NovelToon NovelToon

Tiba-tiba Dilamar Ceo Dingin

Melamar kerja

Sebelum membaca cerita, catat baik-baik dalam hati, kisah di bawah hanyalah fiksi, sekadar untuk hiburan, jadi, jika terbawa suasana dan emosi harap jaga kata-kata, ya.

Berkomentar yang sopan dan baik sebagaimana Anda suka orang berkata baik pada Anda.

Jika tak suka dengan cerita, cukup tinggalkan cerita ini tak usah meninggalkan jejak di kolom komentar dengan komentar tak menyenangkan.

Sebagai author cerita ini, saya tak membutuhkan para pembaca julid (Jika alur cerita tak sesuai keinginan langsung menghina author atau berkata-kata merendahkan cerita di kolom komentar)

Selamat membaca, semoga terhibur, enjoy mengikuti alur cerita 😍

__________________

Saat aku memberanikan diri hendak menyeberang jalan raya, hampir saja sebuah mobil menyerempet ku, jika saja aku tak sigap mundur lagi ke tempat semula.

Keluar dari mobil itu, lelaki tinggi berbadan tegap mengenakan kaca mata hitam. Ia berjalan lebar ke arahku yang masih shock, begitu sampai di hadapanku ia langsung menyambar lenganku kasar.

"Mau cari mati kau?" bentaknya.

"Ti-d-a-k." Aku menggeleng kemudian menunduk merasa takut. Cengkraman tangannya di lenganku begitu kuat, semakin lama menimbulkan rasa pedih.

Pria itu membuka kaca matanya, mengangkat daguku sehingga pandangan kami bertemu.

"Jangan sekali-kali asal menyebarang seperti tadi, paham kau?"

Alih-alih menyahut ucapannya, aku malah terbengong melihat parasnya.

Bahkan saat pria tinggi itu pergi dengan mobil kerennya, aku tetap mematung di sini, mendewakan ketampanannya.

***

"Masuk!"

Terdengar suara bariton dari dalam ruangan. Dengan tubuh gemetar, aku memaksakan kaki melangkah sambil mendekap ijazah di dada.

"Assalamualaikum, para bapak dan ibu-ibu." Aku merendahkan punggungku sebentar sebagai penghormatan, kemudian duduk di kursi yang telah disediakan.

Terlihat mereka menahan tawa sambil menatap ke arahku. Memangnya, apa yang lucu, coba?

"Umur kamu masih muda, mengapa kamu memilih bergabung dengan perusahaan, kami?" Satu dari pria berjas itu bertanya. Sepertinya mereka telah membaca CV-ku.

"karena saya suka sekali dengan menggambar." Aku menjawab apa adanya.

Kini, mereka malah tertawa pelan.

Aku memutuskan melamar kerja ke perusahaan Multi Talenta ini, sebab hampir semua perusahaan yang aku kirim berkas lamaran, menolakku. Harapan terakhirku jatuh ke perusahaan aneh ini. Rata-rata nilai di ijazahku rendah, hanya bahasa Inggris dan Indonesia saja yang paling tinggi.

"Tempat ini bukanlah untuk anak-anak yang sedang menyalurkan hobi. Ini tempat untuk orang-orang bertalenta bekerja, apa talentamu sehingga kamu begitu percaya diri melamar kerja di sini?"

Oh iya, percaya diri, aku harus percaya diri. "Saya lihat, perusahaan MulTa menerima karyawan yang ahli dalam menggambar dan aku adalah ahlinya." Aku tersenyum lebar.

"Perlihatkan hasil menggambarmu!"

Aku pun memperlihatkan tab berisi gambar kartun tiga dimensi. Bisa kulihat, mata mereka terpana melihat coretan tanganku.

"Baiklah Dilara, kamu hanya perlu menunggu, diterima atau tidak. Kami akan merundingkannya. Pemberitahuan akan masuk ke nomor teleponmu seminggu kemudian."

"Terima kasih, Pak. Terima kasih." Aku langsung berdiri dan membungkuk berulang kali. Kemudian melangkah menuju pintu keluar.

