Suasana yang masih teduh dan jauh dari kemajuan teknologi. Di pertengahan tahun 1980 yang tengah berlangsung, hampir di setiap penjuru juga masih jauh dari polusi. Karena meski jalanan selalu ramai lancar, di sana hanya dipadati oleh delman, becak dan juga pesepeda. Andai ada motor bahkan mobil, itu masih sangat jarang.
“Berisik, ngapain nangis, sih? Diam! Masih pagi sudah berisik! Diam, enggak? Mau, Papa pukul juga?!” ucap Prasetyo murka. Alif sang putra dan usianya belum genap empat tahun, ia amuk di hadapan keluarganya.
Padahal, alasan Alif menangis karena makanan dan mainannya diambil oleh Edo—bocah berusia dua belas tahun yang kelakuannya tidak lebih dewasa dari Alif. Dan dengan entengnya, Edo memakan tuntas jatah ayam goreng yang ia rampas.
Edo sama sekali tidak peduli, meski Alif sampai ditendang Prasetyo yang tak lain merupakan pamannya. Termasuk juga dengan keluarga besar Prasetyo yang ada di sana, mereka malah dengan entengnya mengatai Alif sebagai anak setan. Warti selaku kakak perempuan Prasetyo dan merupakan mama dari Edo juga tidak ambil pusing pada kelakuan anaknya.
“Dasar anak setan, kerjaannya cuma nangis. Ngerepotin terus!” ucap mereka silih berganti sambil menyantap lahap, nasi berikut lauk di piring masing-masing. Semua makanan yang juga disiapkan secara khusus oleh Dewi, wanita yang telah melahirkan Alif.
“Mama ... Mama sakit, Ma. Tolong Mama ... sakit banget Mama! Papa pukul-pukul aku lagi!” Bibir mungil Alif terus berseru, tersedu-sedu bocah itu.
Di dalam kamar mandi, Dewi dengan kehamilannya yang sudah sangat besar, mendengar suara sang putra. Dewi yang sudah mandi keringat, tapi tumpukan cucian yang harus diselesaikan masih tiga ember, buru-buru meninggalkan penyaring air dan memang membuat suasana di kamar mandi bising. Ditambah lagi, suara dari sikat yang Dewi gunakan untuk menyikat pakaian. Kedua kenyataan tersebut membuat pendengaran Dewi jadi terbatas.
“Alif ... itu kenapa lagi ya Allah. Jadi anak paling kecil, tapi yang paling ditindas! Heran, sebenci itu keluarga ini ke kami!” keluhnya susah payah berdiri.
Efek kehamilan yang sudah lewat hpl, memang membuat Dewi jadi melakukan segala sesuatunya dengan terbatas. Itu juga yang membuat para majikannya kompak memberinya cuti. Hanya saja, ketimbang para majikannya yang selalu membayar bahkan memberinya imbalan lebih, keluarga suaminya justru makin merepotkannya.
Keluarga Prasetyo selalu menganggap Dewi dan Alif, tak ubahnya benalu. Karena bagi mereka, meski Dewi sudah membereskan pekerjaan rumah, dari beres-beres, memasak, mencuci piring, termasuk mencuci pakaian satu keluarga suaminya bahkan pakaian suami iparnya, di mata keluarga suami Dewi, bahkan di mata suami sendiri, itu bukan bekerja.
Bekerja versi keluarga Prasetyo ialah Dewi bekerja ke banyak orang hingga Dewi mendapatkan bayaran, tapi Dewi juga tetap wajib mengurus semua pekerjaan sekaligus keperluan rumah.
Kini, baru sampai pintu ruang depan, Dewi sudah disuguhi pemandangan putranya yang meringkuk tersedu-sedu di lantai. Di lantai berupa tanah du sana, sang putra tampak tak berdaya. Sementara yang lain termasuk Prasetyo, justru fokus makan. Namun baru saja, ibu Surmi selaku mertuanya Dewi, bangun dari tikar tempatnya duduk. Lap di sebelah panci berisi sop, ia bawa mendekati Alif. Tebak apa yang ibu Surmi lakukan. Ya, wanita bertubuh gendut itu menyumpalkan lapnya ke dalam mulut Alif hingga penuh.
