“Tolong kami!”,
“Sakit! Hentikan!”,
“Jangan siksa kami di sini!”, “
Ayah, Ibu, aku takut… Aku rindu kalian, aku ingin pulang!”,
“Jauhkan pisau itu!”,
“Perutku! Aku sedang mengandung, tolong berhenti merobeknya, kya!”,
“Argh, sakit! Rahangku terkoyak, hentikan!”,
“Apa salah kami, tuan?" "
Mengapa anda kejam sekali menyiksa kami?"
"Lepaskan kami! Biarkan kami pulang!”,
“Siapapun, tolong selamatkan kami!”
Engh…? Suara itu lagi? Dengan bulir yang mengalir dari mata sembabku lagi?
Mengapa setiap malamku harus dipenuhi dengan mimpi buruk? Siapa mereka? Mengapa aku selalu saja mendengar suara mereka?
Apa mereka sedang meminta pertolongan? Padaku? Mengapa harus aku? Memang apa yang bisa aku lakukan untuk membantu mereka?
Memuakkan! Semakin ku fikirkan segala keanehan ini, hanya akan menambah pening dalam kepalaku.
Aku selalu terbangun dengan rasa sakit di kepala, juga air mata yang entah mengapa mengalir pelan di pipi tanpa disadari.
Menyedihkan memang, harus mendengarkan bisikan-bisikan penuh kesakitan entah dari siapa.
Dan anehnya, aku bisa merasakan penderitaan mereka yang mendalam.
Rasa sakitnya tercabik-cabik, rindu akan keluarga, juga rasa takut akan mati di suatu tempat yang dingin dan gelap. Semua ini menyiksaku!
Tapi aku tidak boleh larut dalam kesedihan orang lain, bukan? Apalagi orang-orang yang sama sekali tidak ku kenal nama dan tempat tinggalnya.
Sebaiknya aku fokus membahagiakan orang-orang di sekitarku saja, karena merekalah yang paling terjangkau untuk kubantu.
Yup! Sebaik-baiknya manusia, adalah yang bisa berguna bagi makhluk hidup di sekelilingnya! Setidaknya itulah yang aku pahami dalam hidup ini.
Dan aku adalah salah satu orang yang selalu berusaha untuk melakukan itu sebaik mungkin pada orang-orang di sekitarku.
Itulah yang membuatku memutuskan untuk tidak terlalu menghiraukan rangkaian mimpi buruk disetiap malam, dan fokus pada keseharianku dari pagi hari hingga malam kembali.
Setelah menghapus air mataku dan menenangkan diri, aku beranjak dari ranjang kecil tuaku untuk merapikannya.
Seusainya, kulangkahkan kaki panjangku menuju kamar mandi kecil sederhana untuk membasuh wajah, membersihkan gigi, juga merapihkan rambutku yang hitam panjang sebahu dengan menyisirnya.
Tak lupa mengikat sedikit poniku yang sudah menghalangi pemandangan. Netra cokelatku menangkap pantulan pria dalam cermin, dengan tahi lalat kecil di pipi sebelah kirinya sebagai pemanis.
“Ok, sudah tampan!” pujiku pada diriku sendiri yang berada di cermin, seraya menyunggingkan senyuman termanisku.
Tersenyum adalah cara yang paling mudah untuk menebar kebahagiaan pada lingkungan sekitar, aku suka sekali melihat orang yang ikut tersenyum ketika melihat senyumanku.
Kakiku kembali menuntun menuju kamar minimalis, juga telapak tanganku yang besar bergerak mengambil seragam yang sudah tergantung di pintu lemari kayu tua lusuh namun masih nampak indah dalam pandanganku.
Kusajikan satu porsi sandwich dengan potongan beef dan sayuran juga slide cheesse diatasnya, tak lupa secangkir susu murni segar di atas meja kayu kecil yang sudah sepaket dengan kursinya.
Santapan pagiku pun, berlangsung singkat.
Dengan nikmat dan penuh rasa syukur, kulahap makanan sederhana yang telah kubuat hingga tersisa piring dan gelas kosong.
Usai sarapan, aku berpamitan dengan dua bingkai foto yang melukiskan wajah orang tuaku di dalamnya, lalu berangkat mengenakan sepeda menuju tempat kerja.
Yeah, orang tuaku telah tiada, mereka wafat akibat pembunuhan di masa kecilku, hingga kini aku belum bisa menemukan siapa pembunuhnya.
Sejak kepergian kedua orang yang ku sayangi, aku hidup sendirian di rumah kecil yang terbuat dari kayu ini.
Tak ingin tenggelam dalam kenangan pahit, aku kembali tersenyum manis pada setiap orang yang ku jumpai di sepanjang perjalanan.
