NovelToon NovelToon

Turun Ranjang (Sang Pengganti)

1. Bab 1

Hiasan bunga yang indah memenuhi dekorasi. Hiasan lampu menambah keindahan dekorasi pernikahan. Pernikahan yang di dambakan oleh beberapa wanita dalam acara sakral tersebut.

Seorang wanita muda ikut sibuk mengatur tempat duduk serta mengecek ulang persiapan pernikahan yang besok akan dilaksanakan. Senyuman kebahagiaan tergurat di wajahnya. "Yang merah itu ditaruh sana aja!" katanya mengatur agar tempat itu menjadi indah.

"Lun, kamu istirahat aja! Kan udah ada W.O. Jadi kamu nggak perlu repot kayak gini!" kata seorang wanita paruh baya.

"Aku udah nggak sabar lihat kakak menikah, ma." jawab Laluna Azzahra, atau kerab dipanggil Luna.

Anita tersenyum senang melihat betapa antusiasnya Luna terhadap pernikahan kakaknya. Anita, seorang wanita paruh baya. Ia merupakan janda dengan dua anak perempuan. Sejak suaminya meninggal beberapa tahun yang lalu. Hidupnya mulai susah, sehingga anak bungsunya harus rela bekerja sembari kuliah untuk membiayai dirinya sampai lulus. Sayangnya, anak pertamanya memiliki pikiran berbeda. Meskipun ia lulusan S1 dengan nilai bagus. Namun anak pertamanya yang bernama Lalita Anggraini, atau sapaan akrabnya Lita. Dia tidak mau mencari pekerjaan karena menurutnya mencari pekerjaan itu susah. Ia juga kerap mengeluh dengan keadaannya setelah papanya meninggal.

Beruntung ada sebuah keluarga kaya raya yang telah berjanji kepada mendiang ayahnya untuk menikahkan anaknya dengan Lita. Sehingga itu semakin membuat Lita menjadi pemalas. Alasan keluarga kaya tersebut menikahkan anaknya dengan Lita. Karena hutang budi terhadap Hendra, papanya Lita.

Laluna takjub dengan dekorasi pernikahan kakaknya. Rumah yang kecil dan jelek bisa di sulap menjadi tempat yang begitu indah, layaknya taman bunga yang indah.

"Tapi setelah kakak menikah, kita hanya akan tinggal berdua." ucap Luna dengan sedih. Ia sedih karena akan pisah rumah dengan kakaknya.

"Tapi kakak kamu akan bawa mama ikut sama dia. Mama juga nggak tega tinggalin ia sendiri. Kamu nggak apa kan nak tinggal sendiri?" wajah Luna nampak begitu sedih. Meskipun ia sudah terbiasa dengan perilaku seperti itu. Namun hatinya tetap saja merasa sedih.

Melihat wajah sedih Luna, Anita segera memeluknya. "Kamu tahu kakak kamu seperti apa kan? Dia tidak semandiri kamu, jadi mama harap kamu maklum." ucap Anita.

Senyum pahit tergores diwajah Luna. Terkadang, tersebit sebuah pertanyaan di dalam hati. Apakah jika ia menjadi pemalas seperti kakaknya, mamanya akan mengkhawatirkan dia juga.

"Ya udah kamu istirahat, biar besok fresh saat kakak kamu menikah!" Anita menepuk pundak Luna, kemudian ia meninggal Luna yang masih terdiam di tempat. Sampai mamanya tak terlihat, wajah Luna masih saja muram.

Sebenarnya ia kecewa dengan sikap pilih kasih mamanya. Ia selalu merasa mamanya tidak pernah mempedulikan dirinya. Yang ada dimata mamanya hanyalah kakaknya.

"Hah.." Luna mulai menghela nafas.

