Hai Readers, selamat menikmati novel perdana ku ya.. Jangan lupa komen biar author makin semangat untuk berkarya, Kritik dan saran yang mendukung akan Author terima. Semoga rejeki kalian selalu dilancarkan...
*Drrrt tig tung ting Drrtt drrtt..
Bunyi getar nada dering ponsel yang menyala di atas kasur. Tapi sang empu masih belum segera mengangkat telpon dari sebrang sana.
Ternyata Maritsa sedang mengayunkan alat penggorengan dengan lincahnya sampai tidak mendengar dering ponsel yang sedari tadi berbunyi di kamar.
Hari sabtu memang Maritsa sedang libur bekerja berbeda dengan suaminya, Zafran yang tetap aktif bekerja di hari sabtu. Mereka memang bekerja di perusahaan yang berbeda.
Maritsa memutuskan untuk memasak menu spesial kesukaan Zafran yaitu sop iga karena hari ini adalah hari Anniversary pernikahan mereka yang pertama.
"Ah..Akhirnya selesai juga. Hmm.. aromanya wangi banget. Zafran pasti suka dan nambah-nambah terus."
Maritsa tersenyum sambil membayangkan sang pujaan hati lahap saat menyuap masakannya. Dia juga berharap nanti akan ada kejutan untuknya dari sang suami tercinta.
Setelah selesai memasak dan mematikan kompor, rupanya Maritsa baru mendengar ponsel nya berbunyi. Dia berjalan menuju kamarnya dan segera menyambar ponsel kesayangannya. Tapi ketika akan diangkat, panggilan itu sudah terputus.
Ternyata sudah 3 kali panggilan itu tak terjawab. Ketika melihat notifikasi yang tertera di layar ponsel, Tiara mengerutkan keningnya.
"Astaga, Zafran sampai menelpon 3 kali dan aku gak dengar, biar aku telpon balik saja."
Belum juga menekan tombol pada layar, pujaan hatinya itu kembali menelpon. Maritsa segera mengangkat telpon itu dengan senyuman lebar di wajahnya.
"Halo assalamualaikum sayang, maaf ya aku lagi masak jadi gak...."
Sebelum Maritsa melanjutkan obrolannya, tiba-tiba di sebrang sana sudah menjawab. Tapi ada keanehan ketika suara sang pujaan hati begitu formal dan nadanya tidak seperti biasa.
"Halo waalaikumsalam. Selamat siang, dengan keluarga Bapak Zafran Alfaro?"
"I.. iya betul saya istrinya, ada yang bisa saya bantu? Kenapa HP suami saya ada pada anda?" Maritsa berusaha mencari tau kepada sang penelpon.
Maritsa mengerutkan keningnya kembali. Kenapa ponsel Zafran ada di tangan orang lain? Apakah ponselnya terjatuh dan tidak sengaja ditemukan oleh orang itu?
"Maaf Bu, Kami dari kepolisian, mengabarkan jika Bapak Zafran Alfaro sedang mengalami kecelakaan. Saat ini masih dalam proses evakuasi, kami akan mengirimkan lokasi kejadian dan dimohon agar ibu datang ke lokasi untuk membantu proses selanjutnya."
Seperti disambar petir disiang bolong. Tangan dan kaki Maritsa bergetar hebat, rasanya air mata sudah enggan menunggu untuk jatuh dari tempatnya. Dada yang begitu sesak seakan melemahkan otot kaki nya untuk berdiri.
Perutnya pun tiba-tiba terasa kram dan didudukkan tubuhnya diatas kasur untuk menetralisir rasa shock nya.
Maritsa terus berdzikir dan berdoa agar dikuatkan hatinya saat ini. Sembari mengelus perutnya yang sedikit membuncit. Dia segera mengambil air minum.
Setelah meneguk segelas air putih, Maritsa langsung menyambar kunci mobil nya.
Ya, saat ini memang tidak ada siapa-siapa untuk diajak ke lokasi kecelakaan. Karena memang Maritsa dan sang suami tinggal berdua saja di kawasan perumahan yang memang lingkungannya menjunjung tinggi privasi masing-masing.
Jarak rumah mertua juga lumayan jauh dan memakan waktu hingga setengah jam.
Jika meminta bantuan temannya, takut merepotkan. Akhirnya Maritsa memutuskan untuk menyetir sendiri ke lokasi kejadian.
Dengan terus berdoa, berharap sang suami baik-baik saja dan dia juga sampai tujuan dengan selamat. Meskipun air matanya enggan berhenti, dia tetap fokus dalam mengemudi. Semoga Tuhan selalu melindungi nya saat ini yang sedang kacau.