"Kamu belum dipersilakan keluar, Dilara!" Suara berat itu menghentikan gerakan kaki ini. Langsung saja, aku berlari dan duduk kembali di kursi tadi.

"Nah, sekarang kamu boleh keluar." Barulah salah satu dari mereka memerintahkan.

Sebelum keluar aku mengambil air mineral di atas meja, kemudian bergegas pergi.

Melihat para lelaki berpakaian rapi dan beberapa orang perempuan berpakaian seksi berjajar duduk di kursi panjang lorong, membuatku pesimis untuk keterima kerja. Yang melamar kerja rupanya banyak sekali.

Saat menuruni tangga sambil minum, kakiku tersandung, tepat ketika seorang lelaki berkacamata hitam menaiki tangga. air di mulutku menyembur ke wajahnya.

Aku membelalakkan mata, pria itu sontak melepaskan kaca matanya dan menatapku tajam.

Apa yang harus aku lakukan?

***

Pria yang kena semburan jigong-ku tampak bersiap meluapkan emosinya, saat matanya melirik ke arah belakangku, ekspresinya langsung berubah datar.

"Daniel! Daniel! Tunggu, aku!" Suara cempreng di belakang punggungku memekakkan telinga, kemudian terdengar langkah kaki terburu semakin mendekat.

"Sayang! Yok kita makan di luar." Tiba-tiba saja pinggangku diraih oleh pria itu. Ia tersenyum dan menatapku mesra. Membuat tubuhku merinding.

"Jadi itu perempuan yang membuatmu menjauhiku?!" Perempuan tinggi berpakaian minim, dengan tubuh berisi, berdiri di hadapan kami, menatapku nyalang dengan mata berairnya.

Lelaki bernama Daniel itu menggamit lenganku, tubuhku dibawa paksa olehnya menjauhi perempuan itu.

"Daniel!" Perempuan itu mengejar, jilbabku ditarik dari belakang, hampir saja aku terjengkang jika saja Daniel tidak menahan tubuhku. Pandangan kami beradu, saling terdiam beberapa detik.

"Aa-aa!" Perempuan itu menghentakkan kakinya berulang kali sambil terus menjerit histeris.

"Berhenti Falisa! Perilakumu tak terpuji, di antara kita sudah tidak ada hubungan! Semenjak kau selingkuh dengan Joshua!" Daniel mengangkat suaranya, menghentikan teriakan perempuan cantik itu.

"Jadi kamu balas dendam? Iya?! Kamu memilih perempuan rendahan sebagai penggantiku?" Falisa menunjuk ke arahku.

Aku dikatakan perempuan rendahan, yang benar saja, ketika mulut ini bersiap membalas kata-katanya. Daniel menyeret kembali tubuhku. Terpaksa aku menyamai langkah lebarnya. Falisa masih saja mengikuti.

Aku didorong paksa memasuki mobil, kemudian pria itu memasuki kursi kemudi setelah memastikan aku masuk. Falisa berjalan terburu ke arah kami. Daniel langsung tancap gas meninggalkan Falisa yang terdengar meraung-raung di belakang.

Wajah Daniel tampak sendu, laju mobil pun berubah menjadi normal. Di tengah perjalanan ia menghentikan mobilnya.

Pria itu memajukan wajahnya ke arahku. Langsung saja aku menahan dada bidangnya.

"Keluar!" perintahnya, dingin.

"A-pa-a?" Aku tergagap. Dan baru menyadari pintu di belakang punggungku terbuka. Mungkin barusan tangan Daniel yang membukanya.

Daniel menatap mataku sebentar kemudian menarik kembali tubuhnya dan duduk seperti semula. "Keluar dari mobil saya, tadi hanya akting. Tak mungkin saya punya pacar seburiq kamu."

Aku menganga, kurang ajar memang nih cowok. Daniel langsung mendorong paksa tubuhku tak membiarkan aku membalas perkataan nistanya.

Setelah aku berada di luar, mobil itu meluncur cepat meninggalkanku.

