NovelToon NovelToon

Bayi Kembar Presdir Tampan

Bab 01. Kembali Bertemu

Hujan deras mengguyur kota Jakarta pagi itu membuat suasana kota menjadi dingin dan juga sepi. Devina, wanita muda dengan memiliki paras yang cantik, ia memasuki sebuah kantor di perusahaan garmen tempatnya melamar pekerjaan. Ia sudah bukan lagi gadis seperti dulu, ia harus menghidupi kedua anak kembarnya yang masih sangat kecil, apalagi salah satu dari anaknya mengalami penyakit turunan yang diyakini turunan dari Ayah si kembar.

"Duh, kesiangan lagi. Pagi-pagi hujan udah turun aja. Semoga saja aku tidak terlambat."

Devina menggerutu dengan mengusap wajahnya yang basah diterpa air hujan. Dia berlari menuju lobby kantor dengan keadaan basah kuyup.

"Ya Tuhan, aku benar-benar terlambat. Semua orang sudah bekerja," gumamnya dengan berjalan cepat memasuki ruang kerjanya.

Setibanya di pintu masuk menuju ruang kerja, tiba-tiba seseorang memberikan teguran keras kepadanya.

"Nona! Kenapa kamu datang terlambat? Ini hari pertama kamu bekerja, tapi kamu sudah terlambat. Kalau kamu tidak disiplin nanti kamu akan mendapatkan sanksi. Memangnya kamu mau dipecat sebelum bekerja?"

Pria bertubuh tambun itu melotot dengan berkacak pinggang memarahinya. Dia tak berani menatap matanya dan memutuskan untuk menunduk hormat pada atasan.

"Maaf Pak. Saya janji tidak akan terlambat lagi. Tadi hujannya sangat deras dan tidak ada angkot lewat."

"Apapun alasanmu, Saya nggak peduli. Di sini bekerja harus profesional. Kami tidak menerima alasan apapun. Saya peringatkan, jika sampai kamu kembali terlambat, maka jangan salahkan, jika saya akan memberikan sanksi padamu!"

"Ba-baik Pak. Saya mengerti." Dengan tergugup Devina menjawabnya.

"Ya sudah! Cepatlah masuk. Ruangan kamu ada di sebelah sana."

"Baik Pak terima kasih banyak."

Devina langsung bergegas menuju ruangan yang ditunjukkan oleh manajernya, dan dia langsung bergabung bersama dengan karyawan lain.

"Halo Kak, kenalkan namaku Devina, Aku pegawai baru di sini. Bisakah kita berteman?"  Devina berucap sopan sebelum memutuskan untuk duduk di tempatnya.

"Halo juga Vina, senang sekali berjumpa denganmu. Semoga kita bisa menjadi teman yang baik ya?"

Karyawan-karyawan yang ada di sekitarnya nampak baik dan mau berteman dengannya. Dia tidak merasa kesepian karena langsung akrab dengan karyawan yang lain.

"Nama kamu Devina, ya? Kenalin , namaku Tari," ucap Tari mengulurkan tangannya untuk berjabat dengan Devina. "Kamu anak mana sih? Kok aku nggak pernah ketemu sama kamu sebelumnya? Apa rumah kamu jauh?" tanya salah satu perempuan bernama Tari yang duduk di sebelah Revina.

Devina membalasnya dengan senyuman. "Dulunya Aku orang sini Kak, tapi udah 3 tahun aku tinggal di luar negeri dan baru pulang. Sekarang aku berinisiatif untuk melamar kerja karena nggak enak juga terlalu lama nganggur di rumah. Padahal iseng-iseng, nggak tahunya diterima dengan baik di sini. Tapi ngomong-ngomong apakah bosnya ada di sini juga?" tanya Devina.

Dia masih canggung dan belum bisa beradaptasi dengan baik di tempat kerjanya. Bahkan dia juga belum pernah bertemu dengan bosnya secara langsung.

"Oh, jadi kamu ini pendatang dari luar negeri? Kenapa harus bekerja di sini? Kenapa nggak bekerja di luar negeri aja. Kan di sana gajinya lebih gede daripada di sini," celetuk Tari.

