NovelToon NovelToon

Pembalasan Si Buruk Rupa

1. Si Buruk Rupa

Gia berjalan menuju ruangannya sambil terus menunduk. Sudah hampir sebulan ini dia tidak berani menegakkan kepalanya karena kondisi wajahnya.

Ketika berpapasan dengan pegawai lain pun Gia tidak berani menyapa karena ekspresi orang yang dia sapa selalu berhasil membuat rasa percaya dirinya terkikis. Hampir semua pegawai perusahaan ini menatapnya dengan tatapan jijik lalu menghindarinya. Tidak jarang Gia melihat orang menatapnya dengan ekspresi menahan mual dan ingin muntah. Ini sungguh menyakitkan bagi Gia tetapi dia tetap bertahan menghadapinya.

Gia berjalan ke arah lift. Beberapa orang yang sedang menunggu di depan lift segera masuk begitu pintu lift terbuka. Gia pun menyusul mereka. Tetapi ketika akan melangkah masuk salah, satu dari mereka berkata dengan ketus, “Liftnya sudah penuh!" Padahal Gia yakin lift itu masih muat untuk dua atau tiga orang lagi. Tidak ada yang mau satu lift dengannya karena takut tertular koreng di wajahnya. Si Buruk Rupa, itulah sebutan yang disematkan kepadanya sekarang. Gia yang dulu terkenal akan kecantikannya sekarang berubah menjadi terkenal karena kejelekannya.

Gia mundur, dia akan menunggu lift berikutnya. Tidak lama kemudian beberapa orang laki-laki datang lalu berdiri di depan lift yang sama dengan Gia. Gia bisa melihat melalui ekor matanya jika salah satu dari laki-laki itu adalah Emir, direktur operasional, sekaligus laki-laki yang beberapa waktu yang lalu memutuskannya.

"Hai Emir," sapa Gia tanpa sadar. Dia masih mencintai laki-laki itu sehingga tidak kuasa menahan diri untuk tidak menyapanya. Setidaknya sedikit senyuman saja sudah cukup bagi Gia. Tetapi jangankan senyuman, melihatnya saja Emir tidak sudi. Laki-laki itu hanya menoleh sekilas lalu memalingkan wajahnya dari Gia, menorehkan goresan yang semakin dalam di hati Gia.

Gia terpaku menahan sakit hati atas sikap Emir. Enam bulan menjalin hubungan sepertinya tidak ada artinya bagi laki-laki itu. "Aku sudah melarangmu untuk tidak menyapaku seandainya kita bertemu! Jangankan bicara denganmu, mengingat kita pernah berpacaran saja membuatku malu!" desis Emir tanpa mau melihat ke arah Gia. Dulu wajah Gia lah yang membuat Emir tergila-gila, dan sekarang karena wajah itu pula dia memutuskannya.

Pintu lift kembali terbuka. Emir masuk bersama teman-temannya. Gia tidak ikut masuk ke dalam lift bersama mereka meskipun dia lebih dulu menunggu di depan lift. Selain karena sadar diri dengan keadaannya, Gia juga tidak mau semakin sakit hati karena sikap Emir yang seolah tidak ingin mengenalnya.

Akhirnya Gia memilih untuk berjalan melalui tangga darurat karena tidak ada seorangpun yang mau satu lift dengannya.

Seandainya diijinkan Gia ingin menutup wajahnya dengan masker agar orang-orang tidak begitu jijik melihatnya. Tetapi dokter melarangnya karena itu akan membuat koreng di wajahnya semakin parah.

Gia juga ingin berhenti bekerja dan mengurung diri di dalam rumah karena terlalu malu dengan wajahnya, tetapi Gia membutuhkan uang untuk biaya kuliah adiknya. Terpaksa Gia bertahan dengan segala perlakuan yang dia dapatkan.