"Lelaki laknat! Celaka kau, ya! Tak sudi amit-amit gue temu sama lu!" Aku berteriak-teriak, meluapkan kekesalan.

Menyadari orang-orang yang nongkrong di tepi jalan memperhatikan tingkahku, seketika aku terdiam, merasa malu, aku melangkah lebar menjauhi mereka.

Aduh ... aku tak tau alamat, lagi. Hari seperti hari sial untukku.

***

Sampai di kontrakan, aku langsung menjatuhkan tubuh lelah ini di atas kasur lepek. Oh, sungguh malang nasibku, hari ini bertemu dengan orang-orang menyebalkan.

Perutku tiba-tiba berbunyi, aku pun bangkit melangkah gontai mendekati kompor gas satu lubang yang terletak di ujung kasur lepekku.

Aku mengambil panci di dekat kamar mandi, mengisinya dengan air, kemudian meletakkannya di atas kompor. Mie instan aku masukkan dalam air tersebut, barulah aku menyalakan kompor.

Sambil menunggu mie matang, aku rebahan di lantai. Ah! Enak sekali, dinginnya. Pandangan mataku perlahan meredup.

Tercium bau gosong, aku langsung terperanjat bangun.

Oh, tidak, panciku satu-satunya! Tampak gosong di atas kompor yang masih menyala.

Dengan gerakan cepat aku mematikan kompor dan mengangkat panci tersebut dengan lap. Panci yang aku tawar habis-habisan di pasar kini tak berbentuk. Hari ini, musibah terus berdatangan. Air mataku menitik.

Karena lapar tak tertahankan, aku keluar kontrakan, membawa uang sepuluh ribu menuju warteg langganan.

"Lauk, Bu!" kataku, langsung duduk di bangku panjang.

"Masam amat wajahnya!" Si Ibu Karsih mulai menggoda seperti biasanya. "Bagaimana? Diterima kerjanya? Masa, gadis secantik kamu ditolak, sih!"

"Gadis cantik cocoknya di diskotik Mak, bukan di perusahaan!"

Langsung saja aku melempar tatapan tajam kepada anak lelakinya Bu Karsih, bernama Ferdi itu.

"Heh kau bocah! Sekali lagi ngomong sembarangan, tak sunat dua kali!"

"Otaknya Dilara mah, emang lemot, buktinya sampai sekarang gak dapat kerjaan."

Apa yang dikatakan Ferdi ada benarnya, seketika tubuhku bertambah lesu.

"Gak usah dianggap omongan Ferdi Mah, Neng cantik." Bu Karsih menepuk pundak ini. Ia tersenyum. Berbeda dengan anaknya yang terus cekikikan melihatku. Apakah ada yang lucu dari bentuk wajahku?

"Dia itu culun, Mak. Mata Mak picek kali, gak ada cantik-cantiknya sama sekali. Cantik deh, namanya doang." Ferdi kembali tergelak.

"Hush tak baik menghina penampilan orang. Neng Dilara itu cantik bagi saya." Bu Karsih tersenyum ramah sambil menyodorkan pesananku.

Aku melirik sebal Ferdi kemudian meninggalkan warteg tersebut dengan hati yang dongkol.

Dasar bocah gendeng!

Kejutan di siang bolong

Notifikasi pesan berbunyi ketika baru saja aku ketiduran setelah membereskan ruangan siang ini.

Dengan mata yang malas terbuka menahan beratnya kantuk, aku membaca pesan.

"Selamat! Anda diterima di perusahaan Multi Talent. Selamat bergabung, Dilara Febriana."

Aku langsung melotot dan bangkit duduk, berkali-kali mengucek mata, isi pesan tetap menampilkan hal yang sama.

Aku diterima bekerja? Oh, kirain apa. Aku pun kembali merebahkan tubuh, lalu memejamkan mata.

Beberapa detik kemudian, Mataku terbuka lebar, saat menyadari dari mana pemberitahuan pesan itu. Sontak aku melompat dari atas kasur lepek.

Aaaa! Aku bahagia sekali, dan terus berteriak-teriak meluapkan rasa bahagia dan lompat ke sana ke mari sambil memukuli pantat panci bolong yang gosong waktu lalu menggunakan cukil.

