Alarm kebakaran berbunyi dalam satu detik setelah suara ledakan besar muncul dari lantai dasar ruangan putih di gedung restoran. Orang-orang berpakaian wearpack chef berlarian mengambil perlengkapan keamanan, tak lupa salah satunya memberikan laporan pada kepala chef terjadi ledakan di dapur mereka.
Beberapa pelayan mengevakuasi setiap sudut restoran yang tengah ramai pengunjung. Terdengar kepanikan dari dalam restoran, berhamburan lah keluar tamu-tamu itu, ke halaman depan yang menjadi parkiran luas restoran bintang lima.
Asap tebal menyelimuti ruangan yang kini tersisa beberapa orang. Mereka berusaha memadamkan api menggunakan APARーalat pengendali api ringanーyang tersedia sebagai perlengkapan keamanan.
Tidak disangka sebuah oven meledak saat semua orang tengah berada dalam kegiatan memasak. Api telah padam, namun asap tebal masih mengelilingi ruangan itu hingga keluar dari jendela bundar.
Merasa sudah terkendali, mereka mulai bernapas lega. Namun kejadian lain terjadi saat semua mulai terkendali. Ledakan kembali terjadi yang kini sebuah gas LPG meledakkan ruangan dengan api. Muncul getaran hebat di area itu hingga mereka yang masih berada di ruangan terpelanting terlahap oleh api.
"Hah ... percuma." Seorang perempuan dua puluh tahunan tergeletak lemah di lantai. Asap yang semakin tebal membuat daya oksigen berkurang di paru-parunya.
Pandangannya semakin memburam dengan oksigen yang menipis. Api yang membara membuat ia bercucuran keringat saking panasnya. Luka bakar di kaki serta sebuah hantaman pada kepalanya akibat benda yang melayang dari ledakan itu membuatnya kini tak berdaya.
'Jika aku mati ... setidaknya aku puas menjadi Chef de Cuisine.'
Dia pasrah saja jika ini adalah akhir. Matanya terpejam di tengah kobaran api yang mulai melahap seluruh ruangan.
...***...
Panas lalu dingin.
Kehidupan selalu saja mempermainkan orang lain dengan takdirnya, apa sekarang aku juga dipermainkan oleh kematian? Apa dosaku hingga berakhir seperti ini? Pertanyaan-pertanyaan itu sangat ambigu, mengingat aku sudah mati.
Seharusnya aku melambaikan tangan seperti seorang selebritis dengan para fans di restoran yang menyukai masakan ku. Semua hilang saat nyawaku melayang karena ledakan. Rasa panas dan perihnya masih kuingat dengan baik.
Ya benar. Aku Sena Adhinatha, perempuan dua puluh tahun yang merintis karir sebagai chef baru di belahan Asia Tenggara.
Meski seorang chef, aku sama sekali tidak berminat memasuki industri kuliner karena sekarang, aku lebih memilih sebagai seorang penulis. Ya meski amatir dan hanya sebagai pekerjaan sampingan, tapi aku menyukainya. Merangkai segala sesuatu dengan kata-kata, seolah-olah itu terjadi di dunia nyata, padahal hanyalah serangkaian kebohongan.
Membayangkan alur cerita yang dapat kita kendalikan sesuai harapan dan imajinasi membuatku bebas. Karena semua itu adalah dunia yang aku impikan. Tidak seperti duniaku yang monoton, terasa hambar, diulang terus-menerus seperti siklus hidup.
Jika saja ledakan itu tidak terjadi, maka keesokan harinya aku akan pergi ke negara favoritku, Jepang. Ingin bertemu husbu di Akihabara. Karena itu adalah hari terakhirku menjadi chef dan akan berlanjut di kuliah lebih tinggi di sana. Semua hilang.
'Sial. Aku belum masuk tipi.'
Entah kesialan atau keberuntungan, aku masih bisa merasakan semua indraku berfungsi dengan baik. Sampai cahaya muncul di sekitar kegelapan, perlahan mengisi kehampaan dari pandanganku.
"Putri ..."
Suara keributan mengisi indra pendengaran ku. Ini lebih mengganggu daripada suara kenalpot racing para pemuda banyak gaya di luar. Berisik.
