Bianca melemparkan tatapan kesal pada Leon, anak laki-laki tinggi, putih, berhidung mancung yang berada di depannya. Dia tidak habis pikir kenapa anak laki-laki tampan itu sangat membencinya. Bahkan dengan terang-terangan anak laki-laki itu berteriak marah di depannya. Bianca merasa dirinya hanya sebutir kerikil yang ditendang jauh begitu saja.
“LEON...HENTIKAN! Cukup kamu menyalahkan Bianca. Dia tidak tahu apa-apa tentang semua ini!" Papa membentak Leon dengan tegas.
Suasana makan malam saat itu seketika berubah menjadi pertengkaran.
“Papa terus saja membela DIA!” Leon beranjak dari kursi dengan kasar dan berjalan pergi.
“Leon... mau ke mana kamu? Leooonn....!” Leon sama sekali tidak mempedulikan suara Papa yang menggema di ruang makan.
Papa menarik nafas panjang dan menghembuskannya kasar. Air mata perlahan mengalir dari sudut mata Bianca. Nasi yang menggunung belum sedikitpun terkikis oleh sendok makan mereka.
Itu adalah malam ketiga Bianca tinggal di rumah megah itu. Bianca Sallen baru berusia 12 tahun saat dia diasuh keluarga Demaind. Dia sangat senang mendengar dirinya akan diangkat oleh keluarga Demaind, salah satu keluarga terkaya di kotanya.
Hari pertama saat Bianca datang ke keluarga itu, Bianca merasakan sambutan yang tidak ramah dari Mama dan kakak angkatnya. Hanya Papa angkatnya lah yang memperlakukan dia layaknya anak kandung.
Ya, dia sudah mengenal Mr. Leo Gerald Demaind sejak 2 tahun lalu ketika Mamanya, Susan Agnes jatuh sakit karena menderita kanker rahim dan Leo lah yang membantu pengobatan Mama Bianca.
Dua hari berada di keluarga itu membuat Bianca kesepian karena dia tidak bisa bermain dengan siapapun kecuali dengan dirinya sendiri. Bahkan seharian penuh Bianca berada di dalam kamarnya.
Hari ketiga...
Tuan Leo dan Nyonya Bella --- Papa dan Mama angkat Bianca bertengkar hebat sejak pagi hari. Hingga menjelang makan malam, Mama keluar dari kamarnya dengan menarik dua buah koper besar. Bianca ingat saat itu mama menatap Bianca dengan tatapan marah dan benci. Leon berlari memohon-mohon kepada mamanya untuk tidak pergi, tapi Bella dengan angkuh dan tegasnya meninggalkan rumah dan anak semata wayangnya. Sejak saat itu, Leon sepenuhnya membenci Bianca. Matanya selalu menyiratkan kebencian dan dendam kepada Bianca.
Sejak kepergian Bella, rumah menjadi hening, Leon selalu absen saat makan malam, tidak ingin makan semeja dengan Papa dan Bianca dan lebih banyak mengurung diri di kamar.
Tiga minggu kemudian...
Bella sudah kembali ke keluarganya dan rujuk dengan Papa, namun tetap dengan perlakuan dan tatapan benci terhadap Bianca. Leon pun sama, sama sekali tidak pernah menyapanya.
Enam bulan kemudian...
Leon akan melanjutkan SMAnya di Amerika. Sebenarnya Papa tidak setuju, tapi Mama memaksa Papa untuk memindahkan Leon ke luar negeri sebagai syarat jika ingin keluarga mereka rujuk kembali. Papapun terpaksa menyetujui walaupun dengan berat hati.
Bianca ingat bahwa Mama mengatakan tidak ingin orang-orang tahu bahwa sekarang Bianca adalah anggota keluarganya. Dan dia tidak ingin nama baik dan masa depan Leon tercemar karena Bianca berada di dekat Leon.
~ ~ ~
“Aku capek, aku mau istirahat. Bye...,"
Tutt..tutt..tutt...
Bianca melemparkan handphonenya ke kasur. Baru sedetik saja handphonenya sudah berbunyi lagi menandakan ada Whatsapp masuk, dengan langkah gontai Bianca menggapai handphonenya dan membuka Whatsapp yang masuk, tercantum nama Rio si pengirim pesan.
Met istirahat ya :)
“Huhh! Memangnya kamu siapanya aku? Hihhhh...!!” Bianca menyunggingkan bibirnya, terlihat tidak suka dengan isi pesan yang dia terima dari cowok bernama Rio yang dia kenal dari Messenger Facebook 2 minggu yang lalu.
“Malam minggu mau ngapain ya? Hmm... nonton dehhh.. ” Bianca tersenyum senang membayangkan dirinya bisa dengan santai menonton film tanpa gangguan apapun.
Tapi siapa sangka, setelah Bianca selesai mandi dan bersiap-siap menonton film di laptopnya, tiba-tiba handphonenya berdering, tertera nama Lara di layarnya.
