NovelToon NovelToon

Memendam Benci Dan Cinta

Chapter 1 - Crazy

2023

Nafas keduanya memburu seperti sedang berlari mencapai garis finish. Jika lelaki itu mengeluarkan erangan karena sedang mencumbu gadis kesayangannya. Lain hal dengan sang gadis.

Ia terengah karena tangan lelaki itu selalu mampu membuatnya bergetar sekaligus merinding.

"Pleaseee ...."

"Please why, Shasa? You want more? More than it? You want I fck you?"

"Y-yes ... keep my All. Ak-- aku tidak mau kamu pergi ... ahhh!"

"Maaf ... aku harus pergi!

Tiba-tiba Shasa berdiri di dalam ruangan penuh kaca yang memantulkan wujud seorang laki-laki yang selama ini selalu menjadi mimpi indah sekaligus mimpi buruknya.

"IAN!" pekiknya sambil berlari mengejar pria itu.

Alarm handphone berbunyi. Shasa terbangun pukul 03:00 pagi. Peluh membanjiri pelipisnya. Selama enam tahun ia selalu bermimpi yang sama. Terkadang ia memimpikan dirinya berada di gereja dengan gaun yang indah.

'Kapan gue bisa hidup normal tanpa ada lo di hidup gue, Ian?'

'Seharusnya perasaan ini ikut terkubur bersama lo. Nyatanya ... perasaan ini semakin mencuat ke permukaan. Menghantui kehidupan gue dan Aiden.'

Shasa masih melamun di tempat tidur dengan pikiran yang sedang beranak pinak. Bermonolog seperti malam-malam sebelumnya.

Tidak ingin berlarut-larut dalam duka. Shasa turun dari tempat tidur. Seperti kegiatan biasanya, jika ia bangun terlalu pagi, dirinya akan mandi lalu membaca laporan hasil diagnosa para pasiennya.

Selesai dengan aktivitas pagi di ruang kerjanya. Shasa menuju pantry nya untuk memasak. Kali ini ia memasak untuk porsi yang sangat banyak.

"Non, Bude bantuin ya!"

"Gak perlu Bude, ini sudah mau selesai."

"Ya sudah, Bude siapin seragam kamu dulu, ya."

Bude Parni meninggalkan pantry lalu menuju kamar Shasa untuk memastikan bahwa seragam Shasa sudah siap.

"Terima kasih, Bude!"

Setelah memasak, Shasa bersiap siap untuk bekerja seperti biasanya.

Saat ini ia bekerja di salah satu rumah sakit jiwa di kota kembang. Shasa merupakan Dokter Psikiater yang baru dipekerjakan di rumah sakit tersebut. Rumah sakit milik kakeknya dan neneknya.

Selama 7 setengah tahun, Shasa berjuang untuk mendapatkan gelar yang saat ini melekat pada dirinya.

Di snelli berwarna putih yang ia kenakan tertera nama Dr. Raneysha Zefanya, M.Sc.

"Bude ... Raneysha berangkat dulu, ya!"

"Iya Sayang, hati-hati di jalan!" jawab Bude Parni.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Shasa memasuki lift dan menekan tombol B1 yang berarti akan membawanya menuju basemen tempat dirinya memarkirkan mobil.

Saat ini Shasa tinggal di sebuah apartemen yang cukup mewah di Bandung bersama ART yang sudah ia anggap seperti keluarganya sendiri.

Drrrttttt

Drrrtttt

Ponsel perempuan itu bergetar berulang kali yang menandakan ada telepon masuk melalui aplikasi WhatsMax.

"Morning Sayang!" seru Shasa.

"Morning, Sayang! Kamu sudah berangkat?" sapa seorang laki-laki bersuara lembut dari seberang telpon.

"Sudah, Sayang. Ini baru keluar lobby. Kamu sudah sarapan?"

"Sudah Sayang, o-iya ... nanti siang kita makan siang bareng, ya. Kebetulan aku ada meeting di Deket rumah sakit dengan klien dari Beijing," ajak Aiden.

"Oke, Sayang. Berkabar aja ya! Jangan lupa vitaminnya di minum dan maskernya di pakai kalau keluar!"

"Siap Bu Dokter!" Aiden terkekeh di akhir telponnya.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Saat di lampu merah, banyak sekali pengamen dan pengemis. Shasa membukakan kaca jendela mobilnya.

Ia memberikan mereka satu persatu box dan air minum yang sudah disatukan dalam satu plastik.

"Orang gila ... orang gila ...."

Shasa melihat Anak-anak kecil sedang mengarak seorang laki-laki tinggi ber-hoodie hitam dengan penampilan yang kumal dan Hoodie yang nampak kebesaran melekat di tubuhnya.

"Ya ampun anak-anak itu!" Shasa menggelengkan kepalanya melihat ulah anak-anak yang jahil.

"Orang gila ... orang gila ... orang gila ..." Lagi-lagi suara itu menggema di jalanan.

Beberapa anak-anak itu tidak hanya menyoraki lelaki ber-hoodie hitam yang sedang berjalan pelan.

Namun, mereka juga menimpukinya dengan batu dan botol plastik yang mereka temui di sepanjang jalan.

"Eehhh ... adik-adik, jangan seperti ini! Gak baik."

"Kenapa? Dia kan, orang gila! Ya nggak teman-teman?"

"Iya betul, Tante ....!"

"Biar bagaimana pun, dia manusia," ucap seorang wanita cantik yang mengenakan blouse navy dan celana jeans berwarna senada sambil menenteng banyak box dalam plastik.

Shasa memberikan satu persatu box yang berisi makanan pada anak-anak itu.

Setelah mereka mendapatkannya, Anak-anak kecil itu berlarian menjauhi lelaki yang memilih berjongkok diam sambil menundukkan kepalanya yang tertutup Hoodie.

"Ini untuk kamu."

Shasa memberikan box nasi yang sama dengan anak-anak tadi dan air putih untuk lelaki itu.

Ini sudah menjadi kebiasaannya setiap hari Jumat. Ia akan berkeliling di sekitaran tempat tinggalnya untuk memberikan beberapa makanan yang dibelinya atau di buatnya kepada orang-orang yang ia temui.

Seperti anak-anak yang akan sholat Jum'at, driver online yang sedang mangkal ataupun fakir miskin di jalan.