Sampai di lantai tiga, dimana ruangannya berada, Gia langsung menuju ke toilet. Dia ingin menangis sebentar sebelum memulai harinya yang sudah dia ketahui akan sangat berat, dan baru saja diawali oleh Emir.

Di dalam toilet Gia terisak. Dia tidak terbiasa dengan keadaan ini karena sebelumnya hampir semua orang sangat baik kepadanya. Dia cukup disukai karena wajahnya yang cantik dan prestasi kerjanya juga bagus di perusahaan.

Gia tidak tahu apa yang terjadi dengan wajahnya. Semuanya bermula ketika suatu pagi Gia menyapukan bedak di wajahnya. Tiba-tiba saja wajahnya terasa panas lalu muncul bintik-bintik merah. Gia tidak begitu mempedulikannya waktu itu. Dia menebalkan bedaknya agar bintik merah itu tidak terlalu terlihat. Dan setiap beberapa jam Gia akan menyapukan bedaknya lagi untuk menutupinya.

Semakin hari bintik-bintik merah itu semakin banyak dan Gia baru membawanya ke dokter. Bukannya membaik kondisi wajah Gia justru semakin buruk. Bintik-bintik merah itu berubah menjadi koreng yang hampir memenuhi seluruh wajahnya. Kabar buruk pun beredar, entah siapa yang pertama kali menyebarkannya. Gia dikabarkan terkena santet dan itu membuat Gia mulai dijauhi orang-orang. Itulah awal mula penderitaan Gia.

Puas menangis, Gia membasuh wajahnya dengan air lalu menuju ruangan khusus divisi pemasaran dimana dirinya menjabat sebagai staf di sana.

“Hai, kamu nggak apa-apa?” sambut sebuah suara yang sangat akrab di telinga Gia. Dialah Erika, sahabatnya dan satu-satunya orang yang masih mau berinteraksi dengannya di perusahaan ini.

“Aku nggak apa-apa. Ini cuma terasa perih aja,” jawab Gia menyembunyikan kesedihannya. "Kamu nggak jijik melihat wajahku 'kan?"

"Ngomong apa sih?! Tentu saja tidak!" tegas Erika. "Sabar ya, nanti sembuh kok. Wajahmu pasti akan kembali seperti semula,” balas Erika berusaha menenangkan perasaan sahabatnya itu.

“Terima kasih, hanya kamu yang masih mau berteman denganku.” Gia merasa beruntung karena memiliki Erika sahabat yang mau menemaninya dikala susah. Hubungan mereka bisa dibilang sangat dekat. Erika sering mengunjungi rumah Gia bahkan dia sangat dekat dengan adik Gia. Di perusahaan pun Erika selalu menemani Gia karena tidak ada seorangpun yang mu berteman dengannya sekarang. Erika lebih dulu bekerja di perusahaan ini, kemudian Gia mulai bekerja satu tahun kemudian dan berada di divisi yang sama yaitu divisi pemasaran.

Beberapa saat kemudian seorang staf bagian personalia datang menemui Gia, “Gia, kamu disuruh ke ruangan Pak Yonas sekarang,” ucapnya.

“Baik!” Gia segera mengiyakan meskipun dalam hatinya dia bertanya-tanya kenapa direktur personalia memanggilnya. Gia meninggalkan mejanya dan pergi ke ruangan disebutkan.

"Pak Yonas ingin bertemu dengan saya?" tanya Gia begitu memasuki ruang personalia.

Laki-laki yang disebut Pak Yonas itu menatap Gia sebentar, "Maafkan aku Gia, tapi aku harus mengakhiri kontrak kerjamu di perusahaan ini," ucap laki-laki itu berat. Memang Pak Yonas sangat menyukai kinerja Gia dan dia juga sedang mempromosikan Gia agar diangkat menjadi direktur pemasaran. Karena ini pula Gia diisukan telah merayu Yonas.

"Maksudnya apa Pak?"

"Kamu diberhentikan," tegas laki-laki yang usianya hanya beberapa tahun lebih tua dari Gia itu.