Kunikmati indahnya perkebunan di sebelah kiriku juga jernihnya sungai di sebelah kananku, tak lupa juga ku pandang pegnungan jauh di depanku yang mengitari kebun juga sungai di sekitar.
Selang 15 menit aku mendayuh pedal sepeda, terhentilah jua roda yang terus berputar itu di depan kedai sederhana namun bernuansa hangat dan nyaman. Itulah tempatku bekerja sebagai koki.
Aku bahagia bekerja di kedai ini. Selain memiliki rekan kerja yang menyenangkan, memasak untuk mengisi perut orang-orang yang kelaparan juga membuatku merasa berguna.
Seperti yang ku katakana di awal, kebahagiaanku adalah ketika aku bisa berguna bagi makhluk hidup di sekitarku.
Dan menjadi koki adalah salah satu caraku berguna bagi kehidupan banyak orang.
...***...
“Selamat pagi, Picho!” sapa seorang pria dari belakangku dengan suara keras.
Jantungku berdebar kencang dibuatnya.
Reflek ku berbalik sembari menodongkan pisau daging yang sedang kuasah ke arahnya, dengan posisi kuda-kuda sempurna layaknya siap perang.
Sepersekian detik setelahnya, aku menyadari bahwa yang menyapa adalah teman dekatku.
Aku mulai kembali mengambil posisi berdiri biasa dengan kedua tangan yang kulemaskan perlahan di sebelah pinggul.
“Ya ampun, Leo... Bikin kaget saja kau! Untung tak ku bunuh beneran,” gerutuku, memutar bola mata malas dan mengelus dada menahan emosi.
“Santai bro! Seram banget respon kagetmu, aku masih ingin hidup!" sinisnya, datar.
"Seperti biasa kau selalu datang paling pagi ya… Aku jadi iri,” lanjutnya dengan santai.
Ia mulai mengecek stok bahan makanan di kulkas juga rak bumbu.
Seperti tidak sedang takut mati atau merasa iri, fikir ku.
“Kau juga kan orang kedua yang datang paling pagi kemari. Tak perlu iri begitu, kita sampai kedai ini hampir bisa dibilang bersamaan,” bujukku ramah sambil tersenyum manis.
Ku berusaha melenyapkan rasa iri di hatinya, walaupun aku sendiri ragu apakah pria tanpa ekspresi ini benar merasa iri atau tidak.
“Terimakasih sudah berusaha menghiburku, Cho. Omong-omong soal ‘bunuh’ yang tadi sempat kau sebutkan—,”
“Ayolah, aku hanya bercanda! Kau tidak menganggapku serius kan?”
“Aku tahu, tapi bukan itu yang ingin ku katakan. Kau hanya mengingatkanku pada kasus pembunuhan berantai yang belakangan ini sedang ramai dibicarakan,” terang Leo dengan tenang.
Kedua alisku bertaut tak mengerti dengan apa yang sedang ia bicarakan.
“Pembunuhan berantai?” tanyaku, polos.
Kali ini Leo menunjukkan ekspresi, terbelalak bingung menatapku.
“Kau tidak tahu!?” ia menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan lagi.
Aku hanya menggelengkan kepalaku pelan dengan polosnya.
Leo menepuk keningnya sendiri.
“Ya ampun, Picho! Kau ini tak pernah mengikuti berita ya!?”
“Di rumahku tak ada TV, kau tahu kan?” ku mencari pembenaran.
“Sudahlah! Beritanya sudah lama beredar," Leo menyerah.
"Sejak bulan lalu sering ditemukan korban pembunuhan yang tubuhnya sudah tak berbentuk lagi, seolah dimutilasi dan dicincang oleh pisau daging di gunung dekat kedai ini." lanjutnya, menjelaskan.
"Pihak kepolisian sudah mulai mencari tahu tentang kasus ini, namun belum menemukan pelakunya,”
Leo bercerita dengan wajah yang kembali tak berekspresi, namun anehnya itu justru membuatku semakin merinding dan takut.
Aku hanya terdiam mematung mendengarkan cerita kawan dekatku ini, peluh dingin mulai terasa mengalir dari pelipisku, seketika aku hanyut dalam lamunan.
Kejam sekali pembunuh itu! Membuat tubuh korbannya hancur tak berbentuk? Aku bahkan heran apa dia masih bisa disebut sebagai manusia atau tidak?
Tunggu, apa? Bulan lalu? Itu kan… Tepat saat aku mendengarkan suara-suara aneh!
“Jauhkan pisau itu!”, “Perutku! Aku sedang mengandung, tolong berhenti merobeknya, kya!”, “Argh, sakit! Rahangku terkoyak, hentikan!”