Karena Alif sibuk berusaha meraih kaki kanan ibu Surmi menggunakan kedua tangan. Ibu Surmi tak segan menggunakan kakinya yang bebas, untuk menendang wajah Alif. Alif yang memang merupakan cucu kandungnya!
“CUKUUUUUUUUUUUUP!” jerit Dewi langsung histeris.
Bergegas Dewi lari, tak terima putranya diperlakukan tak manusiawi. Hanya saja, keputusannya lari malah membuatnya terpeleset.
Sakit luar biasa langsung Dewi rasa. Namun dari semuanya, hanya Alif yang buru-buru menghampirinya. Semuanya sungguh tak peduli padahal kondisi Dewi sedang hamil besar dan bisa berakhir fatal.
“M—Mas ... sakit banget, Mas! Perutku ... rahimku! B—bayiku ... anak kita, Mas!” rintih Dewi benar-benar memohon. Kedua tangannya yang gemetaran berangsur mengelus-elus perutnya.
Sebenarnya, Prasetyo sudah berdiri dan hampir menghampiri sang istri. Namun, ibu Surmi sudah langsung melarang.
“Istrimu hanya pura-pura. Dia sengaja begitu agar bisa malas-malasan!” ucap ibu Surmi. “Dasar wanita benalu! Pemalas! Masih untung anakku mau nikahin kamu! Pantas dari kecil kamu sudah dibuang orang tua kamu. Wong kamu memang pembawa sial!”
Darah Dewi seolah mendidih mendengar itu. Terlebih demi baktinya kepada ibu dan keluarganya, lagi-lagi, Prasetyo mengabaikan kewajibannya kepada Dewi. Prasetyo tetap menjadikan keluarganya sebagai prioritas.
Memiliki suami yang begitu peduli sekaligus menyayangi ibu dan saudaranya, nyatanya tak menjamin suami tersebut bisa membuat istri dan anak-anaknya bahagia. Kiranya, itulah yang Dewi rasakan di pernikahannya dengan Prasetyo. Sebab lima tahun pernikahan mereka, Dewi selalu dituntut menjadi istri yang sempurna.
Bukan hanya perkara pekerjaan rumah sekaligus kebutuhan sehari-hari. Karena sebagai istri Prasetyo dan merupakan anak laki-laki tertua di keluarganya, Dewi juga diwajibkan bekerja menjadi tulang punggung keluarga Prasetyo.
Semua saudara Prasetyo sudah menikah. Malahan, Prasetyo yang menikah paling akhir. Karena demi baktinya, Prasetyo baru menikah setelah semua kakak maupun adiknya menikah.
Prasetyo itu anak ketiga. Dua kakaknya perempuan. Adik pertama perempuan, sementara adik terakhir itu laki-laki. Mereka yang awalnya tinggal di rumah orang tua Prasetyo, kini kompak pindah. Semuanya tinggal di kontrakan Prasetyo dan Dewi menjadi satu kesatuan dan semua keperluan hanya Dewi yang mengurusi. Sebab kebiasaan hidup malas dan apa-apa selalu mengandalkan Prasetyo, membuat mereka sampai menjual rumah berikut tanahnya.
“Tolong ... tolong Mama sakit. Tolong Mamaku jatuh!” Alif yang dewasa terlalu dini karena keadaan, histeris memohon pertolongan kepada tetangga.
Padahal, lebam di tubuh bahkan ingatannya, masih sangat melukainya. Termasuk juga perihal bibir bagian bawahnya yang pecah sekaligus berdarah. Namun demi sang mama, Alif nekat menggedor setiap pintu kontrakan.