"Ah, enggak. Aku lebih suka bekerja di sini. Di luar negeri terlalu bebas dan aku tidak menyukai kebebasan," jawab Devina.

Tari tidak menyangka kalau teman barunya itu ternyata sudah pernah tinggal di luar negeri dan dia yakin Devina bukanlah gadis yang bodoh.

"Benarkah? Aku malah ingin sekali bekerja di luar negeri Vin. Ada saja aku memiliki kesempatan untuk pergi ke luar negeri mungkin aku akan bekerja dan menetap di sana. Tapi sayangnya, aku nggak dikasih izin sama orang tuaku saat mau menjadi TKW. Sekarang aku memutuskan untuk bekerja di sini walaupun gajinya tidak besar yang penting bisa ngumpul sama orang tua."

"Iya, kalau orang tua nggak ngasih izin jangan dilanggar, nanti bisa perang mulut."

Obrolan mereka terhenti ketika manager datang dan memberikan dokumen untuk dipelajarinya.

"Ini pelajari dulu, bekerjalah yang bener, jangan mengobrol aja!"

Pria gendut itu cukup menjengkelkan. Jika saja pria itu bukanlah atasannya, mungkin dia akan dilawannya.

"Baik Pak."

Devina menatap malas pada pria yang diyakini sebagai bosnya.

"Itu bosnya?" tanya Revina pada Tari.

"Bukan. Dia itu manager di sini. Kayaknya Pak bos masih belum datang."

Devina mencebikkan bibirnya. Ia pikir pria gendut itu bosnya yang bisa semena-mena mengaturnya.

"Oalah, jadi dia itu cuma manager di sini? Kupikir itu bosnya. Kenapa lagaknya gitu amat ya? Agak songong!"

Seketika Tari melepas tawanya, untung saja managernya sudah berlalu meninggalkan ruang kerjanya.

"Dia emang gitu, Vina. Sok ngatur-ngatur. Ya maklum aja lah, dikasih kepercayaan lebih sama si bos, jadi mau kapan lagi kalau nggak dimanfaatin buat songong sekarang, keburu dipecat."

Walaupun belum lama mengenal Devina, Tari merasa sudah akrab. Dia bahkan tak ada kecanggungan saat mengobrol dengan karyawan baru.

"Vina! Perlu kamu ketahui saja, Bosnya di sini  masih muda, dia cool, sangat mempesona. Siapapun yang melihatnya, bakalan klepek-klepek.

Tari banyak memberikan pujian terhadap bosnya. Hampir semua pegawai perempuannya menyukai ketampanan bosnya, apalagi bosnya terkesan dingin dan tak banyak bicara.

"Biasa aja, nggak usah terlalu menyanjung tinggi orang lain, takutnya dibikin sakit hati," balas Devina.

Devina tersenyum miris mengingat masa lalunya. Andai saja tidak pernah ada masalah dengan rumah tangganya, mungkin keadaannya sekarang akan baik-baik saja.

'Semoga saja dia sabar. Aku nggak siap kalau diperlakukan semena-mena, apalagi aku kan hanya tamatan SMA. Mungkin akan dianggap remeh, karena ijasahku terlalu kecil.'

Devina menghela napas dan membuka berkas-berkas yang diberikan oleh manager untuk dipelajarinya.

Tak lama dari itu, seorang pria muda dengan mengenakan pakaian formal dipadu dengan kacamata hitam memasuki lobby kantor.

Pria itu langsung mendapatkan sambutan hangat dari karyawannya.

"Selamat pagi Pak," sapa semua karyawan.

"Pagi," jawabnya terkesan dingin.

"Bagaimana dengan karyawan baru? Apa dia sudah datang?" tanya Pria itu dengan berjalan ke ruangannya.

"Iya Pak. Dia sudah datang," jawab managernya.

"Hmm, suruh dia ke ruangan saya ya?"

"Baik Pak. Akan saya sampaikan."

Manager itu pun bergegas untuk menemui Revina di ruang kerjanya. Dia mendekat dan langsung meminta Revina untuk menemui bosnya.

"Hey, kamu! Kamu diminta untuk menghadap bos sekarang!"

Devina menoleh dengan mata melebar. Deg! 'Mati aku.' Degub jantungnya seketika berdetak dengan cepat.