"Ya, saya tahu saya diberhentikan. Apa alasannya?! Saya merasa tidak melakukan kesalahan."

“Perusahaan ini menjual produk kecantikan. Kondisi wajahmu sekarang sangat tidak merepresentasikan produk yang kita pasarkan. Aku harap kamu bisa mengerti itu. Ini hari terakhirmu bekerja di sini. Pesangon dan uang gajimu bulan ini sudah ditransfer ke rekeningmu."

Gia tidak bisa berkata apa-apa. Dia melangkah keluar dari ruangan personalia sambil menahan tangis. Selama ini dia sudah bekerja keras untuk mewujudkan mimpinya menjadi wanita karier agar bisa menghasilkan banyak uang. Dia sering lembur untuk mencapai targetnya tetapi siapa sangka sekarang diberhentikan tanpa peringatan terlebih dahulu.

Gia tidak langsung kembali ke ruangannya, dia kembali mengurung dirinya di dalam toilet. Dia perlu menenangkan diri sebelum kembali ke ruangannya.

2. Salah Apa?

Gia tidak langsung kembali ke ruangannya, dia kembali mengurung dirinya di dalam toilet. Dia perlu menenangkan diri sebelum kembali ke ruangannya.

"Untung kita tadi makannya nggak bareng si buruk rupa, bisa hilang selera makanku kalau melihat wajahnya!" Samar Gia mendengar percakapan di balik pintu toilet.

"Padahal dulu cantik banget. Kok bisa ya?" timpal yang lain. "Kamu nggak jijik apa setiap kali ngobrol langsung melihat wajahnya yang hancur itu?"

"Aku cuma kasihan sama dia, aslinya sih males juga. Jijik tau, mau muntah!" Gia yang berada di dalam toilet tidak percaya mendengar apa yang baru saja dia dengar. Itu jelas suara Erika, sahabatnya.

"Bukankah kamu yang pertama kali mengatakan kalau dia terkena santet atau guna-guna semacam itu?"

"Memangnya, alasan apa yang masuk akal untuk menjelaskan kerusakan di wajahnya itu selain santet?" jawab Erika acuh.

Gia sangat shock mendengar ini. Belum juga Gia sempat meratapi pemecatannya, dia dihadapkan dengan kenyataan tentang Erika sahabatnya yang selama ini ternyata hanya pura-pura baik di depannya. Dan yang membuat Gia lebih terkejut lagi, ternyata Erika lah yang menyebarkan gosip soal santet itu hingga membuat orang-orang menjauhinya.

Padahal Erika tahu betul kenapa wajah Gia bisa berubah seperti itu. Setiap kali ke dokter Erika selalu menawarkan diri untuk menemaninya dan dia juga mendengar sendiri penjelasan dari dokter. Semuanya karena ada bahan kimia yang membuat kulit wajah Gia iritasi. Tidak ada santet atau guna-guna semacam itu. Tetapi kenapa Erika berkata seperti itu?

Gia terus mengurung diri di dalam toilet sampai orang-orang itu pergi. Dia masih tidak habis pikir ternyata Erika seperti itu. Rasanya sulit dipercaya tetapi Gia mendengar sendiri dengan jelas jika itu suara Erika.

Setelah merasa cukup tenang Gia kembali ke ruangan pemasaran. Gia mengemasi barang-barang yang ada di meja kerjanya. Semua miliknya akan dia bawa pulang karena besok dia sudah tidak bekerja lagi di perusahaan ini. Orang-orang yang berada di ruangan itu saling melempar lirikan seolah mereka sedang menggunjing Gia dengan tatapan mata mereka.

Kabar mengenai diberhentikannya Gia dari perusahaan sudah menyebar luas di kalangan pegawai dan itu semakin membuat Gia menjadi topik utama pembicaraan.

