"Aku tidak mau menikah dengannya, Bu!" tegas Ibram, pria muda usia 27 tahun.
Bu Mayang memaksa Ibram untuk menikah dengan gadis pilihannya. Ibram sama sekali tak mengenalnya. Ibram sedih tiada berdaya melawan keputusan sang ibu. Bagi Ibram, wanita yang melahirkannya adalah segalanya.
"Arumi, gadis shalihah. Tidak pernah dengar dekat dengan laki-laki manapun. Banyak orang yang ingin melamarnya untuk dijadikan menantu tapi kedua orang tuanya menolaknya," ucap Bu Mayang panjang lebar menjelaskan kepada putranya, sebenarnya sejak ada di dalam kandungan. Ibram telah dijodohkan dengan Arumi yang tak pernah dikenalnya.
"Ibunya Arumi adalah sahabat Ibu zaman sekolah menengah kejuruan di desa," kata Bu Mayang.
"Kami pernah berjanji, jika dikaruniai anak berlainan jenis akan menjadi besanan untuk mengikat tali persaudaraan. Karena itu, Ibu mohon keikhlasan kamu. Jangan kamu kecewakan harapan ibumu yang telah hadir jauh sebelum kamu lahir," ucap Bu Mayang dengan nada mengiba.
"Dan percayalah pada Ibu, Ibram. Ibu selalu memilihkan yang terbaik untukmu. Ibu tahu persis bagaimana garis keturunan Arumi," tambah Bu Mayang.
"Kak Arumi orangnya baik, Kak. Dia ramah, baik, penyabar dan lembut. Pokoknya cocok sekali dengan Kak Ibram," sahut Adinda ikut berkomentar. Dia merupakan adik kandungnya Ibram.
"Orangnya cantik atau tidak?" selidik Ibram.
"Lumayan, Kak. Jika Kakak memilih dia, aku jamin tidak akan menyesal," jawab Adinda.
"Dia lebih tua dariku, ya?" tanya Ibram mencari kepastian.
"Cuma tiga tahun, Kak. Tidak masalah 'kan, apalagi wajah Kak Arumi sangat muda seperti usia dua puluh dua tahun, Apalagi zaman sekarang hal semacam itu bukan menjadi patokan memilih pasangan," jawab Adinda begitu semangat dan berapi-api. Dia adalah pendukung setia ibu.
"Apa harus aku yang menjadi suaminya? Apa tidak bisa dibatalkan saja perjanjian masa lalu kalian?" pinta Ibram kepada sang ibu.
"Harus kamu dan tak ada yang dibatalkan!" tegas Bu Mayang.
Ibram menghela napas, permintaan ibunya tak dapat ditentang.
**
Dalam pergulatan jiwa yang sulit, Ibram akhirnya pasrah. Dia menuruti keinginan Bu Mayang, dia tak ingin mengecewakan ibunya. Ibram harus mengorbankan diri untuk kebahagiaan pahlawan di hidupnya.
Dengan hati pahit, Ibram serahkan keputusan kepada ibunya. Padahal Ibram sudah memiliki kriteria untuk calon istrinya, dia menaksir seorang gadis 2 tahun lebih muda darinya. Namun, Ibram tak mampu berbuat apa-apa jika melihat air mata sang ibu memohon.
Acara lamaran pun tiba, Ibram sekilas melihat wajah Arumi dan benar kata Adinda jika Arumi memang tampak muda serta lumayan anggun. Namun, garis-garis kecantikan yang Ibram inginkan tidak ada ditemukan di diri Arumi sama sekali. Adikku, ibuku, sanak saudara semuanya mengakui pesona Arumi. Bahkan, tetangga Ibram yang juga turut ikut mengantarkannya mengakuinya. Wanita itu menilai jika Arumi pantas menjadi bintang iklan produk kecantikan.
Tetapi selera Ibram berbeda. Entah mengapa, mungkin karena Ibram telah hanyut dengan pesona mantan adik kelasnya yang kini menjadi model. Gadis yang tinggi semampai, bibir merah halus menawan, bola matanya biru dan memiliki hidung mancung persis seperti para wanita Timur Tengah. Jika tersenyum lesung pipi menyihir dirinya.
Pesona kecantikan gadis impiannya kini mengakar di otak Ibram. Dia terlalu terobsesi dengan gadis pilihannya, baginya itu adalah cita-cita yang harus diraihnya.