"Ba-baik Pak," Devina langsung beranjak dari tempat duduknya.

"Kalau  boleh tau, ruangan bos ada di sebelah mana ya?"

Tidak ingin salah ruangan, tak ada salahnya dia bertanya di mana keberadaan bosnya.

"Mari akan saya antar," jawab sang Manager.

Devina berjalan mengikuti manager untuk sampai ke ruangan CEO. Tak bisa dipungkiri, jantungnya kini berdebar-debar tak karuan.

"Ini ruangannya. Pak bos ada di dalam. Silahkan masuk, saya tinggal dulu."

Devina mengangguk. Tiba-tiba ia nervous saat memegang kenop pintu ruangan CEO.

'Ya Tuhan, gimana ini? Kenapa aku jadi nervous gini? Apa aku pergi saja ya? Tapi katanya bos tengah memanggilku, memangnya ada apa sih? Pikiranku jadi nggak tenang gini.'

Devina mondar-mandir di depan ruangan CEO. Wajahnya nampak gelisah, ragu untuk membuka pintunya.

'Ya Tuhan, kenapa aku jadi gemetaran gini ya? Belum saja bertemu dengan bos aku sudah hampir pingsan, kayak mau ketemu macan saja.'

Tak ada pilihan lain. Walaupun dalam hatinya ragu, ia tetap dituntut untuk menemui bosnya. Akhirnya dengan seribu keberanian dia memaksakan diri untuk memasuki ruangan CEO.

"Permisi Pak. Maaf mengganggu waktunya?"

Suara lembut Devina membuat Bos yang duduk di singgasananya tersenyum.

"Iya, silahkan masuk!"

Mendapatkan izin dari dalam, Devina sedikit lega, namun ada yang mengganjal di hatinya, kenapa suara itu begitu familiar di telinganya.

"Suara itu? Kok sepertinya nggak asing lagi ya? Tapi ...,,"

Wanita itu terdiam sejenak dengan mengerutkan dahi. Tapi ia tak ingin berpikir yang aneh-aneh dan langsung membuka pintu ruangan CEO.

"Maaf Pak. Apa Bapak tadi memanggil saya?" tanya Revina dengan tubuhnya yang masih gemetaran, nervous.

"Hmm, iya. Kemarilah!"

Devina yang menunduk antara canggung dan nervous, dia sampai tidak tahu wajah bosnya. Dia tidak punya keberanian untuk menatapnya.

"Duduklah nona," pinta pria itu saat Devina berdiri di depan meja kerjanya.

Devina mengangguk. "Baik, terimakasih banyak Pak."

Devina langsung menghenyakkan panggulnya di kursi, berhadapan langsung dengan Bosnya. Perlahan wajahnya mendongak, akan terkesan tidak sopan jika tidak mau bertatapan langsung dengan bosnya.

Deg,, Seketika jantungnya berdegup dengan cepat, saat beradu pandang dengan seseorang yang ingin dihindarinya.

"Kak Marcell!!"

Tubuhnya seketika menegang dengan tatapan melotot saat kembali dipertemukan dengan pria yang berpengaruh di masalalunya.

"Devina!! How are you?"

Bab 02. Jangan Kebaperan

Dengan bibir bergetar dia menjawab. "Saya baik-baik saja."

Tak bisa lagi menghindar. Marcell kini sudah menjadi bosnya, dan dia sudah terikat kontrak dengan perusahaan itu.

"Setelah kita berpisah, apa saja yang kau lakukan di luar? Apa kau memiliki pekerjaan di luar, atau kau sudah menikah kembali?"

Pria itu terkesan dingin padanya. Sangat berbeda dengan sebelumnya, dia begitu lembut dan perhatian.

Devina hanya diam. Dalam hati merutuki kebodohannya, kenapa ia dipertemukan kembali dengan pria yang sudah menaburkan luka di hatinya.

"Vina, apakah kamu baik-baik saja? Kenapa nggak dijawab? Aku sedang bertanya padamu!"

Devina yang tengah terbengong tersadar saat jemari tangan Marcell menyerukan suara nyaring di depan mukanya.

