“Pengantin prianya belum sampai, ya?”
“Padahal udah mau dimulai, tapi pengantin prianya belum datang,”
“Jangan-jangan… .”
Arumi memejamkan matanya untuk meredam amarah di dalam dadanya. Suara sumbang beberapa tetangganya yang menanyakan keberadaan calon suaminya membuat wanita itu dilanda kebingungan. Arumi juga tidak tahu pasti keberadaan Vino. Beberapa kali wanita berkebaya putih itu menghubungi calon suaminya bahkan calon mertuanya, tetapi hasilnya nihil. Bahkan saat ini nomor teleponnya sudah tidak aktif lagi.
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi, itu berarti masih ada sisa waktu tiga puluh menit untuk memulai acara akad nikahnya.
Dimas dan Tari berjalan menghampiri Arumi yang tengah duduk sendirian di ruang tengah—menunggu kedatangan Vino—menanyakan keberadaan Vino yang tidak kunjung tiba padahal acara akan segera dimulai.
“Apa sudah ada kabar dari Vino, Rum?” tanya Dimas. Kemudian turut duduk di samping Arumi bersama sang istri.
“Belum, Yah. Bahkan nomor teleponnya sekarang tidak bisa dihubungi. Apa terjadi sesuatu sama mereka, ya, Yah? Tidak biasanya Mas Vino kayak gini.”
Arumi tidak bisa menahan bendungan air matanya yang mulai meloloskan diri dari pelupuk matanya, turut menghapus riasan yang sudah sempurna menjadi sedikit berantakan. Dada wanita itu berdegup kencang, membayangkan sesuatu yang tidak seharusnya hadir di saat yang seperti ini.
“Tidak mungkin, Rum. Kalaupun ada sesuatu di jalan, pasti Ayah akan tahu. Ayah sudah meminta beberapa tetangga buat ngecek jalanan ke arah rumah calon suamimu, tapi hasilnya nihil. Bahkan ada yang sampai di sana, tapi keadaan rumahnya sangat sepi. Rum, kenapa perasaan Ayah jadi tidak enak begini, ya?”
Tari, sang ibu, yang sedari tadi duduk menyimak keduanya pun menghela napas panjang. Terlihat jelas dari raut wajahnya, jika ia tengah memikirkan banyak hal.
“Inilah yang Ibu khawatirkan, Rum. Dari awal Ibu kurang yakin sama Vino, terlebih perbedaan kasta dan sikapnya yang menurut ibu kurang baik. Sekarang bagaimana? Bahkan acara yang seharusnya dimulai, tapi tak kunjung terlaksana karena Vino nyatanya belum juga sampai di sini,” ungkap Tari sendu.
Sebagai seorang ibu, Tari juga merasa sedih dan sakit ketika harapan putri sulungnya harus hancur oleh pria yang begitu diperjuangkan.
“Mas Vino pasti datang, kok, Bu. Mungkin sedang terjebak macet aja di jalan,” ungkap Arumi menahan sesak di dadanya.
Seorang pria paruh baya tampak mendekat ke arah mereka yang tengah sibuk dengan pikirannya masing-masing.
“Ada apa, Pak Suryo?” tanya Dimas.
“Pak Dimas, di depan ada tamu dari pihak laki-laki. Tapi mereka seperti orang kebingungan di depan, Pak,” beritahu Pak Suryo, tetangga Arumi.
Dimas mengangguk dan beranjak dari duduknya.
“Kamu tunggu di sini, Ayah akan temui mereka dulu,” pamit Dimas pada Arumi.
Arumi yang tengah menunduk sedih seketika mendongak disertai senyuman tipis yang kembali menghiasi wajahnya. Sementara Tari memilih untuk mengikuti sang suami yang sudah bergegas keluar untuk menemui tamu mereka.
Dimas dan Tari berjalan beriringan menuju ke teras rumah. Di sana tampak sepasang paruh baya tengah duduk di kursi tamu, sementara seorang pria di sebelah keduanya tampak sibuk berbicara pada seseorang di balik telepon.