Saat lelaki itu mengangkat wajahnya menatap box nasi dan air yang Shasa berikan.

Dengan jelas Shasa melihat wajah lelaki itu. Lelaki itu pun menjulurkan tangan menerima barang yang Shasa berikan.

"Ian ... Adrian! Ini gak mungkin ..." desis Shasa.

Kedua lututnya lemas selemas-lemasnya. Jika ia tidak berpegangan pada tembok di sebelahnya, Shasa yakin ia sudah pingsan.

Laki - laki yang di panggil namanya Adrian hanya diam tidak menanggapi ucapan yang keluar dari bibir tipis Shasa.

Laki-laki itu sibuk membuka bungkusan box nasi dan air yang di berikan Shasa. Ia memakannya dalam diam dengan pandangan mata kosong lurus ke depan.

"Adrian ...!" panggil Shasa lagi.

Kali ini Shasa sambil menggoyangkan bahu lelaki itu untuk meyakinkan bahwa lelaki di depannya ini benar-benar Adrian.

Ia masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat.

Shasa datang sendiri ke pemakaman Adrian ketika lelaki itu dinyatakan meninggal.

Padahal saat itu Shasa sedang fokus mengikuti Medical college admission test di luar negeri.

Mendengar kabar kematian Adrian, membuat dirinya drop. Bahkan berbulan-bulan Shasa mengurung diri di kamar apartemennya hingga prestasinya di kampus menurun drastis.

Hanya Aiden yang lagi-lagi membantu Shasa di masa terburuk wanita itu. Aiden dengan sabar memahami Shasa dan membantu Shasa keluar dari masa depresinya.

"Pasti ini hanya mirip!" gumam Shasa.

Lelaki itu tetap diam tidak bergeming. Tatapannya begitu kosong meskipun ada orang lain yang mengajaknya bicara. Ia berperilaku seperti tidak ada siapapun di dekatnya.

Shasa teringat jika Adrian memiliki tatto bergambar kartu AS di lengan kanan nya.

Tanpa jijik dan takut, Shasa menarik lengan kanan lelaki itu dan melihat tatto yang sama seperti milik Adrian, kekasih sekaligus musuh bebuyutannya.

"Lo lagi bercanda, 'kan? Ini acting lo, 'kan?" Adrian tidak menanggapi. "Ayo ikut gue!"

Shasa menatap ke sekeliling tempat itu kali aja ada kamera yang terpasang dan mengatakan bahwa mereka sedang shooting.

Tapi nihil. Shasa tidak menemukan apapun hanya ia dan Adrian di tempat itu. Shasa menarik tangan Adrian sedikit kencang. Sedangkan lelaki itu hanya pasrah dengan wajah datarnya dan tatapan kosongnya.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

"Haloo!"

"Iya hallo, siapa disana?" sahut seseorang diseberang telpon.

"Hay kamu lupa suara aku! Aku sedang di Indonesia. Ayo kita bertemu!"

"Aahhhh ya ampun! benarkah? Aku akan menyusul. Kau share lokasi saja!"

"Take care ya, nanti setelah sampai apartemen, aku share lokasi ke kamu. Jangan terburu-buru aku berencana lama disini!"

"How long?"

"Mungkin selamanya," jawab wanita itu terkekeh, sambil menatap dompetnya yang terpampang foto dirinya dengan kekasihnya.

"Benarkah? Itu kabar baik. Aku akan memberitahukan kepada yang la-"

"Tidak usah. Aku hanya ingin bertemu dengan mu. Hanya kamu lah sahabat baik ku!"

"Kau so sweet sekali!"

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

"Tuan Aiden, rapat dengan PT. Nila Indonesia di undur menjadi siang jam 1."

Seorang Sekretaris masuk ke ruangan Aiden untuk memberikan informasi mengenai schedule mereka yang tiba-tiba berubah.

"Seenaknya saja merubah jadwal! Batalkan saja kerja sama dengan mereka! Cari investor lain!"

"Tidak bisa, Tuan. PT. Nila Indonesia ini memiliki reputasi yang baik dalam pelayanan jasanya sebagai eksportir dan importir. Bahkan Tuan besar sudah mewanti wanti kita, agar menjalin hubungan kerja sama dengan perusahaan tersebut," jelas Yessi sekertaris Aiden.

Aiden menghembuskan nafas frustasi, lagi-lagi untuk bertemu dengan Shasa tertunda.

Room Chat Shasa

Aiden: Sayang, maaf ya. Lunch kita batal. Investor mengubah jadwal meeting jadi siang ini 😭😢.

Dengan wajah sedihnya. Aiden menunggu Shasa membalas pesannya.

Benar saja. Tak lama Shasa membalas pesan Aiden.

Shasa: no problem Sayang. Aku juga ada pasien baru yang butuh penanganan pribadi ❤️😘.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Shasa melirik Adrian yang duduk di sebelah kemudinya. Lelaki itu tertunduk dalam. Entah apa yang laki-laki itu lakukan dan pikirkan dengan menatap ke bawah.

Shasa menurunkan tudung yang melekat di kepala Adrian untuk memastikan bahwa lelaki ini sedang tertidur atau melamun.

Ternyata Adrian sedang menatap kebawah sambil melamun entah apa yang sedang lelaki itu lihat sepertinya ada hal menarik di bawah jok mobil Shasa.

"Ehhmm!" Shasa berdehem sambil melirik Adrian.

"Lo udah gak mandi berapa hari?" tanya Shasa dan tidak ada sahutan dari Adrian.

Masalahnya dari tubuh Adrian terhirup aroma yang kurang mengenakkan di indra penciuman shasa.

"Lo kenapa bisa begini?" tanya Shasa kembali.

"Lo bawa handphone, nggak? Biar gue bisa hubungin keluarga atau sahabat terdekat lo!"

"...."

"Apa mereka tau kalau lo masih hidup?"

Tidak ada sahutan, Shasa seolah-olah sedang berbicara sendiri karena Adrian memilih fokus dengan pemandangan di luar kaca mobil.

Shasa mengotak Atik kontak di handphone nya berharap masih memiliki nomor teman-temannya.

Namun nihil. Shasa ingat bahwa sebelum kelulusan, dirinya memang sudah menghapus seluruh kontak yang berhubungan dengan SMA Alexandra kecuali Arden, Fani dan Aiden kekasihnya.