Gedoran di pintu menghentikan gerakan tubuhku, aku menoleh ke arah pintu masuk satu-satunya.

"Apa yang kau lakukan, berisik sekali kau ini!" Begitu membuka pintu, suara cempreng langsung memekakan telinga membuatku terkejut. "Seperti orang gila saja kelakuanmu, selalu berisik!" Perempuan gimbal dengan rambut digulung roll berkacak pinggang, matanya menatap tajam. Ia memang tinggal di bawah tempatku, di lantai satu.

"Maaf Bu Jiad." Aku menyatukan tangan dan menekurkan pandangan.

"Gila kau, ya." Perempuan itu terus merutuk sambil menuruni tangga, begitu hampir sampai di tangga terakhir, ia terjatuh, aku langsung tertawa.

"Ketawa kau, ya!" Ia menunjuk. Aku pun membekap mulut dan masuk ke dalam ruangan lalu menutup pintu.

Tak berselang lama, ponsel di atas lemari plastik box berdering, bergegas aku meraihnya.

"Assalamualaikum, Mak," sapaku.

"Bagaimana kabarmu, Nak? Apakah sudah dapat pekerjaan."

"Alhamdulillah, Mak. Aku sudah dapat pekerjaan." Aku tersenyum lebar.

"Syukurlah, Nak. sudah berapa bulan kamu menganggur di sana akhirnya Allah beri kemudahan. Adik-adikmu yang masih kecil mau masuk sekolah tidak ada biaya, Nak. Dan yang lainnya belum bayar tagihan sekolah."

Mendengar perkataan Ibu hatiku sakit. Ibuku hanya seorang buruh tani, sedangkan ayahku telah lama meninggal.

"Iya, Mak. Saya minta doanya, semoga nanti gajinya besar agar bisa menutupi hutang dan memenuhi kebutuhan sehari-hari di rumah."

"Tidak bisakah minta uangnya sekarang, Nak? Adik-adikmu membutuhkan uang untuk beli seragam."

Aku tertegun sejenak.

"Saya usahakan, Mak."

Selesai menelepon, aku menaruh ponsel dengan badan yang lesu. Tubuhku luruh ke lantai, depan meja kecil yang usang, aku duduk memeluk diri sendiri, sambil memikirkan cara untuk mendapatkan uang secepatnya.

***

Depan cermin besar yang kusam, aku berdiri, mengenakan pakaian terbaik dengan warna biru muda dan warna kerudung yang senada.

Aku berjalan kaki sambil menghirup udara pagi yang masih segar. Terlihat para pedagang kaki lima menggelar dagangannya di tepi jalan. Aku menghampiri salah satu dari mereka.

Di bangku tukang bubur, aku duduk, menunggu pesanan datang.

Setelah sekian menit menunggu, karena pesanan tak datang juga, aku bangkit berdiri.

"Punya saya mana, Pak?" Aku menghampiri si pedagang.

"Sabar, Neng. Yang pesan banyak." Pedagang itu menyahut acuh. Banyak sekali orang-orang yang antri kulihat. Aku pun keluar dari dalam tenda tersebut dengan perasaan dongkol.

Bagaimana kalau saya, telat, ya ampun! Ngapain lagi aku barusan ngelamun lama di tukang bubur! Aku melangkah setengah berlari, mengejar waktu.

Bis melaju pelan meninggalkan halte. Aku berlari mengejarnya sambil terus berteriak, "Tunggu! Tunggu!"

Aku nekad menghalangi bis dengan merentangkan tangan. Langsung terpejam kala kendaraan itu berusaha berhenti.

"Cari mati kau, ya!" Kondektur memakiku, tetapi tetap membukakan pintu untukku. Bergegas aku masuk dan melihat kursi penumpang telah penuh. akhirnya, tiada cara lain, selain berdiri berpegangan pada gantungan.

***

Turun dari bis, aku berlari-lari menembus kerumunan orang, jarak gedung perusahaan masih lumayan jauh.