Aku kira di alam baka suasananya seperti kantor guru waktu sekolah dulu. Sunyi tapi banyak harimau. Perlahan mataku terbuka karena cahaya kecil.
Atap yang lebih mewah dari hotel menyita perhatian mataku pertama kali. Saat itu pula aku mengernyit kebingungan.
Ini pasti mimpi. Bagaimana ada alam baka yang terbangun atap mewah berornamen emas kekuningan? Alam baka zaman apa ini?
Baik. Kembali tidur lalu semua akan berakhir saat itu juga. Atau kuganti kata-kataku, kembali mati lalu semua akan berakhir saat itu juga.
"Astaga! Putri!"
Aku terperanjat hingga terjatuh dari tempat tidur dengan selimut yang terlilit di tubuhku. Segera aku bangun duduk, membuat beberapa sendi berbunyi. Tubuh ini rasanya kaku tidak karuan. Baru kusadari tubuhku menghantam lantai marmer.
Memegang pinggang, aku sedikit meringis nyeri, "Ad-...duh."
'Ini ... sakit?'
Aku memeriksa tubuhku yang kini terasa lebih kecil dari awalnya. Kulit putih dan mulus di tangan tanpa bekas luka bakar ataupun sayatan kecelakaan kecil akibat pisau di dapur juga hilang.
"Apa ini?" Aku berkedip beberapa kali, tersenyum hambar dalam hati karena wajahku rasanya kaku.
Sesaat kemudian seseorang berteriak keluar dari ruangan. Aku belum sempat melihat siapa itu, tapi yang ku temukan adalah bayangan gadis di depan cermin yang tanpa sengaja kupandang saat ini.
Rambut hitam panjang dengan bumbu netra biru laut berkilau seperti permata membuatku sedikit terpesona dengan wajahnya yang imut dengan bibir mungil.
Aku memegang kepala, begitu pula bayangan gadis itu dengan gerakan yang sama.
'... Kau dare?' batinku tanpa sadar menggunakan kata-kata legend dalam bahasa Jepang tambahan bumbu Indonesia.
Tubuh mungil tentu bukan aku. Batinku menangis dengan satu telapak tangan menyentuh permukaan cermin besar dan satunya lagi mengepal erat.
'My normal life, over! Shit!'
...***...
Seorang pria berjanggut berpakaian dokter dengan khas jubah putihnya memeriksa denyut nadi di pergelangan tanganku. Satu orang wanita berpakaian kuno berdiri dengan wajah khawatir. Siapa mereka? batinku.
"Anda tidak ingat saya, Putri?" Tanya dokter kesekian kalinya dengan hati-hati.
Aku menghela napas tipis, memandang ke arah lain sembari membalas singkat, "Hm." sebenarnya aku hanya menyembunyikan amarahku! Sialan.
'Gadis ini bisu atau apa?' geram ku dalam batin. Wajah, suara, sama-sama irit dalam menampilkan kondisi. Jelas sekali gadis ini tidak terbiasa tersenyum atau berbicara dengan orang lain. Rahangnya terlalu kaku, bahkan menyungging sudut bibirku saja sulit.
"Tuan Putri kehilangan ingatan. Mungkin karena benturan keras di kepalanya saat kecelakaan itu. Namun, syukurlah Putri bertahan sampai saat ini, mengingat sudah enam bulan Anda tertidur."
Aku menoleh saat dokter itu berbicara. Gadis ini mengalami koma selama enam bulan karena kecelakaan. Aku mati dan bereinkarnasi, tandanya jiwa gadis ini sudah mati tergantikan olehku yang hidup di raganya sekarang?
"L-lalu ... apa Putri bisa sembuh?" Tanya cemas wanita pelayan. Aku melirik pada dokter yang kini terdiam dengan kepala sedikit menunduk.
Dia menghela napas tipis, lalu menggeleng, "Jika hanya kepala yang sakit itu ada obatnya, namun jika ingatan itu hilang mungkin tidak bisa kembali ataupun diobati."
Aku sejak tadi memegang dagu, berpikir sejenak setelah melihat wajah mereka kini murung.
"Siapa namaku?" tanyaku membuat mereka terkejut. Beberapa detik mereka terlihat ragu bicara.