"Minum ...."

Tiba-tiba Adrian bersuara meminta minum. Adrian mengeluarkan suara Bass nya sedikit serak seperti orang tercekat.

Dengan cepat Shasa membuka kan botol air minum dan memberikan nya pada Adrian.

Adrian meminum air itu namun baru sedikit ia meminum lelaki itu melemparkan botol minumnya.

"GUA MAU MINUM!" teriak Adrian.

Shasa yang terkejut dengan respon Adrian seketika menepikan mobilnya.

Seingat Shasa. Adrian tidak pernah membentaknya dengan nada sekencang itu. Hal itu membuatnya sakit dan terkejut dalam waktu bersamaan.

"Adrian lihat saya! Adrian! Adrian!" panggil Shasa dengan suara yang tegas dan mendominasi.

Pelan-pelan Adrian menengok ke arah Shasa dan menatap Shasa dengan tatapan yang lagi-lagi kosong tidak ada pancaran kehidupan dan kebahagiaan.

"Kamu ingin minum apa? Tidak di lempar-lempar, oke! Itu bisa membahayakan kita."

Adrian mengangguk sekali.

"Kamu - ingin - minum - apa?"

Kali ini Shasa bertanya lebih lembut dan memberikan artikulasi yang jelas.

"Vod ka!" jawab Adrian dengan jelas.

"Gak mungkin Adrian, gak mungkin saya kasih kamu itu! yang lain mau?"

"Miskin ya lo? Kalau gitu gue mau amer aja!"

'Dih, yang lagi cosplay jadi orang miskin, siapa?' Monolog Shasa sambil menggelengkan kepala.

Shasa melanjutkan perjalanan nya menuju rumah sakit tempatnya bekerja dengan pikiran yang buntu.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Mereka telah sampai di rumah sakit tempat Shasa bekerja. Rumah sakit ini milik kakeknya sebagai salah satu warisan yang diberikan untuk Shasa.

Secara otomatis, rumah sakit ini adalah miliknya meskipun terkadang ia tidak ingin mengakuinya.

Shasa turun dari mobil dan meninggalkan Adrian seorang diri di dalam.

Ia meminta tolong perawat di lobby untuk membawakannya kursi roda.

Pintu mobil tempat Adrian duduk di buka oleh Shasa dan tak lupa Shasa melepaskan seat belt yang menempel pada lelaki itu.

Kemudian perawat laki-laki membantu Shasa untuk memindahkan Adrian ke kursi roda.

"Siapa ini, Bu Shasa?" tanya salah satu perempuan bernama Nana.

"Tolong di bantu ya, Na. Minta Raka dan Tio untuk memandikan dia terlebih dahulu sebelum terapi. Nanti ada beberapa hal yang ingin saya periksa!" sahut Shasa mengabaikan pertanyaan Nana.

"Baik Bu Dokter. maaf Dok, Nama pasien siapa?" tanya Nana kembali.

"Andika."

Shasa terpaksa berbohong untuk menutupi identitas Adrian. Ia takut jika Aiden mengetahui Adrian masih hidup dan ada di sini.

Shasa memasuki ruangan kerjanya yang bernuansa putih dilengkapi chair therapy serta meja kerja yang berkayu jati.

Dirinya segera menuju meja nya dan menduduki kursi Herman Miller Aeron yang bernilai fantastis.

"Adrian kamu kenapa?" gumam Shasa.

Ia memeriksa kontak handphone-nya sekakinlagi. Barang kali menemukan kontak teman terdekat Adrian terselip di kontaknya.

Ting Tong!

Ting Tong!

Seseorang menekan Bell untuk masuk ke dalam ruangannya. Shasa memencet tombol otomatis yang bisa membuka pintunya hanya dengan satu tombol.

Ruangan Shasa di design kedap suara. Oleh karena itu, ia menambahkan Bell untuk para tamu/staff yang ingin masuk ke dalam ruangannya.

"Bu Dokter, pasien atas nama Andika sudah kami bersihkan, apa tindakan selanjutnya, Dok ?" tanya Raka yang bertugas membersihkan Adrian.

Shasa segera mengambil jas putih kebanggaan nya dan segera menuju ruangan perawatan yang mana disana sudah ada Adrian.

Saat Shasa memasuki ruangan, Adrian sedang tertidur lelap.

wanita itu mendekati brankar tempat Adrian tertidur. Mengelus rambut Adrian yang masih hitam legam seperti 8 tahun yang lalu terakhir mereka bertemu. Namun kali ini rambut Adrian jauh lebih lebat dan berantakan.

"Kira-kira tindakan apa yang akan kita lakukan terlebih dahulu, Dok?" tanya Rio selaku Psikolog yang sering membantu Shasa.

"Sudah tes urine dan darah, Pak Rio?" tanya Shasa.

"Sudah Dok, tadi Dokter Samuel yang melakukan tesnya, hasilnya sudah saya kirimkan melalui e-mail!"

"Oke selanjutnya saya mau terapi EEG, MRI dan CT scan karena saya curiga jika dia tidak mampu mengingat apapun!"

"Bagaimana Anda tau, Dok. jika Pasien mengalami hilang ingatan?"

Shasa menatap lekat wajah Adrian, lelaki yang sampai saat ini masih selalu hadir dalam mimpinya meskipun sudah 8 waktu terlewati.

Ia sampai mengabaikan pertanyaan dari dokter Rio. masih tidak percaya jika di hadapannya ini ada laki-laki yang selalu ia cintai sekaligus ia benci.

...╮⁠(⁠.⁠ ⁠❛⁠ ⁠ᴗ⁠ ⁠❛⁠.⁠)⁠╭ To be continue ╮⁠(⁠.⁠ ⁠❛⁠ ⁠ᴗ⁠ ⁠❛⁠.⁠)⁠╭...

Jangan lupakan LIKE and Subscribe ya Majikanku. Agar karya ini bisa bertahan di platform ini 🙏🏼 di share ke teman-teman kalian juga boleh biar ikut nangis bareng bacanya 😅

Chapter 2 - What should I do?

TING TONG!

TING TONG!

Shasa membukakan pintu yang terkunci otomatis melalui remote di meja kerjanya.

