Pada tahun 2067, terjadi sebuah bencana virus misterius yang dapat menjadikan suatu makhluk yang terinfeksi menjadi mayat hidup yang tak memiliki pikiran.
Virus tersebut diberi nama virus Black Blood karena orang yang terinfeksi virus tersebut kulit, darah, bahkan organ-organ dalamnya akan berubah warna menjadi hitam di iringi dengan kehilangan kontrol tubuh dan pikiran.
Keberadaan virus tersebut yang muncul di seluruh penjuru dunia secara serentak tanpa adanya tanda-tanda dari mana virus tersebut berasal, membuat para ilmuwan bahkan berfikir kalau virus ini adalah hukuman dari Tuhan untuk manusia.
Dikarenakan wabah virus tersebut, hanya dalam waktu kurang dari 1 Minggu, 40% populasi manusia musnah menjadi mayat hidup agresif yang memakan apapun secara membabi buta.
Bumi tak lagi menjadi tempat aman dan damai, melebihi perang dunia yang hanya terjadi di beberapa negara saja. Wabah ini menjadikan seluruh dunia menjadi neraka hidup yang tak layak huni.
Namun setelah puluhan tahun, virus yang diyakini sebagai hukuman dari Tuhan ternyata ulah dari sesosok makhluk superior yang berniat menguasai dunia.
...***...
22 Tahun Kemudian.
Klangg! Klangg!
"Menyerah lah manusia ... Sampai kapan pun kau tak akan bisa mengalahkan ku."
Terlihat sosok hitam berwujud anak-anak tanpa mata, mulut, hidung, telinga. Hanya sebuah tubuh dan kepala berwarna hitam pekat. Lebih terlihat seperti sebuah boneka manekin kecil.
Sosok hitam tersebut tengah berbicara kepada seseorang yang terlihat lusuh, terlihat seperti tunawisma. Meskipun lusuh, samar-samar terlihat wajah tampan yang tertutupi oleh debu dan kotoran, tubuh atletis yang semua orang idamkan. Rambut putih bak salju dengan mata merah ruby yang menyala layaknya kobaran api.
Terlihat masih muda, seperti baru berumur 20 tahun. Namun dari tatapan tajam nan dingin yang ia perlihatkan, menggambarkan bahwa ia telah hidup jauh lebih lama dari yang terlihat.
Pria tersebut memegang sebuah pedang hitam yang sangat besar. Lebar dan panjang pedang tersebut bahkan menyamai ukuran badannya. Namun secara ajaib, dia bisa menggunakan pedang tersebut dengan leluasa.
Namun, pria itu tampak tak baik-baik saja, berhadapan dengan sosok makhluk aneh berwarna hitam pekat yang memiliki perawakan manusia seukuran anak-anak, dia terlihat cukup tertekan namun tetap berusaha tenang.
Meskipun makhluk tersebut memiliki wujud yang tak menyeramkan, namun saat berhadapan dengannya terasa seperti menghadap ke perwujudan dari bencana alam. Warna hitam pekat nan polos tersebut lebih terlihat seperti sebuah black hole yang menarik harapan hidup manusia yang menentangnya.
Tak memiliki mata namun dapat melihat, tak memiliki mulut namun bisa berbicara, tak memiliki telinga tapi pendengarannya jauh melebihi makhluk bertelinga.
Dia adalah makhluk dari ras superior yang salah satu dari mereka saja sanggup untuk meratakan dunia.
...
"Aku akui ... Sebagai makhluk inferior, kau adalah yang terkuat karena sudah bertahan sejauh ini. Bahkan para Apostle ku yang sudah kuberi potongan kekuatanku pun tak sanggup menghadapi mu dan berakhir terbunuh."
"Sebagai manusia terakhir yang tersisa dan memberikan perlawanan, aku akan mengapresiasi usahamu selama ini dengan menunjukkan kekuatanku yang sebenarnya."
Setelah berbicara seperti itu, makhluk hitam tersebut mengangkat tangannya dan muncul sebuah bintik-bintik hitam di udara.
"Saksikanlah kekuatan ilahi dari makhluk yang lebih superior darimu, Benih kehancuran!"
Sesaat, bintik-bintik hitam tersebut jatuh ke tanah, menciptakan sebuah ledakan dahsyat yang bisa menelan sebuah kota secara instan.
BLARRRRR!
Asap dan debu-debu mengepul tebal di udara. Di balik kumpulan asap tersebut, memperlihatkan sebuah cekungan dalam seukuran kota yang terbentuk dari benih kehancuran.