Shitt! Batin Bianca. Feelingnya mengatakan dia harus meninggalkan laptop tercintanya untuk malam ini.
“Ada apa?” Tanya Bianca saat menerima telfon dari Lara. Lara adalah teman baiknya dan seumuran dengan Bianca.
“Hehe.. Aku mau minta tolong sama kamu.” Jawab penelfon di sebrang sana yang sadar bahwa ia telah menganggu Bianca dengan senyum nyengir.
“Apa? ” Tanya Bianca to the point. Ia sudah tahu, gadis berkacamata itu jika sudah bertingkah aneh, pasti untuk meminta bantuan dan anehnya lagi Bianca tidak pernah menolak permintaannya. Sebenarnya dia sering menolak, tapi gadis itu akan merengek hingga Bianca tidak akan tahan dan tidak ada cara lain selain mengiyakan untuk membantunya. Gadis itu sedikit berbisik saat berbicara di telfon.
“WHAT?? Kamu udah gila Ra????? Aku gak mau.” Jawab Bianca setelah mendengar apa yang diucapkan teman baiknya itu, Lara Anestasya, gadis yang berusia 26 tahun tapi sikapnya sangat labil di usianya yang sudah tergolong dewasa itu.
“Ayolahh Bibiiiiii....pleaseeeeeeeeee....” Rengek Lara manja dengan wajah memelas.
Lara tahu betul bagaimana Bianca, dia tidak akan tega menolak permintaan Lara karena hubungan mereka sudah seperti saudara kandung. Apalagi Lara lah yang menguatkan Bianca saat Bianca merasa terpuruk dengan kehidupannya yang malang.
Bianca telah mengenal Lara selama 5 tahun. Saat itu Bianca sedang mengumpulkan data untuk skripsinya dan dia tidak sengaja menemukan blog Lara yang berisi foto-foto lukisan dan cerita di tiap balik lukisan itu. Melalui blog itu juga mereka berkenalan dan menjadi teman baik.
Bianca dengan cepat memutar otaknya, memikirkan alasan untuk menolak permintaan Lara, tapi dia tidak tahu harus beralasan apa. Dan dia tahu, Lara akan memaksanya dengan berbagai cara. Peribahasa Lara terhadap Bianca “Banyak jalan menuju Roma.” Bianca seperti Roma bagi Lara. Dan banyak cara untuk membujuk Bianca.
“Haissss! Oke...Oke...Aku mau bantu. Tapi cukup sekali yang kayak begini ya." Bianca pasrah dengan bujukan Lara.
“Oke.. Sip!” Lara berteriak kegirangan dan menutup telfonnya.
Bianca dengan tidak enak hati menyetujui permintaan Lara. Entah apa yang akan terjadi, jika ide Lara tidak berjalan lancar dan di luar dugaan, maka Bianca akan menyesal karena menyetujui Lara.
~ ~ ~
Matahari sudah berada pada puncak tertingginya, menunjukkan terik sinarnya yang menyilaukan semesta. Sebuah suara melengking mengagetkan Bianca yang masih terlelap menikmati akhir pekannya.
"Biancaaaaaaa!!! Bangun!! Udah jam berapa ini?"
"Apa sih La? Berisik ah!" Jawab Bianca ogah-ogahan dari balik selimutnya. Lara segera menyerbu lemari baju Bianca dan mengobok-obok isinya, melemparkan semua baju yang ia rasa pantas untuk digunakan saat blind date ke ranjang Bianca tanpa memperdulikan sang pemilik kamar yang melanjutkan tidurnya.
Akhirnya, setelah dibangun paksa oleh Lara, jadilah saat ini Bianca tampil cantik dengan minidress dengan lingkar leher berbentuk V berwarna biru gelap dan panjangnya diatas dengkul dipadu dengan tas tangan berwarna hitam.
“Beautiiiiii.....pullllll....!” Sorak Lara girang dengan mengancungkan dua jempolnya kepada Bianca. Bianca tersenyum manis mendengar pujian temannya itu. Dia puas dengan baju yang dipakainya dan riasan wajahnya yang simple.
.
.
.
.
.
To be Continue~
Seorang gadis duduk manis di sebuah sambil melihat ke luar menatap jalanan yang mulai ramai. Gadis itu sendirian. Tiba-tiba saja seorang lelaki menghampirinya.
“Haii... Lara ya?” Bianca terperangah melihat laki-laki yang kini berdiri di hadapannya.
Laki-laki itu sangat tampan, tinggi, berkulit putih dan tubuhnya atletis, otot-otot besar di lengannya seakan meronta ingin keluar dari baju yang membalutinya.