Di kehamilan yang ke 6 bulan ini Maritsa memang mandiri, masih menyetir mobil sendiri saat pulang pergi bekerja. Jadi dia sudah terbiasa.
Maritsa menuju area puncak di kabupaten Mojokerto tepatnya di desa Pacet. sesuai arahan lokasi dari polisi. Jalanan yang lumayan menanjak membuat dia sangat berhati-hati. Beruntungnya dia tau haluan daerah ini karena memang dia pernah berwisata dengan teman-teman sekantornya.
Dalam benaknya kini menyimpan banyak tanda tanya, kenapa suami nya berada di lokasi ini sedangkan seharusnya Zafran berada di kantor. Rasanya tidak mungkin jika Zafran ada dinas luar yang mengharuskan untuk pergi ke arah puncak. Tapi Maritsa harus tetap berfikir positif demi kewarasannya.
Sekitar 1 jam berkendara, Maritsa tiba di lokasi. Dia berjalan pelan mengingat kandungannya yang sudah berada di trimester ke 2.
"P...Pak polisi bagaimana keadaan suami saya? Kenapa tidak langsung dibawa kerumah sakit? Dimana suami saya sekarang?" Maritsa mencecar pertanyaan kepada polisi yang berjaga saat mengevakuasi korban. Air matanya benar-benar terkuras habis.
Pak polisi yang kaget melihat Maritsa yang tengah hamil berusaha memberikan kekuatan agar bersabar. Polisi tersebut menyerahkan Ponsel beserta tas yang ternyata milik Zafran dan dengan pelan menjelaskan sedikit kronologi kejadian.
"korban masih berada di dalam mobil Bu, saat ini kami berusaha mengevakuasi korban. Ibu yang sabar. Silahkan duduk disini sebentar dan ini ada air mineral, silahkan di minum agar Ibu merasa tenang." Pak Polisi menjelaskan dengan pelan agar Maritsa tetap tenang.
Namun tetap saja, Maritsa sangat khawatir dan takut akan kemungkinan yang terjadi pada suaminya. Dia menggenggam erat pakaiannya. keringat dingin sudah mulai menetes disekujur tubuhnya. Air matanya pun juga tak henti-hentinya mengalir di pipi halusnya hingga kerudung nya pun terlihat basah. Sesekali dia berdiri dan mengamati jalannya proses evakuasi.
Setelah serangkaian proses evakuasi yang memakan waktu lumayan lama, Polisi yang mengevakuasi korban menyatakan jika kedua korban sudah dalam kondisi tidak selamat.
Seketika tubuh Maritsa seperti kehilangan tulangnya. Dia terhuyung, tapi beruntung Polisi yang berada di sebelahnya cepat tanggap dan menuntunnya untuk duduk kembali.
Maritsa berusaha kuat dengan selalu berdzikir dan berdoa.
"Ya Allah, ujianMu begitu berat. Mampukah hambaMu yang lemah ini menjalani semua nya?" Lidahnya terasa kelu, dia hanya mampu bergumam dalam hati.
Ketika kedua korban dimasukkan ke dalam ambulance, banyak pertanyaan yang berada di benak wanita cantik itu. Mengapa korbannya ada 2 yang berada di mobil, Sedangkan itu murni kecelakaan tunggal.
Kedua netra Maritsa membola dan semakin shock saat melihat jenazah suaminya beserta wanita lain yang ternyata punya masa lalu dengan suaminya itu. Tiara sangat mengenalnya karena mereka dulu sangat dekat.
Maritsa sudah tak sanggup lagi dan akhirnya...pingsan.
sanggupkan Maritsa menanggung semua ini sendiri...?
Bagaimana nasib anaknya yang nanti lahir tanpa didampingi seorang ayah?
Nantikan kelanjutan kisahnya ya..
Author usahakan agar bisa update tiap hari ^_^
Happy Reading..
**Nama dan Lokasi hanya gambaran saja, jika ada kesamaan murni hanya kebetulan semata.
Flashback On
"Hiks hiks... Zafran.." Terdengar suara isakan wanita dari sebrang sana.
"Fiona? Apa yang terjadi? Ada masalah apa sampai-sampai kamu menghubungiku lagi?" Tanya Zafran penasaran. Dia menunggu jawaban dari Fiona. mantan kekasih nya yang tiba-tiba menelponnya lagi setelah sekitar dua tahun mereka tidak berkomunikasi.
"Aku gak sanggup lagi Zaf, aku menyerah." Fiona semakin mengeraskan tangisannya.
"Tunggu, bukannya kamu sudah bahagia dengan lelaki kaya raya itu?"
"Aku benar-benar menyerah Zaf, aku gak bisa hidup dengannya tanpa adanya rasa cinta. Uang bukan jaminan kebahagiaanku saat ini. Dia begitu acuh dan dingin. Aku benar-benar tidak tahan dengan sikapnya." Fiona meluapkan semua isi hatinya.