“Apa? Bagaimana bisa kamu batalin pernikahan kamu begitu saja. Aku dan kedua orang tuaku bahkan sudah sampai di rumah calon istrimu, tapi kamu malah bertingkah seperti ini? Katakan, di mana kamu sekarang, Vino!”
Hening, pria muda itu tengah mendengarkan jawaban dari seberang sana.
“Jangan membual, ini nggak lucu sama sekali Vin! Halo, Vin? Vino!”
“Dasar pec*undang!” umpat Narendra.
Dimas dan Tari yang tengah berjalan menghampiri tamu mereka seketika menghentikan langkahnya dan saling bertatapan seakan saling bertanya melalui netranya.
Ucapan pria asing di depannya terasa seperti sengatan listrik yang membuat aliran darah keduanya terhenti. Dimas mengepalkan tangannya hingga buku jarinya memutih, kemudian kembali melangkah menghampiri keluarga dari calon menantunya. Sungguh, keduanya berharap berita yang mereka dengar hari ini hanyalah mimpi semata.
“Apa maksud ucapan kamu? Apa benar, Vino membatalkan pernikahannya?” Dimas bertanya dengan nada yang cukup tinggi.
Ketiga orang itu segera menoleh ke arah Dimas, mereka segera beranjak dari duduknya dan menatap satu sama lain dengan intens.
“Anda ini-”
“Saya Ayahnya Arumi, calon mertuanya Vino. Apa benar yang kamu ucapkan tadi? Di mana sekarang Vino dan keluarganya, kenapa hanya kamu dari pihak Vino yang datang ke sini?” tanya Dimas dengan menggebu-gebu.
Hati orang tua mana yang tidak sakit ketika mendapati kabar jika calon suami putrinya ternyata membatalkan pernikahannya secara sepihak bahkan tanpa pemberitahuan sekali pun.
“Baik, tenang dulu, Pak. Sebelumnya perkenalkan, saya Narendra sepupu jauh Vino, dan ini kedua orang tua saya.” ujar Narendra.
“Saya Bagas dan ini istri saya Dewi.” Kedua orang tua Narendra juga turut memperkenalkan diri.
Pria yang memperkenalkan diri sebagai Narendra itu pun menyalami Dimas dan Tari bergantian begitu juga dengan kedua orang tuanya. Beruntung Dimas dan Tari menerima uluran tangan ketiga tamunya itu.
“Sebenarnya begini, Pak. Awalnya pagi tadi kami mengunjungi kediaman Vino untuk berangkat bersama, tetapi setelah tiba di sana, ternyata keadaan rumahnya sangat sepi. Kami pikir mereka sudah berangkat lebih dulu, sehingga kami menyusul ke sini berbekal alamat yang tertera di undangan. Namun, begitu kami tiba di sini, kami tidak menemui keluarga kami yang lainnya.” Narendra mencoba mengatur napasnya yang turut sesak setelah mendapatkan kabar dari Vino di seberang sana.
“Setelah saya mencoba menghubungi Vino beberapa kali, ternyata keluarganya tidak sedang berada di rumah dan tidak pula dalam perjalanan kemari, mereka pergi entah ke mana, bahkan Vino mengatakan akan membatalkan pernikahannya dengan Arumi karena dia tidak benar-benar mencintai calon istrinya,” pungkas Narendra.
Prang! !
Semua orang menoleh ke sumber suara, mereka menatap Arumi yang sudah berdiri di samping pecahan gelas dengan raut terkejutnya.
“Arumi!” pekik Dimas kala melihat tubuh Arumi yang tiba-tiba ambruk.
Beruntung di sekitar Arumi ada beberapa tetangga yang meraih tubuhnya sehingga wanita itu tidak terjatuh menimpa pecahan gelas yang masih berserakan.
Dimas segera menggendong tubuh putrinya yang tengah pingsan masuk ke dalam rumah, diikuti sang istri, Narendra, serta kedua orang tuanya.
Keadaan pagi itu berubah menyedihkan setelah mendapat kabar jika Vino membatalkan pernikahannya secara sepihak bahkan tepat di hari yang sudah ditentukan. Berita pembatalan itu langsung menyebar hingga membuat Dimas dan Tari harus menanggung malu atas sikap calon menantunya.