Tak hanya itu, di cekungan tersebut terdapat sebuah lendir-lendir hitam yang sangat korosif, dan dapat merambat ke tempat apapun, tanah, beton, laut, batu, pohon semuanya akan tercemar oleh cairan korosif ini.
Lendir-lendir tersebut sebenarnya adalah sebuah molekul-molekul berbahaya yang dapat membelah diri dengan sangat cepat, dan dengan mudah memperbanyak diri sehingga dapat merambat ke berbagai tempat.
Seluruh tempat yang sudah terkena lendir ini tak akan pernah bisa lagi menjadi tempat yang layak huni. Karena itulah dinamakan 'benih kehancuran'.
Secara mengejutkan, kedua sosok tadi, masih berdiri tegak di tempatnya. Hanya tempat dimana mereka berdua berdiri yang tak terkena efek dari ledakan tersebut, namun keadaan tubuh mereka jauh berbeda.
Makhluk hitam terlihat masih sangat baik dan tak terluka sedikitpun, namun pria berambut putih yang melawannya terlihat cukup memprihatinkan.
Pedang yang ia bawa sepenuhnya hancur, kedua tangannya menghitam terkena lendir korosif dari benih kehancuran, organ di dalam tubuhnya kacau karena menahan ledakan yang cakupannya seluas kota. Bahkan sampai memuntahkan darah yang tak sedikit.
"Kugkkk!" Pria tersebut kembali memuntahkan darah segar.
"Hahh-hahh ... Sial kenapa masih begitu jauh," ucapnya kesal sambil terengah-engah.
'perbedaan kekuatan kita masih bagaikan langit dan bumi. Apa memang mustahil,' batinnya menatap ke arah langit yang sudah tak cerah lagi.
"Maaf ... Sepertinya aku hanya menyia-nyiakan pengorbanan yang kalian lakukan. Aku masih jauh dari kata melawan apalagi mengalahkannya," ucap pria tersebut sambil melihat ke arah sosok hitam yang masih berdiri tegak tanpa luka.
"Selamat tinggal manusia terakhir, Arthur Pendragon," ucap sosok hitam tersebut sambil menjulurkan tangannya kedepan.
Muncul satu bintik hitam di depan kepala pria yang ternyata memiliki nama asli Arthur.
"Jadi sudah berakhir ya ... Akhir yang sangat buruk dengan musnahnya umat manusia.
Yah, setidaknya semua penderitaan selama 22 tahun ini akan berakhir di sini ..."
Bang!
Bersambung>>
Malam hari di suatu villa, tampak cukup banyak orang berpakaian formal seperti jas dan gaun berkumpul ramai. Terlihat seperti sedang mengadakan acara pesta perjamuan.
Mereka saling bertutur kata sambil menikmati segelas minuman beralkohol. Diantara kumpulan orang yang ramai itu, terlihat seorang pria tampan berumur kisaran 20 tahun dengan rambut hitam bak arang, mata biru matang bak langit di sore hari, serta kulit putih bersih diam dengan tatapan kosong, tampak bingung.
Dia pun berjalan pelan keluar dari villa dengan tatapan kosong. Salah seorang menyadari dirinya berjalan keluar pun menghampiri pria tersebut.
"Arthur!"
Saat pria yang bernama Arthur sudah keluar dari villa, ia langsung menatap ke arah langit yang dipenuhi dengan bintang dan mulai memperlihatkan ekspresi muram.
Ia berlari menjauh dari villa yang ada di pegunungan tersebut menuju ke arah tempat sepi.
"Sialannn!"
Buakk!
Arthur berteriak kesal sambil menghantam sebuah pohon didekatnya.
Jari-jarinya terasa sakit, darah mengalir hingga ke lengannya, namun rasa sakit tersebut tak ia hiraukan.
"Kenapa aku bisa kembali lagi!? Bajingan sialan! Perbuatan siapa ini! Kau ingin aku mengulang keputusasaan selama 22 tahun lagi!?"
Arthur berteriak lepas, air mata menetes ke jas formalnya, tak bisa membendung rasa kesal, sedih, dan rasa tak percaya akan apa yang terjadi padanya saat ini.
Mana mungkin ada orang yang rela mengulang kembali kehidupan di neraka yang penuh dengan penderitaan dan terror setiap harinya. Mati dengan tenang jauh lebih baik dibanding merasakan hal itu lagi.
