NovelToon NovelToon

CONFIANCE

1 - The Begining

Sebenarnya apakah definisi dari pacaran yang sesungguhnya? Apakah hanya sekedar menyampaikan rasa suka dan menghabiskan waktu berdua atau lebih daripada itu? Entahlah, wanita yang sudah menginjak usia sembilan belas tahun itu belum memiliki jawaban yang tepat hingga sekarang.

Aurellia Aurita Quinn. Mahasiswa sumberdaya akuatik semester dua itu belum pernah menjalani hubungan dengan orang lain sebagai sepasang kekasih. Tak pernah ada yang mengatakan cinta kepadanya.

Sebenarnya ada seseorang yang tengah bersinggah di hati Liya. Namun sampai sekarang ia masih berusaha untuk membuat pria itu keluar dari persinggahannya. Ia ingin menghentikan perasaan ini dan menguburnya dalam-dalam.

Neocomatello Alata, pria yang tengah menjelaskan materi praktikum itulah yang membuat Liya berkecil hati. Ia harus bisa menghentikan rasa sukanya pada asisten itu karena banyaknya orang yang menyukai Alata. Pun rasa benci Liya pada orang-orang yang berada di sekitar Alata juga yang membuatnya urung melanjutkan rasa sukanya.

“Baik itu saja yang bisa saya sampaikan pada asistensi kali ini,” ucap Alata menyudahi pembahasannya.

Tak berselang lama, asisten yang bertugas sebagai moderator pun menyudahi kegiatan asistensi kali ini dan membuat mahasiswa berbondong-bondong keluar. Hampir semua kecuali penggemar Alata yang langsung mengerumuninya dan empat mahasiswi yang masih diam di tempatnya.

Empat orang itu adalah Liya, Kia, Citta dan Erina. Mereka memang selalu keluar kelas saat teman-teman mereka sudah keluar semuanya. Alasannya adalah karena keempatnya tak ingin berdesakan dengan yang lain. Toh pada akhirnya mereka juga akan keluar meskipun harus menunggu jadi mengapa harus cepat-cepat?

Namun menunggu seraya melihat pria yang disukai bersama mahasiswi lain membuat batin Liya tersiksa. Melihat Alata yang diserbu mahasiswi pencari perhatian dari jauh membuat hati Liya memanas. Ia bahkan hanya bisa diam tanpa melakukan apapun.

Kia, Citta dan Erina yang menyadari keterdiaman teman mereka pun tertawa. Ketiganya memang sudah mengetahui tentang rasa suka Liya dan usaha Liya untuk melupakan Alata. Namun tawa itu membuat Liya menatap mereka tajam.

“Apa?!” sewot Liya membuat tawa ketiga temannya semakin renyah.

“Biasa aja dong mbak, nggak usah ngegas gitu dong kayak orang yang ketahuan ngeliatin crush aja,” sahut Citta dengan sisa tawanya.

Erina mengangguk, “Iya nih, katanya udah nggak mau suka tapi kenapa masih diliatin mantan crushnya?” godanya membuat Liya semakin jengah.

Wanita itu memutar bola matanya, “Aku emang nggak suka kok, cuma aku kayak nggak suka aja tuh ngeliat temen-temen kalian yang gatel itu. Ngapain coba deket-deketin Kak Al dan sok nanya-nanya hal yang sebenernya udah dijelasin?”

“Iya...iya... cuma nggak suka sama mereka yang caper kok, bukan karena cemburu ngeliat Kak Al sama cewek lain.”

Sahutan Kia membuat Liya berdecak, “Udah ah males aku,” ucapnya beranjak. “Mending cari ikan yuk daripada bahas hal nggak penting gini.”

Kia, Citta dan Erina seketika menganggukkan kepala mereka dan mengikuti langkah Liya. Pada akhirnya mereka meninggalkan ruangan itu dan orang-orang yang ada di dalamnya. Meninggalkan seorang pria yang menatap kepergian mereka.

...-+++-...