Suasana pagi ini sudah membuat kontrakan kompak sepi. Karena sejatinya, mereka yang sadar diri bahwa hidup membutuhkan biaya memang akan lebih memilih bekerja. Ketimbang menumpang ke saudara, tapi selalu zalim kepada yang ditumpangi, seperti keluarga Prasetyo. Benalu teriak benalu, itulah gambaran keluarga Prasetyo kepada Dewi.
Tukang sayur yang akhirnya Alif jumpai, menjadi tujuan Alif. Kebetulan, Alif dan Dewi dikenal sangat baik oleh warga. Jadi, dengan segera bantuan pun datang. Semua yang datang kompak beristigfar.
“Ada wanita hamil tua jatuh begini, kok malah dibiarkan! Saya sebagai keamanan di sini, bisa menjadikan ini sebagai kasus loh!” kesal pak Dayat selaku RT di sana.
Ibu dan saudara Prasetyo memang selalu menjadikan agama sebagai alibi. Menurut mereka, anak laki-laki tertua, wajib bertanggung jawab penuh kepada keluarga. Jadi, anak laki-laki beserta istrinya wajib jadi tulang punggung keluarga. Bodohnya, Prasetyo selalu merasa cara hidup keluarganya itu benar. Baginya, istri dan anak tidak lebih dari orang asing yang bisa kapan saja meninggalkannya. Sementara keluarga apalagi ibunya, akan selalu bersamanya. Hingga Prasetyo memiliki pemikiran, lebih baik mengutamakan keluarganya ketimbang istri dan anaknya.
Meski sudah sampai dimarahi, digerudug oleh tetangga yang sampai meninggalkan pasar tempat mereka bekerja, keluarga Prasetyo tetap fokus makan. Hanya Prasetyo saja yang akhirnya mau membopong Dewi. Itu saja karena dimarahi. Sementara Alif juga turut diboyong. Bocah itu tak mau ditinggal. Ditambah lagi, selain keluarga papanya yang teramat cuek, Alif juga sangat mengkhawatirkan mamanya.
“Ya Allah, ... kuat ya Allah. Tolong izinkan hamba lahiran normal. Enggak kebayang andai hamba lahiran non normal apalagi melahirkan dengan biaya mahal. Pasti keluarga mas Pras makin semena-mena ke kami ya Allah,” batin Dewi.
Di antara hidup dan mati, Dewi yang tak hanya kuyup karena baru saja mencuci pakaian seabreg, juga mendapati kedua kakinya dihiasi darah segar. Dar.ah segar yang mengalir dari pangkal selangkangannya.
••••••
—Novel kakek~nenek Ojan dan memang baru bisa sempat aku bikin. Ketimbang aku stres karena terus nampung cerita ini di pikiran, yuk ramaikan. TOLONG, JANGAN TABUNG BAB. KARENA CERITA INI BAKALAN GAMBARIN ANAK KORBAN PERCERAIAN, KEHIDUPAN WANITA DESA DAN SIAPA TAHU MIRIP KISAH YANG SUDAH ADA.
Salam santun,
Rositi 💗
Satu hal yang sampai detik ini masih Dewi panjatkan Kepada Sang Pencipta Kehidupan. Ini mengenai Prasetyo yang ia harapkan bisa jauh lebih peduli kepada keluarga kecil mereka. Dewi begitu berharap suaminya berhenti mengutamakan keluarga besarnya, sebelum mencukupi atau setidaknya peduli, kepada keluarga kecil mereka.
Selain itu, Dewi yang sadar suaminya tipikal tidak tegaan, terlebih selama ini Prasetyo terbiasa mengurus keluarga, juga berharap hati keluarga Prasetyo terbuka. Karena andai keluarga Prasetyo memiliki kesadaran, paling tidak itu bisa mengurangi beban hidup Dewi maupun Prasetyo.