Dari belakang, terlihat sosok pemuda sebaya dengan Arthur, ia memiliki rambut hitam dengan model rambut pendek yaitu buzz cut, model yang cukup populer di tahun tersebut, tampak sangat cocok dengan wajahnya yang terlihat seperti seorang preman.
Ditambah badan besar berotot menjadikan dia cocok dipanggil preman. Namun setiap orang pasti memiliki kekurangan, dan kekurangan pemuda itu adalah tinggi badannya, ia memiliki tinggi badan 172 cm, dibanding Arthur yang memiliki standar tinggi badan normal yaitu 187 cm, pria tersebut terlihat cukup pendek.
Jika itu 30 tahun yang lalu, mungkin tinggi badannya sudah mencapai standar. Namun sekarang manusia jauh berevolusi dengan membuat sebuah makanan sehat namun tetap sangat enak, berbeda dengan puluhan tahun yang lalu, dimana makanan sehat dan bergizi biasanya memiliki rasa yang lebih buruk dibanding makanan yang tak sehat. Jadi dalam kurun waktu itu, standar tinggi manusia melambung jauh.
"Arthur ... Kau baik-baik saja?" Ucapnya pelan.
Arthur yang tersadar akan suara pemuda yang tak asing tersebut pun segera mengusap matanya, lalu berbalik.
"Evan? Sejak kapan kau mengikuti ku?"
Sambil mengelus kepalanya, pemuda bernama Evan tersebut pun menjawab dengan canggung, merasa tak seharusnya ia membuntuti Arthur,
"Aaa ... Tadi aku melihatmu keluar dari villa lalu pergi kemari, apa kau baik-baik saja? Ceritakan saja pada ku jika kau memiliki masalah, kita ini teman bukan?"
Melihat wajah canggung Evan, membuat Arthur menghela nafas, merasa sedikit aneh, pertemuan dirinya dengan sahabat lamanya yang sudah puluhan tahun yang lamanya malah seperti ini. Mungkin Evan menganggap kalau dirinya sering bertemu dengan Arthur, namun berbanding terbalik, Arthur yang baru saja kembali sudah tak bertemu dengan Evan dalam kurun waktu yang sangat lama karena Evan tewas di hari pertama wabah black blood.
"Hahh ... Lupakan saja, tak perlu di pikirkan," ucap Arthur sambil mengambil handphone di sakunya melihat pukul berapa saat ini.
'jam 23.05, tinggal 1 jam lagi hingga satu Januari 2067,' pikirnya sambil melihat handphone.
Melihat Arthur bengong sambil menatap ke arah handphone, membuat Evan sedikit bingung, karena tingkah laku Arthur aneh sekali malam ini.
"Emm, Arthur. Kalau begitu bukankah lebih baik jika kita pergi ke villa lagi? Takutnya ada hewan liar di sekitar sini," tanya Evan memecah keheningan.
"Hewan liar? Baiklah, aku juga punya hal yang harus dilakukan di villa," jawab Arthur.
"Baiklah ... Kau juga harus mengobati luka di tanganmu."
Mereka pun kembali ke villa, dimana orang-orang lain masih bersenang-senang dengan waktunya. Mereka tak tahu, satu jam dari sekarang, semua tawa itu akan berubah menjadi teriakan penuh penderitaan.
'nikmati waktu kalian karena sebentar lagi, kalian tak akan bisa bersenang-senang seperti ini lagi,' batin Arthur melihat orang-orang sekitar, merasa kasihan.
Arthur pun pergi menuju ke arah dapur villa, dimana banyak pelayan dan koki memasak hidangan yang ada di pesta perjamuan.
"Ada keperluan apa tuan muda?" Ucap salah satu pelayan dengan sopan melihat Arthur masuk ke dapur.
Dikarenakan semua orang yang menghadiri pesta perjamuan ini adalah orang yang memiliki nama cukup besar, para pelayan tak berani bertingkah sembarangan bahkan jika Arthur lebih muda, dan tetap bersikap sopan.
"Aku ada keperluan di sini. Apa kamu tahu tempat menyimpan pisau dapur?"
"Eh? Memangnya kenapa ya tuan muda ...?" Tanya pelayan kebingungan.
"Tak perlu tahu, juga tak perlu curiga aku akan melakukan tindak kriminal. Cukup beri tahu dimana tempatnya."
"Ah, iya. Disana tuan, di lemari putih," ucap pelayan tersebut sambil menunjuk ke arah lemari kecil berwarna putih.