Mata Bianca menjelajahi dada bidang laki-laki yang terlihat menggoda dipadu dengan kaos ketat berwarna hijau army. Kaos yang berlingkar leher V itu memamerkan dada atasnya dan itu sexy. Bianca tersipu membayangkan kata sexy di benaknya. Sejak kapan dia menjadi segenit itu. Wajahnya tersipu malu dan merona.
“Hai.. Alex ya?” Bianca berusaha serelaks mungkin.
Siapa yang tidak gugup saat berhadapan dengan cowok tampan macho sedang tersenyum memamerkan lesung pipi di sebelah kiri wajahnya. Senyumannya sangat ramah, terkesan hangat dan akrab.
Cowok itu mengulurkan tangannya ke arah Bianca. Bianca dengan sigap beranjak dari kursinya dan berdiri menyambut uluran tangan cowok itu.
“Alex. ” Laki-laki yang tampak berusia mendekati 30 tahun itu mengulurkan tangannya.
“Bii.. hmm, Lara.” Jawab Bianca cepat karena dia hampir salah menyebutkan namanya dan segera menjabat balik tangan Alex.
Hufsss... Hampir saja ketahuan. Baru permulaan Bianca, jangan sampai kebocoran. Bianca memperingati dirinya sendiri.
“Mau pesan makan sekarang? ”
“Boleh.” Bianca merasa jantungnya berdebar-debar.
Gimana gak deg-degan? Hari ini Lara meminta Bianca berbohong menggantikan dia bertemu dengan Alex, cowok yang dijodohkan Mamanya. Dan lagi ternyata cowok blind date Lara itu sangat tampan sehingga membuatnya semakin salah tingkah.
“Kamu sudah lama nunggu? Maaf, nggak seharusnya pertemuan pertama kita aku membiarkan kamu menunggu.” Alex berbasa-basi saat mereka sudah menyelesaikan mengorder makanan.
“Gak pa-pa. Aku juga belom lama datengnya.” Jawab Bianca gugup.
Tak jauh dari meja mereka, tepatnya sekitar 3 meja di samping mereka, duduklah seorang wanita berkacamata yang menggunakan kemeja merah kotak-kotak. Wanita itu memperhatikan tingkah laku kedua orang itu.
Sesekali Bianca melirik ke arahnya itu sambil memberikan tatapan isyarat. Dia tak lain adalah Lara. Dia sedang mengawasi kencan buta si Lara palsu, dan seketika Lara menyesal bukan dia yang di posisi Bianca karena pria itu sangatlah tampan.
Tak jauh dari meja Lara, kira-kira 3 meja darinya ada segerombolan cowok berjumlah 3 orang yang sedang nongkrong sambil sesekali bercanda satu sama lain.
Mereka adalah teman-teman Alex, ada Jack, Max dan Jerry. Mereka juga sedang membuntuti kencan buta Alex, untuk sekedar iseng dan menemani Alex.
Bianca merasa berbincang dengan Alex sangat menarik, selain itu pengetahuan Alex sangat luas sehingga mereka tidak kehabisan bahan pembicaraan. Begitu juga sebaliknya, Alex merasa Bianca adalah gadis yang menarik, polos dan humoris. Tak jarang terlihat mereka saling tertawa dan melempar senyum.
“Heii...!” Seru seorang laki-laki menyapa teman-teman Alex.
Tubuhnya tinggi, hidung mancung, berkulit putih dan ototnya tidak kalah saing dengan Alex. Laki-laki itu memakai kaos ketat berwarna hitam dan celana jeans panjang yang berwarna biru tua. Pakaiannya terlihat simple tapi menarik, rambutnya hitam tebalnya terlihat acak-acakan.
“Woiii Leon....Lama banget sihh. Basi nih nungguin loe.” Sapa laki-laki yang dipanggil Jack menoleh membalas sapaan orang yang menyapanya dan diiringi tawa teman lainnya.
Yah, laki-laki itu adalah Leon Gerald Demaind, kakak angkat Bianca yang baru saja pulang dari Amerika untuk meneruskan perusahaan ayahnya.
“Ayoo duduk. Mana cewek loe, gak ikut?” Pria bernama Max dengan tubuh agak berisi dan berkacamata bertanya dengan antusias.
“Apaan sih loe, Alex mana? Kencan sama ceweknya?”
“Tebak Alex di mana?” Tanya Jack balik.
“Yang pasti kencan sama cewek.” Jawab Leon yakin.
“Haha..., he is not like you Leon. Memang kamu, selalu sibuk sama cewek-cewek dan gonta ganti pacar?” Pria yang dipanggil Leon itu mengangkat bahunya cuek.
“Di sana...” Leon mengikuti arah yang ditunjuk Jack, tampak seorang gadis mungil sedang tersenyum dan menyimak apa yang Alex ucapkan, sepertinya dia sedang menceritakan lelucon.
Leon menoleh sekilas dan menoleh lagi memicingkan matanya memperhatikan wajah wanita yang duduk di hadapan Alex. Berusaha mengingat siapa dia karena tampak tak asing baginya.