Kini, menggunakan mobil pick up milik orang pasar, Dewi diangkut. Prasetyo yang statusnya merupakan sopir, menyetir mobil sendiri. Sementara beberapa warga turut ikut di mobil bagian belakang. Di sebelah Prasetyo, Dewi sudah kesakitan dan tak hentinya istighfar.
Baru sampai puskesmas kecamatan di tempat mereka tinggal, Prasetyo malah memaksa Dewi diam. “Jangan berisik! Ibu Retno telepon!” ucapnya terdengar mengancam. Kedua matanya melotot, sementara telunjuk tangan kanannya yang tidak memegang ponsel, menunjuk-nunjuk wajah Dewi.
“Selalu begitu. Mas Pras selalu jadi benci banget ke aku, di setiap ibu Retno telepon,” batin Dewi jadi bertanya-tanya. Memangnya, ibu Retno dan tak lain merupakan bos Prasetyo, sangat anti pada suara Dewi, hingga di setiap wanita itu telepon, Dewi terus dipaksa diam? Kenapa bisa begitu? Memangnya Dewi salah apa? Karena setiap berpapasan saja, wanita itu buru-buru menghindarinya.
Alih-alih memboyong masuk Dewi ke puskesmas agar segera mendapatkan penanganan. Prasetyo malah lebih memilih menjawab telepon sang bos. Bapak-bapak yang ikut mengantar, kompak istighfar. Lagi-lagi masih mereka juga yang mengurus Dewi. Selain itu, mereka juga masih membantu Dewi menjaga Alif.
“Sayang, tadi aku lihat kamu bopong-bopong si Dewi. Aku cemburu lihatnya!”
“Jahat kamu ya! Padahal kamu tahu, aku sayang banget ke kamu! Padahal kamu sudah janji, mau ceraikan dia!”
“Sakit banget rasanya!”
Dari seberang, suara wanita yang terdengar sangat manja, menghiasi ponsel Prasetyo. Itu suara ibu Retno, bos Prasetyo.
Prasetyo sengaja ke pinggir jalan, agar obrolannya dengan sang bos tidak didengar rombongan yang mengantar Dewi. “S—sayang, maaf banget. Itu tadi aku terpaksa karena Dewi mau lahiran dan memang sudah pendarahan,” ucapnya meyakinkan.
“Memangnya, semua yang aku kasih masih kurang! Memangnya, aku masih kurang cantik dari istri kamu?!” sergah ibu Retno makin manja sekaligus meledak-ledak.
“Aku enggak terima! Cepat kamu ke sini kalau kamu enggak mau kita putus!” lanjut ibu Retno yang juga meminta Prasetyo untuk segera menceraikan Dewi.
Akan tetapi, belum juga sempat membalas, menjelaskan mengenai alasannya tak kunjung menceraikan Dewi, ibu Retno sudah mengakhiri sambungan telepon mereka secara sepihak. Tanpa pikir panjang, Prasetyo yang tidak mau hubungan terlarangnya dengan sang bos berakhir, langsung pergi menggunakan ojek di sebelahnya.
Sementara itu, di dalam ruang bersalin, Dewi sudah akan menjalani proses persalinan. Alhamdullilah, Dewi akan menjalani proses persalinan secara normal. Karena ternyata, Dewi sudah pembukaan tujuh. Namun mungkin efek terbiasa lelah sekaligus menahan sakit, Dewi jadi tidak menyadari bahwa sebenarnya, dirinya sudah kontraksi.
“Ini mas Pras, ke mana?” batin Dewi masih menunggu.
Dewi memang masih memiliki orang tua. Namun, sejak Dewi kecil, orang tuanya sudah bercerai. Alasan tersebut juga yang membuat Dewi mendadak menjadi yatim piatu. Karena meski orang tuanya masih hidup, keduanya fokus dengan keluarga baru masing-masing. Jangankan mengurus Dewi selayaknya kewajiban orang tua, sekadar menanyakan kabar Dewi saja, tidak. Kenyataan tersebut juga yang menjadi alasan Dewi, susah payah mempertahankan hubungannya dengan Prasetyo. Dewi tidak mau anak-anaknya bernasib sama dengannya. Impiannya tetap satu, yaitu memberikan keluarga bahagia kepada anak-anaknya.
