan, suasana di sana jadi terasa makin dingin. Kanan kiri memang merupakan pepohonan besar maupun semak-semak rimbun. Malahan kini, di tengah suasana yang makin gelap tanpa sedikit pun cahaya, bahkan cahaya matahari, ada ular sanca berukuran besar yang lewat.

“Ularnya gede banget. Lebih gede dari badanku,” batin Syukur.

Syukur yang deg-degan parah, memilih berhenti dan membiarkan ular sanca tersebut untuk lewat. Sempat terpaku mengawasi sang ular yang malah mendadak diam, tatapan Syukur berangsur mengawasi sekitar. Bocah bertubuh kurus dan hanya memakai kaus dalam warna putih, dipadukan dengan kolor hitam itu menyadari, bahwa dirinya sudah memasuki hutan cukup jauh.

Selanjutnya, tatapan Syukur mendadak terusik oleh keberadaan sebuah rumah tua di depan sana. Rumah tua yang juga makin membuat Syukur penasaran sekaligus deg-degan.

“Ternyata di sana ada rumah?” lirih Syukur..

Dalam benak Syukur menjadi dipenuhi tanya. Kenapa di dalam hutan terlarang keberadaannya, sampai ada rumah kayu bertingkat terbilang bagus? Bahkan meski rumah tua tersebut tampak tidak terawat karena atapnya saja sebagian bolong, konsep rumah tersebut terbilang mewah layaknya rumah gedongan pada kebanyakan.

Kilau dari benda yang sangat tajam, tak sengaja Syukur dapati ketika menoleh ke kanan. Benar, ada benda tajam layaknya golok dan itu tengah diangkat agak tinggi. Sosok memakai pakaian berlapis rumput sekaligus dedaunan segar lah yang memegang golok tersebut. Syukur tak bisa melihat wajah sosok tersebut. Karena selain sosok tersebut menutupi kepalanya menggunakan topi rerumputan, sosok tersebut juga terus membelakangi Syukur.

“Itu siapa?” batin Syukur sengaja mendekat. Ia bahkan melangkahi ular sanca di hadapannya. Selain itu, Syukur juga mengabaikan panggilan seorang wanita tak kasatmata, kepadanya.

Di balik semak-semak sebelah, Syukur akhirnya makin dekat dari sosok berpakaian rerumputan. Ternyata di bawah sana ada bocah laki-laki. Tangan dan kaki bocah tersebut diikat menggunakan tali tambang lusuh. Bocah tersebut masih hidup dan tengah sesenggukan merintih meminta ampun. Bibir mungilnya yang dihiasi luka berdarah, bergetar tak berdaya. Sementara sosok yang Syukur susul, tengah memegang golok berujung runcing sekaligus berkilau, menggunakan kedua tangan.

Syukur baru akan menegur, menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Namun sosok yang Syukur susul telanjur memengg.al kepada si bocah menggunakan golok. Dalam sekali pengga.lan, kepala bocah tersebut lepas, sementara darahnya muncrat dan sebagiannya mengenai wajah maupun anggota tubuh Syukur yang lain.

Detik itu juga Syukur terduduk kebas. Sebab dengan mata dan kepalanya sendiri, sosok di hadapannya justru memeng.al kepala si bocah menggunakan golok. Naasnya, sosok tersebut menoleh ke belakang dan membuatnya memergoki Syukur. susah payah Syukur berusaha kabur. Bocah itu merangkak, tapi kaki kanannya ditahan oleh sosok tadi. Namun dengan cekatan, Syukur menangkap ekor ular sanca yang ada di depannya. Ukuran ular tersebut tak sebesar ular sanca yang menghadang langkah Syukur.

Syukur melempar ular tersebut ke wajah sosok yang menahannya. Sosok tadi langsung syok karena ulah Syukur. Namun, ia yang sempat melepaskan Syukur, buru-buru menyusul si bocah.

Susah payah Syukur berlari. Syukur kembali ke jalan dirinya sempat lewat. Termasuk melewati ular sanca tadi. Sementara di belakangnya, tanpa bersuara, sosok tidak begitu tinggi itu terus berlari mengejar Syukur. Golok sangat tajam itu masih menyertai tangan kanannya. Darah segar terus mengalir dari golok dan setiap tetesannya terlihat sangat mengerikan bagi Syukur yang masih aktif menoleh ke belakang.