Seperti mendapat ilham, Leon tiba-tiba saja ingat, membuat raut wajahnya berubah, rahangnya mengeras dan matanya terlihat berkilat, kini dia menyadari siapa wanita itu.
"Wowww...!! You said that Alex is not like me, but you see! Dia sedang kencan.” Protes Leon menggepalkan tangannya tapi dengan wajah tersenyum sinis.
“Mereka sedang kencan buta, Alex dijodohkan dengannya.” Bela Max sambil membenarkan posisi kacamatanya.
“Dijodohkan?" Tanya Leon bingung.
"Ya, biasa, bisnis sesama ibu-ibu, jadilah perjodohan anak mereka." Jelas Jack yang membuat Leon mengernyitkan dahinya semakin merasa aneh dan bingung.
"Sepertinya ada yang tidak beres.” Protes Leon.
“Kamu baru sampai dan hanya sibuk protes tentang masalah ini? Cmon, ini tidak lucu. Dan kamu tenang saja, diantara kita berlima, posisi The King of Playboy tetap di tanganmu, tidak akan bisa kita rebut.” Jawab Jack menepuk-nepuk bahu Leon.
“Dan kita tidak berniat merebutnya.” Timpal Jerry yang sedari tadi hanya diam menyimak.
Jerry memiliki mata sipit karena keturunan dari ibunya orang Korea dan ayahnya orang Malaysia, terkesan lebih pendiam karena dia tak suka mencampuri urusan orang lain.
Leon hanya diam, tak menanggapi lebih jauh, ia memposisikan pandangannya tepat menghadap ke arah meja Bianca dan Alex. Leon sesekali mengobrol sambil mengamati serunya perbincangan Bianca dan Alex. Meskipun agak jauh tapi samar-samar dia bisa melihat interaksi antara Bianca dan Alex yang akrab.
~ ~ ~
“Oh ya, kamu tinggal di mana?” Bianca tersentak mendengar pertanyaan Alex, senyumnya tiba-tiba memudar. Dengan susah payah Bianca meneguk air ludahnya, memutar otaknya dengan cepat.
“Aku sewa apartemen deket sini, kalau kamu?"
“Aku tinggal di sekitar sini juga, tidak jauh.”
“Oh,” Jawab Bianca asal lalu melirik ke arah Lara. Gadis berkacamata itu memberikan isyarat menunjuk ke arah jam tangan yang dipakainya. Bianca membelalakan matanya kaget dan segera melihat arlojinya. Sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam dan Bianca bergegas mengambil tasnya.
“Alex.., maaf ya, aku harus pulang sekarang. Aku masih ada urusan.”
“Urusan apa semalam ini?” Alex melihat arlojinya, dia mengerutkan keningnya heran. Bianca tersenyum menjawab pertanyaan Alex dan itu membuat Alex bingung.
“Sesuatu.” Jawab Bianca asal.
“Se..suatu?”
“Sorry.., aku buru-buru, mesti pulang sekarang. Sampai jumpa nanti ya.” Pamit Bianca.
“Oh, it’s oke… see you next time.” Alex tersenyum kecil dengan tatapan heran dan sedikit kecewa karena pertemuannya hari itu akan berakhir. Bianca beranjak dari kursinya dan melambaikan tangannya.
Tak lupa Bianca membayar makanannya di kasir, kemudian bergegas mendorong pintu cafe dan melangkah pergi. Dari balik kaca Alex melihat kepergian Bianca dengan tersenyum, menandakan dia menikmati pertemuan mereka dan dia mulai tertarik pada wanita kencan butanya itu.
Tak lama kepergian Bianca, Larapun bergegas membayar billnya dan menyusul Bianca. Mereka janjian bertemu di depan sebuah apotik yang terletak 20 meter dari cafe.
Bianca melihat orang yang berlalu lalang, langit sudah gelap dan hanya dihiasi beberapa bintang. Angin malam berhembus dengan tenang tapi dingin, Bianca memeluk dirinya sendiri yang sudah kedinginan.
“Bian..”
“Kok kamu lama sih La, aku kan takut nunggu sendirian.”
“Sorry... sorry, tadi aku gak sengaja nabrak tante-tante, barang bawaannya jatuh semua.”
“Nabrak orang? Kamu gak pa-pa kan?” Bianca memutar-mutarkan badan Lara dengan cemas.
“Tenang, gak da korban kok... Cuma beberapa butir telur yang pecah. ”
“Hah?? Kok bisa?”
“Bisalah, aku mau ganti rugi tapi Tantenya bilang gak usah. Baik banget.”
“Syukurlah kalo semua baik-baik aja. Yuk kita pulang.”
Bianca dan Lara memutuskan segera pulang karena takut kepergok oleh Alex. Bisa jadi Alex dan teman-temannya melewati jalan itu. Hari semakin gelap dan angin bertiup semakin kencang seperti akan turun hujan.
