"Nggak mau! Aisyah nggak mau di jodohkan!" teriak gadis bernama Aisyah. Ia sudah muak dengan permintaan ayahnya yang selalu memintanya untuk menerima perjodohan itu.
"Kenapa kamu selalu menolak saat ayah ingin menjodohkan kamu?" tanya sang ayah tak habis pikir.
"Kenapa ayah selalu memaksa Aisyah untuk dijodohkan?" balas Aisyah tak mau kalah.
"Tuh, lihat anak kamu Bu. Selalu saja menjawab setiap kali ayah bicara," adu Husein kepada sang istri.
Aisyah mencebik kesal, selalu saja seperti ini. Ayahnya selalu memaksa dia untuk menikah dengan lelaki yang bahkan tidak di kenalnya. Entah sudah yang ke berapa kali ayahnya menawarkan perjodohan padanya, dan selalu di tolaknya.
Aisyah hanya ingin mencari pasangan yang ia cintai dan sesuai kriterianya, apalagi saat ini dia juga sudah mempunyai kekasih.
"Kamu dengar Aisyah, ini semua demi kebaikan kamu ..."
"Kebaikan Aisyah atau kebaikan ayah!" potong Aisyah cepat. Selalu saja itu alasan yang disebutkan sang ayah, demi kebaikan dirinya. Kebaikan yang mana yang ayahnya maksud, Aisyah sendiri pun tak tahu.
"Kamu ..." geram Husein.
Rasanya sudah lelah Husein menghadapi sikap keras kepala Aisyah yang selalu menolak setiap perjodohan yang dibuatnya.
"Ayah, sudah. Jangan terbawa emosi, ingat jantung ayah," ucap Aminah mengingatkan sang suami.
Wanita paruh baya itu dengan lembut mencoba menenangkan suaminya. Dia selalu menjadi penengah antara suami dan putrinya yang tidak pernah sependapat.
"Aisyah, turutilah kata-kata ayahmu nak. Ini semua juga demi kebaikan kamu," tutur Aminah lembut pada putrinya.
"Tapi Bu, Aisyah kan masih kuliah. Lagian Aisyah sudah punya pacar," tolak Aisyah.
"Putuskan dia! Sampai kapan pun ayah tidak akan pernah merestui hubungan kamu dengan lelaki itu," ucap Husein tegas.
"Enggak! Sampai kapanpun Aisyah nggak akan pernah mutusin Reno. Aisyah cinta sama dia, Yah."
"Tapi dia bukan lelaki yang baik buat kamu," kata Husein yang mulai melembutkan suaranya. "Menikahlah dengan laki-laki pilihan ayah, nak," bujuk Husein agar Aisyah mau menuruti permintaannya.
"Nggak Yah, pokoknya Aisyah nggak mau menikah sama laki-laki pilihan ayah. Titik!"
"Aisyah!" bentak Husein. Pria paruh baya itu sudah mulai habis kesabaran. Ia merasa sangat sulit membujuk anak bungsunya yang keras kepala itu.
"Kalo ayah sama ibu tetap ngotot mau menikahkan Aisyah sama laki-laki yang nggak Aisyah kenal, lebih baik Aisyah pergi dari rumah ini."
"Aisyah. Kamu nggak boleh ngomong kayak gitu nak," tegur Aminah.
"Biarkan saja Bu, kalau memang dia ingin pergi dari rumah ini. Biar dia rasakan bagaimana susahnya hidup di luaran sana tanpa orang tua. Selama ini dia selalu di manja makanya jadi keras kepala dan sulit di atur seperti sekarang."
"Ayah ngusir Aisyah?" tanya Aisyah tak percaya.
"Bukan ayah yang ngusir kamu, tapi ayah hanya ingin mengabulkan keinginan kamu."
Aisyah kecewa, tak menyangka jika ayahnya akan benar-benar mengusirnya dari rumah. Padahal Aisyah hanya menggertak saja supaya dia tidak di jodohkan.