Tiba-tiba salah seorang pegawai perempuan berjalan mendekatinya. "Gia, kalau memang kamu terkena guna-guna atau santet, aku ada kenalan orang pintar. Mungkin kamu mau menemuinya untuk menanyakan masalahmu. Aku akan memberimu alamatnya," ujar Diana, salah satu rekan kerja Gia.

"Dari mana kamu tahu kalau aku terkena santet?" tanya Gia untuk memastikan dugaannya tentang Erika.

"Erika yang mengatakannya. Dia bilang kamu terkena santet. Sudahlah, tidak perlu malu mengakuinya. Hal seperti ini sering terjadi." Ternyata yang tadi Gia dengar di toilet itu benar, Erika yang menyebarkan berita tentang santet itu. Gia menoleh ke arah meja Erika, tetapi sayangnya dia tidak ada di sana.

"Apa kamu merasa pernah membuat seseorang sakit hati? Mungkin orang itu yang melakukan ini kepadamu. Apa mungkin istrinya Pak Yonas yang melakukan ini padamu?! Kamu bisa datang ke rumahnya lalu meminta maaf, mungkin setelah itu istrinya akan memaafkan kamu lalu menarik santet yang telah dia kirim."

Gia benar-benar ingin menangis sekarang. Istrinya Pak Yonas, santet, apalagi yang orang-orang ini akan tuduhkan kepadanya?

"Ini bukan santet! Aku tidak di santet siapapun! Ini murni karena ada bahan kimia yang membuat kulitku iritasi!" teriak Gia frustasi. Dia tidak pernah merayu Pak Yonas atau siapapun di perusahaan ini.

Gia tidak kuat lagi. Semua orang di ruangan itu menatapnya dengan tatapan yang membuat Gia merasa risih sekaligus terhina. Dia segera keluar dari ruangan itu meskipun belum waktunya pulang. Gia tidak peduli apapun lagi. Toh dia juga sudah dipecat dari perusahaan ini.

Sesampainya di rumah, Gia melihat ada beberapa orang tetangganya bertamu. Dulu Gia adalah gadis yang sangat ramah dan periang, tetapi sekarang tidak lagi. Gia langsung menyelonong masuk ke dalam rumah tanpa menyapa mereka. Alasannya? Karena mereka pasti akan melemparkan tatapan jijik kepada Gia lalu mencibirnya dan untuk saat ini Gia sudah tidak kuat menghadapinya.

"Jadi begitu ya Bu Sumi, kami kemari mewakili warga yang lain, meminta agar Gia tidak tinggal di kampung ini lagi. Kami tidak mau tertular penyakitnya." Di perusahaan Gia di kabarkan terkena santet sementara di lingkungan rumah dia dikabarkan terkena penyakit menular. Gia juga tidak tahu bagaimana berita ini menyebar.

"Tapi itu bukan penyakit menular ibu-ibu. Itu hanya iritasi karena Gia salah memakai kosmetik," bela sang ibu.

"Tapi yang kami dengar itu adalah penyakit menular, itu seperti tanda-tanda orang yang terkena virus HIV. Dia sering pulang malam 'kan? Pasti dia sudah terjerumus di pergaulan bebas dan dunia malam. Karena itu dia bisa tertular penyakit itu!"

"Astaga ibu-ibu ini jangan menyebar fitnah! Gia pulang malam karena dia lembur di perusahaan, bukan seperti yang ibu-ibu tuduhkan!"

"Intinya kami tidak mau Gia tinggal dilingkungan ini lagi. Kami tidak mau anak-anak kami tertular penyakit itu karena bergaul dengan Gia! Dan kami juga tidak mau lingkungan ini tercoreng karena kelakuan salah satu warganya!"

"Sebaiknya Gia di suruh pergi atau nanti bapak-bapak yang akan mengusirnya keluar dari sini! Kami juga akan memboikot warung makan Bu Sumi kalau Gia tetap tinggal di sini!"