Selang sepuluh menit kemudian barulah Arumi tersadar dari pingsannya. Begitu ia teringat hal yang membuatnya pingsan, wanita itu langsung menangis tersedu-sedu di dalam dekapan sang ayah.
“Yah, kenapa semua ini harus terjadi sama Arumi? Memangnya Arumi salah apa sampai Mas Vino membatalkan pernikahan kami? Arumi harus apa, Yah?” Arumi tergugu hingga membuat semua orang yang berada di sana turut merasakan kepiluannya.
Saat ini bukan hanya rasa kecewa yang dirasakan Arumi, melainkan juga rasa cemas yang berlebihan akan suatu hal.
Dimas hanya mampu mengusap punggung putrinya dengan lembut. Pria itu juga sangat kecewa, bahkan ingin sekali mematahkan leher Vino, tetapi melihat putrinya yang hancur, pria itu memilih meredam amarahnya yang sebelumnya telah berkobar.
“Kamu tenang saja. Ayah pastikan kamu akan mendapatkan kebahagiaan setelah ini, Sayang.”
Sementara Narendra dan kedua orang tuanya yang tengah menunggu di ambang pintu kamar Arumi memilih menyingkir terlebih dahulu. Mereka ingin memberikan ruang untuk Arumi yang saat ini tengah merasakan kehancuran.
Narendra mengepalkan tangannya kuat-kuat. Ada gejolak di dalam dadanya yang terasa ingin meledak setelah mendengar ucapan Arumi barusan. Meski keluarganya dengan keluarga Vino tidak terlalu dekat, tetapi mereka turut malu dengan tingkah laku Vino dan keluarganya.
Pria itu lantas merogoh saku celananya, mengambil ponselnya, dan mengetikkan sebuah pesan pada seseorang.
Indahnya dekorasi pelaminan saat ini tidak seindah kenyataan yang Arumi dapatkan sekarang. Hari yang menurutnya sakral saat ini, tetapi ia justru harus mendapat kabar yang kurang menyenangkan dari calon suaminya, Alvino Pradipta.
Raut wajah Arumi tampak cemas. Setelah sadar dari pingsannya gadis itu yang termangu di atas tempat tidur tanpa melakukan apapun.
Setelah memastikan Arumi kembali tenang, Dimas melepas dekapan putrinya lalu mengusap lengannya dengan pelan.
“Kamu tunggu di sini, Ayah mau bicara dengan keluarga Vino di luar.”
Hanya anggukan kepala dari Arumi sebagai respon atas ucapan Dimas. Pria paruh baya itu menghela napasnya pelan—tidak tega melihat putrinya yang tiba-tiba terpuruk—ia segera keluar dari kamar putrinya.
“Bagaimana keadaan putri Anda, Pak?” Bagas bertanya mewakili istri dan putranya.
“Keadaannya cukup baik, meskipun batinnya pasti terguncang.” Dimas menatap ketiga tamunya dengan lekat kemudian terhenti ketika tatapannya bertemu dengan Narendra. “siapa namamu tadi?”
“Narendra, Pak,”
“Nikahi Arumi sebagai pertanggung jawaban atas perbuatan Vino. Saya benar-benar tidak ingin membuat Arumi malu karena batal menikah hari ini!”
Duarr!!
“Apa, Pak, n-nikahi?”
Ucapan tegas dari bibir Dimas benar-benar membuat ketiga orang itu terkejut, terlebih Narendra, sang pemeran utama yang harus mempertanggungjawabkan sesuatu yang sama sekali tidak ia perbuat.
“Bagaimana bisa begitu, Pak! Putra saya tidak bersalah!” ujar Bagas tegas.
Pria paruh baya itu tentu tidak terima jika putranya dijadikan sebagai pengganti atas kesalahan dari Vino.
“Lalu, siapa lagi, Pak? Keluarga Anda sudah mencoreng nama baik keluarga kami. Meski saya hanya orang miskin, tapi saya tidak mau membuat putri saya menanggung malu seumur hidup hanya karena dia gagal menikah!” ujar Dimas dengan keras.