"Baik. Kalau begitu Aisyah akan pergi dari rumah ini," ucapnya lalu berbalik dan berjalan menuju kamarnya.
Namun, langkahnya harus terhenti saat mendengar ucapan ayahnya.
"Tinggalkan semua kartu dan kunci motor yang ayah berikan sama kamu."
Aminah menutup mulutnya tak percaya, dia tak menyangka jika suaminya akan membiarkan putri mereka pergi dari rumah tanpa uang sepeserpun. Sementara Aisyah mengepalkan kedua tangannya. Ia marah dan kecewa pada sang ayah yang begitu tega pada dirinya.
Tanpa mengatakan apapun lagi, Aisyah langsung pergi menuju kamarnya. Tak lama kemudian, Aisyah kembali keluar dengan membawa satu buah koper dan tas selempang miliknya.
"Ini ATM, kartu kredit sama kunci motornya. Aisyah pergi!" ujarnya kemudian pergi begitu saja dari rumah itu.
"Aisyah! Tunggu nak," panggil Aminah.
Wanita paruh baya itu pun mendekati anaknya dan mencoba untuk membujuknya sekali lagi.
"Jangan pergi nak, tolong pikirkan baik-baik."
"Maaf Bu, Aisyah sudah memikirkannya matang-matang. Aisyah tetap akan pergi, assalamualaikum."
Tanpa menoleh sedikitpun pada kedua orangtuanya, Aisyah terus berjalan hingga kakinya benar-benar keluar dari rumah itu.
Aminah menangis melihat putrinya yang pergi dari rumah, sedangkan Husein hanya diam saja di tempatnya sambil memperhatikan punggung putrinya yang semakin lama semakin menjauh dan menghilang dari pandangannya.
...****************...
"Ayah jahat! Ayah tega sama anak sendiri, ibu kecewa sama ayah." Aminah menangis sesenggukan melihat putrinya yang pergi dari rumah. Ibu dua anak itu juga merasakan kekecewaan pada sang suami yang terlalu keras kepala dan egois menurutnya, padahal jika sang suami bisa mengalah sedikit saja. Pertengkaran itu tidak akan terjadi dan Aisyah tidak akan pergi dari rumah.
"Ayah bukannya jahat, Bu. Lagian ayah melakukan ini untuk kebaikannya juga. Ayah yakin sekali, Aisyah tidak akan betah tinggal di luaran sana. Palingan dua hari lagi dia juga bakalan balik lagi ke rumah." Dengan entengnya Husein berkata, seolah-olah kepergian Aisya dari rumah itu bukanlah sesuatu hal yang berarti baginya.
Aminah benar-benar kecewa dengan sang suami, dia pun beranjak dari duduknya dan pergi dari sana meninggalkan Husein yang tetap duduk di tempatnya sambil menatap kepergian sang istri.
Sementara itu, di lain tempat dan waktu yang sama, Aisyah berjalan menyusuri jalanan komplek perumahan tempat dia tinggal. Aisyah nekat pergi dari rumahnya tanpa membawa uang sepeserpun. Ayahnya benar-benar tega padanya. Sejak dulu ia memang tak pernah cocok dengan sang ayah yang memiliki watak keras, sama seperti dirinya. Jika sudah berkata 'A' maka itulah yang harus terjadi. Aisyah yang notabene adalah gadis yang tidak suka diatur dan selalu membangkang pada ayahnya, harus rela di usir dan semua fasilitas yang ia miliki pun harus ia ikhlaskan dan di minta kembali oleh sang ayah.
Tadinya Aisyah sempat bingung dan tak tahu harus tinggal dimana. Dia sudah mencoba menghubungi Reno, tapi ponsel lelaki itu tak bisa dihubungi sama sekali. Tiba-tiba terlintas satu nama dalam benaknya, yaitu Shella. Sahabatnya sejak SMA. Akhirnya Aisyah mencoba menghubungi sahabatnya itu dan minta untuk di jemput di lokasi tempat dia berada. Begitu tiba di rumah Shella, ia pun menceritakan apa yang terjadi padanya.