"Tapi ... "

Ibu-ibu itu segera pergi. Mereka tidak mau mendengarkan penjelasan Bu Sumi, ibu tiri Gia. Gia yang mendengar semuanya dari dalam kamarnya hanya bisa menangis. Separah itu orang-orang memberikan tentang dirinya padahal itu tidak benar.

Gia keluar dari kamarnya lalu menghampiri sang ibu.

"Gia? Apa kamu dengar tadi?" Gia mengangguk. "Jangan kamu dengarkan omongan mereka! Kalau mereka mau memboikot warung ibu yang sudah, nggak apa-apa. Ibu nggak usah jualan aja sekalian. Kita masih bisa mengandalkan gajimu. Benar 'kan?" Tersenyum santai.

"Aku sudah di pecat Bu," balas Gia sambil menunduk takut. Bagi Gia tidak ada yang lebih menakutkan selain kemarahan ibu tirinya itu.

"Apa?! Dipecat?! Kenapa? Apa karena wajahmu? Jangan-jangan yang mereka katakan itu memang benar. Kamu seperti ini karena terkena penyakit menular?!"

"Tidak Bu, itu tidak benar!"

"Lalu bagaimana sekarang? Apakah kamu sudah mendapatkan pekerjaan yang lain?"

"Tidak ada perusahaan yang mau menerimaku bekerja dengan kondisi wajahku sekarang. Aku harus menunggu sampai wajahku sembuh baru bisa mencari kerja lagi. Sementara itu, aku bisa bantu-bantu ibu di warung," ujar Gia menawarkan solusi agar ibunya itu tidak marah.

"Mana ada yang mau membeli dagangan ibu kalau mereka melihat wajahmu seperti itu! Ternyata tidak hanya wajahmu yang buruk, sekarang nasibmu pun ikut buruk! Benar kata ibu-ibu tadi, lebih baik kamu pergi dari rumah ini agar aku tidak tertular segala keburukanmu!"

"Ini rumah peninggalan ayah. Aku ingin tetap tinggal di sini bersama ibu dan Rivani. Aku tidak bisa jauh-jauh dari Rivani."

"Kamu mau adikmu itu tertular penyakitmu? Kamu mau masa depannya buruk seperti masa depanmu?!" Gia menggeleng lemah. Segala sesuatu tentang Rivani, selalu membuatnya mau mengalah.

"Tapi Gia harus tinggal dimana Bu?" ratap Gia dengan mata berkaca-kaca.

"Terserah! Itu bukan urusanku!"

3. Operasi Plastik

Gia mengemasi barang-barang di kamarnya. Meskipun belum menemukan tempat tinggal, dia tetap harus meninggalkan rumah ini karena ibunya memaksa. Gia tahu sebenarnya bukan penyakit menular yang ibu tirinya itu khawatirkan. Sumi sadar jika sekarang Gia sudah tidak ada gunanya sehingga lebih baik dia mengusirnya daripada hanya menjadi beban.

Selesai mengemasi barang-barangnya Gia keluar dari kamar dan hendak pamit kepada Rivani, adik kesayangannya yang sudah pulang dari kuliah. Dari semua hal yang Gia alami, inilah yang paling berat, harus berpisah dari Rivani. Gia menyayangi Rivani melebihi apapun di dunia ini meskipun mereka beda ibu.

Ketika Gia akan mengetuk pintu kamar Vani, tidak sengaja dia mendengar adiknya itu sedang berbicara dengan seseorang. Gia berpikir mungkin Vani sedang menelpon temannya. Jadi dia akan menunggu sampai selesai menelepon baru setelah itu akan berpamitan kepada Vani.

"Emang benar dia dipecat?" suara Vani sedang mengobrol lewat telepon dengan seseorang.

" ... "

"Tadi ada tetangga juga yang datang meminta ibu buat ngusir dia. Sekarang sudah di usir sama ibu. Nggak tahu pergi kemana!"