Degh! Suara-suara mengerikan itu bergema lagi di relung kepalaku, membuat degup jantungku tak beraturan.
Rasanya seperti pasokan udara semakin menipis, sesak sekali! Kepalaku sakit, kali ini lebih parah dari tadi pagi.
Tak mempedulikan reaksi khawatir dari pria di hadapanku, tak mendengar suaranya juga yang sedari tadi memanggil namaku, pandanganku buram dan perlahan gelap.
Tanpa sadar aku menggebrak meja yang ada dihadapanku, membuat Leo semakin terkejut dan khawatir.
“Pisau, mengoyak, dingin dan gelap, ingin pulang, sakit,”
Lidahku menari mengatakan hal-hal di luar kendali, tubuhku gemetar, dan mungkin saja wajahku telah memucat sedari tadi.
“Picho? Kau sakit? Ingin pulang saja? Biar ku buatkan surat izin sakit pada pemilik kedai ini jika perlu. Urusan dapur, percayakan saja padaku,” cerca Leo.
Ia menempelkan punggung telapak tangannya pada keningku, juga menawari beberapa bantuan padaku.
Aku yang tersadar saat keningnya disentuh, seketika kembali mengendalikan ekspresiku agar selalu tersenyum manis dan ramah.
Aku menggelengkan kepalaku.
“Tidak, aku hanya tak habis fikir saja, kejam sekali pelaku pembunuhan berantai itu. Para korban pasti sangat merasa kesakitan disiksa di gunung yang gelap,”
Ku harap Leo tidak terlalu mengkhawatirkanku lagi, jika aku menjelaskannya seperti itu.
“Picho, aku tahu persis sikapmu yang selalu ingin terlibat dalam kesulitan orang lain dan berperan sebagai pahlawan." Leo justru menatapku kian khawatir.
"Tapi ku rasa dalam kasus ini, kau tak punya kuasa apapun untuk membantu, jadi ku harap kau tak perlu nekad untuk—,”
“Jika aku berhasil menangkap pelakunya, takkan ku biarkan dia hidup dengan bahagia setelah melenyapkan banyak nyawa!” seruku dengan yakin, tanpa menghiraukan saran dari Leo.
Leo sempat terbelalak menatapku tanpa suara, sedikit memijat pelipisnya, lalu membuka suaranya setelah menghela napas pasrah.
“Aku menyesal telah bercerita soal kasus ini padamu.”
...***...
Tak ada lagi percakapan antara aku dan Leo setelahnya, karena sudah jam buka kedai dan seperti biasa kedai ini ramai pengunjung.
Aku dan Leo fokus pada pekerjaan masing-masing di dapur, untuk menyajikan hidangan terenak pada para pelanggan setia, serta pelanggan yang baru saja mencoba mampir kemari.
Aku harus bersikap professional dalam pekerjaanku dan melayani pembeli dengan wajah penuh senyuman manis yang ramah.
Tak sedikit juga dari pelangan perempuan yang terbawa perasaan olehku, aku tampan dan cocok dijadikan suami idaman kata mereka.
Ada-ada saja perilaku pengunjung kedai ini, hal itu membuatku semakin bersemangat dalam pekerjaanku.
Sesekali, saat aku sedang berurusan dengan pisau daging untuk mencincang beberapa bahan makanan, aku teringat pada kisah Leo tadi pagi tentang korban pembunuhan berantai.
Anehnya, kasus pembunuhan itu mirip dengan suara yang memohon pertolonganku setiap malam: mereka kesakitan dan tersiksa karena tubuhnya tercabik-cabik oleh pisau.
Mengingat hal tersebut membuatku bertanya-tanya, apa maksud dari suara bisikan aneh itu?
Dan mengapa bisikan itu muncul bertepatan pada kasus pembunuhan berantai?
Mungkinkah mereka adalah korban-korban yang tak rela dibunuh dengan sadis? Apa mereka memintaku menghentikan kasus ini?
Omong kosong! Apa juga hal yang bisa kulakukan untuk membantu mereka!?
Benar yang dikatakan Leo, aku tak punya kuasa untuk membantu! Biar kuserahkan saja kasus ini pada pihak yang berwajib.
Dengan fikiran seperti itu, aku memutuskan untuk tidak terlalu memikirkan tentang kasus ini, dan tetap fokus pada pekerjaan juga keseharianku yang menyenangkan.
...
...
Malam ini, tepatnya saat kedai tempatku bekerja telah tutup, aku bersiap untuk pulang.
Mengenakan baju hangat yang telah kubawa di dalam tasku sedari pagi, lalu melangkah menuju sepeda yang ku parkirkan di depan kedai.