Berjalan cukup lama, akhirnya aku berhasil tiba di depan gedung perusahaan dengan tubuh banjir keringat, mereka yang pertama kali melihatku, tampak memicingkan mata, seolah jijik.

Aku membenarkan letak jilbabku, merasa paling jelek dan culun di antara mereka yang berlalu-lalang keluar masuk pintu perusahaan. Para wanita itu, tubuhnya langsing dan wajahnya cantik.

Bergegas aku melangkah berusaha mengabaikan mereka, begitu melihat penampilan sendiri di cermin tiang yang kulewati, sontak aku merasa minder, penampilanku dengan mereka, sangat jauh berbeda.

Wajah kusam dan pakaian yang terlihat lusuh.

"Pak ... kalau menuju ke ruangan ini, lewat mana, ya?" Aku bertanya kepada satpam, sambil memperlihatkan kertas.

"Itu lantai empat, Bu."

Bu? O my got, apakah wajahku setua itu. Padahal umurku baru menginjak 19 tahun.

"Terima kasih, Pak!" Aku mengucapkan sukur kepada lelaki itu dengan hati yang kesal. Bagaimana mungkin dia memanggilku, dengan sebutan 'Ibu' apakah matanya rabun?

Sampai dalam lift, aku duduk di sudut ruangan, selonjoran kaki, merasa capek. Dan menguap berulang kali.

Pintu lift terbuka, seorang pria berpakaian formal masuk membawa tas, aku langsung bangkit berdiri dan merapikan penampilan depan tembok yang seperti cermin. Kami berdiri, berdampingan.

Tak sengaja melihat wajah pria yang berdiri bersisian denganku dari pantulan tembok di sampingku, mataku langsung membulat, aku menoleh kepadanya, untuk memastikan wajahnya, dia pun menoleh kepadaku.

"Kau?" Kami berkata bersama. Ia langsung memalingkan wajahnya.

Mengingat bagaimana aku menderita setelah ditelantarkan olehnya di jalan, naiklah emosiku.

"Kau pikir saya hewan apa ya? Kau tahu setelah aku, kau turunkan di jalan, aku berjalan kaki terlunta-lunta dan tak tahu jalan pulang!" Aku berteriak histeris. Dan ia langsung membekap mulutku.

"Kenapa kau berteriak seperti orang gila, huh?" Ia berkata pelan. Aku menginjak kakinya, reflek tangannya terlepas.

"Saya tak terima kau membuat saya menderita waktu itu, saya merasa rugi!"

"Bodoh amat! Kau sendiri yang mau-maunya digandeng lelaki asing, apakah kau semurahan itu." Ia menyahut datar.

Amarahku meluap melihat sikap acuhnya setelah berbuat hal buruk kepadaku. Tanpa pikir panjang, aku meraih kepalanya dan menjambak rambutnya dengan membabi-buta. Kedua tangannya berusaha mendorong tubuhku, akan tetapi aku langsung menaikan kakiku di pinggangnya dan semakin kuat menjambak rambutnya.

"Lepaskan!" Lelaki itu berteriak, mendorong tubuhku sekuat tenaga. Aku terjengkang dan terjatuh dengan posisi pria itu menindih tubuhku. Tepat ketika lift lantai lima terbuka.

Beberapa perempuan dan lelaki berdiri depan pintu lift, melihat apa yang kami lakukan, mereka menutup mulutnya sendiri. Sontak Aku mendorong tubuh lelaki tanpa empati itu.

Lelaki tu berdiri dan keluar dari dalam lift sambil membenarkan dasinya, seorang perempuan tampak berusaha menyamai langkahnya dan terus berteriak. Sepertinya aku kenal wajah perempuan itu.

"Kamu kesini, mau melacur atau bekerja, sih?" Salah satu dari perempuan itu bertanya, aku pun keluar dari dalam lift menundukkan kepala, merasa malu.

***

"Melihat keahlianmu dalam menggambar, kami menempatkanmu dalam bagian pembuatan grafik drawing. Untuk pertama kalinya, silakan perkenalkan dirimu kepada pimpinan perusahaan ini." Lelaki tua berbicara kepadaku.