2 : Suara Tak Kasatmata Sang Penyelamat

“Syukur ....”

Suara tak kasatmata seorang perempuan, terdengar dari balik semak-semak sebelah kanan Syukur. Di sana memang ada sekumpulan ular sanca berukuran tidak begitu besar. Namun syukur yang yakin suara tadi akan kembali menyelamatkannya, memutuskan untuk ke sana.

Dengan sangat hati-hati, Syukur bersembunyi. Bocah berambut lurus cepak itu juga meminta maaf sekaligus permisi, atas kehadirannya yang dirasanya telah mengganggu para ular sanca.

“Sebentar, aku harus bersembunyi di sini, agar aku bisa pulang dengan selamat!” lirih Syukur di tengah keringatnya yang bercucuran, sementara napasnya sangat ngos-ngosan.

Tiba-tiba saja, Syukur ingat larangan dari sang kakek, maupun beberapa masyarakat setempat. Bahwa dirinya, maupun bocah mana pun, tidak boleh masuk ke hutan Tua, dan kini menjadi tempatnya dikejar-kejar.

“Itu tadi orang, apa hantu?” pikir Syukur. Sebab setelah ia ingat-ingat, penampilan sosok tidak begitu tinggi tadi, tidak begitu jelas. Semuanya disamarkan dengan pakaian maupun topi kedodoran dan serba disertai tumbuhan. Gaya orang tadi mirip semak-semak berjalan.

Termasuk juga dengan wajah sosok di dalam tadi, Syukur tidak melihatnya dengan jelas. Namun selain wajahnya agak kisut mirip kulit rus.ak, sebagian rambut sosok tersebut menutupi sebagian wajah. Benar-benar sosok yang sangat mengerikan. Namun Syukur penasaran, kenapa sosok tersebut tega memengga.l kepala bocah tadi.

“Bocah tadi, ... pasti dia yang minta tolong!” batin Syukur yakin.

Syukur dapati, sosok tadi berada tepat di balik semak-semak ia bersembunyi. Syukur sengaja menggunakan kedua tangannya untuk membekap mulut guna meredam suara ngos-ngosan dari napasnya. Apalagi, sosok tadi sudah semakin dekat.

Sembari melangkah hati-hati karena di semak-semak yang ia tuju disertai banyak ular, sosok berwajah menyeramkan itu menggunakan ujung goloknya untuk menyibak ujung semak-semak. Keberadaan golok si sosok menyeramkan, tepat di atas wajah Syukur. Darah segar yang masih tersisa di sana, menetes mengenai punggung hidung bahkan kedua tangan Syukur yang membekap mulut.

Tidak ada siapa-siapa, si sosok menyeramkan itu tidak menemukan tubuh kurus anak yang tengah ia buru. Malahan, ia dikagetkan oleh suara ular kobra yang memberi aba-aba akan mematuknya. Karenanya, ia bergegas kembali memasuki hutan dan mencari ke arah lain.

Sembari menghela napas pelan sekaligus lega, Syukur menoleh ke belakang. Ia pastikan, sosok tadi telah pergi. Ular kobra yang sempat menghalangi langkah sosok tersebut juga terus mengikuti. Akan tetapi ketika Syukur menoleh ke sebelahnya, bocah itu malah mendapati sosok lain. Jantung Syukur seolah lepas seiring ia yang nyaris jatuh menimpa ular sanca. Namun dengan cepat, Syukur berlari menuju jalan keluar dari hutan.

Sosok lain yang kembali membuat Syukur jantungan, merupakan bocah berpenampilan rapi. Bocah yang memakai koko putih, peci putih, dan membawa sarung hitam itu bernama Ibrahim.

Setelah Ibrahim menoleh ke belakang dan tidak mendapati apa pun selain tumpukan ular, Ibrahim segera menyusul Syukur. “Syukur, tunggu!” serunya.