Sebagai mahasiswa sumberdaya akuatik semester dua, Liya dan teman-temannya diharuskan untuk mendapatkan lima puluh spesies ikan berbeda dan mendokumentasikannya secara langsung.

Sangat merepotkan bukan? Apalagi dengan deadline yang tinggal beberapa hari lagi membuat mereka kalang kabut. Karena itu mereka memutuskan untuk pergi ke pasar ikan kali ini dengan harapan bisa menyelesaikan perburuan ikan mereka.

Namun sepertinya sore ini Liya dan Erina sedang terkena sial. Motor yang mereka tumpangi tiba-tiba saja oleng dan mengharuskan Erina mengerem dengan sangat kuat hingga melukiskan jejak hitam di jalanan.

“KENAPA RIN?” tanya Liya yang masih syok.

Erina yang juga syok pun masih berusaha mengatur napasnya sebelum menggeleng, “Aku juga nggak tau, kayaknya bannya kena paku deh.”

Benar, setelah Liya turun dan mengamati ban motor Erina memang terdapat paku-paku yang menancap di benda lingkaran itu. Huft, sepertinya memang ada yang sengaja menyebarkannya di jalanan itu.

“Ini mah sengaja.”

“Terus kalian mau gimana?” tanya Citta yang sudah turun dari motornya.

Liya segera mengedarkan pandangannya. Ia pikir ia akan menemukan tukang tambal ban yang sengaja menyebarkan paku ini. Namun sialnya, jalanan yang mereka lewati sangat sepi dan jarang terdapat bangunan.

Hanya ada satu bangunan yang berhasil tertangkap oleh netra Liya. Bangunan itu terlihat ramai oleh beberapa motor dan mobil yang terparkir di luar bangunan itu.

“Mau kesana aja nggak? Siapa tau ada yang bisa bantu,” usul Liya membuat ketiga temannya bertatapan.

“Kamu yakin?” tanya Erina memastikan, pasalnya ia yang asli warga sini saja tak yakin jika bangunan di tempat sesepi ini merupakan tempat yang aman untuk mereka datangi.

Sejujurnya Liya juga tak terlalu yakin apalagi di antara mereka yang bisa bela diri hanyalah Kia. Namun mau bagaimana lagi? Jika mereka tak ingin mencoba bagaimana mereka bisa pergi dari tempat ini?

Kia yang lama diam pun akhirnya mengeluarkan suara, “Apa mau manggil montir kesini?”

“Kalau manggil sekarang bisa sampai jam berapa?”

“Sebentar,” tahan Kia dan segera menelpon montir kenalannya.

Setelah lima menitan menelpon, akhirnya Kia menutup telepon itu dan tersenyum seraya mengangkat kedua jarinya, “Kita coba ke sana aja yuk. Bener deh kata Liya, siapa tau mereka yang di sana bisa bantu kita.”

“Idih, kenapa montirnya? Nggak bisa dateng?” sewot Liya.

“Aku lupa kalau istrinya lagi lahiran jadi dia lagi balik ke Sidoarjo,” jawab Kia memegangi kepalanya, “Duh mana dia sekarang jadi minta kado lahiran lagi ke aku.”

Seketika tawa menghiasi tempat sepi itu. Nasib Kia benar-benar membuat ketiga temannya tertawa puas. Cukup lama mereka tertawa hingga Liya kembali bersuara dengan sisa tawanya, “Ya udah yuk.”

“Yuk.”

Mereka segera mendorong motor Erina hingga sampai di depan bangunan itu. Kedatangan mereka langsung disambut oleh gerombolan orang yang sedang bersantai di teras. Sungguh, melihat gerombolan itu membuat bulu kuduk Liya berdiri sempurna.

Liya semakin terpojok ketika ketiga temannya mendorongnya untuk maju. Sungguh ia benar-benar kesal sekarang. Ia pun tak memiliki pilihan lain selain mengajukan diri untuk bertanya pada pria-pria itu.

“Permisi, maaf ganggu tapi mau numpang nanya bengkel di sekitar sini dimana ya?”