Tari yang tadinya menuntun Arumi yang hendak keluar kamar pun terkejut. Arumi segera menepis rangkulan sang ibu dan berjalan ke arah ayahnya yang tengah berbicara dengan keluarga Narendra.
“Ayah apa-apaan, sih. Arumi nggak mau dinikahin sama pria yang Arumi nggak kenal, Yah!” teriak Arumi membuat Dimas langsung menoleh ke arahnya.
“Saya juga tidak mau menikah sama kamu!” sahut Narendra.
Dimas menatap Narendra kemudian kembali menatap Arumi. “Lalu bagaimana dengan nasib kamu, Rum? Apa kamu bisa menanggung malu jika pernikahanmu hari ini gagal?” bentak Dimas.
“Tapi Arumi nggak mau, Yah. Lagipula dia orang asing, apa Ayah tega sama Arumi?” Suara wanita itu semakin meninggi. Hatinya sudah lelah tapi dipaksa kuat menghadapi kenyataan pahitnya saat ini.
***
“Saya terima nikah dan kawinnya Arumi Dinara Putri binti Bapak Dimas dengan mas kawin tersebut, tunai.”
“Bagaimana para saksi, sah?”
“SAH!”
Dengan satu tarikan napas, Narendra dengan lancar mengucapkan ijab kabul untuk Arumi yang tengah menunduk dalam di sampingnya. Kini keduanya telah sah menjadi sepasang suami istri secara agama.
Ungkapan kata ‘Sah’ terus terngiang di kepala Arumi sebab ia baru saja dinikahi oleh pria asing yang namanya saja baru ia dengar ketika sang ayah mengucapkan ijab untuknya.
Saat ini Arumi dan Narendra diajak menuju panggung dekorasi untuk berfoto dan bersalaman dengan tamu undangan. Setelah sepi, barulah mereka diperkenankan untuk duduk di kursi yang sudah disediakan.
Masih teringat jelas di ingatan Arumi sesaat sebelum akhirnya pernikahan dilangsungkan. Baik keluarga Narendra ataupun ayahnya saling adu mulut karena pihak Narendra tidak mau menikahi Arumi, sementara Dimas terus memaksa mereka untuk bertanggung jawab atas perbuatan salah satu keluarga mereka.
Arumi juga terus menolak hingga pada akhirnya, Narendra dengan tenang menengahi perdebatan para orang tua yang tengah saling adu mulut.
“Saya akan menikahi Arumi.”
Begitulah kalimat singkat dari Narendra yang membuat kedua pria paruh baya itu langsung menghentikan perdebatan mereka. Keduanya mengalihkan tatapannya pada Narendra kemudian kembali mengatur napasnya yang memburu.
“Kamu serius Naren?” Bagas tampak ragu dengan keputusan Narendra.
“Naren serius, Pa.”
“Bagus. Sekarang mari bersiap karena penghulunya sudah datang,” pungkas Dimas membuat lutut Arumi lemas seketika.
Plak!!
Arumi tersadar dari lamunannya. Ia terkejut sebab ada sang adik, Ari, tengah berdiri di sampingnya, menepuk pundaknya kemudian menyodorkan segelas air putih untuknya.
“Minum.” Perintahnya dengan gelas masih menggantung di udara.
“Hah?”
Narendra yang mengetahui Arumi sedang kurang fokus itu pun segera menyambar gelas dari adik iparnya dan diberikan pada sang istri yang masih terdiam.
“Ayo diminum,” ucap Narendra seraya memberikan minum pada Arumi. Wanita itu tidak menolak, ia segera meraih gelas yang diberikan oleh Narendra.
“Kak Naren, meski kamu keluarga Vino, tapi aku nggak akan benci kamu karena di sini Vino lah yang bersalah. Jagain kak Arumi, ya, meski dia cerewet tapi hatinya baik, kok. Semoga pernikahan kalian langgeng,” ujar Ari tiba-tiba.
Pria muda berusia 18 tahun itu menatap lekat ke arah kakak ipar dadakannya. Meski sedikit kurang menyukai rencana ayahnya, tetapi Ari tidak serta merta membenci Narendra. Justru pria itu berterima kasih karena Narendra bersedia menjadi pengantin pengganti untuk kakaknya.