"Ah, i-iya ..,,"

"Sudah tiga tahun lamanya kita berpisah. Selama itu aku sudah tidak mendapatkan kabarmu. Apa saja yang kau lakukan selama tiga tahun ini? Apa kau sudah bahagia dengan pria lain?"

Tiba-tiba Devina merasakan sesak di dada. Hatinya kembali terkoyak saat sang mantan kembali mengingatkannya kembali pada perpisahan.

"Maaf. Anda meminta saya untuk datang ke ruangan anda hanya ingin mengorek kepribadian saya? Saya rasa anda tidak berhak tahu kepribadian saya, karena diantara kita sudah tidak ada hubungan apa-apa!" Dengan tegas Devina katakan.

"Sombong sekali dirimu! Kupikir kau perempuan baik-baik, tapi nyatanya aku salah menilaimu! Kau culas! Kau penipu!"

Segala ucapan buruk digunakan untuk menyerang Devina.

Devina mengepalkan tangannya menahan emosi. Saat ini ia tidak ingin membuat kekacauan di tempat orang lain.

"Anda mengatakan saya ini culas, penipu, memangnya apa yang pernah saya lakukan pada anda. Bahkan anda menalak saya tanpa saya tahu di mana letak kesalahannya saya. Anda sudah difitnah, anda lebih percaya pada ucapan orang lain dari pada saya."

"Ya, aku jauh percaya pada ucapan orang lain daripada kamu. Aku sangat menyesal terlalu percaya pada kepolosanmu. Devina yang kukenal dulu sangatlah berbeda. Dulu dia terlalu cupu dan tidak banyak gaya, tapi setelah aku memanjakannya, dia malah menentangku. Oke tidak masalah, dua tahun menemaniku, aku sudah merasakan bahagia bersamamu, kalaupun berakhir dengan perpisahan, itu sudah nasib, anggap saja kita tidak berjodoh."

Devina benar-benar jengkel dengan sikap mantan suaminya yang kini berubah sangat membencinya. Dia tidak pernah tahu titik masalah yang dihadapinya. Di saat suaminya pulang tugas, tiba-tiba saja menalaknya dan meminta perpisahan. Bahkan sampai sekarang, perpisahan itu menjadi tanda tanya besar buat dirinya.

"Iya, anggap saja kita tidak berjodoh. Aku tidak masalah kalaupun harus berpisah darimu. Aku masih bisa hidup tanpamu. Tapi aku benar-benar tidak bisa terima saat kau memfitnahku begitu keji. Kau mengatakan, jika aku sudah menentangmu, itu apa maksudnya? Kapan aku pernah menentangmu? Selama menjadi  istrimu aku selalu bersikap baik, aku selalu melayanimu dengan baik, tapi kau malah bilang aku sudah menentangmu. Kau sungguh keterlaluan!"

Tubuh Devina gemetaran, hatinya tercabik-cabik mendengar kata-kata pedas yang keluar dari mulut mantan suaminya.

"Iya, Aku akui dulu kau memang sangat perhatian padaku, tapi pada akhirnya kau tega menghianati cintaku. Kau selingkuhi aku, kau hancurkan kepercayaanku!" Dengan segala emosinya ia curahkan pada wanita yang pernah dicintainya.

"Astagfirullah haladzim, kenapa juga kau tidak percaya. Kapan aku menyelingkuhimu? Aku bahkan tidak pernah keluar tanpa dirimu, tega sekali kau memfitnahku. Fitnah itu jauh lebih keji, tak ada hujan tak ada angin kau melayangkan gugatan cerai, siapa yang tak kecewa. Kau sudah membuatku menderita, dan sekarang kau masih juga menganggap aku biang masalah. Ya sudah, aku nggak papa. Sekarang jalani saja kehidupan kita masing-masing."

Devina menangis mengingat kedua anaknya di rumah. Ia bahkan sudah menjanjikan mereka untuk membelikan mainan setelah ia diterima bekerja di perusahaan garmen, tapi tak taunya malah dipertemukan dengan mantan suaminya yang masih menaruh kebencian padanya. Ia bahkan tidak tahu kalau pemilik perusahaan itu adalah mantan suaminya.

'Maafkan mommy sayang, mommy belum bisa membahagiakan kalian. Mommy belum bisa membelikan mainan buat kalian.' Dalam hati Devina ingin menjerit. Menjadi ibu sekaligus Ayah buat anaknya yang masih kecil.