"Di mana? Saya harus menemuinya, Pak."

"Dua ruangan dari sini, ada pintu bertuliskan Presdir, biasanya beliau jarang hadir di tempat ini. Semoga saja, sekarang, beliau hadir."

Aku pun melangkah ke luar ruangan, dan sampai depan pintu Presdir, aku mengetuk pintu pelan. Pintu terbuka sendiri, aku mengucapkan salam dan memasukinya.

"Kamu lagi?" Aku terkejut melihat wajah pria yang duduk di balik meja kerja. Ia pun sama terkejutnya saat melihatku.

"Mau apa kau kesini?" Ia mengernyitkan dahi sehingga alisnya bertaut.

"Sa-a-ya disuruh Admin kantor untuk menemui Anda, memperlihatkan ini." Dari tempatku berdiri, Aku memperlihatkan kertas hasil coretan tanganku dengan perasaan gugup. Bayangan akan dipecat dalam otakku terus terlintas.

"Bawa kesini, sejauh mana kemampuan perempuan sombong seperti kamu itu." Ia tersenyum tipis. Nyaliku langsung menciut. Pria itu bangkit dari kursinya dan berdiri depan meja sambil memasukkan dua tangannya ke dalam saku celananya.

Aku mulai melangkah ragu dengan jantung yang semakin berdebar kencang, baru beberapa langkah, aku tersandung oleh kaki sendiri dan tubuhku oleng langsung jatuh dengan posisi tengkurap, tepat wajahku menimpa sepasang sepatunya.

"Selain sombong, rupanya kamu juga ceroboh, ya."

Aku mendongak, dan melihatnya menundukkan kepala menatap prihatin kepadaku. Bukan prihatin, melainkan meremehkan.

Lelaki usil

Aku keluar dari kantor Presdir dengan perasaan tak menentu. Ia tak memecat, tetapi, aku khawatir sewaktu-waktu ia memecatku.

Aku memasuki partisi (sekatan kantor) di mana aku akan bekerja. Kemudian menaruh semua barang-barang di atas meja. Dan duduk sambil menyandarkan punggung ke kursi.

"Hay! anak baru, ya?"

Aku menoleh begitu mendengar seseorang berbicara. Benar saja, perempuan yang memiliki lesung pipi tersenyum padaku.

"Ah ... iya, saya orang baru." Aku menjabat uluran tangannya.

"Saya Arsi."

"Saya Dilara."

Kami pun fokus pada pekerjaan masing-masing, setumpuk kertas telah menumpuk di atas mejaku.

"Jangan lupa, sebelum pulang, semua ide gambar dalam kertas itu harus sudah digambar di layar." Lelaki yang duduk di belakang kursiku mengingatkan.

"Iya Kak." Aku menyahut pelan.

"Semangat, ya. Mereka suka usil kalau sama orang baru. Aku juga dulu seperti kamu. Nanti, mereka gak berani ngatur-ngatur kalau kamu dah lama di sini." Arsi memberikan semangat padaku. Membuatku kembali bersemangat.

Satu per satu dari mereka meninggalkan kursi, sementara aku masih berkutat dengan layar komputer.

Tiba-tiba saja, minuman dingin ditaruh di atas mejaku. "Jangan lupa makan," ujar suara maskulin.

Aku menoleh, ternyata masih pria yang sama, yang duduk di kursi belakangku.

"Iya, Kak." Aku mengangguk.

Pria itu menarik kursinya, dan duduk di sampingku. Ia menyodorkan kemasan keripik kentang. Aku menggerakkan telapak tangan ke kanan dan ke kiri, tanda menolak.

"Panggil saja, saya Said." Ia berbicara sambil mengunyah keripik. "Kalau istirahat begini sudah saja kerjanya. Kita makan ke kantin yuk."

"Terima kasih, tapi saya tidak lapar." Aku menolak, saat ini aku sedang berhemat dan tak ingin mengeluarkan uang sembarangan hanya untuk mengisi waktu luang.