Ternyata itu Aiden yang datang dengan membawa goodie bag yang Shasa yakini itu adalah makanan. Tercium dari baunya meskipun jarak mereka hampir 16 meter.

Ahh ... Shasa ingat. Dirinya belum makan apapun. Seharian ini wanita itu sibuk mengurus Adrian sampai-sampai melupakan makan siangnya. 

"Hay Babe, kok kamu ke sini gak kabarin aku?"

Shasa berdiri menghampiri Aiden dan memberikan pelukan erat.

Bagi Shasa Aiden bukan hanya kekasihnya tapi sudah seperti sahabat, kakak bahkan pengganti ayahnya yang sudah meninggal.

Aiden sangat penyayang dan perhatian pada Shasa. Bahkan selama mereka berpacaran, Shasa dan Aiden tidak pernah terlibat pertengkaran hebat. Mereka saling memahami satu sama lain.

"Coba kamu cek handphone kamu!" 

Aiden membalas pelukan Shasa dan mengecup puncak kepala wanita yang berada di bawah dagunya dengan lembut.

Shasa melepaskan pelukannya. Lalu menuju snelli yang ia gantungkan di belakang meja kerjanya.

Ia kemudian memeriksa handphone nya dan terdapat panggilan tidak terjawab dari Aiden, lalu beberapa pesan yang belum di bukanya.

"Oh my God! I am so sorry?" ucap Shasa memelas sambil menunjukan puppy eyes nya.

Aiden mendekati Shasa yang masih berdiri dan membawa nya menuju sofa yang ada di ruang kerja Shasa.

"Kamu makan dulu, ya. Kata Tio, seharian ini kamu di dalam ruangan dan kamu sibuk karena ada pasien baru yang bikin kamu stress."

Sudah Shasa duga pasti Tio selalu menceritakan apapun yang terjadi di rumah sakit ini baik pasien maupun dirinya. Shasa menatap Aiden dengan lembut.

"Memang siapa pasiennya, hmmm? Sampai-sampai bikin kesayangan aku stress." 

"Kamu gak akan tau dan kenal, Ai. Meskipun aku jelaskan. Pokoknya pasien ini butuh penanganan ekstra dan pihak keluarganya ingin kami yang mengurusnya. Mereka tidak sanggup mengurus sendiri."

"Memangnya si pasien ini mengalami apa?"

"Diagnosa awal, dia traumatic stress disorder dan organic brain syndrome. Penyebabnya kecanduan alkohol dan --" Shasa berat untuk melanjutkan.

"Kamu kenapa, Babe?" Aiden menggenggam tangan Shasa, memberikan wanita itu kekuatan.

"Bukannya kamu sudah terbiasa dengan pasien yang seperti ini?"

Shasa mengangguk. "Aku agak sentimentil aja, Ai. Maklum mau datang bulan kayaknya!" Shasa terkekeh menutupi kegugupannya. 

"O-iya kamu jadi meeting hari ini? Bagaimana hasilnya?" tanya Shasa mengalihkan pembicaraan.

Aiden menarik nafas dalam dan menghembuskan nya dengan kasar. "Aku nggak suka sama investornya. Dia nggak profesional!"

"Gak profesional bagaimana?" tanya Shasa sambil menusuk salad buah yang di bawa Aiden.

"Jadi, meeting tadi di wakil kan sama Sekretarisnya. Katanya, Miss Han nya jetlag karena perjalanannya dari Beijing ke Indonesia!"

"Owh begitu," sahut Shasa sambil manggut-manggut. "Maklumi aja, Ai. Ya ampun kamu tuh!" 

Shasa telah selesai menghabiskan makanan nya dan merapikan dasi Aiden yang sedikit berantakan.

Aiden menahan tangan Shasa yang masih memegang bagian atas dasinya.

"Kita sudah berapa lama ya, Sha?"

"Baru seminggu, Aiden. Kita tidak bertemu," jawab Shasa.

"Bukan itu. Maksud aku, sudah berapa lama kita pacaran?"

"Kamu lupa? Tiap tahun kan kit-"

"Sssttt aku ingat," potong Aiden. "Apa bisa kita lebih int-"

"Aiden ... please! Untuk yang satu itu bisa kan, kita lakukan setelah menikah?"

Shasa memberi jarak untuk mereka. Ia menggeser duduknya agar sedikit menjauh dari Aiden.

Namun tangan Aiden sudah lebih dahulu menyentuh rahang Shasa dan mengelusnya lembut. 

Cup

Aiden mencium bibir ranum Shasa dengan lembut dan sedikit menuntut, membuat Shasa harus mengimbangi permainan yang Aiden lakukan.

DDRRRTTTT

DRRRTTTTT

Telpon Aiden berdering menampilkan foto sang perdana Mentri yang saat ini menjabat di kediamannya, siapa lagi kalau bukan ibunya.

"Angkat dulu," ucap Shasa lembut.

"Biarin. Ganggu aja! Kita kan, jarang ketemu, Sha!"

"Aiden ...!" 

"Iya ... iya ... Babe. Sebentar ya." Aiden beranjak keluar ruangan Shasa.

Wanita itu seger membereskan makanannya yang telah ia habiskan. 

Dari sudut matanya, keluar cairan bening. Cepat-cepat ia menghapusnya, takut Aiden melihat dan bertanya yang tidak-tidak.

Aiden masuk kembali kedalam ruangan dengan wajah paniknya.

"Babe, aku harus ke Singapura, mama ada meeting dan aku harus menemaninya. Soalnya papa masih di Malibu!" ucap Aiden sambil mengambil tas kantornya yang ia letakan di kursi sofa tunggal.

"Iya Ai, hari ini juga berangkat nya?" 

"Iya Babe, kamu harus selalu kabarin aku ya!"

"Iya Babe, take care ya!"

Aiden mencium kening Shasa dalam dan berganti mencium kedua pipi wanita itu.

...💕💕💕💕💕...

"Hallo, apa benar ini nomor Farel-?"

"Ya benar, ada apa? cepatlah aku akan meeting!"

"Saya Sabrina, apa anda masih mengingat Adrian Chai-"

Panggilan terputus. Shasa terpaksa menggunakan nama palsu untuk menghubungi teman-teman nya.

Karena hubungannya dengan teman-teman Adrian tidaklah bagus bahkan sampai sekarang.