"Gila lo emang ya, nekat banget sih pergi dari rumah tanpa uang sepeserpun. Untung ada gue, kalo nggak, mau tinggal di mana lo? Kolong jembatan?" cecar Shella tak habis pikir.
"Sialan lo! Bukannya prihatin sama gue malah di ledek," keluhnya pada Shella, sahabatnya. "Kalo bukan karena bokap yang ngusir gue, nggak bakalan gue mau pergi gitu aja," lanjutnya Aisyah membela diri.
"Lagian elo juga sih, pake membantah omongan orang tua segala. Di usir kan jadinya."
"Ya mau gimana lagi Shel, bokap terus-terusan jodohin gue sama cowok yang sama sekali nggak gue kenal. Kalo tuh cowok ternyata mukanya jelek, perutnya buncit terus kepalanya botak, gimana?" Aisyah bergidik ngeri membayangkan laki-laki yang akan dijodohkan dengannya. "Lagian gue udah punya Reno, dan gue cinta mati sama dia," lanjutnya.
Mendengar Aisyah menyebutkan nama Reno, tiba-tiba Shella teringat kejadian yang dilihatnya beberapa hari yang lalu. Shella bingung, apakah dia harus mengatakannya langsung kepada Aisyah? Atau dia simpan sampai nanti Aisyah mengetahuinya sendiri?
...****************...
"Duh, nih motor kenapa pake mogok segala sih," gerutu Aisyah, tiba-tiba saja mesin motornya mati secara mendadak. Peluh mulai bercucuran membasahi kulitnya yang putih berseri, akibat cahaya matahari yang semangat memancarkan sinarnya, padahal saat itu masih pukul 8 pagi.
"Kalau kayak gini gue bisa telat nih" gerutunya lagi. Jalanan yang sepi membuatnya sulit untuk mencari pertolongan. Tadi malam ia habis marathon nonton drama Korea yang di bintangi oleh Cha Eun Woo, aktor idolanya. Alhasil ia jadi terlambat bangun dan kesiangan.
Sudah satu minggu Aisyah pergi dari rumahnya dan tinggal di sebuah kos-kosan kecil. Motor yang ia gunakan saat ini adalah motor pinjaman dari Shella. Dia juga bekerja paruh waktu untuk membiayai hidupnya selama pergi dari rumah. Aisyah ingin membuktikan kepada ayahnya kalau dia bisa hidup tanpa bantuan dari orang tuanya.
Saat sedang terlarut dalam pemikirannya, tiba-tiba ponselnya bergetar. Aisyah merogoh tas nya untuk mencari ponsel tersebut, setelah mendapatkannya, Aisyah langsung menggeser tombol hijau lalu menempelkan ponsel ke telinganya.
"Halo, Shel," sapa Aisyah pada Shella yang menghubunginya.
"Halo, Ca. Lo dimana?" tanya Shella, ia lebih suka memanggil Aisyah dengan panggilan Caca, nama kesayangan yang ia berikan kepada Aisyah sejak mereka menjadi sahabat. "Kok lo belum nyampe juga? Bentar lagi masuk loh, lo tau kan jam pertama itu mata kuliahnya pak Abi." Shella berkata panjang lebar.
"Iya gue tau, ini gue masih di jalan, motor lo mogok nih," kata Aisyah melaporkan.
"Kok bisa, lo di jalan mana? Masih jauh lagi nggak dari kampus?" tanya Shella.
Aisyah celingukan untuk melihat dimana posisinya saat ini, namun belum juga Aisyah menjawab, Shella sudah berkata lagi. "Atau lo sherlock posisi lo sekarang deh, nanti gue coba minta tolong sama sepupu gue. Sekalian foto selfie lo juga ya."
"Eh, kok pake foto selfie gue segala. Buat apa? Jangan-jangan mau lo jual ya," tuduhnya asal.
"Dih, emangnya situ laku? Gue mau pajang foto lo di toilet kampus, biar kecoak pada kabur. Hahaha," canda Shella dengan tawa yang menggema.