"Terus apa yang mau kamu lakukan? Kamu tidak mungkin minta pisah begitu aja kan? Ingat Fio, pernikahan itu bukan permainan. Gini aja, kamu coba ngomong baik-baik sama suami kamu. Bicara dari hati kehati, aku yakin kalian akan menemukan jalan keluar yang terbaik."
"Aku gak bisa Zaf, aku belum siap. Tolong aku Zaf, untuk saat ini yang aku butuhkan cuma kamu. Aku hanya ingin berkeluh kesah. Aku ingin ketemu sama kamu. Ku mohon!" Suara Fiona semakin pelan. Tangisnya kini terdengar hanya isakan saja.
"Maaf Fio, aku gak bisa. Aku lagi bekerja sekarang."
"Jadi kamu gak mau ketemu aku lagi Zaf? Kamu udah gak mau bantu aku lagi. Padahal satu-satu nya orang yang aku percaya cuma kamu Zafran. Bahkan orang tuaku tidak tau apapun dengan masalah ku. Please Zaf, kumohon.. hanya kali ini saja..." Fiona kembali menangis sesenggukan.
Zafran bimbang, sebenarnya dia tidak ingin betemu lagi dengan Fiona, tapi dia jadi khawatir dengan mantan kekasih nya itu. Zafran takut jika Fiona akan melakukan hal-hal yang bisa mencelakai dirinya sendiri.
"Ya sudah, kalau begitu aku ijin ke Bos ku dulu ya. Kamu share lokasi aja nanti aku jemput disana." Zafran yang merasa tidak tega melihat keadaan Fiona, dia pun memutuskan untuk menemui orang yang pernah berada dihatinya dulu.
Dengan alasan mengantar istrinya kontrol ke dokter kandungan, akhirnya Zafran mendapatkan ijin dari atasannya.
Dia bergegas menuju parkiran untuk mengambil mobil.
Sekitar 10 menit dia sudah berada di lokasi dimana Fiona menunggunya. Senyum di bibir Fiona semakin mengembang ketika Zafran berjalan ke arahnya.
"Fiona, apa kita bisa pergi ke tempat lain? Aku takut jika ada yang melihat kita berdua dan nanti akan jadi salah paham."
"Emm, gimana kalu kita ke cafe puncak langit? Aku rasa disana tempat yang tepat buat aku melupakan kesedihanku."
Zafran tersenyum dan langsung membukakan pintu mobil untuk Fiona. Fiona sangat senang merasa diperhatikan seperti itu walau hanya sebatas perhatian kecil.
"Aku tau kamu masih sayang sama aku, Zaf." Ucap Fiona dalam hati.
Mereka berdua menuju kafe kawasan puncak gunung yang dulunya tempat mereka menghabiskan waktu saat masih berpacaran.
Setelah sampai, mereka duduk di bangku paling pojok dekat tepian jurang. Pemandangan yang indah dan udara yang sejuk menjadikan hati yang gundah akan merasa lebih tenang.
"Fio, sebenarnya apa yang terjadi? Apa kalian bertengkar?"
"Zaf, kamu tau kan aku menikah dengan Zacky karena perjodohan? Kami menikah karena terpaksa. Papa ku ingin perusahaannya berdiri dengan sehat. Mau tidak mau aku harus menuruti keinginan papaku. Dengan adanya pernikahan kami, kerjasama perusahaan akan terjalin dengan erat. Apalagi papa ku punya hutang budi dengan mendiang ayahnya Zafran , jadi pernikahan ini gak bisa aku hindari. Tapi apa yang aku rasakan sekarang? Zafran sangat acuh sama aku. Sikapnya begitu dingin. Aku gak tahan dengan sikapnya. Sakiit Zaf, sakiit." Fiona meluapkan sesak didadanya.
Zafran mengusap pucuk kepala Fiona agar mantan kekasihnya itu bisa sedikit lebih tenang.
Zafran dan Fiona dulu saling mencintai. Mereka bertemu pertama kali saat menjadi mahasiswa baru di kampus. Kedekatan mereka terjalin karena mereka satu kelompok semasa ospek. Dari situlah benih-benih cinta itu muncul.
Saat itu Zafran memilih jurusan Manajemen keuangan dan bisnis, satu kelas dengan Maritsa Sedangkan Fiona memilih Manajemen pemasaran. Meskipun tidak satu jurusan, tapi mereka tetap menjalin hubungan dengan baik.
Maritsa adalah sahabat Zafran dari SMA, saking dekatnya banyak yang mengira jika Maritsa dan Zafran memiliki hubungan khusus. Tapi pada kenyataannya, Zafran malah menjalin kasih dengan Fiona.