"Siapa suruh kamu jadi seorang yang mandiri." gumamnya seorang diri. Padahal alasan kenapa dia bekerja karena ia tak ingin menyusahkan mamanya yang seorang janda.**

Pagi harinya, matahari bersinar begitu cerah. Secerah wajah Luna yang kembali sibuk menyiapkan ini itu. Ia tak ingin acara pernikahan kakaknya ada kesalahan sedikit pun. Di hari bahagia itu, Luna ingin membuat kenangan yang indah untuk kakaknya. Apalagi kakaknya menikah dengan seorang lelaki yang sudah ia kagumi sejak kecil.

"Lun, kamu nggak harus sibuk kayak gitu!" kata Lita. Ia melihat adiknya yang begitu sangat antusias dengan pernikahannya.

"Kakak? Nggak kok kak, aku hanya nggak sabar aja pengen cepet-cepet lihat kakak nikah sama kak Ryan.

Lita tersenyum, ia memeluk adiknya dengan erat. Hubungan keduanya memang sangat baik. Mereka sangat akrab dan kompak sejak dari kecil. Hanya saja karakter keduanya sangatlah berbeda.

Lita sosok wanita yang tidak mau bersusah payah. Sedangkan Luna sosok wanita pekerja keras. Karena tidak ingin menyusahkan mamanya, Luna memilih untuk bekerja sembari kuliah.

"Besok, kakak mau bawa mama ikut kakak. Kamu nggak apa kan?" seketika wajah Luna berubah. Namun, ia masih bisa untuk tersenyum.

"Nggak apa kok kak."

"Maafin kakak. Kakak nggak bisa ajak kamu. Kakak takut Ryan nggak akan setuju. Kalau mama kan, dia nggak akan mungkin menolak mertuanya kan?" imbuh Lita. Ia menjelaskan alasan kenapa dia tidak bisa mengajak adiknya tinggal bersama.

"Iya kak. Aku paham kok." jawab Luna sembari tersenyum. Meskipun ia nampak kecewa tapi Luna bisa menutupinya dengan dengan baik. Atau mungkin Lita yang tidak peduli dengan kekecewaan adiknya.

"Makasih ya Lun. Kalau gitu, kakak lanjut dandan dulu ya!" pamit Lita. Ia ingin segera menyelesaikan riasannya. Ia tak sabar menjadi seorang pengantin. Menjadi bagian dari keluarga Dewangga. Salah satu keluarga yang cukup terpandang. Dan salah satu keluarga terkaya.

**Kamar Rias**

Senyuman terus mengembang diwajahnya. Aura kebahagiaan terus terpancar dari sorot matanya. Ia semakin tak sabar untuk melaksanakan pernikahan tersebut. Bertahun-tahun ia mengagumi sosok lelaki yang akan resmi menjadi suaminya. Tentu saja kebahagiaan itu tak bisa ia ungkapkan dengan kata.

"Mbak Lita cantik banget.." puji tukang make up yang merias Lita.

Lita tidak menjawab, ia hanya terus tersenyum sembari menatap dirinya di cermin yang ada di depannya. Lita begitu percaya diri bahwa ia akan membuat semua orang kagum dengan kecantikannya, termasuk calon suaminya. Lita yakin ia akan mendapat pujian dari semua orang yang merasa takjub dengan kecantikannya.

"Kamu nggak akan pernah menyesal menikah denganku Ryan. Walau pernikahan kita diawali dengan kejadian yang tidak mengenakan." gumam Lita pelan. Ia kembali tersenyum melihat betapa cantiknya dia saat ini.

"Duh cantiknya anak mama.." puji Anita yang juga kagum dengan kecantikan anak perempuan pertamanya.

"Kan keturunan mama.." Lita tersipu malu saat mamanya memuji kecantikannya. Ia memeluk mamanya dengan manja.

"Mama masih kayak mimpi, kamu akan menikah. Rasanya baru kemarin kamu mama gendong. Kayak baru kemarin kamu masih rebutan mainan dengan adik kamu." ucap Anita dengan mata berkaca-kaca. Ia tak menyangka jika waktu cepat sekali berlalu.