"Sembarangan, memangnya muka gue mirip racun serangga apa," balas Aisyah tak terima.
"Enggak sih, tapi mirip racun sianida."
"Mematikan dong."
"Hahahaha"
Keduanya pun tertawa bersama, tak di pedulikannya lagi motornya yang sedang mogok.
"Duh, malah bercanda lagi. Buruan deh lo sherlock sama foto selfie lo, biar gue kirim ke sepupu gue, jadi gak susah nanti nyariin lo," kata Shella setelah mereka selesai bercanda.
"Oke, oke. Gue sherlock sekarang deh, thanks ya Shel." Aisyah pun mengirimkan lokasinya saat ini pada Shella, dia juga mengirimkan pesan untuk menitipkan absennya. Karena sepertinya dia tidak akan bisa mengikuti pelajaran pertama, mengingat waktu masuknya tinggal 5 menit lagi. Sementara dirinya masih berada di jalan bersama motornya yang mogok.
...****************...
"Aisyah ya, maaf ya saya lama datangnya" ucap seorang laki-laki yang menghampiri Aisyah.
Aisyah tertegun dengan sosok yang sedang berdiri di hadapannya itu. Ia memperhatikan laki-laki tersebut dari atas ke bawah lalu kembali lagi ke atas.
"Cha Eun Woo oppa," gumam Aisyah tanpa sadar. "Masyaallah, ganteng banget," lanjutnya.
Aisyah tidak sadar jika dia sedang memuji sosok yang ada di depannya ini, apalagi dia sampai memandangi wajahnya tanpa berkedip. Sesaat Aisya lupa jika ia sudah punya kekasih.
Sosok tinggi berkulit putih dengan model rambut berponi seperti oppa-oppa Korea itu tersenyum melihat ekspresi Aisyah yang sangat lucu menurutnya.
"Makasih, saya tau kok kalo saya ganteng," celetuk lelaki itu membuat Aisyah tersadar.
"Eh!" kagetnya sambil mengerjapkan kedua matanya, ia baru saja tersadar dari lamunannya. Lelaki yang berdiri di hadapan Aisyah itu terkekeh, merasa lucu dengan tingkah Aisyah.
Aisyah yang merasa di tertawa kan pun hanya bisa tersipu menahan malu akibat tingkahnya tadi.
"Maaf, maaf, saya gak bermaksud..."
"Iya nggak apa-apa, saya tau kok kalo saya ini ganteng, sudah banyak yang bilang. Hehehe," canda laki-laki tersebut.
"Oh iya, kenalin, saya Alvin, sepupunya Shella. Saya di minta Shella untuk datang ke tempat ini dan membantu sahabatnya yang katanya motornya sedang mogok. Itu, kamu kan? Aisyah Az-Zahra."
Alvin memperkenalkan dirinya sambil mengulurkan tangan. Aisyah membalas uluran tangan Alvin dan mereka pun berjabat tangan.
"Iya, saya Aisyah. Terimakasih sudah mau datang membantu," jawab Aisyah.
...****************...
Pukul sepuluh Aisyah sudah berada di kampusnya. Motornya yang mogok tadi sudah di bawa ke bengkel dan ia di antar oleh Alvin ke kampus. Aisyah sudah berusaha cepat untuk tiba di kampus, tapi tetap saja ia tidak bisa ikut dalam mata kuliah Pak Abi. Dosen tampan yang sayangnya terkenal sangat galak, bahkan para mahasiswa menyebutnya dosen killer. Dia tidak mengenal ampun pada mahasiswa yang tidak bisa mengikuti mata kuliahnya.
Seperti yang Aisyah rasakan saat ini, dia harus menghadap si dosen killer di ruangan dosen tersebut. Sejak sepuluh menit yang lalu ia berada di sana, tapi sang dosen masih tak mengatakan apapun. Lelaki itu terus saja sibuk dengan pekerjaannya membuat Aisyah merasa jengah di buatnya.