Pertanyaan Liya membuat salah satu pria itu beranjak dari tempatnya dan mendatangi Litya. Pria itu mengeluarkan smirknya dan terus mendekat hingga Liya semakin mundur.

“Di sekitar sini mana ada bengkel, cantik. Jadi gimana kalau lo habisin waktu lo disini aja sama kita?”

Liya mengernyitkan dahinya. Bukankah apa yang ia dengar sudah termasuk pelecehan? Bagaimana bisa pria itu mengatakan kalimat yang tak enak didengar pada orang yang baru ia temui? Sungguh Liya ingin muntah sekarang!

Lebih baik ia mendorong motor berkilo-kilo jauhnya dari pada menghabiskan waktunya dengan orang sinting di sini. Tanpa mengeluarkan suaranya lagi, Liya segera berbalik dan menjauhi orang itu.

Namun tiba-tiba langkah Liya tertahan ketika sebuah tangan menahan pergerakannya, “Sorry soal temen gue. Motor lo benerin di sini aja.”

Liya hanya bisa menatap ketiga temannya untuk meminta pendapat. Namun ketiga wanita itu hanya mengangguk tanpa mengeluarkan suaranya hingga membuat Liya kesal sendiri. Sungguh ketiga temannya tak bisa diandalkan dalam kondisi seperti ini.

Jika saja Liya mengedepankan egonya pasti ia akan menolak tawaran pria itu. Namun melihat Erina yang sudah lelah dan terlihat lapar itu membuat Liya tak tega dan pada akhirnya mengangguk setuju.

“Tapi gapapa kak? Beneran?”

“Gapapa, santai aja,” ucap pria itu sebelum menyuruh salah satu pria itu untuk membawa motor Erina ke bengkel mereka.

Setelah memastikan motor Erina masuk ke bengkel, pria itu pun kembali tersenyum dan mengulurkan tangannya, “Gue Egra, kalau lo?”

“Liya kak.”

2 - Unlucky Weekend

Xanthellae Home. Disinilah Liya dan ketiga temannya berada. Dilihat dari dekorasi yang serba otomotif membuat Liya yakin bahwa orang-orang yang telah menolongnya adalah anggota sebuah genk motor. Ditambah dengan keahlian Egra dan temannya dalam memperbaiki ban motor Erina membuatnya semakin yakin akan hal itu.

Hanya butuh beberapa menit untuk membuat motor Erina terlihat seperti baru. Selain mengganti ban motor Erina dengan yang baru, mereka bahkan mencucikan motor Erina hingga bersih dari debu.

Perbuatan baik mereka sungguh membuat Liya mengubah perspektifnya. Ia tak menyangka jika pria-pria yang baru ia temui memiliki kepribadian yang baik. Bahkan pria yang tadi ia pikir melecehkannya pun sudah meminta maaf dan membantu memperbaiki motor Erina.

"Ini kuncinya, udah selesai dibenerin motornya," ucap Egra seraya memberikan kunci motor Erina kepada Liya.

Liya menerima kunci itu seraya tersenyum, "Makasih banyak ya kak. Maaf banget jadi ngerepotin kalian semua."

"Gapapa, san-"

"SIAPA KALIAN?!"

Tiba-tiba suara bentakan yang menggelegar membuat semua orang terkejut. Baik keempat mahasiswi yang tak tau apapun ataupun anggota Xanthellae lain yang terlihat begitu takut dengan pria yang baru datang.

Pria itu memang terlihat sangat menakutkan dengan mata elang yang siap untuk menerkam siapapun yang melihatnya. Hanya ada satu orang yang terlihat tenang dan tak terganggu dengan kemarahan pria itu.

Hanya Egralah yang masih bisa tenang. Ia bahkan mendekati pria itu dan menepuk bahu pria itu, “Tenang bro. Baru dateng jangan langsung marah-marah.”

“Lo lupa peraturan Xanthellae apa?!”

Egra hanya dapat mengangguk dan menarik pria itu menuju basecamp setelah memberikan kode kepada anggota Xanthellae lain untuk membawa Liya dan teman-temannya keluar dari basecamp mereka.

“Lepas!”