"Hallooohhhh ... sshhh ..." Suara wanita mendesah di seberang sana yang menyapa.

Padahal saat ini Shasa sedang menghubungi Browzy, salah satu teman Adrian.

"Ha-hallo, benar ini nomor Ozy? Browzy?" tanyanya gugup.

"Iya benar, kau si ... ahhhh pelan pelan, Babe! Sshhh ahhh kau ... si-siapa?" Suara erangan dan desahan dalam telpon itu membuat Shasha mual.

"Katakan pada Ozy, apakah ia mengingat Adrian Chaiden?! Hubungi nomor ini jika Ozy sudah tidak sibuk!"

Shasa langsung memutuskan panggilan itu dan memijat pelipisnya yang mulai pening.

"Bagaimana ini Adrian. Bahkan aku tidak tau tempat tinggal mu yang sekarang! Mereka pasti senang kalau tau kamu masih hidup." Shasa bergumam sambil menatap ponselnya.

Shasa menghubungi beberapa dayang-dayang yang dulu menempel bak parasit saat Adrian masih berjaya.

Namun, tidak ada yang mengingat siapa itu Adrian Chaiden, bahkan mereka seolah-olah tidak mengenal siapa itu Adrian Chaiden.

Shasa mendapatkan nomor-nomor ini dari Fani sahabat SMA-nya, hanya dia yang mau membantu Shasa saat ini.

Hanya pada Fany, Shasa berani bercerita tentang Adrian saat mereka masih SMA hingga kuliah. Fani saksi cinta Adrian dan Shasa yang berakhir mengenaskan.

'Mungkin mereka taunya Adrian Chaiden sudah meninggal dan mereka sudah melupakan pria malang ini. Malang? Ahhh aku bingung mengungkapkan nya seperti apa kondisi Adrian yang sekarang.' Monolog Shasa.

"Hallo selamat malam, benar ini nomor Kenzo Nakamura?"

"Iya benar saya istrinya, maaf ini dengan siapa?" ucap wanita itu dengan nada sedikit menyelidik.

"Maaf malam-malam saya menghubungi anda, saya Raneysha teman Adrian--"

"Adrian? Ian maksud kamu. Adrian Aditama?"

Ada sedikit harapan saat wanita di sebrang telpon itu mengenal Adrian.

"Iya benar, boleh saya berbicara dengan Kenzo. Ini perihal Adrian!"

"Tidak jangan! Jangan kamu hubungi kami lagi. Siapapun kamu, saya mohon jangan biarkan suami saya mendekati keluarga Aditama atau Pioneer lagi. Bukankah Adrian sudah mati? Kenapa ia masih merepotkan kami yang masih hidup!"

Tutttt Tuuuttt

Lagi-lagi panggilan terputus, Shasa menggenggam erat handphonenya. Ia tempelkan tangannya yang masih menggenggam handphone, ke keningnya.

Frustasi. Itulah yang saat ini sedang Shasa rasakan.

"Ya Tuhan Adrian. Apa yang sebenarnya terjadi! Mengapa kamu sampai sehancur ini?"

Shasa bingung harus apa, tinggal satu nomor lagi. Dan sudah ia pastikan jika orang ini juga akan bereaksi sama. 

Tuuuttt ...

Tuuutttt ...

Panggil masih berdering. Agak lama, karena nomor yang ia hubungi dari luar negeri. Rusia.

"Hallo!" Panggilan kembali tersambung.

"Iya hallo, maaf dengan siapa ini?" sahut suara wanita yang Shasa ingat jelas suaranya.

Suara adik kelasnya yang dulu sering sekali membantunya ketika Adrian menyiksanya.

"Bella? Isabella? That's you?" 

"Ya ... its me but who are you?"

"Aku Raneysha ... Shasa, kamu inget aku?" Tiba-tiba hening.

"Ahhh iya Kak Shasa. Apa kabar? Kamu menghubungi ke nomor suami aku, ada apa Kak?"

"Bisa aku bicara dengan Kamandanu? Ini soal Adrian."

Ada jeda cukup lama, hal itu membuat Shasa khawatir jika Bella juga akan menolak panggilannya.

"Ohh, iya Kak sebentar!"

"Ada apa!"

Shasa lega, Kamandanu tidak menutup telponnya meskipun ia menyebut nama Adrian di telpon.

"Saya mohon jangan tutup telpon ini sebelum saya menjelaskan semua perihal Adrian!"

"Adrian ... kenapa lo ingin tahu tentang Adrian?"

Suara bariton khas milik Kamandanu tidak berubah bahkan semakin terdengar berat saat ini.

Shasa menjelaskan awal mula pertemuan nya dengan Adrian. Ia juga menjelaskan hasil diagnosa dari lelaki itu yang positif psikotropika dan gangguan kejiwaan lainnya. 

Kamandanu tampak mendengarkan. Terdengar dari ujung telpon helaan nafasnya yang berat dan sesekali berdehem. 

"Saya bisa minta tolong kamu untuk bawa Adrian kembali ke keluarganya? Karena peran keluarganya sangat dia but--"

"Tidak bisa. Keluarganya tidak akan bisa melakukan apapun. Berbahaya jika Adrian kembali dalam kondisinya yang tidak baik-baik saja. Lo bisa ikuti instruksi Gue dan jangan membantah!" tegas Kamandanu.

Ada nada intimidasi dan penekanan di setiap kalimatnya. Kamandanu belum berubah.

Shasa mendengarkan setiap instruksi yang Kamandanu berikan tanpa membantah.

Kamandanu memang tidak akan ikut campur secara langsung, tapi dia akan membantu memberikan beberapa anak buahnya untuk membantu Shasa menjaga Adrian.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

"Non, tumben pulang cepat?" tanya Bude Parni yang sedang melipat pakaian di ruang laundry.

"Engga Bude, ini mau balik lagi. Aku pulang cuma mau ambil kunci dan kartu akses apartemen yang di lantai bawah!"

"Ada yang mau sewa, Non?"

"Iya Bude!" jawab Shasa berbohong. 

Selesai mengecek unit apartemennya yang di lantai bawah. Shasa meminta petugas kebersihan untuk membersihkan unitnya yang nantinya akan ia gunakan untuk merawat Adrian.