"Pak. Kalo bapak gak mau ngomong apa-apa, lebih baik saya keluar dulu ya pak," kata Aisyah seraya bangkit dari duduknya. Namun, belum juga ia berdiri sempurna, suara sang dosen sudah terdengar.
"Siapa yang suruh kamu pergi. Duduk!" Dengan malas akhirnya Aisyah pun kembali duduk. "Kamu tau apa kesalahan kamu?"
"Tau pak," jawab Aisyah malas. "Maaf, saya tadi gak masuk di kelas bapak. Motor saya mogok pak, mana cuacanya panas banget lagi. Kasihan banget saya pak, panas-panasan sambil dorong motornya sampe ke bengkel. Bapak liat deh nih kulit saya sampe gosong begini terbakar matahari. Duh! Kalo begini kan kecantikan saya jadi berkurang pak. Mana nanti malam mau ngedate sama Cha Eun Woo oppa lagi, saya kan jadi ... " Aisyah pun menceritakan kejadian yang dialaminya dengan penuh drama.
"Cukup! Hentikan drama omong kosong mu itu!" bentak Abi yang mulai jengah dengan ocehan Aisyah yang sangat tidak penting itu. Sementara Aisyah merasa terkejut mendengar suara Abi yang menggema di dalam ruangan tersebut. Ia pun terdiam dan merubah raut wajahnya menjadi cemberut. Sepertinya rencananya untuk membuat Abi iba padanya gagal.
Abi tetaplah Abi, si dosen galak yang tak mau menerima alasan apapun. Baginya, yang salah tetaplah bersalah dan harus mendapatkan hukuman. Tak peduli meski nanti ia akan mendapat kebencian dari para mahasiswanya.
"Kamu pikir saya peduli? Mau kamu kepanasan atau kebakaran jenggot sekalipun, itu bukan urusan saya. Harusnya kalau tau kamu tidak bisa hadir di kelas saya, hubungi saya dan ijin dengan saya. Bukannya malah menitipkan absen dengan teman kamu. Kamu pikir saya tidak tau?" lanjutnya mengomeli Aisyah.
Aisyah semakin mengerucutkan bibirnya karena jurus drama ala ala Korea nya tidak berfungsi untuk Abi. Ia pun memikirkan jurus lain agar bisa terbebas dari hukuman Abi yang katanya di luar Nurul.
"Kamu harus mendapat hukuman dari saya, buat makalah tentang upaya masyarakat Palestina bangkit setelah di serang negara Israel."
Aisyah menganga mendengar hukuman yang harus ia terima. Apa tadi katanya? Upaya masyarakat Palestina?
'Hello! Apa hubungannya jurusan manjemen bisnis dengan perang antar negara? Masyarakat Palestina pula. Oh my God!'
'Fosfor mana fosfor? Biar gue bom sekalian nih orang.'
...****************...
Tiga hari sudah berlalu, tenggat waktu untuk menyelesaikan tugas yang diberikan pada Aisyah sebagai hukuman pun hampir habis. Besok pagi ia harus menyerahkan makalah itu pada dosennya.
Saat ini Aisyah sedang berada di dalam kamar kostnya, ia sedang fokus menyelesaikan tugas yang di berikan oleh sang dosen. Hari ini dia libur dari kerja part-time nya, dan sudah tiga jam Aisyah berada di depan laptop. Namun, makalah tersebut belum selesai juga.
"Aakh! Lama-lama gue bom juga nih si dosen killer. Ngasih hukuman nggak kira-kira, ya kali gue harus ke Palestina terus gue tanyain satu-satu masyarakat di sana. Bukannya selesai tugas gue, yang ada malah gue mokat duluan di sana kena bom Israel." Aisyah menggerutu sambil mengacak-acak rambutnya. Kepalanya sudah hampir pecah memikirnya deadline yang harus di kejar, sementara tugasnya belum selesai.
"Siapa yang mokat?" Tiba-tiba Shella datang dan bertanya membuat Aisyah terkejut.
"Lo tuh bisa gak sih, kalo datang itu gak usah ngagetin," sungut Aisyah kesal.
"Nggak bisa. Soalnya gue seneng banget bikin lo kaget."