“Masa iya, ibu Retno enggak ada kemurahan hati buat kasih mas Pras cuti? Dia perempuan loh.”
“Harusnya mas Pras juga bilang kan, kalau aku mau lahiran dan dia harus menemani aku? Itu Alif sampai dijaga orang.”
Pertanyaan demi pertanyaan yang akhirnya memenuhi benak Dewi, terjawab lunas. Ketika akhirnya seorang bapak-bapak datang, mengabarkan bahwa ternyata, Prasetyo sudah tidak ada di luar.
“Kata tukang parkir, katanya dia pergi naik ojek dari satu jam lalu!” ucap pria tersebut.
Rasa sakit efek proses pembukaan yang Dewi alami, terasa berkali-lipat menyakitkan dari sebelumnya. Terlebih hingga akhirnya Dewi harus melahirkan, Prasetyo juga tetap tidak datang, bahkan sekadar kabar.
Karena pada kenyataannya, kini Prasetyo memang tengah menghabiskan kebersamaan romantis nan panas dengan wanita gendut berambut pirang bergelombang, dan tidaklah lain ibu Retno.
Di ranjang yang terus berderit, baik Prasetyo maupun ibu Retno, tampak sama-sama menginginkan. Ibu Retno yang kuku jemarinya memakai kuteks warna merah, terus memaksa Prasetyo untuk memuaskan hasratnya.
“Ayo lebih cepat, Sayang!”
Kendati demikian, Prasetyo juga menikmati apa yang mereka lakukan. Bahkan meski ibu Retno tak lebih cantik dari Dewi yang kini tengah bertaruh nyawa untuk melahirkan anak kedua mereka. Malahan, Prasetyo tak segan memuji setiap perlakuan ibu Retno yang memang hampir sepuluh tahun lebih tua darinya.
••••
“Subahannalloh ... Mas ... sakit banget!” Berderai air mata Dewi berjuang melahirkan anak keduanya seorang diri. Ia hanya dibantu oleh dua orang bidan, tanpa ada yang mendampingi. Beberapa ibu-ibu yang mendampingi persalinan pasien lain sampai iba. Dua wanita yang ada, tergerak hatinya untuk berdiri di samping Dewi. Keduanya memberikan dukungan, menguatkan, dan terus meyakinkan bahwa Dewi bisa.
“Kasihan banget, melahirkan sendiri. Tadi katanya suaminya pergi enggak ngabarin. Sementara anaknya yang masih kecil, juga dijaga orang,” lirih mereka yang di luar tirai ruangan Dewi melahirkan. Dewi masih bisa mendengar itu, dan rasanya benar-benar nelangsa.
“Tega kamu, Mas! Sebenarnya kamu ke mana?” batin Dewi.
Bayi perempuan yang begitu cantik, akhirnya Dewi lahirkan dengan selamat. Semua yang di sana, kompak memberikan selamat. Selain itu, mereka juga sibuk memuji bayi Dewi. Dari yang mereka bilang sangat cantik, berkulit putih bersih, dan juga murah senyum.
“Murah senyum banget tuh lihat, senyum-senyum terus!”
Dewi masih belum menyerah. Ia yang hafal nomor telepon rumah ibu Retno, sengaja meminta bantuan salah satu ibu-ibu di sana untuk menghubungi.
“Nyambung, tapi enggak diangkat-angkat,” ucap ibu-ibu yang Dewi mintai bantuan.
Sudah sepuluh menit berlangsung, telepon dari ibu-ibu tersebut kepada nomor rumah ibu Retno tetap tidak dijawab. Dewi yang minta bantuan jadi tak enak hati bahkan malu.