Di dalam hutan, sosok yang tadi memeng.gal leher seorang bocah, sebelum akhirnya malah mengejar-ngejar Syukur, langsung terjaga. Sosok tadi langsung menoleh ke sumber suara. Ia juga melihat kepergian Ibrahim yang menyusul Syukur. Keduanya berhasil keluar hutan, tapi ia tak berniat mengejar. Fatalnya, baru akan melanjutkan langkah untuk memasuki hutan lebih dalam, ular kobra yang tadi mengikutinya, malah menghadiahi patokan.

“Aaaarrrrrgh!”

Suara kesakitan seorang pria membuat Syukur refleks menghentikan langkahnya. Syukur refleks menoleh ke belakang selaku sumber suara berasal. Selain itu, Syukur juga memergoki sosok semak-semak berjalan dengan langkah terpincan.g-pinc.ang. Sosok tersebut memasuki hutan bagian lebih dalam. Meski jaraknya ada sekitar dua puluh lima meter, Syukur yakin sosok tersebut masih sosok yang sama.

“Masa kamu enggak lihat?” tanya Syukur karena Ibrahim mengaku tidak melihat sosok yang dimaksud. “Itu loh, Im! Gerak-gerak itu!” ucap Syukur meyakinkan sang teman.

Ibrahim kembali melihat ke arah yang Syukur lihat. Ia memang melihat apa yang Syukur maksud. Namun, ia memilih kabur karena takut.

“Im! Kok lari!” seru Syukur sambil menyusul kepergian Ibrahim.

“A—Aku takut, Kur. Aku takut!” ucap Ibrahim terdengar gemetaran khas suara yang menahan tangis karena takut.

“Lah, ... kamu kan pinter ngaji. Masa sama kayak gitu, takut?” balas Syukur sambil terus berlari.

Makin lama, ketakutan Ibrahim makin tidak bisa bocah itu bendung. Ibrahim menjadi menangis, meraung-raung memanggil sang ibu. Hingga yang ada, di petang menuju maghrib, terjadi keributan setelah para warga keluar dari rumah masing-masing, akibat tangis Ibrahim.

“Dasar anak kuntilanak! Kamu apakan anakku, kenapa Ibrahim menangis ketakutan begitu?” ucap ibu Umi Rokayah dan tidaklah lain, ibunya Ibrahim.

“Itu terus kenapa kamu juga berdarah-darah begitu?!” kesal ibu Umi Rokayah masih marah-marah ke Syukur.

Di antara para kerumunan warga dan kebanyakan merupakan orang tua, pak Handoyo selaku kakek Syukur datang. Pak Handoyo menerobos kerumunan karena biasanya, jika ada kerumunan seperti sekarang, lagi-lagi sang cucu yang dipermasalahkan.

“Ada apa lag, ini, Bu?” tanya pak Handoyo benar-benar santun sekaligus sabar. Ia menghampiri sang cucu yang memang langsung membuatnya terkejut.

“Kur, kenapa ... kenapa kamu berdarah begini?” tanya pak Handoyo sambil jongkok menyelaraskan tinggi tubuhnya dengan sang cucu. Ia mengelap asal setiap darah di wajah, kedua tangan, maupun pakaian Syukur.

“Andai aku cerita, ... pasti mereka enggak percaya dan malah makin marah,” pikir Syukur yang terpaksa berbohong. “Tadi aku motong ... ayam, tapi Baim takut, Kek!” ucapnya.

“Ohhh,” refleks pak Handoyo yang berangsur mengemban Syukur.

“Itu kamu motong ayam siapa?!” tegur bapak-bapak di sebelah ibu Umi Rokayah.

“Nanti saya ganti, Pak. Saya pasti ganti. Tolong, jangan keras-keras ke anak kecil,” lembut pak Handoyo sementara Syukur tetap diam.

“Eh, Pak Handoyo! Bukannya saya keras ke anak kecil. Masalahnya kalau anak kecilnya seperti Syukur yang enggak mau diam dan apa-apa diru.sak, ini beneran bahaya, Pak! Jangan selalu membenarkan apa yang anak lakukan!”