"Sialan lo." Aisyah melempar salah satu bukunya ke arah Shella. Namun tak kena. "Ngapain lo ke kost-an gue?" Aisyah kembali fokus pada laptopnya.
"Kenapa? Nggak seneng banget kayaknya lo."
"Serah lo deh, yang penting lo jangan ganggu gue."
Setelah obrolan singkat yang lebih mirip perdebatan itu, Aisyah pun kembali fokus menyelesaikan tugas makalahnya, sedangkan Shella fokus pada drama Korea yang ia tonton di ponselnya.
...****************...
Tok ... Tok ... Tok
"Masuk!"
Suara ketukan pintu mengalihkan perhatian Abi pada setumpuk tugas para mahasiswanya. Pintu ruangannya terbuka dan menampilkan Aisyah yang menyembulkan sedikit kepalanya sambil tersenyum manis. Sementara itu, Abi kembali fokus pada pekerjaannya saat tahu siapa yang mengetuk pintu.
"Pagi pak Abi! Boleh saya masuk pak?"
"Hmm!" Abi hanya berdeham menjawab sapaan Aisyah.
"Saya mau menyerahkan tugas makalah yang kemarin," ucapnya setelah seluruh badan masuk ke dalam ruangan.
"Letakkan saja di situ," tunjuk Abi pada meja kerjanya tanpa menatap Aisyah.
Aisyah berjalan mendekati meja dan meletakkan tugasnya. Satu menit ... dua menit, Aisyah berdiri membuat Abi sedikit terganggu karenanya. Lelaki itu mendongak dan menatap heran pada mahasiswi nya tersebut.
"Ngapain kamu masih berdiri di situ?"
"Itu tugas saya nggak bapak periksa dulu, siapa tau ada yang salah."
"Nggak perlu, lagian makalah kamu itu tidak ada sangkut pautnya dengan mata kuliah yang saya ajarkan," kata Abi dengan entengnya.
Aisyah membuka lebar mulutnya tak percaya dengan apa yang ia dengar, dan sudah pasti hal itu membuat Aisyah geram, dia sudah mati-matian bergadang mengerjakan makalah yang tak masuk akal tersebut. Dan sekarang dosennya itu mengatakan makalah yang ia buat tak ada sangkut pautnya dengan mata kuliah yang diajarkannya.
"Bapak ngerjain saya ya?" tanya nya yang mulai tersulut emosi.
"Buat apa saya ngerjain kamu."
"Terus itu," tunjuk Aisyah pada makalahnya. "Kenapa bapak suruh saya buat makalah yang tidak masuk akal seperti itu." Aisyah benar-benar kesal dibuatnya.
"Ya suka-suka saya lah. Dosennya di sini kan saya, bukan kamu."
Aisyah benar-benar tak habis pikir dengan dosen yang satu ini. Ingin rasanya ia memasukkan lelaki resek yang ada dihadapannya ini ke dalam kardus lalu mengirimkannya ke Palestina.
"Ngapain masih berdiri di situ. Keluar!"
Bukannya keluar, Aisyah malah menatap Abi dengan penuh kebencian. Kesabarannya sudah mulai menipis, setipis tisu yang di belah sepuluh.
"Mau saya tambahi lagi tugas buat kamu?" sindir Abi karena Aisyah tak kunjung pergi dari ruangannya.
"Nggak! Makasih!" Dengan sambil menghentakkan kakinya, Aisyah berjalan keluar dari ruangan Abimanyu.
...****************...
"Kamu kok jutek gitu sih muka nya? Kenapa lagi?"
"Aku tuh lagi kesel banget tau nggak sih yank," adu nya pada sang kekasih, Reno.
"Pasti sama dosen kamu itu kan?" tebak Reno tepat sasaran. Pasalnya, Reno sudah sering mendengar kekasihnya itu mengeluhkan tentang dosennya, bahkan ia sampai bosan mendengarnya. "Kamu tuh kenapa lagi sih, emang nggak bosen apa cari masalah terus sama dosen. Nggak takut kamu nanti di persulit saat mengerjakan skripsi. Dengar-dengar dia dosen pembimbing kamu kan?" Sepertinya Reno sudah mulai jengah dengan masalah yang sedang dihadapi oleh kekasihnya itu.