Lahiran ditemani orang lain. Orang yang sebelumnya benar-benar tidak Dewi kenal. Sementara pakaian bayi, maupun pakaian ganti untuk Dewi, juga sampai diberi oleh mereka atas dasar kasihan. Akan tetapi, kini anak perempuan Dewi harus segera diazani. Benarkah yang melakukannya tetap bukan Prasetyo, dan harusnya melakukannya?
Dewi terpaksa membiarkan putri cantiknya diazani orang lain lantaran Prasetyo tak kunjung datang. Prasetyo tetap tidak ada kabar, tapi yang Dewi tahu, pasti suaminya itu sedang bekerja. Apalagi terakhir kali, alasan suaminya meninggalkannya karena ditelepon ibu Retno. Bayangkan jika Dewi tahu apa yang sesungguhnya terjadi, pasti Dewi tak akan sesabar sekarang.
Termasuk juga dengan keluarga Prasetyo. Mereka yang selama Dewi menjadi istri Prasetyo, menganggap Dewi sebagai benalu mereka, juga tidak ada yang datang. Padahal selama lima tahun menjadi bagian dari mereka, Dewi mereka paksa menjadi tulang punggung keluarga.
Bagi keluarga Prasetyo, sudah menjadi kewajiban sekaligus risiko Dewi sebagai istri Prasetyo untuk menjadi tulang punggung juga. Bahkan sekadar mencuci pakaian dan bekas makan mereka saja, masih Dewi yang harus melakukannya.
Kini, sebelum Prasetyo menjemput, Dewi bertekad tidak akan pulang. Dewi memanfaatkan sisa waktu istirahatnya di rumah sakit, untuk mengurus anak-anaknya.
Terbiasa bekerja keras membuatnya tak merasakan hambatan berarti. Meski sekitar empat jam lalu, dirinya baru melahirkan. Terlebih jika bukan dirinya yang melakukannya, memang tidak ada yang mengurus anak-anaknya.
Dewi memandikan Alif, mengobati luka putranya itu, dan memakaikan pakaian baru yang sudah ia beli lewat teman kerjanya. Dewi sengaja mengambil tabungan yang selama ini ia titipkan ke tiga orang majikannya.
“Aku enggak mungkin bisa nabung kalau enggak disimpankan orang lain. Karena andai aku yang pegang uang, sekencang dan serapat apa pun aku menyimpannya, pasti ujung-ujungnya buat dana darurat keluarga mas Pras. Ada saja alasannya dan pada akhirnya ribut.”
“Saking hafalnya ketiga bosku pada keadaan keluarga suamiku, tiap bulannya mereka sengaja menahan seperempat bagian dari gajiku. Karena meski seperempatnya lagi selalu aku pakai buat beli keperluan Alif, lagi-lagi hak Alif juga dirampas keluarga mas Pras. Beneran bukan hanya setengah gaji yang aku sisakan.”
“Tentu awal-awal, bahkan sampai sekarang, aku selalu melawan. Namun saking capeknya, sekarang aku lebih memilih diam.”
“Sementara alasanku tetap bertahan, semata-mata memang demi anak.”
“Orang tuaku bercerai ketika aku berusia sekitar lima tahun. Sedikit banyaknya aku masih ingat. Dulu, sebelum mereka bercerai, mereka sering bertengkar seperti yang terjadi antara aku dan papanya anak-anak.”
Saat itu, aku sering menjadi pelampiasan amarah orang tuaku. Aku sering dipukuli, di setiap pertengkaran orang tuaku.”
“Aku tahu rasanya jadi yatim piatu meski orang tuaku masih hidup. Mereka bahkan bahagia dengan keluarga baru mereka. Karena setelah bercerai, mereka sudah mendapatkan jodoh sekaligus keluarga baru. Sementara aku, ... aku harus berjuang sendiri, di usiaku yang masih sangat dini.”