"Anda ... Putri Aristella Julius de Vermilion. Putri Mahkota tunggal di kerajaan Vermilion," jawab dokter berkeringat dingin. Itu membuatku mengernyit, berpikir ulang. Rasanya pernah mendengar nama itu.
'Aristella ... Julius. Ah bukan. Aku teringat nama Vermilion.' batinku tertawa hambar, 'Tidak mungkin dia 'kan? Sialan.'
^^^つづく^^^
...________START 21012022/05________...
...FYNIXSTAR_ID...
"Hah ... parah." Aku menggerutu sembari menikmati pemandangan asing musim gugur di balkon. Udaranya lumayan dingin karena sebentar lagi musim dingin bulan Desember. Sempat aku bertanya tanggal dan bulan, seolah tidak terjadi apapun padahal aslinya aku panik.
'Setidaknya aku bisa merasakan empat musim di sini.' Aku mulai pasrah, jika ada cara kembali, aku tidak mau kembali, karena pasti dalam keadaan cacat total karena ledakan itu.
Aristella Julius. Anak tunggal dari pasangan Raja dan Ratu Vermilion sekaligus Putri Mahkota yang akan memimpin di masa depan. Ratu Eveline Azka de Vermilion meninggal karena pemberontakan faksi bangsawan terdahulu yang terjadi karena menentang Kaisar. Pemimpin Vermillion saat ini adalah Raja Ashgar Van de Vermilion.
Kebiasaan lama seorang antagonis seperti Aristella, menjadi jahat karena rasa iri. Jika dipertanyakan hal tentang apa, itu semua mengarah pada kesalahan Raja sendiri yang menuntut tegas kesempurnaan Aristella dengan dalih untuk masa depan Vermilion. Meski dipikir-pikir, itu tidaklah mengherankan karena kondisi kerajaan ini.
Itu tidak salah. Vermilion adalah kerajaan yang bisa dibilang miskin dari yang termiskin, kerajaan hancur dari yang terhancur, kerajaan yang tertinggal dari yang tertinggal kan dari segi politik, ekonomi, militer, dan masih banyak lagi. Karena memang kerajaan ini bisa saja hancur karena gebrakan kecil.
'Sekarang masalahnya adalah alur. Alur cerita ini akan mengibarkan bendera kematian pada Aristella.'
Aristella akan mati di tangan pemeran utama laki-laki, Leon Derick zen Reaffles. Pangeran mahkota kerajaan tetangga yang dikenal dengan kekuatan militernya. Bisa dibilang mereka kerajaan makmur dengan tiga Duke sedangkan di sini, jangan ditanya, hanya memiliki satu. Itu saja masih untung.
Kematian Aristella adalah dampak dari tiga hal yang tanpa dia sadari lakukan. Pertama, bodoh karena yang namanya cinta. Kedua, tempramen buruk. Ketiga, terlalu sombong.
"Buang saja jauh-jauh. Kerajaannya akan hancur dia malah mengejar laki-laki yang sedang jatuh cinta pada gadis lain."
Riana Centauri. Seorang rakyat jelata yang menjadi tokoh ter-trending topik dengan prestasinya di akademi. Meraih posisi pertama itu tentu saja hal mudah untuk tokoh utama, namun dia terlalu baik hati hingga rasanya itu terlalu dibuat-buat.
Ya. Dialah Putri Cinderella di negeri dongeng.
"Ampun. Merepotkan saja jika berhadapan dengan mereka. Berpura-pura lah tidak kenal saat bertemu nanti." Semoga saja tidak bertemu. Tapi sepertinya tidak mungkin tidak bertemu. Aku menjadi salah satu tokoh penting untuk menggerakkan cerita ini.
Baik. Selesai merenungi semua alurnya yang berakhir dengan happy ending bagi Riana dan Leon, sekarang temui Raja. Sebelumnya, tadi pelayan yang datang bersama Medias–dokter kerajaan–mengatakan Raja ingin bertemu dengan putrinya yang sudah tertidur pulas selama enam bulan. Pantas saja pegal semua.
...***...