" ... "

Kemudian terdengar Rivani tertawa. "Kak Erika pinter banget sampai punya ide seperti itu. Darimana juga kakak dapat bubuk racun itu? Kak Erika mengatakan pada orang-orang di kantor kalau dia terkena santet, dan aku di kampung mengatakan kepada orang-orang dia terkena HIV. Padahal kita cuma menaburkan sedikit bubuk racun itu di kosmetik yang dia pakai. Nggak ada yang menyangka jika ternyata itu ulah kita." Rivani kembali tertawa.

"Apa maksudmu Rivani?!" Gia mendorong pintu kamar Vani dengan kasar. Rivani gelagapan melihat kakaknya itu tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya. Dia pikir Gia sudah meninggalkan rumah ini.

"Katakan apa yang baru saja kamu bicarakan? Apa yang kamu dan Erika taburkan di kosmetikku?!" Suara Gia tercekat. Dia pikir di pecat dan diusir merupakan hal paling buruk yang harus dia hadapi hari ini ternyata masih ada yang lebih buruk lagi.

"Itu, kakak salah dengar! Aku nggak ngelakuin apa-apa!" Rivani lalu menyembunyikan handphonenya di balik tubuhnya agar tidak ketahuan oleh Gia.

"Aku yakin nggak salah dengar! Tega kamu Vani! Aku banting tulang agar bisa membiayai kuliah kamu tetapi lihat apa yang ku lakukan padaku?! Salah apa aku sama kamu sampai kamu membuat wajahku seperti ini?!" teriak Gia melampiaskan apa yang dirasakannya.

"Salah apa??? Salah kakak adalah selalu menarik perhatian orang-orang! Semua orang selalu memuji kakak! Semua laki-laki yang aku sukai selalu jatuh cinta sama kakak! Tidak ada satupun yang melirikku! Aku benci kakak!!!"

...* * *...

Gia mengangkat tas yang berisi barang-barangnya menyusuri jalanan. Semua orang langsung menjauh begitu Gia ikut menunggu di halte bus seperti Gia menyebar bau busuk yang sangat menyengat. Gia sadar diri lalu pergi menjauh meninggalkan halte. Lalu dia mencari taksi, tetapi tidak ada satupun taksi yang mau mengangkutnya setelah melihat wajahnya.

Gia menangis di pinggir jalan. Ini adalah hari yang sangat berat baginya. Semuanya terasa sangat menyakitkan. Mulai dari Emir, pemecatannya, santet dan yang terakhir konspirasi Erika dan Rivani. Hatinya serasa dicabik-cabik mengetahui jika sahabat dan adik yang sangat disayanginya telah bekerja sama untuk menghancurkan wajahnya.

Sumi menyuruhnya pergi saat itu juga setelah melihat dia beradu mulut dengan Vani tanpa mau tahu sebabnya. Bagi Sumi, apapun yang terjadi pastilah Gia yang salah.

Sudah hampir jam sebelas malam tetapi dia tidak tahu akan pergi kemana. Gia masih berdiri di pinggir jalan menatap kendaraan yang masih berlalu lalang. Ingin sekalian Gia menabrak dirinya di salah satu mobil yang sedang melintas berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Untuk apa juga dia hidup kalau semua orang jijik melihat wajahnya. Bahkan sopir taksi pun menolaknya.

Gia terus berjalan hingga akhirnya dia melihat sebuah penginapan. Mungkin malam ini dia akan menginap di sana kemudian besok pagi dia akan mencari tempat tinggal. Untungnya Sumi tidak mengetahui jika gajinya sudah ditransfer dan dia juga mendapatkan uang pesangon. Jadi Gia bisa sedikit lega karena ada uang untuk menyewa tempat tinggal.

Gia berdiri di trotoar. Dia menunggu jalanan kosong agar bisa menyeberang menuju penginapan yang terletak di seberang jalan. Tiba-tiba ada mobil dengan kecepatan tinggi, mengalami oleng tepat di depan Gia.

"BRAAKKK ... !!!" Mobil itu menabrak Gia.