“Karena jangankan nafkah yang sudah menjadi hakku sekaligus kewajiban mereka kepadaku. Sekadar menanyakan kabar, atau setidaknya mendatangiku, mereka tidak pernah melakukannya.”
“Padahal kami tinggal di kecamatan sama. Sementara ketika aku nekat datang karena kerinduanku terhadap mereka, ... lagi-lagi mereka hanya memarahiku. Mereka mengusirku, dan cacian akan terus mereka lakukan kepadaku, bahkan meski aku sudah pergi.”
“Pernah aku nekat masuk rumah mereka. Aku duduk di sebelah adik-adikku yang sedang makan satu meja dengan anak bawaan dari pasangan baru orang tuaku.”
“Saat itu, aku juga ingin makan karena aku sudah sangat lapar. Kebetulan, mereka sedang makan dengan lauk dan sayur yang tampak sangat lezat. Namun lagi-lagi, mereka mengusirku.”
“Mereka berdalih, untuk makan keluarga mereka saja masih kurang. Sementara hadirnya aku di tengah mereka hanya jadi beban.”
“Selain tidak memberiku makan walau satu butir nasi, yang mereka lakukan tetap mengusir sekaligus memukuliku selagi aku tidak mau pergi.”
“Kemudian, ... kakek dan nenek dari pihak mamak yang mengurusku, juga turut mereka marahi.”
“Mak, Pak, ... jaga Dewi. Jangan biarkan dia jadi pengemis di sini! Bentar-bentar datang ke rumah minta makan! Urus keluargaku yang sekarang saja, sudah pusing. Eh Dewi malah makin bikin pusing!”
“Dulu, ucapan itu terlontar dari mulut mamak maupun bapakku kepada kakek dan nenekku. Dengan sabar, kakek dan nenekku menasehati keduanya. Kakek dan nenekku mengingatkan orang tuaku, bahwa biar bagaimanapun, aku tetap anak mereka. Hanya saja, mereka tetap tidak menginginkan kehadiranku.”
“Orang tuaku menganggap, bahwa aku merupakan simbol luka sekaligus kesedihan mereka. Padahal andai boleh memilih, aku juga tidak mau memiliki orang tua seperti mereka.”
“Saat itu juga kakek nenekku berusaha merangkulku. Mereka memintaku untuk berhenti menangis.”
“Kakek nenekku tak mau aku bersedih lagi karena aku masih memiliki mereka yang akan senantiasa menyayangiku. Padahal tanpa harus mereka minta, sejak itu juga aku bertekad untuk tidak lagi memikirkan orang tuaku.”
“Aku bersumpah tak akan datang meminta makan kepada orang tuaku, seberapa pun aku kelaparan. Sementara alasanku saat itu menangis meraung-raung, tak semata karena aku ingin mengakhiri semua rasa sayangku kepada orang tuaku. Saat itu, rasanya memang sangat sulit karena aku juga hanya seorang anak biasa. Seorang anak yang sangat haus kasih sayang orang tua!”
Dewi kecil dirawat kakek neneknya yang sudah renta. Berlinang air mata, Dewi mengingatnya. Apalagi akibat keadaan kakek neneknya, sejak kecil Dewi juga turut merawat keduanya. Pekerjaan rumah dan pekerjaan sawah, sudah biasa Dewi lakoni sejak dini. Keadaan menuntut Dewi untuk dewasa sebelum waktunya.
Jangankan merasakan kehidupan anak-anak sebayanya. Sekadar makan saja, Dewi makan apa yang ia temukan di pekarangan, sawah, atau itu mencari ikan di sungai.