“Semoga saja ….”
Acara pesta pernikahan sederhana antara Arumi dan Narendra telah selesai. Kini, seluruh keluarga telah berkumpul di ruang tengah untuk beristirahat setelah berganti pakaian santai karena tadinya mereka mengenakan baju yang mereka sewa untuk acara.
Dimas dan Tari menghampiri besannya kemudian mengulurkan tangannya.
“Terima kasih telah membantu kami,” ungkapnya dengan tulus.
Awalnya Bagas terkejut, tetapi detik berikutnya pria itu tersenyum dan menerima uluran tangan besannya kemudian menepuk lengannya dengan pelan.
“Sama-sama, Besan. Sekarang fokus kita hanya menuntun putra putri kita agar menjalani pernikahan mereka dengan sungguh-sungguh, maaf juga karena dari awal saya menolak permintaan Anda,” pungkas Bagas.
“Anda tidak bersalah. Sudah sepantasnya seorang ayah ingin yang terbaik untuk anaknya, pun begitu dengan saya.”
Di saat keempat orang tua itu saling support, Arumi dan Narendra justru saling terdiam sebab mereka bingung akan melakukan apa karena mereka tidak saling mengenal.
“Ehem!”
Ari duduk di samping Arumi yang masih sibuk memilin ujung bajunya. Wanita itu menoleh dan melotot ke arah sang adik yang tengah meledeknya.
“Apa, sih?” sinis Arumi.
“Dih, gitu aja sewot. Daripada diem aja, mending kenalan sana, sama kakak ipar biar kakak bisa akrab. Masak udah nikah tapi pada diem-diem aja,” goda Ari membuat Arumi memutar bola matanya malas.
“Mungkin kakakmu masih capek, Adik ipar.” Narendra menyahuti dengan santai.
“Apaan, sih, sok akrab banget!” Arumi berseru kesal. Ia beranjak dari duduknya dan masuk ke dalam kamar.
Melihat Arumi yang berlalu, Ari kembali mendekatkan dirinya pada Narendra. Entah mengapa, anak muda itu merasa begitu santai berbicara dengan Narendra. Berbeda jika dengan Vino, dulu Ari akan selalu membuang muka dan berlalu tanpa menyapanya.
“Kakak ipar, terima kasih, ya, sudah mau nikahi kak Arumi. Entah apa tujuan Kakak ipar bersedia menerima permintaan ayah, tapi yang jelas, aku percaya kalau kalian akan baik-baik saja meskipun ada masalah besar nantinya.” Ari kembali menatap Narendra serius.
Narendra menaikkan sebelah alisnya. “Kamu nggak penasaran kenapa saya tiba-tiba bersedia menikahi kakak kamu padahal sebelumnya saya menolaknya?”
Ari memicingkan matanya menatap ke arah Narendra.
“Memangnya apa alasannya? Eh, tapi terserah kakak ipar aja, sih, aku cuma berharap kak Naren nggak nyakitin kak Arumi saja. Dia sudah cukup menderita selama sama si Vino,” ungkap Ari tanpa ada yang ditutup-tutupi.
Ari sudah memerhatikan Narendra sejak dia turun dari mobil. Pun setelah bertelepon dan juga beranjak dari depan pintu kamar kakaknya setelah tersadar dari pingsannya. Pria muda itu tidak memiliki firasat buruk apapun mengenai Narendra, justru yang ia lihat, Narendra yang tidak mengenal kakaknya tapi dia masih peduli.
Masih teringat jelas di kepala Ari, ketika tatapan marah dan tangan terkepal dari Narendra setelah mendengar ungkapan kakaknya. Ari yakin, Narendra adalah pria yang baik terlepas apapun alasan pria itu menerima pernikahannya.
Ucapan Ari berhasil membuat Narendra yang tadinya cuek pun penasaran. Arumi menderita dengan Vino? Ah, sebagai seorang suami, Narendra merasa tertantang untuk menggali lebih dalam mengenai hubungan istri barunya dengan mantan kekasihnya, Vino.