Ku sungguh lelah dan ingin tidur cepat malam ini, namun sepertinya tak bisa kulakukan semudah itu.
Saat baru saja menaiki sepeda dan bersiap mendayuh pedalnya menuju rumah, pergerakanku terhenti karena melihat sosok pria tinggi berpakaian serba hitam dengan topeng berbentuk rubah berwarna putih.
Ia berlalu begitu saja dihadapanku membawa tubuh gadis kecil yang kemungkinan adalah siswi SMA di sekolah dekat kedai.
Keadaan perempuan itu sungguh mengerikan, lehernya sudah setengah terputus dengan cairan merah kental yang tak henti mengalir di punggung pria bertopeng rubah yang menggendongnya di bahu.
Tentu saja siswi tersebut sudah tak sadarkan diri dengan lukanya yang teramat dalam.
Mengerikan! Apa dia masih hidup!? Apa pria itu adalah pembunuh berantai yang tadi diceritakan Leo?
Kemana ia akan membawa anak itu pergi? Gunung? Aku harus menghentikannya kan?
Tapi bagaimana jika korbannya telah tak bernyawa saat aku menyelamatkannya? Aku bisa saja terlihat seperti orang yang membunuhnya!
Persetan! Coba kejar saja dulu pembunuh sesungguhnya!
Meski sempat tak mampu bergerak saat menyaksikan hal mengerikan yang baru saja terjadi, aku memutuskan mendayuh sepeda dengan kecepatan penuh untuk mengejar pria bertopeng rubah tersebut.
Aku terus memanggilnya dengan harapan bodoh bahwa ia akan menghentikan langkahnya.
Tentu saja pria kejam itu akan semakin mempercepat langkahnya karena tak ingin tertangkap lah, dasar Picho bodoh! Memanggilnya hanya akan menjadi usaha yang sia-sia!
Aku mempercepat laju sepedaku hingga semakin dekat dengan pria itu, berusaha menarik lengannya agar terhenti, namun hal aneh terjadi.
Alih-alih bisa ku sentuh, pria bertopeng rubah justru melenyap bersama siswi yang yang dibawanya, dan membuatku terjatuh di perkebunan sebelah kiriku yang sudah mulai menyatu dengan hutan.
Sakit, sepertinya kakiku terkilir dan tak bisa digerakan. Sialnya, aku jatuh di tempat yang sepi dan amat gelap terutama saat malam hari. Tak ada rumah penduduk, juga tak ada yang melihatku di sini.
Sial! Apa-apaan ini!? Mengapa pria mengerikan itu bisa menghilang begitu aku menyentuhnya!? Apa dia memang bukan manusia!? Yang benar saja! Makhluk seperti apa dia!?
Sakit, tubuhku tertimpa sepeda dan tanganku terlalu gemetar untuk mengangkatnya.
Sel kulitku seakan membeku dan mati rasa, napasku kesulitan mencari pasokan udara untuk dihirup.Apa aku akan berjumpa dengan sang ajal di sini? Karena tertimpa sepeda?
Jangan bercanda! Sepertinya aku hanya akan istirahat sejenak, menunggu seseorang menemukan dan menyelamatkanku esok hari saat mentari telah terbit. Dengan penuh harap, mataku mengatup sembari tersenyum manis.
...***...
“Sakit, dingin, aku tak bisa bernapas."
"Darah mengaliri leherku, sakit sekali!"
"Apa lagi yang ingin anda lakukan padaku, tuan? Aku sudah hampir mati di sni!"
"Berhenti menusuk dadaku dengan pisau itu!"
"Sakit, hiks… tolong hentikan… hiks hiks… malam ini adalah kencan pertamaku, biarkan aku bertemu dengan kekasihku, dia telah menungguku."
"Sayang tolong ak… ku…”
Hmm? Kali ini suara bisikannya berbeda? Pilu sekali suara rintihan perempuan remaja itu.
Entah mengapa dadaku ikut sakit mendengarnya, bulir air mata lagi-lagi menetes.
Kelopak mataku perlahan menaik ke atas, retinaku menangkap langit-langit kayu yang terasa tak asing bagiku.
Pupilku mengedar melihat sekeliling ruangan tempatku terbaring, apa ini... kamarku sendiri?
Menyadari ada hal yang aneh, aku segera terduduk dan terbelalak.
Kepalaku terasa perih, aku sempat memegangi pelipisku yang berdenyut, dan melihat ada tapak merah yang membekas di beberapa jariku setelahnya.
Apa yang sebenarnya terjadi!? Jelas semalam aku tertidur di hutan! Mengapa aku terbangun di kamar? Apa itu hanya mimpi?