Setetes air bening jatuh di pelupuk matanya. Walaupun ia terlahir dari keluarga berada, ia tidak ingin menjadikan beban orang tuanya. Selama berpisah dari suaminya, ia putuskan untuk hidup mandiri dengan segala kekurangannya, tak mau berbelas kasih pada orang tua dan juga keluarganya yang lain.

"Jika kamu tak membutuhkanku, aku akan pergi dari sini. Lagian kau sudah bukan apa-apaku, tidak mungkin akan bekerja di tempat mantan suamiku."

Devina berkali-kali menyeka air matanya. Tak disangka kehadirannya kembali membuatnya mengingatkan pada luka lama yang belum bisa disembuhkan. Dia tak peduli kalaupun tidak bisa diterima bekerja dengan baik, lebih baik tidak bekerja pada orang yang tidak respect padanya.

"Kau tidak bisa pergi dari sini dengan mudah. Kau sudah menandatangani kontrak kerja dengan perusahaan ini. Jadi kau tidak bisa bebas keluar masuk tempat ini. Bekerjalah dengan profesional, jangan menganggap remeh kontrak kerja yang sudah kau tandatangani."

"Mana bisa aku bekerja dengan baik pada orang yang sudah membenciku. Kau sendiri juga muak melihatku, setiap hari kita akan bertemu, dan aku ...,,"

"Sudahlah. Sebagai atasan aku tidak akan membeda-bedakan antara pegawai satu dengan yang lainnya. Aku pekerjaan mereka sesuai dengan kemampuannya. Dan aku tidak ingin mencampur adukkan masalah pribadi dengan pekerjaan. Aku tidak ingin dianggap buruk oleh karyawanku."

Kepala Devina berdenyut nyeri setelah banyak menangis. Semenjak kehamilannya, dia mengalami banyak masalah yang berimbas pada kesehatannya. Dia pernah mengalami depresi berat saat sang suami melayangkan gugatan cerai tanpa memberikan penjelasan pada titik permasalahannya.

"Kalau tidak lagi ada yang perlu dijelaskan, aku keluar sekarang. Aku akan kembali ke tempat kerjaku."

Dengan tubuh yang lemas dia memutuskan untuk segera pergi dari ruangan CEO. Walaupun hatinya menolak untuk tidak melanjutkan bekerja di tempat itu, tapi dia sudah menandatangani kontrak kerja.

Saat hendak membuka pintu, tiba-tiba tubuhnya terhuyung hendak jatuh. Buru-buru sang CEO menangkapnya.

"Hey! Kau itu kenapa? Apa kau sakit?"

Devina mencoba untuk menguatkannya dirinya dan berdiri kembali.

"Aku tidak apa-apa. Aku baik-baik saja."

"Jangan memaksa, kondisimu begitu lemah. Ayo duduklah!"

Marcell memintanya untuk duduk dan menyerahkan teh hangat padanya.

Devina kembali teringat saat dia sakit, Marcell merawatnya dengan baik, tapi kini dia sudah menjadi orang lain.

"Kau tidak usah terlalu perhatian padaku. Aku tidak ingin menjadikan beban dirimu."

"Ck! Jangan kebaperan. Siapa juga yang perhatian pada wanita yang sudah menghancurkan hidupku. Aku melakukan semua ini karena kepedulianku terhadap karyawanku. Tidak usah berpikir yang macam-macam."

"Maaf, aku tidak bermaksud bicara seperti itu. Aku cuma tidak ingin membalas budi padamu. Sekarang kita hanya sebatas rekan kerja. Maksudnya aku sebagai karyawanmu, aku tidak ingin karyawanmu yang lain mencurigai kita."

Bab 03. Perempuan Murahan

Keesokan harinya, Marcell memasuki ruang karyawan di saat karyawan tengah memulai aktivitas.

"Kalian! Saya minta pindahkan meja kerja Devina ke ruangan saya. Cepat!!"

Dengan wajah yang diselimuti oleh emosi, Marcell meminta petugas kebersihan untuk mengambil meja kerja Revina yang berderetan dengan karyawan-karyawan yang lain.