“Meski anak-anak, bukan berarti dia tidak salah hanya karena mereka tidak tahu. Justru karena mereka tidak tahu, sebagai orang tua sekaligus lingkungan utamanya, kita wajib kasih arahan. Agar saat anak-anak dewasa, mereka tidak jadi penjahat!” ucap bapak-bapak tadi dan bernama pak Sukmara. Ia makin meledak-ledak karena baginya, pak Handoyo terlalu lembek dalam mendidik cucu.

“Iya, Pak. Terima kasih banyak. Sekali lagi, saya benar-benar minta maaf. Jika memang ada warga, siapa pun, merasa kehilangan ayam, tolong laporkan saja ke saya. Insya Allah, saya ganti,” ucap pak Handoyo. Namun alih-alih menyikapi dengan baik, semuanya malah kompak bubar. Mereka melangkah sambil berkeluh kesah mengenai mereka yang muak menjadi tetangga Syukur.

Syukur merasa sangat sedih atas kenyataan kini. Padahal, yang ia inginkan hanyalah main dengan bebas. “Kakek, ... aku minta maaf!” rengek Syukur benar-benar menyesal.

Melihat sang cucu berlinang air mata, pak Handoyo juga langsung tidak tega. Berkaca-kaca ia meyakinkan sang cucu bahwa dirinya baik-baik saja.

“Syukur ....”

Suara wanita tak kasatmata yang terus menyelamatkan Syukur, kembali terdengar. Namun kali ini, suara tersebut seolah meminta Syukur untuk tidak bersedih apalagi menangis.

❣️❣️❣️

3 : Semak-Semak Berjalan

“Semak-semak berjalan. Kira-kira, andai aku cerita ke kakek, kakek percaya enggak, ya?” pikir Syukur.

Sudah larut malam, tapi Syukur tetap belum bisa tidur. Syukur terus terngiang-ngiang kejadian di hutan Tua. Mengenai semak-semak berjalan yang sampai bisa memengga.l kepala bocah. Semak-semak itu bahkan bisa mengejarnya sambil membawa golok tajam.

Di sebelah Syukur, sang kakek sudah tidur pulas. Pak Handoyo mendengkur keras. Syukur tahu, sang kakek kelelahan. Demi bertahan hidup, demi membuat mereka bisa tetap makan tepat waktu, sang kakek memang selalu banti.ng tulang di sawah dan kebun. Warung yang awalnya laris, kini tinggal kenangan akibat Syukur yang dianggap pembawa musibah oleh warga setempat.

Anak kuntilanak. Anak pembawa sia.l, sebutan itu sudah menjadi bagian cemo.oah mereka kepada Syukur. Mereka beranggapan, bahwa alasan warung pak Handoyo laris, efek penglaris dan itu masih dikaitkan dengan kuntilanak. Padahal alasan warung pak Handoyo laris, murni karena selain harga lebih murah, kualitasnya juga terjamin. Ditambah lagi, pak Handoyo selalu belanja ke pusat yang ada di Jakarta.

Setahu Syukur, menurut desas-desus yang beredar, mama dan neneknya pernah jadi kuntilanak. Warga, termasuk itu teman sepermainan Syukur, kerap mengungkit-ungkit fakta tersebut. Mereka terus meledek, bahkan menghin.a dilengkapi dengan puku.lan. Namun ketika Syukur membalas, mereka tidak terima dan akan main keroyo.k. Masalahnya ketika itu terjadi, belum pernah Syukur kalah. Karena memang, ada saja yang seolah membantu Syukur. Bantuan yang akan disertai angin kencang. Kemudian mendadak seperti ada makhluk tak kasatmata yang turut mengha.jar setiap mereka yang melukai Syukur.

Keadaan mereka yang bukan orang biasa, membuat Syukur paham itu. Syukur jadi berpikir jauh lebih dewasa dari usianya.

“Besok, aku harus ke hutan lagi. Aku harus memastikan, lihat tuh rumah!” Tekad Syukur sudah bulat. Hingga ketika ia ikut sang kakek mengurus ladang, ia sudah siap-siap. Syukur masih mencari celah agar ia bisa pergi dan alasannya cukup karena ia ingin main.

Ransel kecil yang Syukur bawa berisi tali tambang, pisau, gunting, dan juga korek. Selain itu, Syukur juga membawa dua bungkus garam kasa.r.