Tapi apa yang bisa menjelaskan luka-luka dan rasa sakit pada tubuhku? Ini terasa begitu nyata untuk disebut sebagai mimpi! Apa ada yang menyelamatkanku?
Anehnya luka-lukaku seperti belum mendapatkan pengobatan.
Sudahlah! Sembuhkan saja sendiri, dan kembali fokus menebar kebaikan hari ini!
Dengan fikiran seperti itu, aku memutuskan untuk melangkahkan kakiku dengan tertatih menuju tempat kotak perlengkapan P3K yang selalu kusiapkan di dekat kamar untuk jaga-jaga.
Membawa kotak tersebut ke toilet untuk bercermin, lalu mengoleskan obat juga membalut luka yang ku lihat pada pantulan cermin tersebut dengan kasa.
Mengulangi rutinitas membersihkan gigi dan menyisir rambut juga mengikatnya, lalu tersenyum manis.
“Tetap tampan walau penuh luka,” pujiku pada diriku sendiri.
...***...
Pagi ini aku memasak telur gulung yang kusajikan bersama nasi panas, juga meminum susu murni seperti biasa.
Tak seperti pria kebanyakan, aku tak suka minuman lain seperti kopi dan minuman berasa sejenisnya.
Aku hanya meminum susu murni dan air mineral untuk menjaga kesehatan tubuhku.
Aku bahkan tidak suka rokok dan minuman beralkohol, aku benar-benar memperhatikan pola hidupku.
Seperti biasa, aku berpamitan pada dua foto orang tuaku sebelum akhirnya beranjak dari rumah kayu tua ini menuju tempat kerja.
Meski kakiku masih terasa sedikit sakit, aku tetap berusaha mendayuh sepedaku dan menyapa orang-orang di jalan dengan senyuman manis.
Banyak dari mereka yang menanyakan luka-luka di wajah dan tubuhku, namun hanya ku jawab dengan alasan jatuh dari sepeda. Aku tidak berbohong kan?
Kunikmati perjalananku dan menatap langit biru yang cerah dan indah, perkebunan hijau yang menyegarkan di sebelah kiriku, juga jasad perempuan berseragam SMA mengapung terbawa arus deras sungai di sebelah kananku.
Tunggu, apa!? Jasad!? Mengapa bisa ada jasad yang mengambang di sungai!?
Sontak aku menghentikan laju sepedaku untuk memastikan lagi apa yang baru saja aku lihat.
Ku jatuhkan sepedaku ke sembarang tempat, dan melangkah perlahan mendekati sungai tersebut.
Benar saja, ada gadis berseragam SMA yang hanyut terbawa arus sungai dalam keadaanya yang tengkurap, dan darah menyebar dari tubuhnya membuat air sungai ini menjadi berwarna merah pekat.
Mataku terbelalak, bibirku tak bisa mengatup, dan tubuhku sempat mematung melihat raga tak berdaya itu.
Dia… belum mati kan? Mungkin saja dia hanya pingsan?
Dengan tangan yang gemetar, aku mencoba membawa anak itu keluar dari sungai dan melihat keadaannya secara lebih jelas.
Mengerikan! Wajahnya penuh lebam dan darah, rahangnya terkoyak, lehernya hampir putus, dadanya yang sobek terbelah hingga perut, juga memperlihatkan isi rongga tubuhnya yang sudah tak ada.
Yang benar saja! Dia pasti sudah mati sejak jantung dan organ tubuhnya dikeluarkan!
Siapa orang kejam yang tega melakukan ini!? Dan jika dilihat lagi, wajah juga seragam wanita ini terasa tak asing bagiku. Dia seperti…?
“Mustahil!” seruku dengan suara yang serak hampir tak terdengar.
Mataku terbelalak lebih besar lagi ketika menyadari bahwa perempuan ini adalah siswi malang yang dibawa oleh pria bertopeng rubah putih semalam.
“Jadi itu bukan mimpi!?” lanjutku sebelum akhirnya aku menepuk keningku sendiri.
“Jelas bukan mimpi lah, bodoh! Bagaimana kau bisa menjelaskan luka-luka di tubuhmu ini, jika semua hanya mimpi?”
Bodohnya lagi, karena diselimuti dengan rasa panik yang tidak karuan dan tak mampu berpikir dengan jernih, aku meninggalkan jasad malang itu di pinggir sungai.
Dengan napas terengah aku berlari ke arah sepedaku yang tergeletak, membenarkan posisinya lalu menaikinya dan mendayuh pedal sepeda tersebut dengan kuat untuk melanjutkan perjalanan menuju tempat kerjaku.
Menyedihkan! Dilihat dari lebam dan bengkak pada wajahnya, siswi malang itu pasti sudah hanyut dari tempat yang jauh dan terbentur banyak batu di sungai.