Karena tidak mungkin untuk Shasa merawat Adrian di rumah sakit. Cepat atau lambat Aiden akan tau.

Shasa tidak tega melihat Adrian harus dirawat bersama dengan pasien lainnya.

Apalagi mengenai diagnosa yang Shasa terima, membuat dirinya terpukul dan lemas. Mengapa Adrian bisa positif narkoba. 

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Esok harinya, Shasa meminta bagian administrasi untuk mencabut izin rawat inap pasien yang bernama Andika -- nama yang ia gunakan untuk Adrian. 

Shasa sudah merencanakan ini dan keputusannya sudah matang, bahwa ia akan merawat Adrian di salah satu unit apartemennya.

"Pasien atas nama Andika mau di bawa orang tuanya, Dok?" tanya Tio yang sedang mencabut infus dari tangan Adrian 

"Iya Tio. Dia masih kerabat teman saya. Nanti biar saya yang antar ke rumahnya." 

"Jangan Dokter! Takutnya si pasien memberontak dan histeris. Nanti Bu Dokter dalam bahaya, biar saya dan Raka saja yang antar pasien ini!"

"Pihak keluarganya meminta saya yang antarkan dia," balas Shasa dengan senyum ramahnya.

"Kalau ada apa-apa kabarin kita ya, Bu Dokter!"

"Siap Tio. Terima kasih!"

Shasa memasuki kamar inap Adrian. Tidak ada yang perlu Adrian kemasi karena Adrian tidak membawa apapun bahkan baju yang ia kenakan kemarin pun harus di buang karena sudah tidak layak.

Shasa memberikan kemeja dan celana panjang beserta pakaian dalam untuk Adrian.

Bahkan di apartemen, Shasa sudah menyiapkan semua keperluan Adrian untuk lelaki itu gunakan sehari-hari.

"Ganti pakaian mu dengan ini!" 

Adrian tidak menjawab, ia menatap kosong ke pojok ruangan, tepatnya belakang punggung Shasa.

Shasa menyentuh telapak tangan Adrian dan menatap bola mata lelaki itu yang penuh kehampaan.

"Ian, ganti baju yang kamu gunakan dengan ini!" perintah Shasa dengan nada sedikit halus.

Adrian membuka kancingnya satu persatu tanpa mengalihkan tatapan matanya pada Shasa.

"Aku tunggu di luar, ya!"

Telapak tangan Shasa di genggam erat oleh Adrian yang masih menatapnya lekat dan tangan satunya lagi ia gunakan untuk membuka bajunya.

Susah payah Shasa menelan Saliva nya, saat Adrian menahannya agar Shasa tidak beranjak dari tempatnya. 

Meskipun tubuh Adrian mengalami penurunan drastis. Namun otot-otot tubuhnya masih terlihat, meskipun tidak sejelas dulu.

Shasa membuang pandangannya dan menatap ke sembarang arah. Ia tidak ingin beradu tatap dengan mata Adrian yang sampai saat ini membuat hatinya gemetar.

"Stopp--" Shasa menahan tangan Adrian yang ingin membuka celana nya.

Kemudian Shasa berbalik badan. "Kamu bisa ganti celana kamu sekarang!"

Cukup lama Shasa membalik badan namun tidak ada sahutan dari Adrian yang mengatakan bahwa ia telah selesai mengganti celananya. Sampai Shasa memutuskan untuk berbalik badan.

Duugghhhhh

...乁⁠(⁠ ⁠•⁠_⁠•⁠ ⁠)⁠ㄏ To be continue乁⁠(⁠ ⁠•⁠_⁠•⁠ ⁠)⁠ㄏ...

Chapter 3 - Remember me?

Duugghhhhh

Shasa membalikan tubuhnya namun tertabrak oleh dada Adrian yang entah sejak kapan berdiri di belakang Shasa.

"Aduh ... lo bisa nggak, sih. kasih tau gue kalau udah selesai!" Shasa mengaduh sambil mengelus pelipisnya.

Adrian hanya diam saja masih dengan tatapan kosongnya menatap Shasa. Namun, kali ini ekspresi yang Adrian tunjukan sedikit tajam seperti orang yang sedang menahan marah.

Menyadari jika dirinya menggunakan bahasa dan intonasi yang terlalu keras, Shasa kembali ke mode Pasien dan Dokter.

Shasa memperhatikan Adrian dari atas sampai bawah, Adrian tidak berubah.

Kadar ketampanannya tidak berubah, meskipun wajahnya tirus dan kulit nya menggelap, namun itu malah membuatnya semakin macho.

Sambil menggenggam telapak tangan Adrian, Shasa menatap manik mata lelaki itu.

"Ayo kita pulang, Ian!" ajak Shasa.

"Pulang?" Adrian mengerutkan kening dan menahan langkah Shasa.

"Iya pulang, kamu ingat rumah kamu?" Shasa memastikan kembali apakah Adrian mampu mengingat rumahnya.

Namun, kali ini respon Adrian semakin tajam membalas tatapan Shasa. Shasa tau bahwa Adrian akan mengamuk, tiba-tiba ia memeluk Adrian.

"Tidak apa-apa kalau kamu belum ingat. kamu bisa tinggal di tempatku," ucap Shasa masih dengan memeluk Adrian.

Segera ia lepaskan pelukannya, karena detak jantung Adrian sudah mulai normal tidak kencang seperti tadi.

Sebelum keluar ruangan, Shasa menyempatkan untuk merapikan rambut Adrian yang berantakan karena sudah panjang.

"Aku boleh merapikan rambut kamu? Nanti aku pangkas sedikit ya, rambutnya," ucap Shasa sambil berjinjit merapikan rambut Adrian.

Karena postur tubuhnya yang kecil, membuat Shasa kesulitan saat merapikan rambut pria itu.

Shasa membawa Adrian keluar ruangan masih dengan menggenggam erat tangan Adrian.

Hanya dengan menggenggam tangan lelaki ini, cara Shasa berkomunikasi agar mendapat respon dari Adrian. Physical touch.

"Baru kali ini Dokter Shasa mau membawa pasiennya secara langsung. Biasanya Dokter Shasa minta tolong Petugas, buat antar Pasiennya ke rumah mereka," ucap Suster Nana dari kejauhan saat melihat Shasa.