“Jadi apa yang kalian bicarakan sampai tertawa begitu akrab?” Selidik Lara saat mereka sudah tiba di apartemen Bianca.
“Kasih tahu gak yaaa??” Goda Bianca. Lara memegang tangan Bianca, menatapnya dengan tajam dan dengan lirih berkata,
“Ceritakan padaku semuanya, pleaseee. Aku bahkan menyesal memintamu menggantikan ku. Dia sangattttt... errr... Hot!” Ucap Lara histeris dan tak sabaran, rasa penasarannya terhadap cowok yang bernama Alex semakin tinggi, apalagi saat melihat cowok itu terus tersenyum dan tertawa saat berbincang dengan Bianca.
Lara merasa sangat menyesal karena tidak bisa bebicara langsung dengan Alex. Jika dia tahu dari awal Alex adalah cowok tampan yang dalam sekedip mata memandang bisa meluluhlantakkan hati para wanita, tentu saja Lara akan bertemu langsung dengannya tanpa membiarkan kesempatan itu diberikan kepada Bianca.
“Aku bilang juga apa? Lebih baik kamu lihat dan ketemu sendiri dengan dia. Sekarang bagaimana? Kamu dari tadi mengerutu menyesal? Hehh... ” Bianca mengomel menanggapi penyesalan Lara. Lara memanyunkan bibirnya.
“Aku mana tahu kalo dia seganteng dan sekeren itu, aku pikir dia biasa–biasa saja dan mana ada cowok ganteng mau blind date, kayak dia susah jodoh aja."
“Hahaa... Lain kali jangan suruh aku lagi ya, aku hampir mati kebingungan.”
“Oke, sekarang ceritain tadi kalian ngobrol apa aja." Lara melihat Bianca dan tersenyum nyengir. Bianca mengerti maksud Lara. Ia mengangguk dan mengambil duduk di tepi kasurnya, sedangkan Lara duduk manis di kursi duduk milik Bianca. Bianca terlihat siap untuk memulai ceritanya.
"Hmm, kasih tau gak yaaa?? ” Ucap Bianca masih mempermainkan perasaan Lara membuat teman baiknya menjadi kesal dan semakin tidak sabaran.
Dia menyadari Lara mati penasaran dengan Alex. Bianca saja masih bisa merasakan sisa panas di tubuhnya karena gugup, jantungnya berpacu dengan cepat seakan-akan dia baru saja berlari cepat dalam waktu yang lama. Bianca tahu dia juga menaruh ketertarikan kepada Alex yang benar-benar tampan dan errrr, benar kata Lara, HOT!
.
.
.
.
.
To be Continue~
Malam semakin dingin disertai turunnya hujan, sedangkan di luar sana, Alex masih di cafe tadi di mana dia dan Lara palsu bertemu. Tapi dia sudah bersama 4 temannya, termasuk Leon.
Leon dan Alex adalah teman semasa SMP, mereka sangat akrab, bahkan saat Leon pindah sekolah ke luar negri pun mereka masih sering berkomunikasi.
Alex juga tahu tentang adik angkat Leon meski mereka jarang membicarakannya karena Leon membenci topik itu, tapi Alex belum pernah bertemu dengan Bianca. Sedangkan Jack dan Max adalah teman dekat Alex saat di SMA. Persahabatan mereka mengalir bertahun-tahun hingga menambah personel Jerry Choi yang baru tahun lalu bergabung dengan grup mereka.
“Gimana kabar keluarga mu?”
“Begitulah.. tidak banyak yang berubah.” Jawab Leon malas.
Alex tersenyum kecil melihat ekspresi Leon, seperti raut tidak puas. Yahhh... Leon memang tidak puas karena sejak dia tiba di rumahnya bulan lalu, dia belum memiliki kesempatan bertemu langsung dengan adik angkatnya. Dia penasaran bagaimana kabar adiknya sekarang dan bagaimana adik yang diangkat Papanya itu menjalani hidup.
“Kecuali dia..., pasti banyak berubah.” Ucap Leon dengan mata berkilat.
"Siapa? Adek loe?" Tanya Alex berani. Leon langsung melototi Alex. Alex nyengir dan mengangkat bahu.
“Adik? Leon punya adik?” Tanya Jack heran.
“Jangan dibahas.” Jawab Leon cuek.
"Kenapa kita gak tau loe punya adik?” Tanya Max menimpali tapi Leon tidak menjawab.
“Hahaha, sudahlah, nanti Leon kesal. Gue cuma asal ngomong." Jawab Alex berusaha menengahi.
“Itu urusan pribadi Leon, kalian jangan kepo berlebihan. It’s not good.” Jerry mengeluarkan nasihatnya. Di antara mereka memang Jerry yang berpikir dan tertingkah paling dewasa. Dia tidak suka mencampuri urusan orang lain dan sebaliknya.