"Jika seandainya papa masih hidup.." Anita tak bisa menahan tangisannya. Ia selalu rindu dengan sosok lelaki yang telah bersama lebih dari 20 tahun tersebut.

"Ma, kepergian papa itu sudah takdir." Lita memeluk mamanya yang masih menangis.

("Dan aku nggak akan bisa menikah dengan lelaki yang aku sukai hari ini.") kata Lita dalam hati.

Luna yang baru masuk ke kamar rias itu ikutan sedih. Ia mendekati mama dan kakaknya, kemudian ikut berpelukan. Sama seperti mama dan kakaknya, Luna juga sangat merindukan sosok papanya. "Kita jangan sedih dong! Hari ini kan hari bahagia kakak. Aku yakin papa melihat kita diatas sana dengan bahagia juga." kata Luna.

Ketiganya berpelukan dengan lebih erat. Mereka saling menguatkan satu sama lain.

2. Bab 2

"Pengantin pria datang.."

Lita beserta mama dan adiknya segera bersiap-siap. Hatinya merasa sangat bahagia karena dia akan segera menikahi lelaki yang selama ini ia suka. Sekali lagi ia merapikan riasan wajahnya. Senyumannya kembali tersungging. Ia merasa sangat cantik dan cocok dengan pakaian pengantinnya. "Hari ini akhirnya kamu menjadi milikku, Ryan." gumamnya sembari tersenyum kecil.

Seorang lelaki bertubuh tinggi terlihat begitu tampan menggunakan pakaian formal dengan jas dan dasi kupu-kupunya. Wajahnya yang tegas membuat penampilannya begitu menawan. Di sampingnya seorang lelaki paruh baya berjalan dengan wajah bahagia. Ia adalah Dewangga, papa dari si pengantin pria.

Pasalnya, pernikahan itu merupakan dari Dewangga. Ia telah berjanji kepada Hendra, sahabatnya, yang merupakan papa dari Lita, sang pengantin wanita untuk menikahkan anaknya dengan anak perempuan Hendra. Karena ada suatu hal yang membuat Dewangga harus membuat janji itu.

Di samping Dewangga ada Sinta, istri keduanya, juga mama tiri Ryan. Ia juga nampak bahagia dengan pernikahan tersebut. Biar bagaimanapun, ia telah merawat Ryan dari kecil. Tentu saja ia bahagia dengan pernikahan tersebut.

Jujur saja, Luna sempat terpukau melihat ketampanan Ryan. Namun sesaat saja ia sudah tersadar. Segera ia menepuk kepalanya sendiri. "Kamu mikir apa sih Luna? Dia suami kakak kamu, ingat itu!" gumamnya seorang diri.

Luna segera mengalihkan pandangannya. Hari ini adalah hari bahagia kakaknya. Ia tak mau merusak itu. "Hai om.." Luna menyapa Dewangga dengan mencium tangannya. Ia melakukan hal tersebut kepada orang yang lebih tua. Tak lupa ia juga mencium tangan mama tiri Ryan. "Hallo tante.." sapanya.

"Hai Lun, kamu sehat?" tanya Dewangga. Ia juga sudah lama kenal dengan Luna.

"Sehat om.. Om sendiri?"

"Om juga sehat."

"Jaga kesehatan ya om!"

"Makasih ya nak." Dewangga menyentuh wajah Luna dengan lembut.

Sementara Ryan hanya melirik tajam ke arah Luna. Ia tak tahu apa yang membuat Ryan seperti membencinya. Padahal waktu kecil mereka cukup dekat.

Acara pernikahan tersebut berjalan dengan cukup meriah dan lancar. Namun wajah Ryan masih saja nampak dingin. Dia seperti tidak suka dengan pernikahannya itu.

****

Malam hari.

"Oh ya aku paham." kata Ryan dengan seseorang di seberang telepon.

Ia segera bersiap dan hendak pergi. "Kamu mau kemana mas?" tanya Lita saat melihat suaminya hendak pergi.