Mungkin ia hanyut dari... puncak gunung?
“Maaf, maaf tak bisa menyelamatkanmu, nona!” gumamku lirih, sambil memejamkan mata dan terus melajukan sepedaku dengan kecepatan penuh.
...***...
“Ya ampun! Ada apa dengan wajahmu, Picho!?” pekik Leo saat aku baru saja sampai dapur kedai. Ia sepertinya sangat mengkhawatirkanku.
“Jatuh dari sepeda,” ringisku datar, lemas tak bergairah.
Wajah malang jasad siswi yang kutemui di sungai, masih teringat dengan jelas.
Leo menatapku heran, memiringkan kepalanya.
“Apa itu sakit? Hingga membuatmu tak enak badan?” cemasnya, menyentuh keningku untuk memastikan suhu tubuhku.
Kali ini aku yang menatapnya heran, juga memiringkan kepalaku.
“Apa aku terlihat seburuk itu?”
Aku berbalik tanya pada pria berambut tebal dan bando yang menahan poninya agar tidak menghalangi pandangannya, ia sempat menghela napas kasar dan mengalihkan tangannya pada bahuku.
“Apa kau tak punya cermin!?" sindirnya.
"Maksudku, hey! Lihat dirimu! Luka-luka itu, wajah pucat dengan bibir biru, mata sembab, keringat dingin, napas dan degup jantungmu yang tak beraturan!" lanjutnya, menaikkan sedikit suara.
Picho? Seorang pria yang selalu ramah bersama senyum manisnya? Menunjukan wajah yang muram seperti ini? Ada apa dengan dirimu, sobat!?” cercanya
Jika sedang khawatir, Leo terlihat persis seperti seorang ayah yang memarahi anaknya. Aku jadi rindu ayah.
“Oh?” namun hanya ku jawab dengan singkat, karena aku masih belum bisa mengendalikan fikiranku yang tertinggal di sungai merah tadi.
“Jangan Cuma ‘oh?’ dasar bodoh! Aku sedang khawatir setengah mati padamu!” murkanya.
“Maaf,” jawabku lesu.
“Jangan Cuma ‘maaf’!” Kali ini Leo meraung bagai binatang buas.
Setelah cukup lama mencerna apa yang sedang terjadi dengan celotehan dan wajah khawatir Leo, aku akhirnya tersadar bahwa aku rupanya sedari tadi melupakan sesuatu.
“Maaf, aku lupa ciri khas senyuman manisku,” kekehku kayaknya anak kecil, mengangat dua jariku menunjukkan tanda damai.
Leo menghela napas pasrah sembari memegangi pelipisnya, terasa seperti sebuah dejavu bagiku melihat reaksinya itu, namun yang ia katakan setelahnya sedikit berbeda.
“Sudahlah, percuma. Kau takkan memahami perkataanku. Mulailah bekerja! Jaga kesehatan.”
Aku hanya mengangguk pelan lalu mulai memnyiapkan perlengkapan masakku walau masih tak mengerti ada apa dengan Leo, sepertinya aku salah paham?
Ah, pikiranku benar-benar kacau pagi ini! Aku bahkan ragu, apakah aku bisa melanjutkan pekerjaanku dengan profesional hari ini atau tidak.
Sudahlah, jalani saja dulu! Dengan fikiran yang berkecamuk, aku memaksakan senyuman manis dan wajah ramahku sepanjang waktu kerja.
Terus bekerja sepenuh hati, menyiapkan hidangan terbaik dan memberikannya pada pelayan untuk disajikan di meja pelanggan.
Banyak pelanggan setia yang sering menggodaku sejak dulu, menanyakan keadaan wajahku yang penuh luka, dan kujawab jatuh dari sepeda seperti yang ku katakan pada para petanya sebelumnya.
Lumayan bosan juga sebenarnya dihadapkan pada pertanyaan yang sama berulang kali hari ini, namun tetap ku jawab dengan senyuman termanis.
Semuanya berjalan lancar, tak ada masalah pada pekerjaanku. Hingga aku memberikan pada pelayan satu porsi spaghetti bolognese untuk ia sajikan pada pelanggan.
Saat itu ada seorang siswi yang ingin memesan makan siang, seperti biasa setiap jam istirahat sekolah cukup banyak pelajar yang mampir ke kedai ini untuk makan siang.
Dan ku lihat siswi ini juga wajahnya tak asing bagiku, mungkin dia salah satu langganan di sini.
Namun yang tak biasa adalah ketika pelajar itu mengajakku berbincang.
...
...
“Kak Picho, ada apa dengan wajah kakak?” tanya siswi SMA, memulai topik pembicaraan lebih dulu.