"Loh! Pak. Mau dibawa ke mana meja saya! Bapak nggak bisa seenaknya sendiri mengambil meja kerja saya!"

Devina dibuat kesal oleh sikap bosnya yang tiba-tiba saja meminta karyawan untuk  memindahkan meja kerjanya.

"Diam! Kau tidak punya hak untuk melarangku! Di sini akulah yang berkuasa. Jadi kau tinggal menurut saja!"

"Tunggu apa lagi. Cepat kalian pindahkan!"

Dua petugas kebersihan menurut, dan langsung mengangkat meja kerja Devina, walaupun ditahan oleh pemiliknya.

"Jangan Aku mohon jangan ambil meja kerjaku."

"Maaf Nona. Kami hanya menjalankan perintah."

Devina menangis dan memohon-mohon agar Marcell tidak berlebihan terhadap dirinya.

"Pak, saya mohon. Tolong jangan seperti ini. Saya tahu Anda yang berkuasa di sini tapi anda tidak punya hak untuk mengatur waktu hidup saya. Saya akan tetap bekerja di sini bersama dengan karyawan yang lain. Tolong mengertilah Pak."

Wanita itu hanya bisa menangis saat melihat meja kerjanya dibawa keluar dari ruangannya. Rasanya ia ingin mengumpati pria yang sudah menaburkan luka di hatinya.

"Vina! Saya bilang diam! Jangan merengek-rengek seperti anak kecil. Lebih baik ikuti saya!"

Semua karyawan hanya bisa terbengong saling bertatapan dan tidak bisa membantu Devina. Tari yang sudah akrab dengan Devina menaruh rasa kasihan namun tidak bisa memberinya pertolongan.

Marcell semakin mendekati wajahnya ke wajah Revina, hingga tersisa beberapa centi saja, dan membuat Devina ketakutan.

"Tunggu apa lagi? Ikutlah bersamaku, atau aku akan menyeretmu!"

Dengan sangat terpaksa, Devina memutuskan untuk keluar dan mengikuti anjuran bosnya. Dia tidak ingin diperlakukan buruk di depan semua karyawan. Dia tidak ingin semua orang menaruh kecurigaan mengenai hubungan mereka.

"Pak, saya mohon mengertilah. Kita ini bukan lagi pasangan suami istri. jangan bersikap seperti ini. Kalau sampai karyawan-karyawan di sini tahu dan mencurigai kehidupan kita bagaimana? Di sini saya bukan lagi istri anda, dan anda tidak berhak untuk menyakiti saya!"

Marcell menghentikan langkahnya saat tiba di depan ruang kerjanya. Dia membalikkan badan dan bersedekap dada dan bertatapan langsung dengan Devina.

"Ya, kau memang benar. Kita memang bukan lagi pasangan suami istri seperti dulu, tapi nggak ada salahnya kan kalau saya ingin mengajakmu untuk senang-senang seperti yang pernah kita lakukan dulu sewaktu kita masih belum berpisah."

Plak!! Devina langsung melayangkan tangannya menampar mantan suami yang tidak bersikap sopan padanya.

"Jaga bicaramu ya?! Anda pikir saya ini perempuan murahan yang mudah untuk dibujuk rayu dan diperlakukan seperti binatang? Begitu rendahnya penilaian anda terhadap saya, Pak. Walaupun saya miskin, saya masih memiliki harga diri! Saya tidak serendah yang anda pikirkan!"

Marcell merasakan panas di pipi kanannya akibat tamparan keras yang dilayangkan oleh Devina. Wanita itu benar-benar sangat berani, tak peduli walaupun ia akan dipecat dari tempatnya bekerja.

"Memangnya ada yang salah dengan perkataan saya tadi? Pada kenyataannya kamu memang perempuan murahan, kan? Kalau kamu perempuan baik-baik, kamu tidak akan tidur bersama laki-laki lain di saat suamimu sedang bertugas di luar kota. Kamu sudah melukai hatiku Devina, kamu sudah menghancurkan hidupku, hingga aku tidak memiliki kepercayaan lagi terhadap wanita."

Devina sendiri juga bingung bahkan sampai sekarang dia tidak tahu siapa yang sudah memfitnahnya.