Aku mengetuk pintu besar di salah satu lorong panjang berkarpet merah. Aku bisa datang kesini karena diantar oleh pelayan bernama Emma tadi.
Beberapa detik tidak ada jawaban dan tentunya aku mulai kesal hingga berkacak pinggang satu tangan. Pintu itu terbuka setelah sepuluh menit, menampilkan seorang laki-laki dengan pakaian ksatria membukakan pintu.
Awalnya dia menatapku datar, dengan mata lelahnya sampai terdapat kantung mata hitam itu, namun segera ia tersenyum lebar membuatku mengernyit jijik.
"Selamat siang, putri. Bagaimana kabar Anda? Yang Mulia sangat mengkhawatirkan ..."
"Suruh dia masuk Rian."
Suara dingin memotong ucapan laki-laki tampan bernama Rian itu, membuatnya tersenyum canggung dengan air keringat yang bercucuran. Rian, mungkin dia ajudan sang Raja yang tidak dikatakan dalam novel.
"Silakan masuk, tuan Putri," ujarnya masih dengan senyuman tanggung. Aku memasuki ruangan yang terlihat berantakan oleh beberapa kertas yang berceceran di atas meja.
Sosok pria yang masih terlihat muda dengan rambut hitam dan mata biru tua memandang pada kertas yang ia gunakan untuk menulis dengan pena.
Auranya bukan main sebagai seorang Raja. Yah. Dia hebat bisa mempertahankan kerajaan meski di ambang jurang kehancuran.
Aku masih setia berdiri di depan meja kerjanya, sesekali melihat sekeliling yang banyak sekali kertas berhamburan. Tulisannya terlihat asing, tapi aku bisa mengerti apa maksudnya.
'Kekuatan reinkarnasi. Benar-benar.' batinku tersenyum kikuk.
Aku merasa tak nyaman saat merasakan aura menusuk dari satu tempat, tentu dari pria di hadapanku ini. Dia memandangiku dengan tajam.
"Aku dengar kau hilang ingatan," ucapnya tanpa basa-basi.
"Iya," jawabku singkat. Dalam batinku sudah ingin memaki-maki orang ini. Harusnya menanyakan kabar dulu atau kondisi anaknya. Dia malah langsung to.the.point seperti ini, tidak berakhlak.
"Apa hilang ingatan bisa menghilangkan tata krama seseorang?" Tatapannya semakin tajam dengan aura menekan di belakangnya. Aku menghela napas tipis.
"Mungkin," balasku masa bodoh.
Dia mengernyitkan dahinya. Mungkin jika Rian tidak memotong percakapan kami dia akan marah besar.
"Y-Yang Mulia, Tuan Putri masih dalam tahap penyembuhan maksimal. Jangan terlalu keras padanya," ucapnya dengan hati-hati.
Samar terdengar pelan helaan napas dari Raja. Gerakan tiba-tiba dari tangannya membuatku melirik isi kertas di genggamannya.
"Surat dari akademi," ujarnya memberikan kertas itu padaku.
Simbol pohon dengan akar menghiasi setiap sudut kertas membuatku tercengang sejenak. Tulisan yang berisi seperti simbol namun bisa ku mengerti mengatakan.
...Segala hormat kami menerima kehadiran kembali Aristella Julius de Vermilion ke Evergreen tanpa mengulang kelas....
^^^Tertanda,^^^
^^^Derila^^^
Academy Evergreen, di novel 'Unconditional Love' yang menjadi tempat dimana Riana sebagai tokoh utama menggerakkan alurnya. Aku hampir lupa.
Aristella kecelakaan di perjalanan tepat dihari upacara penerimaan murid baru di akademi yang mengakibatkannya dia koma enam bulan. Di saat itu Leon mulai muncul benih-benih cinta terhadap Riana, namun dia belum menyadari hal itu sehingga masih kalu-malu kucing.
"Besok kau bisa berangkat. Jangan khawatirkan apapun. Meski kau kehilangan ingatan dan menurunkan nilai mu."
Aku hampir saja tertawa. Dia ini mengkhawatirkan kondisi putrinya atau nilai? Lagipula, ini semua sudah berubah dengan hilang ingatan Aristella karena jiwaku yang nyasar. Seharusnya tidak ada kejadian Aristella kehilangan ingatan dan menjalankan aksi menempel pada Leon.