"Aku ada urusan. Kamu ke apartemen sendiri aja sama mama kamu!" kata Ryan kemudian berlalu begitu saja. Dia tidak peduli dengan malam pertamanya, sepertinya urusannya juga sangat mendesak.

Lita hanya bisa menghela nafas melihat kepergiaan suaminya. Ia pun segera bersiap untuk pindah ke apartemen yang telah disiapkan oleh Dewangga sebagai hadiah pernikahannya.

Luna ikut membantu kakak dan mamanya beberes. Meskipun ia tidak diajak untuk tinggal bersama kakaknya. Namun Luna tak merasa sakit hati sama sekali. Ia menerima dan menghargai keputusan kakaknya.

"Lun, kamu baik-baik ya dirumah!" kata Anita, ia sebenarnya tidak tega meninggalkan Luna sendiri di rumah.

"Iya ma.. Mama dan kakak jaga kesehatan ya!" kata Luna dengan besar hati. Mungkin jika orang lain, ia tak akan sanggup mengatakan hal baik tersebut.

"Kalau ada apa-apa kasih tahu mama ya!" kata Anita masih berat meninggalkan Luna.

"Ayo ma buruan!" Lita mendesaknya agar segera masuk ke mobil. Dengan enggan Anita melepaskan tangan Luna.

"Udah masuk.. Masuk.." kata Luna. Ia tak ingin menjadi beban untuk mamanya.

Perlahan mobil honda jazz berwarna merah itu melaju meninggalkan rumah tersebut. Luna menatap kepergian kakak dan mamanya dengan hati yang besar. "Huh.." terdengar ia menghela nafas.

"Semoga kalian sehat selalu.." gumamnya. Namun ada yang membuat hatinya merasa gelisah. Entah apa itu, mungkin karena ia belum terbiasa berpisah dengan mama dan kakaknya.

Luna memegangi dadanya. Rasa tak enak semakin membuatnya gelisah. Ia pun kemudian masuk ke dalam rumah. Agar menghindari rasa gelisahnya, Luna memilih untuk beberes, membersihkan rumah sisa acara pernikahan kakaknya.

Kringgg.. Kringgg..

Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Luna sempat mengerutkan keningnya. Ia tidak tahu nomor siapa yang memanggilnya. "Ya?"

Mata Luna terbelalak, ia seperti tak percaya dengan apa yang ia dengar. Tiba-tiba ia kembali panik. Segera ia mematikan telepon dan bergegas keluar rumah.

Beberapa waktu yang lalu.

Lita merasa mobilnya ada yang aneh. Rem yang ia injak tak berfungsi. Lita dan mamanya menjadi panik. Ia pun lepas kendali dan membanting stir ke arah pembatas jalan.

Derrr..

Mobil itu menabrak dengan begitu kencang kemudian mobil terbalik. "Akh.." kedua wanita di dalam mobil berteriak. Akan tetapi karena guncangan yang begitu keras membuat keduanya tak sadarkan diri.

Saat Luna sampai di lokasi kecelakaan. Kakak dan mamanya sudah dibawa ambulans menuju rumah sakit terdekat. Dengan perasaan cemas Luna segera menuju rumah sakit terdekat menggunakan motor matic bututnya.

Namun naas tak bisa dihindari. Kakak dan mamanya meninggal dunia sebelum mendapat pertolongan. Tentu saja itu membuat Luna tak bisa menahan dirinya. Ia menangis dan membuatnya pingsan.

Setelah pingsan beberapa jam. Luna pun mulai sadar. Ia bingung kenapa ia berada di kamar rawat. Ia melihat Anabella, sahabatnya berada di ruangan tersebut. "An? Mamaku dimana? Kakakku dimana?" Luna mulai teringat kejadian semalam.

"Kamu tenang dulu! Suami kakak kamu sudah urus semuanya." kata Anabella menenangkan Luna yang masih syok.