~ ~ ~
Leon sedang menarik kopernya menuju pintu keluar kedatangan di bandara Jakarta, dia baru saja kembali dari Bangkok setelah dua minggu pergi dinas di sana.
Wajahnya terpahat sempurna dengan hidung mancung, alis tebal dan perwakan yang tegas, lengan kemejanya sengaja digelung ke siku memperlihatkan urat di pergelangan tangannya yang kekar, membuat wanita tertarik menoleh dan menatapnya seakan meminta diperhatikan olehnya. Dia menurunkan kacamatanya saat melihat seseorang sudah menjemputnya.
Langkahnya pun menuju ke sebuah mobil sedan mewah berwarna hitam mengkilat. Seorang sopir bergegas membuka pintu saat melihat kedatangannya.
"Silahkan Tuan." Ucap sang sopir dengan sopan. Pria itu mendudukan dirinya di kursi
penumpang, dengan segera membuka laptopnya.
"Ke kantor Pak."
"Baik Tuan."
Mobilpun melaju melewati jalanan ibukota dan satu jam kemudian sudah tiba di sebuah gedung pencakar langit. Masih dengan menarik kopernya, pria itu memasuki lobby dan menuju lift VIP yang terletak berdampingan dengan lift karyawan. Penampilannya yang tampan dan cool lagi-lagi menarik perhatian karyawan yang bekerja di gedung itu. Tangannya dengan cepat menekan tombol lantai 45.
"Siang Pak." Sapa seorang wanita di resepsionis saat melihat kemunculannya memasuki kantor lantai 45.
Pria itu cuek dan meneruskan tujuannya memasuki ruang CEO yang terletak paling pojok dengan ukuran paling luas. Seorang pria muda terlihat duduk di sofa menanti kedatangannya.
"Oii Jerry Choi, lancang sekali kamu masuk sebelum aku tiba?" Sapanya sambil meletakkan laptop di meja dan koper di sisi mejanya.
"Mari segera meeting, aku tidak punya banyak waktu Leon." Jawab Jerry Choi mendesak Leon.
"Kau terlihat sibuk. C'mon, aku baru saja turun pesawat, Bangkok sangat memukau, aku bersenang-senang di sana."
"Ohhh Cepatlah. Aku harus ke Bali sore ini."
"Ok, ayo kita mulai." Jawab Leon kembali serius sambil segera membuka laptopnya. Leon memang suka terlihat santai, tapi jika sudah menyangkut pekerjaan ia akan mengerjakan dengan sungguh-sungguh.
Leon dan Jerry melanjutkan meeting mereka dengan serius dan tenang. Perusahaan Jerry hampir mengalami kebangkrutan jika Leon tidak menginvestasikan sahamnya. Sekarang kerjasama mereka membuahkan hasil dan menarik investor lain untuk bergabung.
Selang 2 jam kemudian akhirnya meeting mereka berakhir dengan baik tanpa gangguan. Leon terlihat puas dengan hasil meeting mereka.
"Aku benar-benar senang bekerja sama denganmu. Hasilnya luar biasa." Puji Leon.
"Kau jangan terlalu cepat memuji. Ini baru permulaan. Tapi aku sangat berterima kasih atas apa yang telah kamu lakukan." Jawab Jerry merendah.
"Tidak. Aku percaya kamu tidak akan mengecewakanku."
"Oh ya, kamu yakin meminta ku untuk mencari tahu tentang... dia?" Tanya Jerry sambil membereskan dokumennya. Leon terdiam dan menimbang sesaat.
"Ya. Kabari segera jika kau sudah mendapatkan infonya."
"Baiklah, aku sudah menyuruh orang ku, kau tenang saja."
"Thanks." Jawab Leon bersungguh-sungguh.
"Hal kecil, tak usah sungkan." Jawab Jerry lalu pamit pergi meninggalkan ruangan Leon.
Leon memasuki kamarnya setelah pulang dari kantor dan makan malam. Mama menyambutnya
dengan sangat bahagia karena akhirnya Leon kali ini akan menetap di Indonesia lebih lama dari sebelum-sebelumnya. Leon akan mengurusi beberapa perusahaan Papa untuk pembelajaran menjadi pimpinan. Tentu saja hal itu membuat kepalanya pusing dan mau pecah. Leon segera menuju ke kamar mandi dan membuka pakaiannya, merendamkan tubuhnya yang gerah di bathtub dengan air hangat. Rasanya sangat nyaman, hampir saja dia tertidur jika handphonenya tidak berdering.
Leon beranjak mengambil handuk membungkus bagian bawah tubuhnya dan beranjak mengapai handphonenya untuk segera mengecek panggilan yang sempat masuk dari Jack, dan juga terdapat satu pesan yang ia terima dari Jerry dan menarik perhatiannya.
Ini datanya.