“Menderita? Bukannya dia bucin banget, ya, sama Vino, bahkan dia tetap maksa pas ayah sama ibu nggak kasih dia restu?” tanya Narendra yang mulai penasaran.
“Dah, lah, suatu saat Kakak ipar pasti tahu, yang pasti, di balik sifatnya yang keras kepala, Kak Arumi itu baik dan juga nggak tegaan sama orang lain, aku titip Kak Arumi,ya, Kak,” pungkas Ari.
***
Selesai makan malam bersama, kedua orang tua Narendra berpamitan untuk pulang sementara Narendra sendiri diminta untuk tetap tinggal barang sebentar di rumah mertuanya untuk saling mengenal. Beruntung kedua keluarga itu mudah akrab sehingga kecanggungan diantara mereka tidak berlangsung lama.
Kedua orang tua Narendra tidak mempermasalahkan putranya yang tiba-tiba menikah dan saat ini bersama keluarga mertuanya sebab hal itu murni keinginan Narendra bukan paksaan dari mereka.
Baik Bagas maupun Dimas sudah tampak seperti kawan lama yang bertemu kembali, padahal keduanya baru bertemu hari ini. Mereka juga telah bertukar nomor telepon, pun dengan alamat rumahnya agar memudahkan komunikasi keduanya.
“Naren, jaga istrimu baik-baik dan segeralah bawa Arumi pulang ke rumah. Arumi, Sayang, jaga diri baik-baik, ya.” Dewi berpesan pada putra dan menantu barunya.
Senyum mengembang dari bibir Dewi ketika berpamitan pada menantunya.
“I-iya, Tante,” jawab Arumi pelan.
“Mama! Panggil saya Mama, Nak.” Dewi meralat ucapan menantunya. Sementara Arumi hanya mengangguk canggung.
“Besan, kami pamit dulu, kapan-kapan kami akan kembali berkunjung atau kalau Besan berkenan, mainlah ke gubuk kami,” pamit Bagas kemudian menyalami besannya.
“Hati-hati di jalan, Besan, saya usahakan jika sudah ada waktu senggang, kami sekeluarga akan datang berkunjung.” Dimas menjawab dengan senyum bahagia.
Dimas dan Tari begitu bersyukur dipertemukan dengan keluarga Narendra karena selain mau menutupi malu putrinya, mereka juga tidak segan menerima keluarganya dengan tangan terbuka tanpa memandang status sosialnya. Berbeda dengan keluarga Vino, mereka akan sibuk menghina semua kekurangan yang terlihat oleh mata mereka.
Malam itu, untuk pertama kalinya Arumi akan tinggal satu kamar bersama seorang pria, terlebih pria asing yang tiba-tiba menjadi suaminya.
Ada perasaan takut akan sesuatu hal, tetapi wanita itu menutupi semua itu dari orang lain. Di saat semua orang masih berada di ruang tengah, wanita itu memilih langsung masuk ke kamar setelah mertuanya berpamitan pulang.
“Nak Naren, kalau lelah istirahat sana di kamar Arum, tadi sudah ibu beresin kamarnya.” Tari memberitahu menantu barunya.
“Apa tidak apa-apa, Bu? Maksud saya, apa saya boleh?” ralat Narendra yang tampak gugup.
“Ya, tidak apa-apa, dong. Kalian, kan, sudah menikah. Sudah seharusnya tidur satu kamar berdua. Sudah, sana masuk kamar. Sudah tahu, 'kan, kamarnya?”
“I-iya, sudah, Bu.”
Tanpa menunggu waktu yang lama, Narendra bergegas menghampiri Arumi ke kamar. Pria itu segera memutar handle pintu yang kebetulan tidak dikunci. Tanpa Narendra ketahui, Arumi yang baru saja memakai baju tidurnya tersentak kaget dan berteriak.
“Aaa … kurang ajar?!” pekik Arumi membuat Narendra bergegas masuk dan kembali menutup pintu.
“Maaf, maaf. Aku kira kamu sudah tidur. Lagian, kenapa nggak dikunci tadi pintunya, untung aku yang masuk, kalau Ari yang masuk bagaimana?”