...* * *...

Gia tersadar. Dia terbaring di rumah sakit dan merasakan sakit yang luar biasa di kakinya dan juga wajahnya. Rupanya kaki kirinya patah dan seluruh wajahnya juga diperban.

"Wajahku? Kenapa dengan wajahku?!" Gia memegangi wajahnya panik, lupa dengan rasa sakit yang dia rasakan sebelumnya.

Gia sendiri tidak ingat bagaimana posisinya sehingga wajahnya juga mengalami luka yang cukup parah sampai harus diperban seperti ini. Gia berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi. Dia sempat berniat untuk menabrakkan diri pada sebuah mobil tetapi Gia mengurungkannya. Yang terakhir Gia ingat adalah dia sedang berdiri di trotoar lalu tiba-tiba sebuah mobil menabraknya.

"Hai, kamu sudah siuman." Seorang wanita seusia ibu tirinya masuk lalu mendekat ke brankar dimana Gia terbaring. Gia terus memandangi perempuan itu karena penampilannya tidak seperti dokter apalagi perawat rumah sakit.

"Siapa namamu?" tanya perempuan itu lagi.

"Namaku Gia."

"Aku Dira. Aku disini untuk bertanggung jawab atas kecelakaan yang terjadi padamu. Aku akui putraku memang salah. Dia mengemudi dalam keadaan mabuk dan membuatmu jadi seperti ini. Tetapi aku akan bertanggung jawab sepenuhnya sampai kamu sembuh."

"Kenapa wajahku?" tanya Gia masih memegangi perban di wajahnya.

"Wajahmu terkena serpihan kaca mobil jadi harus dilakukan pembedahan untuk mengeluarkan serpihan-serpihan kaca itu. Lebih jelasnya nanti kamu bisa menanyakannya langsung kepada dokter."

"Maksudnya bagaimana?" Gia semakin khawatir. Kondisi wajahnya sudah cukup buruk. Gia tidak bisa membayangkan wajahnya akan semakin buruk karena kecelakaan ini.

"Dokter melakukan operasi plastik pada wajahmu. Tindakan itu dilakukan untuk mengangkat kulitmu yang rusak, semacam pencangkokan kulit. Tetapi tenang saja, operasi itu tidak merubah bentuk wajahmu. Itu hanya membuang kulit yang sudah rusak dan menggantinya dengan kulit baru yang sehat."

"Operasi plastik?!" Gia memastikan.

Perempuan itu mengangguk. "Tim dokter terpaksa melakukannya. Mereka mengatakan jika kulit wajahmu sudah bermasalah sebelumnya, jadi tindakan itu segera diambil agar tidak terjadi infeksi dan membuatnya lebih parah."

"Wajahku dioperasi plastik?" sekali lagi Gia memastikan dengan mata berkaca-kaca.

"Tidak! Tidak! Jangan menangis! Air matamu akan membuat perbanmu basah dan itu tidak bagus. Kalau kamu tidak terima dan berniat untuk menuntut kami tidak apa-apa. Itu hakmu. Tetapi kami tetap akan bertanggung jawab memastikan kesembuhanmu. Sekali lagi aku mewakili anakku memohon maaf kepadamu," ucap perempuan itu sungguh-sungguh.

Gia terdiam tidak bisa berkata-kata. Begitu banyak kejadian dalam sehari ini yang mengacak-acak hati dan pikirannya. Haruskah dia bahagia atau sedih sekarang?

"Sekali lagi aku minta maaf atas nama putraku. Dia tidak bisa datang untuk mempertanggungjawabkannya karena ada urusan yang harus dia selesaikan. Tetapi kalau urusannya sudah selesai, aku pastikan dia akan datang dan meminta maaf kepadamu secara langsung."

"Aku tidak akan menuntut putra anda Nyonya. Terimakasih atas apapun yang kalian lakukan kepadaku termasuk operasi plastik ini. Aku sangat berterimakasih."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!