"Lebih baik aku mencoba membuka hati untuknya," gumam Ibram memandangi wajah calon istrinya.
***
Di hari-hari menjelang pernikahan, Ibram berusaha melupakan sosok gadis yang ditaksirnya. Ia berusaha belajar dan pelan-pelan menerima calon istrinya tapi ternyata gagal. Kecantikan wajah adik kelasnya selalu melekat dipikirannya.
Usaha mencintai Arumi membuat Ibram semakin tersiksa. Apalagi melihat wajah teduh ibu kandungnya yang berharap lebih kepadanya. Ibram tak mau durhaka. Namun, hatinya bertolak belakang dengan keinginannya.
"Diminum tehnya, Kak!" ucap Adinda menyuguhkan secangkir teh hangat ketika Ibram berada di teras belakang rumah.
Ibram mengangguk pelan.
"Masih memikirkan pernikahan?" tanya Adinda yang berdiri tepat di samping kakaknya itu.
Ibram menggelengkan kepalanya.
"Dari tadi aku melihat Kakak selalu melamun," ujar Adinda.
"Hanya perasaan kamu saja. Kakak sedang memikirkan jika berpisah dengan kalian," kata Ibram beralasan.
"Jangan pikirkan, Kakak tenang saja kami akan baik-baik saja!" ucap Adinda tersenyum agar Ibram tak perlu khawatir dengan kondisinya dan ibunya.
...----------------...
Hai Semua, Mami AL Bawa Cerita Baru. Semoga Kalian Suka. Jangan Lupa Tinggalkan Kesan Yang Baik.
Selamat Membaca dan Bahagia Selalu 🤗🌹
Hari pernikahan itu pun tiba, Ibram datang ibarat tahanan yang sedang digiring oleh keluarga besarnya. Ibram duduk di kursi pelaminan tanpa senyuman, hatinya hampa tak ada cinta.
Apa mau dikata, Ibram kini harus berhadapan dengan ayah kandungnya Arumi untuk mengucapkan sumpah janji suci pernikahan. Tampak Arumi melemparkan senyuman manisnya, namun membuat hatinya semakin teriris.
Ikrar suci pernikahan telah Ibram ucapkan, semua yang hadir menyaksikan begitu bahagia dan bergembira. Mereka tak menyadari perasaan Ibram harus terluka. Dia terpaksa menerima sesuatu yang bukan keinginannya.
Ibram sudah menjalankan perintah sang ibu untuk menikahi gadis pilihannya. Inilah bakti Ibram kepada Mayang. Hanya ini yang mampu membuat ibunya tersenyum bahagia.
Selesai acara, Ibram memboyong Arumi ke rumah yang ia sewa. Karena ia tak mau tinggal seatap dengan ibunya atau mertuanya.
"Apa Mas Ibram ingin mandi? Biar aku siapkan air panasnya," kata Arumi dengan lembut.
"Nanti saja, aku ingin segelas kopi," ucap Ibram meminta.
"Baiklah, aku akan buatkan untuk Mas Ibram," Arumi gegas ke dapur menyiapkannya.
Tak lama kemudian, Arumi membawa segelas kopi permintaan Ibram. Ia lalu menghidangkannya di hadapan suaminya.
"Aku ke kamar dulu, Mas. Merapikan tempat tidur kita," pamit Arumi.
"Tunggu, Arumi!" cegat Ibram sebelum istrinya melangkah.
"Ada apa, Mas?" tanya Arumi dengan lembut.
"Aku ingin meminta maaf terlebih dahulu kepadamu," jawab Ibram membuat Arumi mengernyitkan keningnya.
"Kita 'kan menikah dijodohkan, aku harap kamu jangan terkejut jika aku belum menerima hubungan ini sepenuhnya," ungkap Ibram dengan jujur menatap wajah istrinya
Meskipun perih, Arumi tetap tersenyum.
"Satu hal lagi, pesta resepsi belum ditentukan kapan akan digelar. Jadi aku harap juga, kamu jangan memintanya cepat dilaksanakan," kata Ibram sembari menyeruput kopinya.
Lagi-lagi Arumi hanya tersenyum, ia lalu berkata, "Aku serahkan semua keputusan kepada Mas Ibram."
"Kamu tidak marah?" tanya Ibram menyelidik.