"Jangan khawatir Ayah. Semua akan tertangani dengan baik. Termasuk nilai," ucapku mengangkat surat yang masih ada ditanganku.
Dibalik tegasnya seorang Ayah, pasti ada hal yang baik di dalamnya. Buktinya Raja saat ini terlihat terkejut meski hanya sekilas setelah ucapanku.
'Jika aku meraih nilai tertinggi, mungkin nama kerajaan ini akan kembali terangkat.'
"Kau yakin?" tanyanya memastikan, sedikit melunak daripada sebelumnya. Aku mengangguk, "Jika nilai bisa mengembalikan kondisi kerajaan ini, akan ku lakukan."
'Meski harus bersaing dengan tokoh utama yang memiliki dampak besar, tidak masalah selama memiliki tujuan.'
Tujuanku untuk mengembalikan kejayaan kerajaan ini dan hidup sebagai pengangguran kaya, damai, sejahtera, tentram, serta tenang.
'Cita-cita yang bagus.' batinku bangga. Aku sudah berjuang sekali untuk mencapai cita-cita sebagai chef meski terhenti di tingkat de cuisine. Head chef dengan de cuisine hanya berbeda di kepemimpinan saja tugasnya sama. Aku sudah puas.
"Baiklah. Aku mengandalkan mu, Stella."
Tubuhku menegang saat melihat ekspresi Raja saat ini. Meski hanya sekilas dan itu sangatlah tipis, dia tersenyum tulus dengan suara yang hangat.
Jika saja bisa tersenyum, mungkin aku akan membalasnya dengan senyuman termanis dari anaknya. Lagipula, sepertinya Aristella juga akan senang jika melihat ayahnya saat ini.
"Ya. Serahkan padaku."
'Oi Aristella. Jangan marah jika semuanya ku ambil alih.'
^^^つづく^^^
...ーARIGATO FOR READINGー...
...THANKS...
Unconditional Love, novel berlatar kerajaan yang menyangkut kemodernan. Kendaraan mesin beroda empat sudah ada di sini, hanya saja digerakkan oleh sihir. Adapula kekurangan yang lain.
Di sini tidak ada televisi, mereka menyebutnya sebagai layar sihir. Handphone, mereka menyebutnya benda sihir pengantar surel. Karena sihir menjadi salah satu hal terpenting di sini, tidak ada lagi yang bisa menandingi betapa berharganya sihir itu.
Terciptalah sebuah tempat untuk mengumpulkan generasi pemilik kemampuan sihir bernama Evergreen.
Akademi yang melatih orang-orang terpilih untuk menjadi yang terbaik. Siapapun yang lulus dengan peringkat pertama, maka dia akan mendapatkan apresiasi berupa satu permintaan di depan pohon kehidupan. Pohon yang memiliki segala sihir sekaligus menopang kehidupan di benua ini.
Jika pohon itu rusak, habis sudah. Peperangan antar ras akan terjadi. Yap. Pohon itu sangat berharga.
...***...
Sampainya di depan gerbang akademi, aku mengernyit tak senang memandang dingin luar jendela mobil yang sudah dipenuhi banyak orang dengan kamera di tangannya.
Baru saja kemarin Raja memberitahu keberangkatanku ke akademi, orang-orang dari organisasi berita ini jeli juga mendengar kabar itu.
'Pantas saja Raja bicara aneh.'
"Jika ada serangga yang berbunyi, abaikan saja."
Begitu. Dia bicara sebelum aku berangkat tadi pagi.
"Anda baik-baik saja, Putri?" Tanya Rian. Dia diperintahkan Raja untuk ikut mengantarku, berjaga-jaga. Baru aku mengerti ini tujuannya.
"Hm," balasku sembari mengangguk seadanya menatap malas luar jendela yang sangat ramai. Beruntung mobil bisa masuk ke kawasan akademi dan meninggalkan wartawan-wartawan itu di depan gerbang. Ksatria penjaga di akademi ini juga sangat peka, terbukti dengan langsung menutup gerbang setelah kami masuk.