Dengan cepat Egra melepas tangannya dan menatap pria itu. Ia menarik napas panjang, “Gue tau peraturan Xanthellae buat nggak bawa cewek ke basecamp kecuali anggota Xanthellae.”

“I know that, tapi gue juga nggak bisa biarin mereka kesusahan saat ban motor mereka bocor karena paku-paku yang kita sebarin. Pengecut banget nggak kalau gitu?”

Pria yang sebelumnya menggebu-gebu pada akhirnya hanya bisa menghembuskan napasnya setelah mendengarkan penjelasan Egra. Ia pun menyilangkan kedua tangannya di depan dada dengan angkuh.

“Itu salah mereka karena lewat sini, jadi setelah ini cepet lo suruh mereka pergi sebelum gue yang bikin mereka angkat kaki,” jelas pria itu sebelum meninggalkan Egra.

Egra mengangguk patuh, “Mereka sekampus sama lo by the way.”

“I dont care.”

Sungguh acuh dan cuek tetapi berhasil membuat senyum Egra mengembang. Reaksi yang diberikan pria itu membuatnya tertarik akan sesuatu.

Let’s play the game.

...-+++-...

Hari ini adalah hari kesialan bagi Liya. Dimulai dari pertemuan dengan asisten planktonologi, melihat wanita lain mendekati Alata, ban motor Erina terkena paku, hingga berakhir dibentak oleh pria yang tak ia kenal. Ia bahkan masih mengingat bagaimana pria itu memarahi Egra.

“Gue tau peraturan Xanthellae buat nggak bawa cewek ke basecamp kecuali anggota Xanthellae…”

Sungguh Liya sangat berterima kasih kepada Egra yang masih membelanya di depan pria itu. Namun tetap saja ia tak ingin berurusan lagi dengan mereka, apalagi dengan pria yang sangat menyeramkan itu.

“Jangan dianggurin terus tuh makanan,” nasehat Kia menghentikan lamunan Liya.

Bukannya Liya sengaja menganggurkan makanan. Ia juga sebenarnya lapar karena dari pagi belum makan. Hanya saja selera makannya tiba-tiba hilang sejak memikirkan kejadian di basecamp itu. Ia yang memang dasarkan mudah overthinking harus bergelut dengan kejadian yang membuatnya tak tenang.

“Kalian tau nggak sih kenapa laki-laki itu nggak suka banget sama kita?”

Kia, Erina dan Citta serempak menggeleng hingga membuat Liya kembali mengeluarkan suaranya, “Laki-laki itu kayaknya nggak suka kita disana karena mereka punya peraturan buat nggak ngundang perempuan selain anggota mereka.”

“Kamu serius? Tau darimana?”

Liya mengangguk, “Tadi aku denger dikit-dikit pembicaraan Kak Egra sama cowok tadi makanya aku nggak mau deh kalau harus lewat situ lagi. Dimarahi Pak Boni karena tugas nggak selesai juga gapapa deh.”

“Emang kita udah dapet berapa ikan?”

Kia segera membuka catatan yang ada di ponselnya, “Baru dapet 35. Masih kurang banyak.”

“Kalau gitu kita coba ke supermarket aja deh siapa tau ada ikan yang belum kita foto daripada balik lagi ke jalanan itu,” putus Liya.

“Boleh.”

...-+++-...

Hari minggu adalah hari yang paling dinanti karena dapat mengistirahatkan diri dari segala tugas yang harus dikerjakan. Begitupun dengan Liya. Ia memilih untuk mengistirahatkan otaknya dengan belanja bulanan ke supermarket.

Setelah membayar ojek online yang mengantarkannya, Liya pun segera berjalan kaki menuju supermarket. Namun baru beberapa langkah tiba-tiba tangannya ditahan oleh seorang wanita berperut buncit yang membuatnya berhenti.

“Mbak, tolong saya... Saya sudah nggak kuat...” rintih wanita itu.

Tentu saja Liya langsung panik. Ia yakin jika wanita itu sedang kontraksi tetapi ia sama sekali tak memiliki gambaran harus melakukan apa. Di sekitar merekapun tak ada siapapun yang bisa dimintai pertolongan.