"Masih kerabat dari sahabatnya, gitu katanya," sahut Tio.

"Dia Pasien tercepat yang kita pulangkan dari rumah sakit ini apalagi kasusnya berat banget."

"Apa saja diagnosanya?" tanya Tio.

"Rahasia ...!" ledek Nana pada Tio yang sudah menampakkan wajah penasaran nya.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

~Singapura, kediaman Pattinson~

"Hallo Tio!"

"Iya Bang!"

"Kanapa Shasa susah dihubungi, ya. Apa dia sedang sibuk?"

"Dokter Shasa sedang mengantar Pasien pulang ke rumah keluarganya, Bang. Ada pesan yang harus Tio sampaikan ke Dokter Shasa?"

"Pasien siapa? Gak biasanya Shasa turun tangan langsung membawa pasien pulang. Siapa Pasien itu?"

"Pasien yang kemarin dibawanya, Bang, ODGJ gitu. Andika namanya, katanya masih keluarga sahabatnya dokter Shasa."

"Sahabatnya? Arden atau Fani, ya?" gumam Aiden yang masih terdengar oleh Septian.

Aiden yang sadar masih dalam panggilan bersama Tio segera mengakhiri panggilan tersebut.

"Siapa pasien itu sampai Shasa repot-repot mengurusnya?" gumam Aiden yang masih duduk termenung di meja kerjanya.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

PIP PIP PIP PIP

Shasa memasukan kode pin saat memasuki pintu unit apartemen yang akan di tempati Adrian dan asisten psikolog nya.

Apartemen yang akan Adrian tempati memiliki 2 lantai, sama seperti unit apartemen milik Shasa yang berada satu lantai di atasnya.

Apartemen 3 kamar tidur ini, memiliki pemandangan yang sangat indah berupa pemandangan gunung dari kaca ruang tamu. Serta dari balkon, terdapat banyak tanaman hias yang merambat ke bawah.

"Nona, kamar mana yang akan di tempati Tuan Adrian?" tanya Martin Asisten Psikolog rekomendasi Kamandanu untuk merawat dan membantu Shasa.

Seluruh karyawan Shasa tidak mengetahui jika Martin akan merawat Adrian, karena ia takut jika ada orang yang membocorkannya ke Aiden.

Shasa menyerahkan map hitam yang jika di buka terdapat surat perjanjian.

Surat perjanjian yang berisi bahwa Martin tidak diperbolehkan mengatakan apa yang ia lihat, rasa dan dengar selama bekerja bersama Raneysha. Kepada orang lain termasuk keluarga lelaki itu.

Martin segera menandatangani surat itu dan Shasa menjelaskan secara detail kondisi Adrian dan nama yang harus Martin Katakan jika sewaktu-waktu ada orang yang menanyakan siapa Adrian.

Tidak hanya Martin, hal itu juga berlaku pada ART mereka. Semua itu atas ide dari Kamandanu.

Shasa menuntun Adrian untuk duduk di sofa dekat kaca, agar lelaki itu bisa merilekskan dirinya dengan menatap pemandangan di depannya.

kemudian wanita itu mengambil iPad yang berada di meja pantry. Sambil menjelaskan jadwal Adrian yang berada dalam iPad-nya.

Shasa mengajak Martin untuk memasuki kamar yang dilengkapi kamar mandi di dalamnya.

Ia membuka kamar mandi dan wardrobe. Shasa mulai menjelaskan satu persatu kepada Martin.

"Adrian akan menempati kamar ini. Karena saya sudah memasang bathtub. Kamu bisa rendam dengan air yang diberi es batu jika Adrian mengalami sak--"

Shasa menggantung kalimatnya dan menatap Adrian dari pantulan kaca di kamar itu.

Shasa sengaja memasang banyak kaca di ruangan ini untuk memudahkan Martin mengontrol Adrian dari jauh, ketika mereka berada di ruangan lain.

Karena Adrian tidak suka ada orang asing yang mendekatinya terlalu lama.

"Ehhemm." Martin berdehem menyadarkan Shasa dari lamunannya.

"Sorry, tadi sampai mana Martin?"

"Jika Tuan Adrian sa kaw saya harus membantunya berendam di bathtub ini dengan air yang di campur es," sambung Martin.

"Ahh iya benar. Pastikan suhu ruangan dingin dan untuk keperluan lainnya nanti kamu akan dibantu oleh Sarah, ART yang akan datang setiap pagi sampai sore," lanjut Shasa.

"Tidak menginap, Nona?"

"Tidak, karena ia sudah berkeluarga. Ada lagi Martin yang ingin kamu tanyakan?"

"Apakah Tuan Adrian bisa melakukan kegiatan pribadinya sendiri? Seperti ke kamar mandi dan berpakaian?"

"Untuk menuju kamar mandi, Adrian bisa sendiri. Dia masih bisa melakukan aktivitas pribadinya, hanya saja emosinya bisa berubah-ubah. Kamu hanya perlu memantaunya dan mengajaknya berbicara. Setiap pagi dan sore ajak ia berkeliling di taman dekat sini, agar kalian tidak bosan."

Shasa keluar menuju kamar di lantai atas.

"Ini nanti jadi kamar kamu. Kamu atur saja sesuai keinginan kamu."

Sambil menuruni tangga, Shasa memasuki kamar yang berseberangan dengan kamar Adrian.

"Kamar ini bisa kita gunakan setiap konseling. Untuk chair therapy akan datang malam ini. Tolong di bantu ya!"

"Apa Nona akan sering berkunjung kesini atau hanya memantau dari ini?" Martin bertanya sambil mengangkat iPadnya.

Shasa menarik nafasnya dalam-dalam dan menghembuskan nya dengan kasar.

"Jika kamu tidak bisa menangani dia, kamu bisa hubungi saya. Misalnya seharian dia tidak interaksi, tidak makan atau jika dia mengamuk terlalu sering!"

"Baik Nona, saya paham."

'Gue juga harus menjaga kesehatan mental gue Adrian. Berdekatan dengan lo saat ini bikin hati gue gelisah dan nyeri!' Monolog Shasa.

"Adrian, ayo kita makan!" ajak Shasa yang tidak di respon oleh Adrian.

Adrian malah sibuk menatap keluar jendela yang menampakkan pemandangan alam.