Rian turun terlebih dulu, membukakan pintu mobil untukku. Dia membungkuk saat sepenuhnya aku turun. Pemandangan yang pertama kali ku lihat adalah betapa megahnya akademi ini.
Meski di abad kerajaan, arsitektur nya begitu modern dengan beton putih dan kaca transparan seperti di gedung. Aku terharu. Sungguh.
Penampilannya sama seperti di sekolah Jepang modern di anime-anime yang ku tonton. Karena ini jugalah aku menyukai novel itu.
"Selamat menjalani kehidupan akademi Anda, Putri," ujar Rian sebagai salam perpisahan.
Aku mengangguk, menarik tas koper yang sudah disiapkan Rian untuk masuk ke dalam gedung, meninggalkan Rian yang masih membungkuk.
Rasanya sedikit gugup saat melihat pintu megah besar dan tinggi di beberapa sisa langkahku. Di depan terdapat satu orang wanita paruh baya berkacamata mata dengan wajah tampak tegas dan satu orang perempuan yang berdiri anggun di belakangnya. Ada pula dua pria ksatria penjaga.
"Selamat datang di Academy Evergreen. Kami menanti kehadiran Anda Putri Aristella Julius de Vermilion," sambut mereka membungkukkan badan sekilas lalu kembali ke posisi tegak.
"Saya Preatta Rod. Wakil kepala Evergreen sekaligus profesor di bidang Ekonomi. Mulai sekarang, akan saya jelaskan detail akademi ini," ucap wanita paruh baya berkacamata.
Aku mengangguk, "Mohon bantuannya, Profesor Preatta."
Kami memasuki gedung akademi yang menurutku ini sangat fantastis. Terlihat sangat modern di dalam sini dengan semua warna bernuansa putih dan biru hologram.
"Kita mulai dengan sejarah akademi ini ..."
Profesor mulai bercerita tentang asal-usul akademi. Aku tidak sepenuhnya mendengarkan, lebih memilih menikmati sekitarku daripada sejarah tak jelas. Kami berjalan di lorong berlantai marmer biru tua. Hiasan dinding berupa seperti hologram.
'Benar-benar kombinasi antara abad pertengahan dengan abad 21. Aku akui ini keren.'
"Di sini kita akan mendapatkan indentitas mu dan nomor asrama."
Profesor berhenti di sebuah pintu besi. Dia menekan tombol hijau di sisi kanan pintu, membuatku lagi-lagi tertegun dengan arsitektur di dalamnya. Seperti sebuah lobi modern dengan layar hologram. Ini bahkan lebih canggih daripada di dimensi ku.
"Silakan sentuh bola itu," ujar Profesor Preatta menunjuk sebuah bola sebesar bola sepak di tengah kapsul transparan.
Aku melangkah masuk dalam kapsul, menyentuh bola itu tanpa adanya keraguan. Lagi-lagi aku dibuat terkejut dengan munculnya layar-layar hologram di kaca transparan kapsul.
Oh astaga. Menikmati kemodernan sekaligus pusat pemerintahannya masih berupa kerajaan itu suatu hal aneh tapi menyenangkan.
Layar-layar itu berputar, lalu seakan ter-resap dalam bola yang ku sentuh. Sebuah lampu hijau menyala di sisi sudut kiri, membuka sebuah kotak yang memunculkan benda persegi panjang.
'Itu smartphone?! Apa ini tandanya aku bisa menonton anime?'
"Itu benda yang akan kau pakai di akademi ini, disebut RectaPhone. Hanya untuk pemberitahuan kepada semua murid, dan data nilai. Yang paling penting dari benda itu adalah sebagai identitas murid bahwa mereka merupakan bagian dari Evergreen. Jadi, kau harus membawanya setiap saat untuk membuka akses ke tempat-tempat seluruh Evergreen."
Seakan mengerti apa tujuanku, Profesor menenggelamkan semuanya dalam beberapa kalimatnya. Aku mengambil benda itu dengan menggerutu dalam hati.
'Selamat tinggal dunia per-wibuan ku.'
"Apa kau tahu cara mengaktifkannya?" Tanya Profesor Preatta memastikan. Aku memeriksa setiap inchi benda ini, menyentuh permukaannya lalu layar itu menyala.