Baiklah, permulaan yang sudah sering ku dengar dari banyak orang.
“Jatuh dari sepeda,” jawabku sambil tersenyum manis.
Ku kira jawaban itu saja mampu memuaskan rasa penasaran petanya, namun rupanya wanita yang cukup tinggi jika dibandingkan teman seusianya ini sedikit berbeda.
“Kapan? Dimana? Dan siapa yang bantu kak Picho sembuhin lukanya?” cercanya.
Aku sempat membeku menatapnya heran, terkejut dengan pertanyaannya yang rinci. Bahkan aku sendiri pun tak bisa menjawab semuanya dengan rinci.
“Semalam, di jalan pulang, dan aku sendiri yang mengobati lukaku, mungkin?”
Aku cukup ragu, namun berusaha memberikan jawaban yang masuk akal dan jujur, meski sepertinya aku terdengar seperti sedang berbohong.
“Kok ‘mungkin’? Gimana caranya? Kak Picho membawa P3K ? Malam kan gelap, memang lukanya terlihat? Kenapa kasanya bisa Serapi itu? Logikanya jika mengobati sendiri di jalan yang gelap nggak mungkin bisa rapih!”
Rentetan pertanyaan siswi yang tenggelam dalam asumsi kritisnya sendiri, membuatku mati seribu bahasa.
Aku sempat gelagapan dan tak mampu menjawab pertanyaan siswi cerdas itu, menatap ke arah dapur berharap mendapatkan bantuan dari Leo, namun pria itu hanya menertawakanku dan juga menanti jawaban dariku.
Sial! Aku lupa kalau belum menceritakannya pada Leo secara rinci! Harus ku jawab seperti apa pertanyaan anak ini? Aku gugup dan hanya bisa menggaruk bagian belakang kepalaku yang tidak gatal.
“Hold on, nona manis! Pertanyaanmu terlalu terburu-buru." suaraku akhirnya mampu keluar.
"Aku tidak membawa P3K, aku mengobatinya sambil bercermin di toilet rumahku tadi pagi saat mentari sudah terbit,” terangku kemudian.
Aku menceritakan rincian kejadian yang sebenarnya terjadi, mencoba meluruskan asumsinya yang salah total dari kenyataan.
“Jatuhnya tadi malam, disembuhkannya tadi pagi. Bagaimana caranya kak Picho pulang dalam keadaan tubuh yang sakit penuh luka? Dilihat dari jumlah luka dan tingkat keparahannya, sepertinya tak mungkin jika kak Picho bisa mengendarai sepeda sendiri!” selidiknya masih belum puas juga dengan jawabanku.
“Soal itu, aku juga tak tahu persis kronologinya. Mungkin ada yang membantu membawaku ke rumah? Tapi aku tak tahu siapa orangnya,” jujurku, sejujur-jujurnya. Berharap bocah menyebalkan ini menghentikan pertanyaan anehnya.
“Lagipula, mengapa anda begitu peduli dengan sejarah dibalik luka-lukaku ini? Apa anda menyukaiku, nona? Memang susah ya jadi pria tampan sepertiku! Banyak penggemarnya,” lanjutku mengembalikan pertanyaan.
Ku tersenyum manis dan ramah, mencoba menggodanya agar ia risih dan berhenti bertanya.
“Lalu gimana perjalanan kak Picho kemari dengan tubuh yang masih sakit?”
Bukannya menjawab, yang ditanya justru melanjutkan pertanyaannya tanpa mempedulikan godaan manisku. Apa pesonaku kurang cukup untuk mengalihkan perhatiannya?
“Jawab dulu pertanyaanku, nona!” pintaku dengan lembut namun tegas sambil mempertahankan senyuman manisku.
Terus ku berusaha untuk tidak terpancing emosi dan menyakiti perasaannya, mengingat ia adalah pelanggan setiaku yang harus diperlakukan dengan lembut.
“Aku tidak peduli padamu, aku hanya sedang mencari informasi darimu. Jadi jawab saja pertanyaanku tanpa protes!”
Apa ini? Mengapa konotasinya jadi seolah memberikan perintah? Dasar tidak sopan! Kalau saja dia bukan pelanggan, dan kalau saja ini bukan dalam jam kerja di kedai, sudah ku sobek mulut menyebalkannya itu.
“Aku memaksakan diri untuk berangkat walau sakit, karena aku ingin mengisi perut kosong para pelanggan di sini dengan makanan terenak yang bisa ku masak." jelasku, berusaha lembut.
"Ada lagi yang ingin ditanyakan? Atau ingin memesan makan siang? Tolong jangan membuat pelanggan yang lain mengantri lama, nona yang terhormat.” lanjutku, santun.