Tak ragu, Arthur langsung membuka lemari tersebut dan memperlihatkan cukup banyak jenis pisau dapur. Ada pisau untuk memotong roti, tulang, daging, sayuran, buah dan masih banyak lagi.
Melihat hal tersebut, Arthur pun berdiri dan melihat sekeliling. Kebetulan, ia menemukan tas kertas yang biasa digunakan untuk mewadahi barang saat belanja.
Arthur pun mengambil tas kertas tersebut, dan mengisinya dengan berbagai pisau yang ada di lemari. Setelah mengambil semua pisau, ia pun langsung bergegas menuju ke ruang utama, dimana Evan menunggu.
"Arthur? Kenapa kau belum mengobati tanganmu? Juga apa yang kau bawa itu?"
"Sudahlah ... Luka ini tak seberapa, nanti juga sembuh. Ada hal yang lebih penting dibanding luka ini."
Mendengar ucapan Arthur, Evan semakin tidak mengerti apa yang dia katakan. Namun sebagai sahabat, dia hanya menuruti apa yang Arthur katakan.
Namun, saat Arthur ingin segera pergi ke suatu tempat. Tiba-tiba seorang gadis cantik bergaun biru dengan banyak hiasan kupu-kupu, dan memiliki rambut hitam bak tinta menghampiri mereka berdua.
"Evan, Arthur, apa kalian tidak menikmati pesta ini?" Ucap gadis tersebut.
Mendengar hal tersebut, Evan yang berniat mengikuti Arthur pun terhenti dan berbalik menghadap ke wanita tersebut, begitu juga Arthur.
"Tidak, bukan begitu Celina. Mana mungkin aku tak menikmati pesta ulang tahun teman unversitas sendiri?"
"Syukurlah kalau kau menikmatinya ... Oh iya, acara pemotongan kue akan segera dimulai, jadi jangan pulang dulu yah. Kamu juga Arthur," ucap gadis yang ternyata memiliki nama Celina.
"Ah, iya kamu tenang saja, aku dan Arthur tak akan kemana-mana," jawab Evan menghormati Celina.
"Baiklah, kalau begitu."
Celina pun pergi bersiap-siap untuk pemotongan kue ulang tahunnya. Sedangkan tangan Arthur ditarik oleh Evan mencegahnya pergi kemana-mana.
"Arthur, kita harus menghormati pemilik acara. Setidaknya jangan pergi di waktu-waktu penting seperti ini."
Melihat perilaku sahabatnya tersebut, membuat kepala Arthur pusing. Andai saja dia bisa memberi tahu Evan kalau sebentar lagi bencana akan tiba, namun jika ia mengatakan hal itu, mana mungkin ia percaya.
'sial, ini buruk,' batin Arthur.
Beberapa saat kemudian, seorang wanita yang merupakan pembantu acara berbicara menggunakan mikrofon sehingga semua orang bisa mendengarnya.
"Baiklah para tamu sekalian, karena sudah cukup malam, mari kita mulai pemotongan kue ulang tahunnya."
Sesaat kemudian, sebuah kue setinggi 1 meter dibawa masuk oleh beberapa pembantu. Semua orang yang melihatnya pun bernyanyi lagu selamat ulang tahun untuk Celina sambil bertepuk tangan sesuai dengan irama lagu.
Saat kue sudah di bawa masuk, para pembantu pun mengambilkan pisau pemotong kue ke Celina.
Tiba-tiba....
Bzzzzt! Tap!
Lampu villa mati secara tiba-tiba, semua orang terkejut karena hal itu, kecuali satu orang yang sebelumnya sudah pernah mengalami hal serupa dimasa lalu.
Bersambung>>
Bzzzzt! Tap!
Lampu villa mati secara tiba-tiba, semua orang bingung dengan apa yang terjadi, sedangkan Arthur sendiri sudah sigap dengan mengeluarkan sebuah pisau pemotong tulang yang memiliki bilah tebal.
"Hei Arthur ... Kenapa lampunya tiba-tiba mati? Apa ini bagian dari pertunjukan pesta?"
"Shhhh! Diam dan ikuti aku, jangan buat banyak suara," ucap Arthur dengan tatapan serius.
Disaat suasana disana cukup ramai, Arthur menyeret tangan Evan menuju ke lantai 2 villa dengan hati-hati dan penuh kewaspadaan.
Saat tiba di lantai 2, Arthur mengambil beberapa barang seperti tas untuk wadah pisaunya agar lebih mudah dibawa, beberapa makanan seperti roti dan botol air mineral dan memasukkan semuanya kedalam tas.