Shasa mendekat dan duduk di samping Adrian. Adrian tampak asik menatap kaca, bahkan kehadiran Shasa tidak membuat dirinya terganggu.

Shasa meraih tangan Adrian dan menggenggamnya. Adrian merespon lalu menatap manik mata Shasa.

Ini yang membuat Shasa jengah, berkali kali ia harus meyakinkan hatinya, bahwa sudah tidak ada tempat untuk lelaki yang saat ini sedang menatap manik matanya.

Yang tersisa untuk Adrian saat ini hanya kebencian yang harus Shasa pendam karena Ia harus profesional.

Dengan senyum yang sudah Shasa buat sedemikian aslinya, ia mengajak Adrian kembali untuk makan.

"Ayo Ian, kita makan! aku sudah lapar." Kali ini Shasa berdiri dan di ikuti oleh Adrian.

Setelah mendapat respon positif, Shasa segera menarik pelan tangan Adrian untuk mengikutinya ke meja makan.

Malam ini mereka makan makanan yang sudah Shasa order dari rumah makan Chinese, ia sudah tidak ada waktu untuk memasak karena seharian hanya mengurus keperluan Adrian.

"Martin ayo! Kamu juga ikut makan. Jangan sungkan ya. Anggap kita kerabat atau sahabat kalau perlu keluarga dan biasakan panggil saya Shasa, jangan Nona lagi!" Titah Shasa.

"Baik Non-" Martin menggantung kalimatnya. "Kak Shasha maksudnya!"

Mereka makan dengan diam, sesekali Shasa memperhatikan Adrian yang makan dengan lahap. Bahkan Adrian seperti orang yang tidak pernah makan sebulan.

"Pelan-pelan Bang, makannya!" ucap Martin saat Adrian tersedak.

Shasa segera mengambil kan minum dan memberikan kepada Adrian.

"Pelan-pelan Ian!" ucap Shasa sambil menepuk pelan punggung Adrian.

Sontak saja Adrian langsung mengikuti arahan Shasa untuk memakannya secara perlahan.

Hanya intruksi dari Shasa yang akan Adrian patuhi. Hal itu ternyata disadari oleh Martin.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Shasa kembali ke apartemen miliknya. Ia tidak langsung tidur. Padahal jam sudah menunjukan pukul 9 malam. Masih ada hal yang harus di cek kembali untuk mengetahui keadaan Adrian saat ini.

Dokter Mario: MRI sudah saya kirim melalui email

Shasa memperhatikan pesan masuk dari dokter radiologi yang memeriksa Adrian pagi tadi.

Ia cukup terkejut setelah membacanya melalui email di laptopnya.

"Kenapa bisa begini? Apa yang sudah kamu lalui, Adrian!?"

Tanpa terasa air mata Shasa meluncur begitu saja. Sakit sekali hati Shasa.

Entah sakit karena membayangkan apa yang sudah di lalui Adrian atau alasan lainnya.

Menurut hasil dari MRI, Adrian pernah mengalami gegar otak berat mungkin itu yang menyebabkan dirinya amnesia.

"Setelah aku tau kamu pengguna psikotropika golongan 2. Sekarang aku harus tau amnesia kamu karena geger otak. Oke Adrian, akan ada surprise apa lagi yang akan aku dapat dari kamu setelah aku membaca dokumen yang sahabat kamu kasih!" ucap Shasa yang sedang berbicara sendiri dengan laptopnya.

Shasa memeriksa catatan kriminal apa saja yang Adrian lakukan. Cukup membuat Shasa terkejut karena banyaknya catatan kriminal yang Adrian lukis.

"Penganiayaan ...?"

"Kenapa sebanyak ini ya Tuhan, Adrian! Apa ini?" Shasa terkejut bahkan ada catatan kriminal kasus dugaan pembnuhan terhadap salah satu ketua gengster.

"Sebanyak ini kasus kamu, tapi kamu sama sekali gak menginap di rutan. Bagaimana bisa?" Shasa hanya bisa menggelengkan kepala.

Noted: Untuk saat ini jangan biarkan Adrian di luar tanpa penjagaan. Banyak musuh yang mengincarnya

Shasa membaca noted yang di kirimkan oleh Kamandanu melalui email. Shasa segera mengirimkan pesan kepada Martin untuk merubah kegiatan yang besok mereka jalani.

"Sepertinya aku gak akan bisa tidur nyenyak lagi," gumam Shasa sambil melipat tangannya di meja untuk menjadi bantalan kepalanya.

"Kalau Adrian tidak bisa mengingat selamanya ... bisakah aku membuat kenangan baru untuk Adrian? Adrian beruntungnya kamu," bisik Shasa sambil memejamkan mata.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

"Lacak keberadaan Email dan nomor handphone yang saya kirim ke kamu, Marco! Dimana lokasinya? Dalam waktu 5 menit saya mau tau dimana sialan itu sekarang! Satu yang pasti, dia di Indonesia."

"Baik Tuan!" Marco segera kembali menuju meja kerjanya yang berada tepat di samping ruangan Kamandanu.

"Adrian ... gara-gara lo. Gue dan istri gue harus keluar dari Indonesia dan menetap di sini!"

Kamandanu tersenyum smirk dan menatap tajam pada foto di galeri handphonenya.

Menampilkan 4 remaja berseragam putih abu-abu dengan blazer dari sekolah ternama di kota mereka.

Tokkk!

Tokkk!

Tokkk!

Marco masuk kembali setelah ia mengetuk pintu dan memberikan secarik kertas kepada Kamandanu.

Setelah membaca kertas itu Kamandanu segera berdiri dan mengambil ponselnya untuk menghubungi seseorang.

"Kerahkan anak buah lo ke alamat yang gue kasih. Bentuk pengaman yang ketat. Ingat kita berhutang nyawa dengan si sialan itu!"

"Oke siap!" sahut laki-laki dengan bersuara berat di ujung telpon.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Drrrttttt

Drrrtttt

Drrrttttt

Shasa langsung mengangkat handphonenya dalam mata yang masih terpejam. "Bang Adrian mengamuk kak!"

...(⁠・ั⁠ω⁠・ั⁠) To be continue (⁠・ั⁠ω⁠・ั⁠)...

Untuk visualnya aku buat setelah chapter 10 ya guys ya. Love u ❤️🫰🏻

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!