Maritsa adalah gadis yang cerdas, dia diterima di kampus ini juga karena jalur prestasi. Berbeda dengan Zafran dan Fiona yang memang berasal dari keluarga yang lumayan berada. Banyak sekali yang tertarik dengan Maritsa, namun tidak ada yang berani mendekat karena Zafran selalu menjadi pawangnya.
Sewaktu kuliah, mereka bertiga sangat dekat. Bahkan Maritsa sering membantu mereka berdua saat pergi berkencan. Tentu saja, orang tua Fiona sangat ketat karena Fiona adalah anak tunggal pewaris perusahaan yang dirintis ayahnya. Zafran sering kali merengek ke Maritsa untuk meminta bantuan agar dia bisa pergi berdua dengan Fiona Karena merasa kasihan dengan sahabatnya itu, Martsa selalu menuruti keinginan Zafran. Dia harus rela menjemput Fiona di rumahnya agar Fiona diijinkan pergi.
Setelah Zafran dan Fiona bertemu, Maritsa biasanya langsung pergi sendiri atau dia mengajak teman wanita nya yang lain agar tidak menjadi obat nyamuk.
Kembali ke masa sekarang...
Pesanan mereka sudah datang, Zafran masih hafal betul menu favorit Fiona di kafe itu. Fiona lagi-lagi tersenyum takjub karena merasa Zafran masih menyimpan perasaan untuknya.
"Zaf, aku mau tanya sesuatu sama kamu."
"Heem, tanya aja." Jawab Zafran singkat sambil mengaduk-aduk minumannya dengan sedotan.
"Zaf, apa kamu masih menyimpan rasa itu?" Fiona tersenyum penuh arti. Dia berharap Zafran akan merespon pertanyaannya.
"Hei Fio, ayo lah.. aku kesini itu pengen dengerin keluh kesahmu. Ceritakan semua uneg-uneg yang kamu simpan. Biar kamu merasa tenang." Zafran yang tak mau mengingat masalalu itupun langsung mengalihkan pembicaraan.
"Zaf, aku bingung pernikahanku dengan Zacky ini apa pantas disebut dengan pernikahan? Dia selalu cuek dan diam. Dia selalu sibuk dengan pekerjaannya. Aku hanya dikasih uang uang dan uang. Tapi bukan itu yang aku butuhkan Zaf, aku hanya ingin dicintai, disayangi seperti yang kamu lakukan dulu.." Fiona menghela nafas panjang sebelum melanjutkan ceritanya.
"Kamu tau Zaf, tiap malam aku tidur sendiri. Padahal aku membayangkan malam-malam ku akan bahagia seperti pasangan pada umumnya. Memang aku salah. Pada awalnya aku menolaknya untuk memberikan keturunan. Pada awal menikah aku sudah berkomitmen untuk tidak memiliki anak dengannya karena saat itu aku memang belum bisa menerimanya Zaf, aku belum mencintainya. Tapi bukan berarti dia harus mengacuhkanku sampai sekarang. Aku benar-benar ingin di hargai, ingin diperhatikan. Sama seperti halnya kamu dulu yang selalu perhatian sama aku. Kamu selalu memberikan kenyamanan. Kamu sangat berbeda Zaf."
Mendengar kata-kata terakhir Fiona, Zafran merasa kurang nyaman. Sebisa mungkin dia tidak terpancing dengan keadaan.
"Apa kamu sudah berusaha minta maaf sama Zacky? Aku rasa kalian hanya salah paham pada awal-awal pernikahan kalian. Tapi aku yakin kalian bisa memperbaiki nya."
"Tapi aku bingung memulainya dari mana? Dia terlalu sibuk mengurus perusahaannya dan perusahaan ayahku." Jawab Fiona sekenanya.
"Kalau gitu begini saja, nanti sepulang Zacky bekerja, kamu sambut dia, kamu masakin dia, kamu layani dia. Cobalah bicara dari hati ke hati. Aku yakin nanti hatinya akan luluh." Zafran memberi solusi agar Fiona berusaha mengalah.
"Apa aku bisa memulainya Zaf, sedangkan sampai saat ini aku belum bisa melupakanmu? Apalagi kamu semakin tampan Zaf, rasanya susah untuk berpaling darimu." Fiona hanya bermonolog dalam hati.
"Hei,, Fio.. haloo, kok malah ngelamun."
Zafran menggerakkan telapak tangannya di depan wajah Fiona.
"Eh iya maaf Zaf. Oh ya, aku pengen teriak di jurang ini boleh gak?"
"Kalau itu bisa membuatmu lebih lega, ya silahkan."
Fiona berdiri dan berteriak melepaskan semua beban dihatinya. Dia tidak peduli orang-orang disekitarnya memandang aneh kearahnya.