"Baiklah, saya duluan, ya. Waktu istirahat nanti habis." Said meninggalkan ruangan. Aku kembali fokus pada pekerjaan.

***

Orang-orang itu telah kembali dari cafetaria dan menempati kursi masing-masing. Aku masih fokus pada pekerjaanku dan sesekali merentangkan tangan kala pegal dan mengantuk.

"Saya pulang duluan, ya." Arsi menepuk pundak, begitu pun dengan yang lain telah meninggalkan ruangan. Pekerjaanku belum selesai. Menggambar di layar komputer tak semudah yang aku bayangkan, harus teliti dan fokus. Apalagi ini gambar tiga dimensi.

Jam sepuluh malam tugasku berakhir, aku menyandarkan punggung ke kursi merasa mengantuk. Tidur sebentar mungkin tak masalah. Perlahan mataku tertutup.

Samar-samar suara, membuatku bangun terkejut, rupanya aku ketiduran. Bergegas aku membereskan peralatan langsung meraih tas untuk pergi.

Langkahku terhenti saat melihat dua orang di bawah sana. Di taman itu Presdir Daniel dan Falisa tampak adu mulut.

Melihat mereka berdua bertengkar aku merasa ngeri. Falisa perempuan yang pertama kali kulihat di sini mengarahkan pandangan padaku. Aku memalingkan pandangan, pura-pura tak melihat mereka.

Keluar dari lift jilbabku ditarik dari arah belakang, aku menjerit sakit oleh tarikan kuat tersebut. Ternyata yang menarik kerudungku Falisa.

"Kau yang membuat Daniel memutuskan hubungan denganku!" Ia hendak menampar, tetapi sebuah tangan menahannya. Aku melirik ke samping dan melihat Daniel menatap datar Falisa.

"Kamu ini memang perempuan gila, ya." Daniel mendesis.

"Kita tidak akan pernah putus, ingat itu. Orang tua kita telah menjodohkan kita!" Falisa berteriak.

"Itu orang tuamu. Ibuku tak menerimanya." Daniel terkekeh.

Falisa menjerit-jerit, Daniel pun menutup mulutnya.

"Hay kau! Tunggu pembalasanku! Kau akan menyesal pernah mendekati Daniel!"

Perempuan itu terus menunjukku meskipun tubuhnya diseret Daniel. Aku menatap ngeri tingkahnya.

***

Setelah tiba di kontrakan, aku langsung merebahkan tubuh di atas kasur. Perutku terus berbunyi, aku membuka mata dan ingat belum makan sedari pagi.

Memeriksa isi ruangan, tak ada secuil pun makanan. Terpaksa aku keluar kamar demi mencari makanan.

"Mang ... nasi gorengnya satu." Aku menunggu pesanan sambil melihat-lihat sekeliling. Dan terhenyak begitu melihat seseorang yang tampak familier.

"Arsi!"Aku memanggil saat yakin jika perempuan itu memang Arsi.

Perempuan yang sedang makan nasi goreng itu melotot padaku, ia membawa nasi gorengnya ke padaku.

"Dilara! Ngapain kamu di sini?" Ia tersenyum lebar, kemudian duduk di hadapanku, menaruh piring nasi gorengnya dan melanjutkan makan.

"Saya tinggal sekitar sini," jawabku.

"Saya juga." Arsi menyahut cepat.

Kami pun mengobrol sambil memakan nasi goreng masing-masing.

"Si ... kamu kenal dengan Falisa?" tanyaku.

Arsi memuntahkan nasi sampai menyembur ke wajahku. Membuat selera makanku menghilang.

"Tahu, dia pacarnya Bos yang posesif. Tak boleh Bos berbicara dengan seorang perempuan. Tapi banyak aja karyawan gatel yang nekat dekati Daniel. Lagian, cowok mana yang betah ama cewek posesif."

Aku manggut-manggut mendengar penjelasan Arsi.

"Kenapa kamu nanya?" tanyanya.

"Itu ... aku tak sengaja ketemu dengan Bos dan Falisa tak suka."

"Sudah gak aneh." Arsi menyahut dan melanjutkan makan.