~***Jerry***~
Pesan yang berisi dua kata itu menyertakan sebuah file dokumen. Leon mengklik dokumen
itu bermaksud membuka dan membaca detailnya. Sebuah senyum senang terukir di
wajahnya yang lelah.
***Thanks a lot Bro.
~Leon***~
Selang dua detik setelah Leon membalas pesan Jerry, panggilan dari Jack masuk, jempol
Leon menekan tombol hijau. Terdengar suara musik kencang saat Leon mendekatkan
handphonenya di telinga.
"Woiii... ke club sini, jangan ngumpettt!!!" Teriak Jack di tengah kebisingan. Leon menjauhkan handphone dari telinganya.
"Berisikk oiii..., absen dulu hari ini. Capek banget nih." Jawab Leon balas berteriak.
"Ahh payah nih. Udah ditungguin juga."
"Yeyyyy, siapa juga yang suruh nungguin. Sana berisik banget... Bye!" Leon segera mematikan telfonnya dengan Jack.
Tangannya bergerak membuka data yang dikirim oleh Jerry tadi. Matanya membaca dengan detail info yang tertulis.
Leon baru saja membaringkan badannya di tempat tidur dan tiba-tiba terpikirkan sesuatu, dia beranjak dari tidurnya dan mengapai handphone, dengan segera menelfon Calvin, assistennya.
"Ya hallo, Calvin, tolong kamu kosongkan jadwalku besok.... Hmm, setelah makan siang. OK, thanks."
Setelah menyudahi percakapannya dengan Calvin, Leon melanjutkan tidurnya yang tertunda.
~~~
Burung-burung berkicau merdu di pepohonan yang terletak di belakang rumah megah Demaind. Langit berwarna biru cerah dengan pancaran sinar terang sang mentari pagi. Leon bergegas turun ke ruang makan untuk sarapan.
"Morning Mom." Sapa Leon saat melihat Mama sedang menyiapkan susu untuknya.
"Pagi anak Mama yang ganteng. Coba Mama lihat dasinya sudah rapi belum?"
"Ayolah Mom, aku bukan anak kecil lagi." Ucap Leon sambil membiarkan Mama merapikan dasinya.
"Berantakan ini." Protes Mama.
"Sengaja Mom, supaya terlihat sexy." Jawab Leon dengan mengedipkan sebelah matanya.
"Kamu..., udah umur berapa hah? Masih genit aja. Kamu tuh seharusnya udah bawa pulang calon istri. Percuma kamu jauh-jauh tapi gak bawa pulang satu gitu..."
"Sabar Mom... Kerjaan aku aja belum beres. Gimana mau merrid?"
"Jangan kamu pikir Mama gak tahu ya, kerjaan kamu sama temen-temen kamu. Ke club muluuuu.. Awas kalau kamu tiba-tiba bawa cucu pulang."
"Ampun Momm.. Ampun..." Teriak Leon karena Mama menjewer telinganya.
"Ada apa ini pagi-pagi udah rame aja?" Tanya Papa yang baru saja turun.
"Gak apa-apa Pa, Mom minta cucu." Jawab Leon asal.
"Cucu? Hmm, Papa rasa lebih baik kamu fokus urus perusahaan dulu. Papa gak mau pikiran
kamu nanti terbagi di saat kamu belum siap." Nasihat Papa pada Leon. Mama memberengut tidak suka.
"Perusahaan mulu... Leon kan pintar, pasti bisalah. Masa gak percaya sama anak sendiri?" Protes Mama.
"Papa percaya Leon Mom, kalau enggak mana mungkin Papa berani kasih Leon kewenangan jalanin perusahaan?"
"Hmm Mom, mari kita sarapan dulu, Leon udah lapar nih." Leon berusaha menengahi karena melihat Papa dan Mamanya mulai saling emosi. Papa hanya diam dan Mama terlihat mau tidak mau mengalah.
"Ya udah yuk sarapan, nanti kamu telat." Jawab Mama memanjakan Leon.
~ ~ ~
Leon mengendarai mobilnya menuju kantor dengan kecepatan sedang. Jalanan mulai terlihat lenggang dari kemacetan karena waktu sudah menuju pukul 9. Sebagai atasan tentu saja Leon bebas keluar masuk kantornya pukul berapa saja.
Setiba di ruangannya Leon segera menghampiri mejanya diikuti oleh Calvin.
"Ini data perusahaan yang bapak minta pagi ini. Perusahaan ini tergolong baru berdiri dan masih membutuhkan banyak investor serta perubahan pada sistemnya." Jelas Calvin sambil menyerahkan satu map berisi dokumen sebuah perusahaan.
"Lanjutkan." Perintah Leon.
"Info yang saya dapat Boss dari perusahaan ini jarang berada di Indonesia. Sejauh ini selama 8 bulan berdiri, yang menangani adalah assistennya. Tapi...,"
"Tapi kenapa?"