Arumi menggelengkan kepalanya.
"Kenapa tidak marah?" tanya Ibram memancing kesabaran istrinya itu sampai di mana.
"Walaupun kita menikah baru hanya ijab kabul saja sudah membuatku bahagia, Mas." Jawab Arumi diiringi senyuman.
"Terima kasih telah mengerti aku," ucap Ibram balas tersenyum meskipun terpaksa.
Ya, Ibram dan Arumi menikah di kediaman paman Arumi yang kebetulan berada di kota sama dengan Ibram. Hal itu agar keluarganya Ibram tak terlalu jauh harus ke kampung.
Pihak keluarga Arumi tak terlalu mempermasalahkannya, bagi mereka acara sakral sudah dilaksanakan dengan lancar. Keputusan rencana resepsi ada di tangan Ibram, dirinya yang menentukannya akan dibuat di rumah ibunya atau di kampung halamannya Arumi.
Selepas akad dan berkumpul dengan keluarga besar yang hadir. Ibram memutuskan segera membawa Arumi. Tentunya hal tersebut menjadi bahan ejekan saudara-saudara dari keduanya, jika Ibram tak sabar ingin melakukan ritual malam pertama. Padahal Ibram sudah bosan dan jenuh berada di tempat itu.
-
Malam harinya, setelah menikmati makan berdua. Ibram meminta Arumi terlebih dahulu tidur. Ia akan mengerjakan tugas kantor yang beberapa hari ini sempat terbengkalai karena sibuk mengurusi pernikahan.
"Mau aku buatkan minuman, Mas?" tawar Arumi.
"Tidak, terima kasih. Kamu tidur duluan saja," tolak Ibram tanpa menatap.
"Baiklah, Mas. Aku duluan!" pamit Arumi ke kamar.
-
Satu jam berlalu tepat jarum jam ke angka 10, Ibram belum juga masuk ke kamar. Arumi tampak gelisah, apalagi ini pertama kalinya ia tidur sekamar dengan seorang pria.
Arumi tak ingin tidur, ia takut sang suami marah jika belum mendapatkan haknya. Maklum, ini malam pertama yang kata orang-orang begitu dinantikan.
Arumi lantas turun dari ranjang tidurnya. Dalam pikirannya apa pekerjaan Ibram begitu banyak sehingga melupakan malam pernikahan mereka.
Arumi melihat Ibram telah tertidur di atas sofa dengan laptop mati. Arumi mendekat, ia menyentuh tangan suaminya.
Ibram yang merasa disentuh tersentak kaget, ia sampai tak sadar menepis tangan istrinya secara kasar.
"Maaf, Mas!" ucap Arumi merasa bersalah, ia takut Ibram akan marah.
Ibram sejenak terdiam melihat Arumi tanpa menggunakan hijab. Cantik tapi belum mampu menandingi pesona gadis impiannya. "Aku yang minta maaf!"
"Kenapa Mas tidur di sofa?" tanya Arumi dengan lembut.
"Aku sangat lelah, makanya ketiduran di sini," jawab Ibram beralasan padahal memang sengaja.
Arumi mengangguk paham, ia tak menaruh curiga kepada suaminya.
"Ayo kita ke kamar!" Ibram lantas bangkit dari duduknya dan melangkah.
Arumi yang mendengar ajakan suaminya, hatinya mendadak gugup. Malam ini ia akan menyerahkan mahkotanya.
Ibram naik ke atas ranjang, menarik selimut dan segera memejamkan matanya. Arumi juga melakukan hal sama, tapi ia sekilas melirik suaminya.
"Kenapa Mas Ibram tidak merayuku?" batin Arumi.
"Mungkin karena kami hanya kenal dalam waktu singkat dan dijodohkan makanya Mas Ibram belum bisa membuka hati," pikir Arumi berusaha tak suudzon.
Arumi terbangun dari tidurnya ketika mendengar suara adzan Subuh berkumandang. Ia melihat suaminya sedang bersiap-siap untuk melaksanakan sholat.
"Kenapa Mas tidak membangunkan aku?" tanya Arumi sembari mengikat rambutnya.
"Aku tidak mau mengganggu waktu tidurmu," jawab Ibram seraya memakai peci menatap cermin.
"Kita sholat bareng, Mas?" tanya Arumi menyibak selimutnya.