"Aku tuh nggak pernah cari masalah ya sama dia," ketus Aisyah. Ia tak terima jika dikatakan selalu mencari masalah dengan dosen yang menurutnya menyebalkan itu. "Dia nya aja yang sensian, suka marah-marah nggak jelas kayak emak-emak komplek yang punya anak sepuluh."
Aisyah kesal, sangat kesal. Maksud hati mengadu pada sang kekasih agar dapat di hibur. Tapi yang terjadi malah sebaliknya, ia jadi semakin kesal.
"Hai!" Seorang wanita cantik, berjalan menghampiri mereka berdua.
"Ngapain lo duduk di sebelah cowok gue!" hardik Aisyah. Ia tak suka melihat kedatangan Maya, musuh bebuyutannya sejak hari pertama masuk kuliah.
"Ya suka-suka gue lah mau duduk di mana, emangnya nih kantin punya bapak lo?" balas Maya memancing emosi Aisyah.
"Kalo iya emang kenapa?"
"Dih, nggak peduli juga gue. Mau gue duduk dimana ya terserah gue lah."
"Ya tapi nggak di sebelah cowok gue juga. Lagian masih banyak noh tempat duduk yang kosong." Aisyah menunjuk beberapa bangku kosong. Karena memang kondisi kantin saat ini tidak terlalu ramai.
"Baperan amat sih lo, cowok lo aja nggak masalah gue duduk di sini. Ya kan Ren?" ucapnya sambil memegang tangan Reno. Ia sengaja membuat Aisyah cemburu.
"Ish. Nggak usah pegang-pegang tangan cowok gue juga kali." Dengan kasar Aisyah melepaskan tangan Maya dari kekasihnya.
"Udah dong yank, jangan buat keributan. Malu di lihat yang lain." Reno menegur Aisyah membuat gadis itu semakin kesal.
"Yang buat keributan itu dia, jadi harusnya kamu tegur dia dong. Kamu tuh sama aja kayak pak Abi. Ngeselin tau nggak!"
Dengan perasaan kesal, Aisyah pergi meninggalkan Reno dan Maya. Reno tak bisa berbuat apa-apa, ia hanya menatap kepergian kekasihnya itu. Sementara Maya, gadis itu tersenyum penuh kemenangan karena berhasil membuat musuhnya itu kesal.
...****************...
Kekesalan yang Aisyah rasakan tak kunjung hilang, ia pun melampiaskannya dengan makan. Seperti saat ini, Aisyah mengajak Shella makan di warung bakso favoritnya. Ia memesan bakso urat, tak lupa ia tambahkan saus dan ekstra sambal.
"Itu kuah bakso apa lautan cabe sih, merah banget warnanya."
"Lo kayak nggak pernah lihat gue makan bakso aja. Lo tau sendiri kan kalo gue ini pecinta makanan pedas. Apalagi kalo lagi kesal kayak sekarang ini. Lagian nih ya, makan bakso kalo nggak pedas itu nggak nikmat, emangnya kayak Lo makan bakso tapi kuahnya bening begitu. Apa rasanya coba," tutur Aisyah panjang lebar.
"Lo nggak takut nanti perut Lo terbakar?" Shella sampai bergidik ngeri melihatnya. Aisyah yang makan pedas tapi Shella yang merasa perutnya terbakar.
"Gue cuma makan bakso, bukan menelan bara api," katanya mengabaikan kekhawatiran Shella.
"Terserah Lo deh." Sheila mengabaikan Aisyah yang tampak biasa saja menikmati bakso super pedas itu. Berbeda dengan Aisyah, Shella justru tidak suka dengan makanan pedas. Bagi Shella, makan pedas sama saja dengan menyiksa diri, dan hal itu yang paling tidak dia sukai.
...****************...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!