"Sudah lega? Ayo duduk lagi. Lihat tuh orang-orang pada ngeliatin kamu. Takutnya mereka mengira kamu sedang depresi lagi hehehe."
"Zafran.. jahat banget sih. Masak aku dikatain depresi. Eh tapi makasih banyak ya, berkat kamu aku sudah agak mendingan."
"Yaudah, ayo kita pulang. Aku harus balik ke kantor. Gak enak sama si Bos." Mereka segera menghabiskan sisa minuman dan bergegas pulang. Sesekali mereka bercanda tawa sebelum akhirnya kembali ke mobil.
*Di dalam mobil..
Zaf, kamu belum menjawab pertanyaanku tadi."
"Hah yang mana? Kamu tanya apa?"
"Emm, apa kamu masih menyimpan perasaan buatku meskipun sedikit?"
"Fio, ayolah move on. Kita sama-sama sudah berkeluarga. Kamu tau sendiri kan aku sudah memiliki Maritsa. Bahkan bayi kami sebentar lagi akan lahir. Dengerin aku.!! Aku kesini itu niat bantuin kamu, dengar keluh kesah kamu. Kasih kamu solusi agar hubungan kamu sama Zacky kembali harmonis. Itu saja Fiona."
"Tapi Zaf, aku gak bisa lupain kamu. Aku sangat mencintaimu. Aku yakin pasti kamu juga merasakan hal yang sama. Kita bisa memulainya kembali Zaf. Aku yakin aku akan menjadi wanita yang sangat bahagia jika kamu mau menerimaku lagi."
"Fiona, sudah cukup ya. Aku gak mau bahas masalah ini lagi."
"Gak Zaf, kamu harus mau. Percaya sama aku, hubungan ini gak akan ada yang tau. Aku gak mau kehilangan kamu lagi. Kita harus bersatu." Fiona kembali menangis mendengar penolakan Zafran.
"Fio. Cukup!! Aku gak mau menghianati Maritsa. Aku sangat mencintainya. Gak ada wanita lain dihatiku sekarang selain Maritsa." Zafran semakin menekankan ucapannya.
"Oke, kalau aku gak bisa dapetin kamu lagi, jangan harap Maritsa juga bisa bahagia sama kamu. Gak ada orang lain yang boleh miliki kamu Zaf."
Fiona merebut setir yang dikemudikan Zafran.
"Fio, apa kamu sudah gila. Kita akan mati. MINGGIR!!"
"Gak Mau, kita akan pergi ke surga berdua sayang."
"Fio, jangan gila..kamu harus sadar! Kita bisa mati konyol disini."
Mereka bertengkar hebat. Aksi tarik menarik setir mobil mengakibatkan laju mobil tak tentu arah. Saat jalanan menurun, mobil hilang kendali dan mereka berdua masuk kedalam Jurang..
Flashback Off
Setelah tak sadarkan diri, Maritsa langsung dibawa ke rumah sakit. Tak ada yang menjaganya kala itu. Orang tua Zafran yang berhasil dihubungi Polisi pun langsung mengurus kepulangan jenazah setelah di autopsi.
Maritsa yang masih tertidur pulas di brangkar rumah sakit dengan kondisi lemah, infus pun harus dipasang di tangannya.
30 menit kemudian, tiba-tiba ada dua lelaki yang masuk kedalam ruangan dimana Maritsa dirawat. Mereka adalah Zacky dan Dion, asisten Zacky.
"Kasihan sekali.! Aku gak habis fikir kenapa Zafran berani menemui Fiona. Jelas-jelas istrinya sudah sesempurna ini dan sedang mengandung buah hatinya." Batin Zacky. Dia hanya diam mematung menyaksikan Maritsa yang tak sadarkan diri.
"Pak Zacky, ada yang bisa saya lakukan untuk anda saat ini?" Tanya Dion, asistennya itu dengan setengah menunduk.
"Cari info tentang mereka bertiga di masa lalu tanpa ada yang terlewat. Cepat dapatkan rekaman CCTV yang ada di kafe itu maupun di lokasi kejadian. Dan satu lagi, urus juga jangan sampai ada media satupun yang meliput berita ini." Jawab Zacky dengan datar.
"Baik Pak. Laksanakan."
Semenjak Maritsa datang ke lokasi kejadian, Zacky terus saja memperhatikan Maritsa, sunguh hatinya merasa tercubit ketika tau ada yang lebih terpuruk darinya.
Setelah puas memandangi Maritsa yang masih terlelap, Zacky langsung pergi membalikkan badan tanpa sepatah kata apapun. Di otaknya pun berkecamuk beberapa pertanyaan.