“Besok kalau mas Athan ke sini, kita ikut mereka buat mondok di Jawa, ya Kur. Kita tinggal di Cilacap!” ucap pak Handoyo yang terengah-engah.

Pak Handoyo berhenti mencangkul. Syukur yang paham sang kakek haus, segera membawa bekal minumnya, kemudian memberikannya kepada sang kakek.

Sambil menerima pemberian botol minumnya dari Syukur, pak Handoyo berkata, “Di sini, kamu enggak bisa ngaji. Andai sama Kakek, ... Kakek merasa kurang pas.”

“Kalau hanya doa-doa sama baca Iqro atau menulis arab, dikit-dikit, Kakek memang bisa. Namun untuk Alquran, lebih baik kamu belajar ke ahlinya.”

“Insya Allah, di Cilacap kita akan diterima dengan lebih baik. Sementara kebun dan sawah kita di sini, bisa kita sewakan saja. Yang penting tetap ditanami, biar tanahnya tetap bagus,” ucap pak Handoyo.

Karena keadaan mereka yang dikucilkan, Syukur juga menjadi satu-satunya teman bicara pak Handoyo.

“Kita makan dulu,” ucap pak Handoyo.

Pak Handoyo dapati, sedari tadi, kesibukan sang cucu membuatnya tak perlu memisahkan kacang tanah yang ia panen dari batangnya. Sebab Syukur sudah membantunya melakukannya.

“Ini nanti direbus. Sebagiannya nanti kita jual ke desa sebelah buat beli beras,” ucap pak Handoyo. Karena andai ia membagikannya ke tetangga, belum tentu juga akan diterima.

Pak Handoyo sadar, pindah dari desa dirinya dan keluarga kecilnya sempat merajut bahagia, akan jauh lebih membuatnya tenang. Karena jika dirinya dan Syukur tinggal di lingkungan baru, otomatis masa lalu mereka tidak akan diungkit. Masa lalu yang juga menjadi alasan mereka dipandang rem.eh. Akan tetapi, pak Handoyo tetap saja berat meninggalkan desa dirinya tinggal. Terlebih, pak Handoyo ingin membuat sang cucu merasakan suasana tempat mamanya lahir juga.

“Kek, ... hantu itu bisa memengg.al kepala anak-anak sampai putus, enggak, sih?” tanya Syukur sengaja memastikannya kepada sang kakek.

Mendengar pertanyaan barusan dari sang cucu, pak Handoyo langsung bingung. Bisa-bisanya, Syukur bertanya begitu? Apakah memang, Syukur pernah menyaksikan kejadian yang dimaksud? Baik secara langsung, atau hanya cerita yang kebetulan Syukur dengar? Pikir pak Handoyo. Ia terpincan.g-pin.cang melangkah menuju saung di belakang Syukur.

Tanpa direncanakan, Syukur tak sengaja melihat kaki kanan sang kakek. Baru ia sadari, kaki kanan sang kakek terluka. Berjalan saja, pak Handoyo harus menye.ret kaki kanannya.

“Kek, ... kaki Kakek, sakit?” tanya Syukur sambil mengikuti pak Handoyo. Namun, tatapannya tidak bisa berhenti mengawasi keadaan kaki kanan sang kakek.

“Iya, kemarin digigit ular. Enggak apa-apa, ini sudah mendingan, kok,” ucap pak Handoyo dengan santainya.

“Hah? Digigit ular, Kek?” kaget Syukur yang langsung ingat semak-semak berjalan. Karena sosok tersebut sempat dipatok ular!

“Kakek beneran digigit ular?” lanjut Syukur.

“Terus, jalan kakek juga mirip semak-semak berjalan. Mereka jalannya sama-sama bungkuk. Tapi masa iya, semak-semak berjalan itu malah kakek?” batin Syukur benar-benar berpikir keras.

Di hadapan Syukur, sang kakek jadi berhenti melangkah. Pria tua itu berangsur balik badan dan menatapnya dengan banyak kekhawatiran. Pak Handoyo memang tersenyum kepada Syukur, layaknya biasa. Namun khusus kali ini, Syukur merasa, apa yang kakeknya lakukan, semata-mata agar ia tak lagi bertanya. Agar Syukur berhenti khawatir.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!