“Ibu jangan lahiran disini dulu tolong. Sabar ya... saya cari pertolongan dulu.”

Liya terus mengedarkan pandangannya untuk mencari orang yang bisa ia mintai pertolongan seraya menahan ibu itu kuat-kuat. Di dalam hati ia terus berdoa agar Tuhan segera mendatangkan orang yang bisa menyelamatkan ibu hamil itu.

Tepat setelah Liya menyelesaikan doanya, tiba-tiba sebuah koenigsegg gemera silver melaju ke arahnya yang membuat secercah harapan muncul. Dengan cepat Liya berlari dan mencegat mobil itu hingga berhenti tepat di hadapannya.

Sungguh aksi Liya adalah aksi yang berbahaya dan membuat sang pengemudi kesal. Pengemudi itupun membuka jendela nya dan mengeluarkan kepalanya, “LO MAU MAT-“

Bentakan itu seketika terhenti ketika pria itu menyadari siapa yang telah mencegatnya. Begitu pun dengan Liya yang langsung mematung di tempatnya. Pengemudi itu adalah orang yang sama dengan orang yang telah membentaknya dua hari yang lalu.

Liya bahkan sudah berdoa agar tak bertemu dengan pria itu lagi tetapi mengapa takdir mengharuskan mereka bertemu dalam keadaan yang kacau seperti ini?

"LO BENER-BENER YA DARI KEMARIN BIKIN GUE EMOSI!"

Liya akhirnya tersadar dan menarik napas panjang, "Maaf buat yang kemarin. Tapi bisa nggak tolong anterin kami ke rumah sakit? Ini adeknya mau lahir, kak...”

Pria itu hanya memutar bola matanya jengah, “Bukan urusan gue! Jadi minggir atau gue tabrak lo!”

“Nggak.”

“Minggir!”

“Nggak!”

“Ming-”

"Mas… mbak… saya udah nggak kuat," lirih ibu hamil itu membuat dua orang yang tengah beradu mulut menoleh.

Liya sampai lupa jika ibu hamil tersebut sudah kontraksi karena berdebat dengan pria itu. Sedangkan pria yang sebelumnya keberatan hanya dapat memutar bola matanya dan memukul setirnya, "CEPET BAWA MASUK KE MOBIL!"

Mendengar persetujuan pria itu membuat Liya mengembangkan senyum. Ia segera berlari ke ibu hamil itu dan menuntunnya untuk masuk ke dalam mobil. Namun ia kembali terdiam di depan pintu. Membuat pria yang sudah siap membantu itu menatapnya heran.

"Ngapain lo masih diem aja?"

"Gimana cara masuknya?"

3 - Leo Is A Good Boy

Galeocerd Cavier adalah seorang pria yang tak pernah membiarkan siapapun membuat barang kesayangannya kotor. Begitu pun dengan mobil yang ia gunakan. Ia akan sangat marah jika ada orang tak dikenal menyentuh mobilnya bahkan sedikit apapun.

Namun hari ini, dengan kesadaran penuh ia malah membiarkan dua wanita yang tak ia kenal berada di mobilnya. Ia bahkan seperti sopir yang harus mengantarkan kedua wanita itu dengan cepat sekarang. Bergelut dengan waktu dan kemacetan kota.

Sedangkan wanita muda yang berada di kursi belakang itu terus membantu ibu yang hampir melahirkan untuk terus tenang dan mengontrol napasnya. Liya terus menuntun ibu hamil itu untuk menarik napas dan menghembuskan napasnya hingga sampai di rumah sakit.

Pada akhirnya usaha Liya dan Leo berhasil mengantarkan ibu itu ke meja operasi dengan selamat. Ibu itu akhirnya bisa melahirkan dengan selamat tanpa ada kekurangan apapun.

Sungguh Liya sangat bersyukur akan hal itu. Ia akhirnya bisa bernapas lega ketika keluarga dari ibu itu datang. Ia pun duduk di kursi taman rumah sakit untuk menenangkan dirinya. Ia perlu waktu untuk mengatur emosinya setelah kejadian menegangkan itu selesai teratasi.