***
Sekitar 4 jam Maritsa tak sadarkan diri, dia kini mulai membuka matanya. Dia melihat atap ruangan dan mengedarkan pandangan di sekelilingnya yang serba putih. Tak ada satu orang pun disana.
Maritsa memang yatim piatu saat dia kuliah. Orang tuanya meninggal bergantian karena sakit. Yang dimilikinya sekarang hanya Bu Lek Hawa, adik dari ibunya. Hawa sendiri masih menjadi TKW di Singapura.
Maritsa membuka tas dan mengambil ponselnya. sayup-sayup matanya karena masih terasa pusing dan kondisinya yang masih lemah. Dia berusaha meraih benda pipih itu lalu menekan tombol telpon. Hatinya tidak baik-baik saja, air mata pun selalu lolos di pelupuk matanya karena bayang-bayang wajah Zafran dan Fiona masih terus berputar di ingatannya.
"Halo, Assalamualaikum Nduk.. Apa terjadi sesuatu padamu?? Perasaan tante mendadak tak enak. Dari tadi siang Bu Lek menelponmu Tapi tak ada jawaban." Suara Hawa terdengar dari sebrang sana.
"Bu Lek... aku..." Maritsa tangannya bergetar. lidahnya begitu keluh untuk menyampaikan kondisinya.
Hawa yang merasa ada keanehan pada ponakannya itu, seketika merubah panggilan telpon ke mode panggilan video.
"Nduk kamu dirumah sakit? Apa yang terjadi? Kandunganmu tak apa-apa kan?" Hawa khawatir lantaran dia melihat Maritsa tidur di brangkar rumah sakit dan ada infus disana.
"Maritsa gak apa-apa Bu Lek. tapi Zafran... Zafran kecelakaan. Dia... hiks hiks ..hiks.." Maritsa tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Dadanya begitu sesak.
Seperti kena serangan dadakan, Hawa terkejut dan terus menenangkan ponakan kesayangannya itu. Hawa belum berani bertanya lebih jauh. Dia membiarkan Maritsa menangis agar hatinya merasa sedikit lega.
Setelah Maritsa sanggup bercerita, Hawa memberikan semangat dan saran untuk Maritsa.
"Oh ya Nduk, kontrak Bu Lek disini tinggal sebulan lagi. Bu Lek ingin pulang ke indonesia dan menemani kamu Nduk. Kehamilanmu sangat rentan, Bu Lek jadi khawatir. Bu Lek akan coba mengajukan kepulangan Bu Lek dalam minggu ini jika memungkinkan. Doakan ya Nduk, Bos nya Bu lek mengerti kondisi kamu dan mengijinkan Bu Lek pulang secepatnya."
Maritsa hanya menganggukkan kepalanya. Saat ini dia memang membutuhkan seseorang berada di sampingnya.
Setelah mengakhiri telpon itu, dia teringat lagi kejadian di puncak. Dia masih bertanya-tanya kenapa Zafran dan Fiona bisa berduaan disana. Kepala Maritsa semakin pusing. Hanya berdzikir yang bisa lakukan saat ini untuk menenangkan hatinya.
Tak lama kemudian, dokter dan perawat masuk ke kamar Maritsa untuk memeriksa kondisinya.
"Alhamdulillah Ibu sudah sadarkan diri. Saya yakin Ibu memang wanita yang kuat. Bu Maritsa ini ada vitamin untuk Ibu agar kondisi Ibu dan Janin Ibu semakin membaik. Nanti biar makan dan minum obatnya dibantu sama suster. Sementara hari ini Ibu tetep disini agar mendapatkan perawatan sampai Ibu benar-benar pulih. Saya harap Ibu ikhlas dan tidak terlalu over thinking demi janin yang ada dikandungan Ibu. Maaf bu, apa ada keluarga yang bisa dihubungi saat ini?"
"Terimakasih Dokter dan suster sudah merawat saya. Kebetulan saya tidak punya saudara disini Mertua saya juga pasti sibuk mengurus jenazah suami saya." Jawab Maritsa dengan sendu.
"Ya sudah tidak apa-apa Bu, biar nanti suster yang akan membantu Ibu jika membutuhkan sesuatu." Dokter pun pamit meninggalkan ruangan dengan sedikit menundukkan kepala.
Sedangkan suster langsung sigap membantu Maritsa makan dan menyiapkan obat.
"Terimakasih ya Sus. Suster sudah banyak membantu saya."
"Bu Maritsa, ini sudah menjadi tanggung jawab kami. Jika Ibu membutuhkan sesuatu tidak perlu sungkan memanggil kami. Sekarang ibu mau istirahat atau ke kamar kecil dahulu? biar saya antar."
"Kebetulan saya mau ke kamar kecil Sus, terimakasih."