“Ari nggak mungkin, ya, lancang buka pintu kamarku tanpa diketuk dulu. Dasar! Ngapain kamu di sini?” Arumi memandang kesal ke arah Narendra.
“Ya, tentu saja mau tidur. Memangnya mau ngapain lagi? Emangnya kamu mau layani aku malam ini?” tanya Narendra dengan bibir tersungging sebelah.
“Enak aja … kalau kayak gitu, enak di kamu, nggak enak di aku, dong! Sudah, sana keluar, aku mau tidur!” usir Arumi seraya berjalan cepat menuju ke arah pintu dan membukanya dengan lebar.
“Silakan keluar Bapak Narendra yang terhormat!” ujar Arumi dengan mata melotot ke arah Narendra. Namun, ketika tangan wanita itu mempersilakan Narendra untuk keluar, sang ibu tiba-tiba datang dan menepuk keras telapak tangannya yang terbuka.
“Nggak sopan, Arumi. Suamimu sedang lelah, kenapa kamu usir dari kamar. Sudah, sana masuk dan tidur.” Tari menegur putrinya seraya mendorong masuk tangan Arumi kemudian menutup pintunya dari luar.
Awalnya wanita paruh baya itu hendak ke kamarnya yang berada di sebelah kamar Arumi. Akan tetapi, ketika mendengar Arumi yang tengah marah dan mengusir suaminya, ia sebagai mertua yang baik tentu harus membela menantunya yang tidak bersalah.
Tari harus menegur putrinya agar tidak kelewatan, sebab jika bukan karena Narendra, Arumi pasti akan menjadi buah bibir para tetangganya karena gagal menikah. Jadi, Tari sebisa mungkin menjaga Narendra agar tetap merasa nyaman dan aman agar tidak meninggalkan putrinya.
“Nak Naren, tidur di kasur, jangan di lantai!” teriak Tari ketika tersadar jika mungkin saja putrinya meminta Narendra tidur di bawah.
Arumi menggerutu sambil menghentakkan kakinya terlebih setelah mendengar teriakan sang ibu yang meminta Narendra untuk tidur di kasur, semakin membuat wanita itu dongkol. Hal itu membuat Narendra menggelengkan kepalanya menatap Arumi.
“Kamu kenapa, sih, marah-marah mulu, awas ntar gi*la, loh,” tegur Narendra.
“bagus, kalau aku gi*la, biar kamu bisa nikah lagi!” sinis Arumi.
Sebenarnya dalam hati kecilnya, ingin sekali wanita itu berterima kasih pada Narendra karena sudah bersedia menjadi pengantin pengganti yang menyelamatkan nama baiknya. Namun, ketika ia teringat perbuatan Vino, ia mengurungkan niatnya dan justru terlihat mengibarkan bendera perang pada Narendra yang sebenarnya hanyalah sebatas keluarga jauh Vino. Pun pria itu juga tidak tahu apa-apa.
“Ah, capek kalau nikah mulu. Sudah cukup di kamu saja yang terakhir!” seru Narendra kemudian segera merebahkan tubuhnya di atas kasur sesuai perintah ibu mertuanya.
Tidak ia pedulikan gerutuan Arumi yang kesal karena kasurnya ia tempati.
Arumi memicingkan matanya heran. Ia segera mendekati Narendra dengan naik ke atas kasur dan duduk di sebelahnya. “Nikah mulu? Emang kamu udah pernah nikah berapa kali?” bisik Arumi.
Narendra yang awalnya sudah mulai memejamkan matanya, kini harus kembali membukanya ketika mendengar suara Arumi di samping telinganya.
Pria itu beranjak dari tidurnya kemudian duduk dan bersandar pada sandaran kasur.
“Kamu belum tahu kalau aku ini duda? Aku udah pernah nikah, Arumi … ayah juga udah tahu, kok. Memangnya ayah nggak ada cerita sama kamu?” jawab Narendra yang mengira Arumi sudah tahu akan statusnya. Namun di luar dugaan, Arumi justru terlihat syok bukan main.
“APA?!”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!