Namun, baru saja Liya tenang ia harus dikejutkan dengan kedatangan Leo yang terlihat sangat marah padanya. Pria itu bahkan mengeluarkan tatapan elangnya yang membuat Liya takut.

“Berdiri lo, ikut gue sekarang!”

“Kemana?”

“Lo yang udah bikin mobil gue kotor, jadi lo harus tanggung jawab sekarang!”

Penjelasan Leo kembali membuat tubuh Liya lemas. Ia pun menyusut dan membinarkan matanya, Cobaan apa lagi ini ya Tuhan...

...-+++-...

Leo memang tak pernah main-main dengan ucapannya. Pria itu sungguh membawa Liya menuju salah satu dealer yang asing bagi Liya. Sungguh ia tak memiliki ide apapun tentang apa yang akan Leo lakukan disini. Apakah mencuci mobil memang harus dilakukan di dealer? Tempat mobil-mobil baru ini?

Liya hanya bisa mengikuti langkah pria itu hingga mereka berhenti di resepsionis. Pria itu terlihat berbincang sebentar sebelum berjalan menuju sofa tunggu yang ada di sana.

Sejujurnya Liya tak tau harus berbuat apa sekarang. Apakah ia harus kembali mengikuti langkah Leo? Namun sepertinya rasa penasaran yang ia miliki lebih mendorongnya untuk mendekati resepsionis itu.

“Permisi kak,” ucap Liya sedikit berbisik.

“Iya kak? Ada yang bisa saya bantu?”

Dengan jantung berdebar Liya kembali bersuara, “Laki-laki yang barusan itu mau ngapain katanya kak di sini? Mau nyuci mobil?”

“Maksud kakak, Kak Leo? Kalau benar, dia merupakan klien tetap kami yang hari ini ingin mengganti interior untuk seat nya.”

“Kalau gitu sampai berapa kak biasanya?”

Oh Tuhan, Liya tak bisa menghentikan rasa penasarannya dan terus bertanya. Ia menunggu resepsionis itu selesai mengotak-atik komputernya. Tak berselang lama resepsionis itu pun kembali menatap Liya dan tersenyum.

“Kalau dilihat dari yang Kak Leo pesan, biasanya bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta kak.”

Liya hanya dapat tersenyum hambar setelah mendengar nominal yang cukup besar itu. Ia kembali mendekati Leo dengan perasaan linglung. Banyak sekali pemikiran yang memenuhi otaknya.

Sebelumnya Leo mengatakan jika dirinya harus bertanggung jawab bukan? Apakah maksudnya Liya harus membayar semua biaya penggantian seat yang diinginkan Leo? Apakah artinya ia harus mengeluarkan dana puluhan hingga ratusan juta?

Bagaimana Liya bisa membayar biaya perbaikan yang tak sedikit itu? Bahkan uang dari beasiswa yang ia terima selama empat tahun pun tak akan cukup untuk menggantinya. Jadi bagaimana ia bisa mengganti kerugian Leo?

Ingin rasanya Liya menangis sekarang. Berulang kali ia menatap pria yang tengah memainkan ponselnya dengan jantung berdebar. Jujur, ia takut tetapi ia harus segera berterus terang. Ia pun menarik napas panjang dan berdehem beberapa kali hingga Leo memusatkan atensi padanya.

“Ada apa?”

“Emmm, tadi kamu suruh aku tanggung jawab kan? Apa maksudnya aku harus bayarin semua perbaikan mobil kamu? Penggantian seat atau apa itu?”

Pria itu tersenyum, “Pinter, nggak perlu gue jelasin berarti.”

Jawaban Leo seakan menampar hati Liya dengan keras. Sekarang apa yang bisa ia lakukan? Nihil! Ia hanya dapat menunduk dan memainkan jarinya pasrah.