"Dalam 8 bulan mereka sudah berganti assisten sebanyak 3 kali, yang terbaru baru saja masuk 2 bulan lalu dan datanya yang bapak minta kemarin." Jelas Calvin dengan lengkap.
"Hmm, saya mengerti. Setelah makan siang temani saya ke sana."
"Apa bapak mau berinvest pada perusahaan mereka?" Tanya Calvin ragu.
"Lihat nanti." Jawab Leon singkat.
"Tapi Pak, dari data pemasukan dan penjuakan mereka selama 8 bulan ini, mereka termasuk perusahaan yang rugi, jadi kalau bapak mau berinvest mungkin lebih baik dipertimbangkan lagi." Saran Calvin dengan berani.
"Kamu baik sekali Calv, saya paham maksudmu. Kebetulan saya ada urusan di sana, saya minta tolong kamu bantu saya buat janji temu dengan atasan mereka, kalau bisa hari ini juga."
"Baik Pak. Mohon maaf jika saya sudah lancang." Jawab Calvin tidak enak hati.
"Tidak apa-apa. Good job Calv. Saya butuh orang seperti kamu." Puji Leon pada Calvin yang lebih muda 5 tahun darinya.
Tuk..Tuk.. Tuk..
Langkah heels berbunyi pelan di koridor kantor lantai 11. Langkah Bianca berhenti tepat di depan mejanya, meletakkan buku dan alat tulisnya setelah kembali dari ruang meeting. Bianca menghela nafas lelah, dia baru saja menyelesaikan rapat dengan HRD mengenai peraturan karyawan yang membuatnya pusing.
Bianca membuka dan menyalakan laptopnya, tiba-tiba handphonenya bergetar kencang dan tertera nama marketingnya di sana. Bianca bergumam kesal. Kasus apa lagi kali ini?
Bianca memencet tombol silent pada hp nya. Dia sengaja tidak menerima telfon itu dan mengabaikannya. Handphonenya kembali berlampu dan dilayarnya terdapat notifikasi telfon masuk, Bianca dengan malas mengeserkan menu tombol hijau pada handphonenya.
"Ya pak, ada apa?" Tanya Bianca berusaha sopan.
Bianca yang mendengar teriakan dari speakernya langsung menjauhkan hp itu dari telinganya.
"Tolong dipantau, itu pengiriman saya kenapa bisa terlambat???! Kamu ngapain aja? Gimana ngatur supir dan pengiriman hahh!?" Bianca menarik nafas panjang dan berusaha tenang mendengar ocehan di sebrang telfon.
"Iya Pak, ini kebetulan sopirnya baru kembali ke gudang jadi baru bisa diproses Pak.Saya akan push dan percepat ya Pak, mohon ditunggu." Bianca segera mematikan telfonnya.
Yah, itu adalah makanan sehari-hari Bianca di mana dia bekerja sebagai assisten manager di salah satu perusahaan baru yang bergerak dalam memproduksi AC.
Bianca baru saja pindah dan bekerja di sana selama 2 bulan lebih. Dia sungguh menyesal menerima pekerjaan itu karena sistem dan manajemen perusahaannya yang hancur dan berantakan, bahkan bossnya hanya tahu terima beres saja sehingga selalu melemparkan pekerjaan padanya.
Bianca sedang sibuk mengatur pengiriman hari ini saat dia mendengar suara bossnya datang.
"Bianca, hari ini kamu temani saya ketemu client." Ucap pria yang berusia 35 tahun itu tanpa basa basi.
"Siapa pak?" Tanya Bianca heran.
"Kamu banyak tanya, ikuti saja, kamu siapkan dokumen yang perlu."
"Jam berapa Pak?" Tanya Bianca malas.
"Jam 2. Ingat yah, jangan sampai ada yang tertinggal, kamu pelajari dan nanti jelaskan dengan benar." Perintahnya dengan gaya yang bossy.
Bianca mengerutkan keningnya heran dan kesal dengan perlakuan Bossnya yang selalu saja seenaknya. Mau tidak mau Bianca yang sedang pusing dengan pengiriman barang pun akhirnya mencuri waktu untuk mempersiapkan data dan presentasi. Di saat bersamaan, Bianca mendapat telefon dari Papanya.
"Ya Pa. Ada apa?" Jawab Bianca setelah memasang earphone.
"Kamu sibuk? Nanti saja kalau lagi sibuk." Jawab Papa merasa tak enak.
"Sedikit Pa, ada apa? Bicaralah."
"Hmm,baiklah. Sayang..., malam ini mari makan bersama... di rumah." Jawab Papa dengan
tenang tapi justru membuat Bianca merasa semakin kacau dan deg-degan saat mendengarnya. Dia tidak suka jika harus mengunjungi rumah itu. Rumah di mana dia selalu dibenci.
.
.
.
.
.
To be Continue~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!