Sering kali jika musim tanam maupun panen padi tiba, Dewi juga turut diajak bekerja atau yang warga setempat sebut embret. Sementara untuk biaya sekolah, Dewi mendapatkan keringanan biaya. Puncaknya ketika sang kakek meninggal, saat itu Dewi masih kelas lima SD. Sang nenek yang memang sangat mencintai suaminya, jadi makin sakit-sakitan. Beberapa kali, anak dari nenek Dewi datang, kecuali mamanya Dewi. Mereka mengobati sekaligus merawat nenek. Hanya saja, mereka langsung marah besar ketika tahu, bahwa nenek dan kakek Dewi, mewariskan dua petak sawah, maupun rumah berikut pekarangannya, kepada Dewi.
Semua yang diwariskan Dewi merupakan bagian yang belum dibagikan kepada anak-anaknya. Karena semuanya sudah mendapatkan jatah warisan. Dewi yang tidak tahu apa-apa, dipaksa mereka untuk pergi merantau ke kota. Mereka melarang dewi melanjutkan sekolah karena memang tidak ada biaya.
“Kalau kamu pengin sekolah, sana kerja. Cari uang dulu karena mamak kamu saja sudah enggak mau urusin kamu!” Itulah yang dikatakan ketiga paman dan juga tiga tante Dewi.
Dewi terusir dan terpaksa ikut tetangganya yang biasa menyalurkan pekerja ke makelar yang ada Bandung. Di Bandung, Dewi bekerja sebagai ART. Majikannya langsung cocok karena meski masih kecil, Dewi sangat rajin sekaligus cekatan.
Belum ada satu bulan di Bandung, Dewi mendapat surat dari kampung. Dewi dikabari bahwa neneknya sudah meninggal. Namun, anak-anak neneknya melarang Dewi pulang. Lagi-lagi mereka memaksa Dewi untuk tidak mengungkit warisan. Detik itu juga, Dewi tidak memiliki semangat untuk pulang. Meski pertemuannya dengan Prasetyo yang merupakan sopir rumah di depan rumah majikan Dewi, membawa Dewi kembali ke kampung halaman.
Kesantunan Prasetyo, dan juga rasa sayang Prasetyo kepada orang tua sekaligus keluarga, menjadi alasan Dewi cepat dekat dengan Prasetyo. Dewi yang berasal dari keluarga amburadul, yakin Prasetyo akan membuatnya merasakan hangatnya keluarga, andai dirinya menikah dengan Prasetyo. Apalagi demi mendapatkan uang lebih untuk keluarganya, Prasetyo bahkan sengaja sambil jualan pakaian, perabotan, dan juga makanan.
Selain parasnya yang gagah, Prasetyo yang berkulit kuning langsat juga berasal dari kampung yang sama dengan Dewi berasal. Alasan tersebut juga yang membuat keduanya cepat nyambung bahkan, cocok.
Namun setelah mereka menikah, akhirnya Dewi tahu alasan Prasetyo begitu bertanggung jawab kepada orang tua maupun saudaranya. Sebab Prasetyo tak ubahnya dana darurat yang akan selalu keluar, ketika mereka membutuhkan. Apalagi nyatanya, Dewi juga dipaksa melakukan apa yang selama ini Prasetyo lakukan, dan itu menjadi tulang punggung.
Kendati demikian, demi anak-anaknya agar tidak merasakan apa yang ia rasakan, Dewi bertekad untuk mengubah cara pikir suaminya. Soalnya, Dewi juga memiliki kenalan yang nasibnya mirip Dewi. Suami wanita itu berubah dan kini mereka hidup tentram.
“Semoga aku juga bisa!” batin Dewi yang kini tengah menyuapi Alif makan. Ia mendapat kiriman makanan enak dari salah satu bosnya. Hingga kini, bersama sang anak, ia akan makan dengan leluasa. Sebab andai ia ada di kontrakan, pasti tidak mungkin bisa karena di sana ada keluarga Prasetyo. Bukannya tak mau berbagi, masalahnya andai mereka tahu, pasti semuanya dihabiskan dan Dewi bahkan Alif, sama sekali tidak diberi.
••••
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!