“Kalau aku nggak ada uangnya gimana kak? Boleh nggak kalau aku gantinya pake cara lain? Lagian kan Kak Leo juga dapet pahala karena udah bantuin ibu hamil kak jadi nggak rugi banget kan kak.”

Ungkapan Liya kembali membuat Leo tersenyum, bahkan terkekeh kecil, “Babe... Gue nggak butuh pahala. Jadi sekarang pikirin cara lo tanggung jawab nanti.”

...-+++-...

Setelah setengah jam menunggu, akhirnya mobil Leo selesai diperbaiki. Interiornya sudah diganti dengan yang baru. Sekarang tiba waktunya untuk melakukan pembayaran.

Liya yang sudah pasrah hanya bisa merangkai kata-kata yang akan ia ucapkan pada kasir itu. Ia harus berterus terang agar bisa menyelesaikan masalah ini. Namun baru saja dirinya akan bersuara, pria itu terlebih dahulu mengeluarkan black cardnya dan menyelesaikan pembayaran dalam sekali gesek.

Sikap Leo membuat Liya kembali mematung. Ia bukan perempuan bodoh yang tak tau apa fungsi black card. Hanya saja ia bingung harus melakukan apa. Ia tak tau apakah pria itu memang telah mengikhlaskan semuanya atau tetap menuntutnya ganti rugi.

“Nggak masuk mobil lo?”

Suara berat Leo membuyarkan lamunan Liya. Dengan kebingungan yang masih melandanya, Liya pun masuk ke mobil itu. Cukup lama ia terdiam dan membiarkan keheningan menyelimuti mereka hingga pada akhirnya ia tak dapat lagi menahan rasa penasarannya.

“Kak... Jadi sekarang aku punya hutang ke kamu? Atau yang tadi emang kamu bayar sendiri? Kamu udah ikhlas?” tanya Liya to the point.

“Lo berharap gue jawab apa?”

“Nggak usah diganti kak,” jawab Liya terus terang.

Liya tak akan malu untuk mengatakan keinginannya daripada ia semakin susah di kemudian hari. Namun jawabannya malah membuat pria itu tertawa. Sungguh membuat Liya semakin kebingungan.

Bagaimana bisa Leo tertawa di saat seperti ini? Apakah pria itu sedang menertawakannya atau pria itu memang memiliki masalah mental yang membuat emosinya gampang berubah? Entahlah Liya juga tak yakin akan hal itu.

“Lo udah makan?”

Bukannya menjawab, pria itu malah mengeluarkan pertanyaan yang membuat Liya menggeleng, “Belum kak.”

Hening. Lagi-lagi tak ada lanjutan percakapan setelah Liya menjawab pertanyaan Leo yang membuatnya mengusap wajah kasar. Ia menatap Leo dengan mata berbinar.

“Kak tolong jawab pertanyaan aku tadi. Jadi maksudnya aku perlu ganti atau nggak?”

“Oh lo mau makan? Okey kita makan sekarang.”

“Kakkk...”

Entah mengapa kekesalan Liya membuat Leo sedikit terhibur. Ia senang melihat raut kebingungan yang wanita itu tampilkan pada wajah chubbynya. Dan hal itu membuat nya ingin terus menggoda Liya.

Tanpa menghiraukan wanita yang masih membutuhkan jawaban, Leo tetap melajukan mobilnya menuju salah satu restoran yang sering ia datangi. Namun ketika ia hendak turun, tiba-tiba wanita itu menahan pergerakannya.

“Ada apa?”

“Kak Leo yakin mau makan disini? Kak... Tadi aja udah habis seratus empat puluh juta! Sekarang malah mau makan disini, uang dari mana kak?”

Sejujurnya baru pertama kali ini Leo bertemu dengan wanita yang malah khawatir saat ia mengajaknya makan di restoran mahal. Biasanya wanita yang ia bawa akan dengan senang hati ikut dan memanfaatkannya untuk memesan menu termahal. Tapi Liya? Sepertinya wanita itu berbeda dan membuatnya semakin tertarik.

“Ssssttt... Lo kesini sama siapa?”

“Kak Leo.”

“So, what are you worried about?”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!