“Biar kak Leo saja yang mengurus pesanan pelanggan lain, aku masih mau menanyakan banyak hal!”
“Silahkan,” tuturku sopan sembari tersenyum manis.
“Apa ada hal aneh yang kak Picho lihat di perjalanan menuju kedai ini tadi pagi?”
“Apa!?”
Aku sedikit terkejut mendengar pertanyaanya yang ini. Mencoba memastikan ulang bahwa pendengaranku tidak salah.
Pikiranku mulai berkelana. Apa ini? Mengapa pertanyaanya jadi mengarah ke sini?
Apa pikiranku saja yang sedang kacau karena mengingat siswi malang yang hanyut di sungai tadi pagi?
Tak mungkin kan jika siswi ini mengetahui tentang tragedi itu? Argh! Aku jadi menyesal meninggalkan jasad itu begitu saja!
“Apa kak Picho melihat hal aneh tadi pagi di sungai? Jemuran yang hanyut misalnya?”
Huft! Rupanya jemuran hanyut. Ternyata aku memang terlalu berfikir jauh. Siswi ini tak mungkin tahu tentang perkara sungai merah itu!
Aku jadi sedikit lebih lega mendengarnya. Aku yakin ia hanya mencari jemurannya yang hanyut. Iya! Pasti begitu!
“Apa jemuran anda hanyut di sungai, nona?”
“Kan ku bilang ‘misalnya’! Bukan berarti maksud yang sesungguhnya!”
Ugh! Aku salah paham rupanya! Bagaimana ini? Apa dugaanku diawal tadi benar? Dia tahu tentang sungai merah itu?
Tapi jika memang begitu, aku tak seharusnya panik kan? Toh bukan aku yang membunuhnya, aku tidak bersalah!
Satu-satunya kesalahanku adalah membiarkan jasad siswi itu tergeletak di pinggir sungai begitu saja, tanpa mencoba tanggung jawab mencari pertolongan atau memberitahu keluarga korban.
Sebaiknya aku membantu siswi ini mencari informasi tentang kawannya, kan? Setidaknya dengan begitu aku bisa tanggung jawab memberitahu kabar duka pada kerabat korban?
Tapi apa aku harus menyampaikannya di sini? Di kedai dengan banyak pasang mata yang mengarah pada ketampananku ini?
Mana mungkin aku bisa mengungkapkannya dihadapan mereka!? Terutama Leo, aku tak boleh membuatnya khawatir dengan apa yang ku saksikan tadi pagi!
“Hmm, sepertinya kita harus melanjutkan percakapan di tempat lain." putusku.
"Anda lapar? Mau berbincang sambil makan siang di kedai dekat sini? Biar aku yang yang bayar,” tawarku, kemudian.
Aku mulai memahami tentang ‘informasi’ apa yang ingin ia cari. Mencoba menggiringnya untuk melanjutkan percakapan rahasia ini di tempat lain.
“Woy, penghianat! Beli makanan dari kedai ini dong!” teriak Leo dari balik dapur, merasa tak terima aku membawa pelanggan ke kedai lain.
“Berisik! Aku bosan dengan masakanku sendiri atau masakanmu, Leo! Sesekali kita harus mencari referensi menu baru dari kedai lain!” sahutku menyentak.
Ku mencari pembelaan diri, agar ada alasan untuk keluar dari kedai dan membicarakan hal privasi ini pada wanita yang entah mengapa sepertinya sangat membutuhkan informasi dariku.
“Mengapa harus di tempat lain? Aku tak pernah bosan dengan makanan di kedai ini!” tanya siswi yang rumit ditangani, memojokkanku.
Seolah ia menuduhku sebagai penyebab kematian siswi yang hanyut di sungai tadi pagi. Sepertinya dia salah paham.
“Nona, saya akan membantu anda untuk mencari informasi yang anda butuhkan. Untuk itu, saya mohon bantuan kerjasama anda,” pintaku dengan lembut.
Ku berharap ia akan mengerti posisiku yang tak bisa menjelaskannya di depan umum.
Wanita itu terlihat sempat merenungkan sejenak permintaanku selama beberapa detik.
“Baiklah,” putusnya sambil tersenyum manis.
Hufft… Akhirnya dia bisa sedikit ku kendalikan juga, aku menghela nafas lega lalu kembali tersenyum manis.
“Leo, ku serahkan kelanjutan kedai ini padamu ya!”
Dengan penuh semangat, ku beranjak jua membawa siswi manis ini ke kedai sekitar.
Sedangkan Leo hanya menggelengkan kepalanya sambil mengangkat kedua bahu pasrah melihatku pergi begitu saja.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!