"Aku heran sama kamu! Kenapa kamu lebih percaya pada omongan orang lain daripada aku yang nyata-nyata sangat setia menemani kamu. Di sini aku benar-benar difitnah. Aku tidak pernah tidur dengan siapapun. Dan kau pulang-pulang dengan wajah penuh amarah lalu mentalakku tanpa menjelaskan siapa yang sudah memberikan tuduhan buruk itu padaku."

Dengan tatapan kesal, Marcell membantahnya. "Kurasa tidak ada yang perlu dijelaskan, semuanya sudah jelas. Kau sudah membohongiku, kau sudah menghianatiku, dan kau tidak pantas untuk dipertahankan. Aku sudah muak sama kamu. Pengorbananku selama ini kau anggap sampah. Kau tidak bisa menghormatiku sebagai pasanganmu, Aku menyesal sudah mengenalimu!"

Tubuh Devina serasa membeku, hatinya teriris tercabik-cabik mendengar kata-kata pedas yang keluar dari mulut mantan suaminya.

Dengan menahan air matanya ia menjawab. "Kalau kamu memang benci sama aku, kenapa kamu menerimaku bekerja di sini? Kalau kamu sudah muak sama aku, kamu nggak harus menaruh meja kerjaku di ruanganmu. Kamu bahkan bisa bebas memecatku dari sini, mumpung aku masih belum lama bekerja denganmu, lebih baik lepaskan saja aku."

Marcell yang tidak bergeming. Dia membuang muka menoleh ke arah jendela dengan kedua tangannya mengepal.

"Aku memang bukan wanita baik-baik yang bisa menghormati pasangannya seperti yang kamu inginkan. Aku wanita kotor yang tidak ada harga dirinya. Lantas untuk apa kamu masih mempertahankanku di sini? Masih banyak wanita lain di luar sana yang lebih baik dan lebih cantik dariku. Kamu memiliki segalanya, kamu bebas melakukan apa saja. Kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi, jadi alangkah baiknya jika kamu melepaskanku."

Tidak mendapatkan kepercayaan dari mantan suaminya, lebih baik menjauhinya. Percuma saja jika mantan suaminya tidak pernah menghargai dan juga tidak mau mendengarkan penjelasannya.

"Kau benar-benar wanita sialan! Kau benar-benar memancing kesabaranku."

Marcell mendorong masuk tubuh Devina ke ruangannya dan menutup pintunya menggunakan kaki. Didorongnya tubuh wanita lemah itu dan menghimpitnya di samping lemari.

"Sebelum kau pergi dari sini, lebih baik kau layani aku. Berapa aku harus membayarmu!"

Devina memberontak marah ingin dilepaskan Dia menjerit-jerit berharap Marcell mau melepaskannya.

"Tolong ...! Lepaskan saya! Anda tidak punya hak untuk menyentuh saya. Lepaskan saya!!"

Marcell tersenyum menyeringai. "Tidak ada satu orang pun yang akan menolongmu! Apalagi saya? Lebih baik menyerah lah dan jangan pura-pura menolak. Kamu menginginkan uang kan? Aku akan memberimu banyak uang jika kamu mau melayaniku saat ini juga."

Dengan sekuat tenaganya Devina mendorong tubuh Marcell hingga membuatnya terhuyung. Hendak melarikan diri namun dengan cekatan Marcell langsung menyahut tangannya dengan sekuat tenaga.

"Mau lari ke mana kamu Nona Devina! Jangan coba-coba berlari dariku. Apapun yang sudah ada di tanganku tidak akan lepas begitu saja. Kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu selama ini. Kau sudah menghancurkan hidupku dan kau juga harus hancur bersamaku!"

"Gila! Anda benar-benar sudah gila. Suatu saat nanti kau pasti akan menyesal karena anda sudah salah paham pada saya. Jangan harap saya mau melayani anda walaupun anda memaksa saya seperti ini. Apa anda pikir dengan kekayaan yang anda miliki, Anda bisa berbuat sesuka hati? Saya bukan pengemis, saya juga bukan wanita murahan yang bebas menjual diri hanya untuk mencukupi kebutuhan hidup. Lebih baik saya mati daripada harus mengorbankan harga diri!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!