"Memang benar mereka tunangan?"

"Iya." Arsi menyahut. "Tapi semoga Daniel meninggalkan Falisa beralih hati padaku, misalkan." Arsi tertawa.

"Iya sih, lebih mendingan kamu. Falisa seperti nenek sihir. Kasian Bos." Aku menimpali, kami pun tergelak tawa.

***

Baru kusadari ternyata selama ini aku berangkat bersama Arsi, ia berjalan di depanku. Serta menuju bus yang sama.

Aku mempercepat langkah dan berjalan di sampingnya. Ia menoleh padaku matanya melotot.

"Ya ampun! Dilara!" Ia memekik langsung memegang lenganku.

"Ternyata selama ini kita jalan bareng ya? Tapi tak saling menyadari." Aku tersenyum lebar.

"Iya, kah?" Arsi juga baru menyadarinya. "Baguslah kalau gitu, berarti kita bisa berangkat bareng tiap hari."

Sepanjang perjalanan menuju kantor kami berbincang, tak terasa telah sampai di tempat tujuan.

Kami memasuki partisi masing-masing begitu sampai kantor. Said yang telah berada di kursinya langsung menyapa kami.

Tibalah waktu istirahat. Seperti sebelum-sebelumnya, mereka mengganjal perut mereka di kantin, sementara aku, memilih diam di kursi.

"Tak ke kantin lagi?"

Aku menegakkan punggung ketika Said memajukan kursinya ke tempatku.

"Ti-d-a-k." Entahlah, setiap berdekatan dengan lelaki bukan mahram, aku selalu gugup, mungkin belum terbiasa.

"Kamu kok tak pernah makan?" Ia menatapku intens.

"Kamu sendiri? Kenapa masih di sini?"

"Malas ke kantin." Ia menjawab datar. Kemudian meluncur kembali dengan kursi hidroliknya ke tempatnya.

Aku mengeluarkan bekal makan siang dan mulai memakannya, karena merasa lapar.

"Bagi dong makanannya."

Aku lupa bahwa Said masih berada dalam ruangan.

"Kamu mau? Ini hanya nasi dan tahu." Aku memperlihatkan isi rantang.

Said meluncurkan kursi rodanya. Ia mengambil tahu satu-satunya di rantang dengan jemari lalu menyuapkan ke mulut sendiri.

Aku jengkel dengan tingkahnya, kini hanya tersisa nasi tanpa lauk, merasa marah, aku meletakkan rantang di meja. Wajah Said biasa saja bahkan ia tersenyum.

"Tahunya enak sekali." Dengan tanpa dosanya lelaki itu berkata.

"Itu satu-satunya lauk saya. Kamu perampok! Saya lapar!" Aku berteriak.

Said memuntahkan tahu itu ke telapak tangannya, dan menyodorkan padaku. Seketika perutku bergolak, aku mual dan menahan muntah menutup mulut, kemudian berlari mendekati wash tafel memuntahkan isi perut di sana.

"Kamu jorok! Lelaki jorok!" Aku menghentakkan kaki merasa emosi.

Said menaruh muntahan tahu itu di nasi dalam rantangku, aku memekik langsung berlari mengarahkan tinju pada wajahnya dan mengenai sasaran. Pria itu terjungkal dari kursinya. Alih-alih kesakitan, Said justru tergelak tawa.

"Kurang ajar, kamu ya!" Aku bertolak pinggang, merasa sangat marah dan mulai memukulinya. Sambil tertawa-tawa, Said menutup tubuhnya menghalau pukulanku.

Anak-anak datang, mereka berdiri di ambang pintu terdiam, menyaksikan apa yang aku lakukan bersama Said.

Aku dan Said segera duduk dan kembali ke kursi masing-masing.

"Apa yang kamu lakukan?" Sudah kuduga Arsi pasti bertanya.

Aku membuang nasi dari rantang ke tong sampah, lalu menggeleng.

"Tak ada, dia selalu usil." Aku menjawab pelan.

Arsi menahan senyum kemudian kembali pada tugasnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!