"Ya. Ku rasa aku tahu." Sama seperti smartphone di dimensi ku. Sayang sekali tidak bisa digunakan untuk berkomunikasi ataupun menonton anime.
"Bagus. Kita lanjutkan ke tempat berikutnya," ujar Profesor memandu ku. Aku mengikutinya dengan tenang sesekali menikmati suasana.
Profesor menunjukkan banyak tempat. Mulai dari taman, kolam renang, tempat pelatihan, kelas, asrama, laboratorium, perpustakaan, ruangan para profesor, lapangan, aula, dan tentu saja kafetaria sebagai kantin.
Yang paling membuatku kagum adalah tempat terakhir ini.
"Ini adalah studion utama kami," ucap Profesor dengan sedikit kebanggaan tersendiri.
Pandanganku terpaku dengan pemandangan studion yang juga lagi-lagi bernuansa modern. Layar besar di atas studion, lebih tepatnya di tengah atas. Lapangan studion yang sepertinya berlantai seperti kaca karena begitu mengkilap diselingi garis-garis. Banyak bangku dan luasnya sama seperti lapangan sepakbola internasional.
"Kebanggaan akademi Evergreen. Pertarungan yang diselenggarakan untuk generasi berbakat. Everglori."
'Ho. Everglori ya.'
Pertarungan antar murid yang menjadi tontonan semua orang di benua sampai ke manca negara jika ingin. Murid-murid akan membuktikan kemampuan mereka di pertarungan itu dan menjadi yang pertama serta populer.
'Hm. Ini akan semakin membuatku bersemangat.'
"Baik. Apa kau siap untuk menjadi murid resmi dengan seragam mu, Putri?" Profesor terlihat sedikit memandangku dari atas sampai bawah.
Ya. Gaun biru tua polosku memang terlihat usang, tapi inilah pakaian terbaik melihat semua gaun di lemari berisi seperti balon udara penuh akan renda.
"Ya. Aku menantikannya," jawabku asal.
Profesor menjentikkan jarinya, seketika seperti sihir, kami berpindah tempat dalam satu detik ke sebuah ruangan yang hanya berisi kapsul di tengahnya. Batinku tersenyum miris sesaat.
'Kenapa tadi kita berjalan begitu jauh kalau jasa kilat saja ada?' kesal ku dalam hati.
"Silakan," ujar Profesor Preatta memintaku untuk masuk kedalam kapsul yang kini hanya dengan setengah jendela transparan.
Aku menurut, masuk ke dalam kapsul. Oh sial. Lagi-lagi aku dikejutkan dengan pintu kaca hitam yang tiba-tiba menutup seluruh kapsul. Lampu lingkaran menyala di dasar dan atap kapsul yang aku pijak. Layar muncul di jendela hitam kapsul menampilkan dua opsi gender. Perempuan untuk merah dan laki-laki untuk biru.
Aku menekan tanda untuk 'perempuan' di sana. Lampu kapsul berubah menjadi merah jambu. Tubuhku tiba-tiba saja bersinar. Gaun polos yang ku kenakan perlahan berubah menjadi setelan seragam dengan jas dan bros tanda akademi. Benar-benar praktis.
Jendela kapsul terbuka dan lampu kapsul padam. Aku menatap Profesor Preatta yang tersenyum tipis, mengarahkan tangannya untuk menunjuk ke arah kapsul lain yang berisi bola seperti aku mendapatkan smartphone tadi.
"Saatnya untuk senjata yang akan kau gunakan nantinya," ujar Profesor.
Aku mengangguk pelan, melangkah tenang ke dalam kapsul dan menyentuh bola itu.
Dalam satu detik bola itu bersinar biru pekat memberikan tiga opsi layar di depanku. Tiga warna yaitu, hijau, biru, dan kuning. Beberapa detik kemudian, ketiga layar itu saling berdekatan lalu menyatu, menampilkan satu gambar benda bercahaya biru pekat yang kemudian menjadi nyata, melayang di udara. Ada sebuah nama di atas benda itu.
Aku membacanya, "Exclart."
"Exclart?! Bagaimana bisa?"
^^^つづく^^^
...ーARIGATO FOR READINGー...
...THANKS...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!