Setelah semua rampung, Suster pamit untuk keluar ruangan. Maritsa yang merasa kesepian sendiri di kamar, dia mengelus perut buncitnya dan mengajak bicara calon bayi nya.
"Anak bunda yang pinter, baik-baik ya, kamu harus kuat. Jagoan Bunda harus tahan banting. Biar nanti kamu bisa jagain Bunda." Maritsa tersenyum getir mendengar kata-katanya sendiri.
Bayinya seketika bergerak seolah merespon apa yang diucapkan Maritsa membuat nya semakin terharu.
Beruntung hari sabtu Maritsa libur, besok juga masih aman jadi dia tidak bingung untuk ijin ke atasannya. Mungkin hari senin dia baru mengambil cuti libur karena harus mengurus pengajian dirumahnya.
***
Di Singapura..
"Tuan, saya mau ijin berpamitan minggu ini apakah bisa? Mohon maaf sebelumnya, saya ada keperluan yang benar-benar serius dan tidak bisa ditunda." Setelah menceritakan semua yang terjadi kepada Bos nya, Hawa berharap bisa pulang ke tanah air dengan cepat.
Beruntung Bosnya itu sangat baik hati. Dia langsung mengiyakan permintaan Hawa.
"Hawa, sebelum kamu kembali ke Indonesia, saya ingin menanyakan lagi soal tawaran saya tahun lalu. Apakah kamu masih mempertimbangkan tawaran saya untuk memperistri kamu? Saya tidak yakin bisa menjalani hidup sendiri disini."
Hawa terlihat gugup mendengar ucapan Garry meskipun berulang kali bosnya itu mengutarakan niatnya. Dia masih belum bisa menjawabnya sekarang.
"Entahlah Hawa, saya khawatir akan susah mencari pengganti sepertimu yang jujur dan sopan. Saya juga sudah mulai nyaman dengan keberadaanmu. Tapi saya juga tidak bisa egois, saya harus melepaskan kamu demi keponakanmu. Satu hal yang harus kamu ingat, jika kamu perlu bantuan apapun, kamu bisa langsung hubungi saya. Terimakasih banyak ya, saya sudah berhutang budi banyak sama kamu."
"Tidak Tuan, jangan bilang seperti itu, saya lah yang berhutang budi sama Tuan, karena Tuan selalu membantu saya. Saya bersyukur dipertemukan dengan orang sebaik Tuan. Tapi mohon maaf sekali lagi, saya tidak bisa menerima pinangan Tuan, saya benar-benar sadar diri Tuan. Sekali lagi saya mohon maaf."
Garry, Bos Hawa yang memang sudah duda setahun yang lalu. Dia ditinggal sang istri karena menderita kanker rahim yang dideritanya. Hawa bekerja sebagai perawat istri Garry dan membantu Gerry di kehidupan sehari-hari selama tiga tahun ini. Hawa orangnya jujur, cantik, telaten dan sabar, jadi Garry sangat menyukainya. Tapi sayangnya, tawaran Garry tidak pernah diterima Hawa.
Kini Garry membantu Hawa untuk memesankan tiket pesawat agar Hawa segera kembali ke Indonesia. Tidak lupa juga dia mentransfer sejumlah uang sebagai tanda terimakasih.
***
Hari ini Maritsa pulang ke rumah dengan taksi online. Berkat dokter dan suster yang merawatnya, dia bisa kembali pulang. Di rumah tiara masih sepi karena tidak ada seorang pun yang tau kejadian itu.
Insiden itu seperi lenyap seketika bahkan tidak ada satu media pun yang meliput.
"Mungkin saja keluarga Fiona sudah menutup rapat kejadian itu. Keluarga mereka sangat berpengaruh. Pasti mereka juga tak ingin aib ini jadi konsumsi publik." Maritsa bergumam pelan. Dia bersyukur atas apa yang dilakukan keluarga Fiona, semoga aib ini akan tertutup rapat selamanya.
Maritsa ingin sekali pergi ke rumah mertuanya dan ke pemakaman suaminya. Tapi tenaganya benar-benar terkuras habis dan dia harus beristirahat.
Dia segera ijin ke Bosnya lewat telpon untuk mengambil cuti 5 hari dan mengabarkan kalau suaminya sudah meninggal. Dia juga mengabarkan kondisinya di grup kantor, sontak semua rekan kerja nya sangat terkejut mendengan kabar itu karena memang tidak ada satu pun berita yang berseliweran di media.
***
Keesokan harinya, Hawa datang. Tiara langsung memeluk erat Bu Lek nya itu dan menangis sejadi-jadinya. Dia tumpahkan seluruh air matanya agar hatinya lega. Hawa yang enggan bertanya satu kata pun hanya bisa mengusap lembut punggung ponakan satu-satunya itu.