Evan bertanya kepada Arthur, apakah ia ingin mencuri makanan atau bagaimana? Jika ia kelaparan dan membutuhkan makanan tak perlu mencuri dan tinggal ambil saja.
Namun Arthur malah menyuruh Evan diam dengan ekspresi dingin. Meskipun wajah dan tubuh Evan terlihat seperti seorang preman, namun sebenarnya Evan adalah orang yang baik dan penurut. Karena itulah ia terus menuruti apa yang Arthur katakan selama tak terlalu berlebihan.
Setelah itu Arthur pun masuk ke dalam kamar tamu dan mengunci serta mengganjal pintunya menggunakan lemari kecil. Saat Evan semakin merasa kalau hal ini tak benar, tiba-tiba dari lantai 1 terdengar suara teriakan yang sangat keras dan melengking.
Sepertinya telah terjadi sesuatu di bawah. Sesaat, suasana langsung menjadi mencekam dan sangat ramai.
"Cepat! Ambil semua yang diperlukan dan kita akan memanjat ke atap villa!" teriak Arthur pada Evan.
"Eh? Apa yang diperlukan?" ucap Evan masih kebingungan dengan apa yang terjadi di sini.
"Bawa semua yang menurutmu diperlukan!" teriak Arthur sambil tergesa-gesa.
Pyarr!
Evan langsung memecah pintu balkon dan mengumpulkan pecahan kaca tersebut dengan sarung bantal. Setelah itu, ia pun kebalkon dan memanjat ke atas atap. Mencari tempat yang bisa ia gunakan sebagai tempat berlindung dari tahap awal virus Black blood menyebar.
Untungnya, setelah mencari ada sepetak atap yang tak bergenteng. Arthur pun langsung meletakkan semua barang yang ia bawa di sana dan kembali ke bawah sambil membawa sebuah pisau, menghampiri Evan.
"Hei Evan! Cepat kemari lah!" panggil Arthur dari atas sambil melihat ke arah balkon.
Sesaat, terlihat Evan yang sudah membawa cukup banyak barang yang ia karungi menggunakan sprei kasur.
"Baiklah ... Tapi tolong angkat ini keatas dulu."
Arthur pun menarik karung sprei yang Evan bawa ke atas atap.
'berat, apa saja yang dia masukkan ke sini?' batin Arthur.
Setelah Arthur mengangkat barang-barang tersebut, Evan pun berniat memanjat ke atas atap namun, sebelum ia memanjat, Evan melihat banyak orang yang berteriak sambil berlarian keluar villa, dia pun bertanya-tanya dibenaknya,
'apa yang sebenarnya terjadi!'
Namun sesaat kemudian rasa penasarannya itu terjawab, orang-orang yang berlarian ke luar, dikejar oleh beberapa orang yang berlari dengan cara aneh, namun sangat cepat hingga bisa menyusul yang lainnya.
Saat tersusul, sekelompok orang yang berlari dengan cara aneh itu pun melompat, menjatuhkan salah seorang lainnya. Setelah itu hal yang tak ia duga terjadi, orang tersebut memakan orang yang ditimpanya hidup-hidup.
"Hei! Apa yang kau lihat, cepat ke naik ke atas!" ujar Arthur yang sudah mengulurkan tangannya dari tadi.
Tak memikirkan apapun lagi, Evan pun menggapai tangan Arthur dan memanjat ke atas atap. Mereka berdua pun tinggal di atas atap sambil di terror oleh teriakan-teriakan keras yang dikeluarkan oleh orang-orang yang akan kehilangan nyawanya.
Evan cukup shock, hal itulah terlihat jelas di wajahnya. Ia bahkan hanya diam tak mengatakan apa-apa sambil menatap ke bawah. Arthur juga tak bisa melakukan apa-apa dengan hal itu. Cepat atau tidak, Evan harus terbiasa mendengar hal semacam itu.
Jika ia tak bisa terbiasa, maka ia memang tak layak hidup di dunia yang penuh darah penderitaan ini!
Setelah beberapa saat, akhirnya Arthur pun membuka mulutnya, dan berbicara dengan santai,
"Hei, istirahatlah. Tenangkan dirimu dan persiapkan diri untuk hari esok. Dunia yang selama ini kau tahu akan sepenuhnya berbeda mulai besok pagi."