"Aku mau sholat di masjid," jawab Ibram tersenyum singkat lalu keluar kamar.
Arumi menghela napas kecewa. Dirinya ingin ingin sholat berjamaah dengan suaminya untuk pertama kalinya sebagai sepasang pengantin. Ibram pun berangkat, Arumi juga bersiap-siap melaksanakan sholat seorang diri.
Beberapa menit kemudian, Ibram kembali dari mesjid tampak sang istri sedang mengaji. Melihat suaminya telah pulang, Arumi segera mengakhiri kegiatannya. Arumi bergegas bangkit dan menghampiri Ibram lalu mengecup punggung tangannya.
"Aku akan siapkan sarapan!" kata Arumi.
Ibram mengangguk mengiyakan.
Arumi melangkah ke dapur, menyiapkan keperluan suami dan dirinya. Sejam berlalu, Ibram keluar dari kamar dengan berpakaian rapi.
"Mas Ibram hari ini kerja?" tanya Arumi yang heran melihat penampilan suaminya padahal mereka baru saja menikah.
"Ya, aku harus kerja. Kemarin sudah kebanyakan libur mengurus pernikahan kita," jawab Ibram menarik kursi.
Arumi pun mengangguk paham meskipun hatinya kecewa. Ingin dekat dengan suaminya malah harus terpisah karena urusan pekerjaan. Padahal, mereka baru saja menikah kemarin pagi. Apa salahnya menambah waktu cuti.
Ibram mulai mencicipi masakan istrinya yang menurutnya lumayan enak. Ia melahapnya sampai habis, meraih segelas air putih lalu meneguknya. Selepas sarapan, Ibram bangkit dari kursinya kemudian mendekati Arumi. "Aku berangkat, ya!"
Arumi yang masih sarapan, tersenyum tipis, meraih tangan suaminya dan mengecup punggungnya.
Ibram pun berangkat ke kantor dan Arumi melakukan pekerjaannya sebagai seorang ibu rumah tangga.
-
Malam harinya, Ibram telah berada di rumah. Meskipun ia belum mencintai istrinya tapi baginya Arumi kini adalah tanggung jawabnya, ia tak mungkin meninggalkannya terlalu lama.
Keduanya kembali di pertemukan di meja makan, duduk saling berhadapan dan menikmati hidangan yang dimasak oleh Arumi.
"Bagaimana pekerjaan Mas Ibram hari ini?" tanya Arumi mencoba menghilangkan kecanggungan.
"Berjalan lancar," jawab Ibram tanpa menatap.
"Alhamdulillah," ucap Arumi tersenyum lega.
"Mas, kado pemberian dari para saudara dan kita belum di buka," lanjut Arumi berucap.
"Ya, sudah kamu buka saja," kata Ibram menatap istrinya.
"Tapi, aku mau menunggu Mas Ibram. Kita buka sama-sama," ujar Arumi menjelaskan.
"Kenapa harus menunggu aku? Mereka memberikan semuanya untukmu," ucap Ibram sinis.
"Mas, itu semua kado pernikahan untuk kita. Lancang jika aku membukanya sendiri," kata Arumi beralasan.
"Arumi, aku tidak keberatan kamu membukanya tanpa harus menungguku. Ada aku atau tidak tetap sama saja, pasti semua untuk kita," jelas Ibram tersenyum agar istrinya itu tak perlu sungkan dan segan.
"Terima kasih, Mas!" Arumi balas tersenyum.
-
Menjelang tidur, Arumi menoleh ke kanan. Ia menatap suaminya yang masih asyik membaca buku.
"Mas Ibram, tidak mengantuk?" tanya Arumi.
"Jika aku mengantuk nanti juga akan tidur, Rum." Jawab Ibram sekilas menoleh dan tersenyum lalu kembali menatap bukunya.
"Aku tidur duluan, Mas." Pamit Arumi dengan lembut.
Ibram mengerakkan dagunya pelan.
Arumi perlahan memejamkan matanya. Malam kedua setelah menjadi seorang istri, Ibram sama sekali tak menyentuhnya.
"Kenapa dia memperlakukan aku seperti ini? Jika tak menginginkan aku, mengapa harus menikah denganku?" batin Arumi.
Ibram menoleh ke arah istrinya yang telah tertidur. "Maafkan aku, Rum. Aku belum siap melakukannya," batinnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!