Setelah dirasa Maritsa sudah tenang, Hawa memberikannya air putih.
"Maaf ya Bu Lek, hausnya aku yang menyuguhkan minuman ke Bu Lek. ini malah kebalik." Maritsa Tersenyum getir menatap Hawa.
"Sudahlah Nduk, tidak apa-apa. Yang penting kamu lega. Ingat pesan Bu Lek. sedih boleh, tapi kamu harus tetap ikhlas. Ada janin yang harus kamu jaga, jadi kamu harus kuat." Ucap Hawa sambil mengusap air mata Maritsa.
Dia berjanji akan menjaga Maritsa di sisa hidupnya. Ini saatnya dia membalas budi kebaikan kakaknya yang dulu merawat Hawa sampai besar. Bahkan Hawa berhutang budi kepada mendiang orang tua Maritsa karena sudah menolongnya dari mantan suaminya yang ingin menganiayanya.
Mereka mengobrol dan bertukar cerita untuk melepas kangen setelah 8 tahun tidak bertemu hingga keduanya terlelap dalam mimpi karena kelelahan.
Keesokan harinya, Maritsa dan Hawa menuju rumah mertua dan pemakaman Zafran.
"Assalamualaikum Ma, maafkan Maritsa baru bisa kesini sekarang." Dia menangis dan memeluk Mona, mertuanya.
"Tidak apa-apa nak, Mama mengerti. Mama juga minta maaf sama atas apa yang Zafran lakukan. Mama sungguh malu sama kamu Nak. Mama minta maaf juga karena tidak bisa menjaga kamu di rumah sakit. Mama sibuk mengurus jenazah Zafran. Tamu di rumah juga semakin banyak yang berdatangan, tidak mungkin Mama meninggalkan mereka. Ya sudah ayo masuk dulu Nak. Mari Jeng Hawa silahkan duduk."
Ketika masuk kerumah Zafran sorot mata Zetta, kakak ipar Maritsa menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Terlihat dia sangat membenci Maritsa. Tapi dia tidak mau berfikiran terlalu jauh. Dia langsung duduk dan ikut menerima tamu disana.
Setelah terlihat tamu sudah mulai sepi, Maritsa masuk ke kamar milik Zafran. Sedangkan Mona dan Hawa masih berkutat di dapur.
Maritsa membaringkan tubuhnya di kasur yang empuk itu, kasur yang sudah lama tidak dihuni karena Zafran sudah berpindah ke rumah barunya dengan Maritsa. Diraihnya foto Zafran semasa muda yang dipajang di atas nakas. Dipandanginya lekat-lekat foto mendiang suaminya itu. Seketika air matanya langsung menetes.
"Sayang, aku tau kamu berbuat salah. Bahkan sampai saat ini aku tidak tahu kejadian yang sebenarnya seperti apa. Tapi aku yakin itu semua bukan sepenuhnya salah kamu. Biarkan rasa sakit ini aku pendam sendiri. Semoga kamu bahagia di surga. Mungkin ini memang takdir kamu dan Fiona yang sudah digariskan Tuhan untuk bersama. Aku akan menjaga jagoan kecil kita sepenuh hati." Maritsa benar-benar ikhlas demi kewarasannya walau pun itu sulit.
Namun beberapa saat, pintu kamar Zafran dibuka seseorang. Maritsa langsung menoleh dan mengusap air matanya dengan cepat.
Zetta, kakak Zafran itu langsung masuk dan segera menutup kembali pintu kamar Zafran.
"Kamu senang kan akhirnya Zafran Mati? Kamu juga bisa menguasai uang adik ku sepenuhnya. Gara-gara kamu gak becus melayani adikku, sampai-sampai dia pergi dengan wanita lain. Gara-gara kamu juga, Zafran jadi pelit sama aku. Dasar benalu!! Kenapa dulu Zafran gak nikah aja sama Fiona yang sudah jelas kaya raya." Tatapan Zetta seaakan menghunus mata Maritsa.
"Astaghfirullah Kak, kenapa kak Zetta bicara seperti itu?."
"Halah! Jangan pura-pura sedih! Aku udah tau semua kebusukanmu. Aku pastikan hidup kamu setelah ini akan lebih menderita.!!!" Zetta pergi meninggalkan Maritsa yang mematung seorang diri.
"Ya Allah, kenapa kak Zetta terus membenciku? Apa salahku?" Maritsa kembali menangis dan meratapi nasibnya sambil mengusap foto mendiang suaminya itu.
Bagaimana kelanjutan hidup Maritsa tanpa suami dengan bayang-bayang kebencian kakak iparnya itu? Ikuti kisah Maritsa terus ya...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!