Mendengar ucapan Arthur, Evan perlahan bergerak, membuka barang-barang yang ia bawa. Arthur terkejut karena Evan membawa bantal, guling, lampu tidur, bahkan sendal, alat untuk membersihkan diri seperti sikat gigi dan sabun, lebih aneh lagi ia membawa 5 set pakaian tidur yang ada di kamar tamu, tak lupa juga handuk.
"..."
"Kau ini ... Apa kau kira kita kemari untuk berkemah atau semacamnya? Juga kenapa kau membawa sikat gigi dan sabun? di atas sini saja tak ada air."
"I-itu ..."
"Hahhh ... buang semua itu besok, sekarang tidurlah. Setidaknya kita bisa tenang karena mereka tak akan bisa memanjat kemari untuk sementara waktu."
...
Keesokan paginya.
Arthur terbangun, melihat Evan yang tidur pulas dengan menggunakan bantal, guling, serta selimut yang ia bawa keatas.
'ho, ternyata dia masih bisa tertidur pulas seperti itu setelah kejadian kemarin malam,' batin Arthur lega, karena sahabatnya itu beradaptasi cukup cepat.
Teriakan orang-orang yang ada di villa juga sudah tak terdengar 2 jam setelah mereka ke atas. Mungkin setelah itu baru Evan bisa tidur dengan pulas.
"Hei, bangun ..." Ucap Arthur sambil menggoyang tubuh Evan.
Evan pun terbangun dengan mata merah, normalnya orang bangun tidur. Sambil mengusap matanya yang sedikit berair, Evan berkata pada Arthur,
"Jadi ini bukan sekedar mimpi ya ..." Ucap Evan melihat pemandangan pegunungan yang cukup indah, namun dibawah mereka terlihat banyak orang yang sepenuhnya telah bermutasi.
Kulit mereka sepenuhnya berubah menjadi warna hitam, seperti ditato hitam di seluruh badan bahkan mata sekalipun. Sudah tak terlihat seperti manusia lagi.
"Sebenarnya mereka itu apa?" Tanya Evan pada Arthur.
"Seperti yang kau lihat, mereka berubah menjadi zombie. Jangan samakan mereka dengan zombie yang ada di film-film itu. Mereka jauh lebih kuat, cepat, dan berbahaya."
"Pastikan kau tak terkena gigitan mereka. Jika tidak, kau akan berubah menjadi seperti itu juga," jawab Arthur.
"Ya." Jawab singkat Evan.
Setelah itu, Arthur memberikan sebungkus roti dan botol minum kepada Evan, tak lupa memberinya sebuah pisau.
Tanpa bertanya, Evan sudah tahu untuk apa pisau tersebut, namun ia masih tak bisa membayangkan menusuk makhluk yang masih mirip manusia itu.
Setelah memakan sebungkus roti dan sebotol air minum, mereka pun bergegas menuju ke bawah untuk mengecek keadaan di bawah setelah membawa persediaan yang dibutuhkan, Arthur juga membawa pecahan kaca yang ia masukkan ke sarung bantal.
Sebenarnya lebih aman jika mereka tetap di atas, namun hanya untuk sesaat sebelum mereka kehabisan makanan dan minuman.
Setelah mereka turun ke balkon, mereka mengendap-endap mengecek kedalam kamar. Setelah memastikan tak ada zombie di dalam, Arthur pun menempelkan telinganya ke pintu kamar, mengecek apakah di luar ada zombie.
"Gimana Arthur?" bisik Evan.
"Sepertinya tidak ada," jawab Arthur pelan.
Secara perlahan, mereka pun mengangkat lemari kecil yang mengganjal pintu, setelah itu baru mereka keluar dari kamar. Villa benar-benar menjadi gelap. Listrik mati dan tak ada cahaya yang masuk.
Saat mereka berniat berjalan kebawah, mereka melihat seorang zombie wanita yang familiar, yakni Celina yang tengah memakan tubuh seseorang.
"Ughk!"
Tiba-tiba Evan merasa sangat mual, karena disekitar Celina ada begitu banyak orang yang mati dengan cara yang mengenaskan, serta darah dimana-mana.
"Hei, jangan berisik. Mereka sangat sensitif dengan suara ..." bisik Arthur berbalik menghadap Evan.
Namun saat Arthur melihat wajah Evan, dia terlihat seperti ketakutan. Arthur pun langsung mengalihkan pandangannya ke arah Cecilia dengan cepat, dan benar saja ...
Dia sudah menatap tajam dengan wajah yang penuh darah serta mulut yang terus mengeluarkan air liur.
'ini buruk.'
Bersambung>>
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!