"Aku harus datang ke pemakaman mereka. Aku harus datang." Luna memaksa turun dari ranjang. Ia ingin mengantar mama dan kakaknya untuk yang terakhir kalinya di peristirahatan yang terakhir.

Anabella tidak menahan Luna. Dia sangat tahu bagaimana perasaan Luna saat ini. Ia menemani Luna untuk menghadiri pemakaman mama dan kakaknya Luna.

Sampai di pemakaman, Luna tidak bisa menahan dirinya. Ia menangis begitu menyedihkan. Bahkan ia sempat membuat prosesi pemakaman tertunda. Luna terus memeluk jenazah mama dan kakaknya.

"Lun, kamu harus ikhlas!" Anabella memeluk Luna. Ia meminta Luna agar tidak menghambat proses pemakaman.

Anabella ikut menangis melihat Luna yang begitu menyedihkan. "Aku nggak punya siapa-siapa lagi, An.." ucap Luna yang semakin membuat Anabella menangis.

"Masih ada aku.." ucap Anabella dengan suara serak.

"Lun, kamu nggak sendiri, masih ada om.." Dewangga tak kalah sedih. Ia mendekati Luna kemudian memeluknya.

Dewangga merasa kasihan dengan Luna. Ia telah kehilangan kakak dan mamanya dalam waktu bersamaan. Padahal baru kemarin mereka tertawa bahagia atas pernikahan Lita dengan Ryan. Tapi takdir Tuhan berkata lain.

Sedangkan Ryan tidak berekspresi apa-apa. Dia hanya terus menatap pusara istrinya dengan wajah dingin. Entah apa yang ia pikirkan. Namun, ia merasa sedih ketika melihat Luna yang menangis.

Di pemakaman itu juga nampak Rose, sahabat kakaknya. Ia juga terlihat begitu kehilangan. Sesekali ia mengusap air matanya. Duka yang mendalam juga ia rasakan.

3. Bab 3

Satu bulan kemudian.

Luna masih merasa kehilangan dengan kepergian kakak dan mamanya. Ia masih sering merasa sedih. Belum lagi tuduhan dari beberapa orang atas insiden kecelakaan yang mengakibatkan kakak dan mamanya meninggal. Tentu saja itu mempengaruhi kuliahnya. Luna bahkan hampir menyerah pada kuliahnya. Namun, tinggal beberapa bulan lagi ia sudah akan lulus. Mengingat janjinya kepada mamanya, Luna kembali menatap masa depannya.

Meskipun banyak orang yang menuduhnya telah merencanakan kecelakaan kakak dan mamanya. Namun masih ada orang yang percaya bahwa dia tidak mungkin melakukan hal semacam itu.

Anabella memeluk Luna. "Jangan mikir yang aneh-aneh!" katanya.

"Menurut kamu, apa aku mungkin melakukan hal konyol itu?" tanya Luna kepada Anabella.

"Nggak lah. Aku kenal kamu, kamu nggak akan pernah lakuin hal itu. Jangan dipikirin lagi ya!" Anabella semakin erat memeluk Luna.

"Makasih ya An.."

Perkenalan Anabella dengan Luna cukup berkesan. Saat itu Anabella melihat Luna, seorang gadis yang baru saja menjadi mahasiswi, ia bertekad mencari pekerjaan sampingan untuk membantu orang tuanya. Pada pandangan pertama, Anabella sudah merasa tertarik dengan semangat Luna. Meskipun Anabella seusia kakaknya Luna, namun ia bisa menjadi teman dan kakak yang baik untuk Luna.

Luna menjalani kehidupan seperti biasa. Ia kuliah sembari bekerja. Namun kini, rumahnya terasa sepi. Hanya tersisa kenangan demi kenangan. Luna masih sering berpikir jika kakak dan kedua orang tuanya masih hidup. Rasanya baru kemarin mereka masih bersendau gurau. Masih makan bersama dan bercengkerama bersama.

Air mata Luna kembali menetes. Ia masih belum percaya jika ia kini hidup seorang diri. Luna mengambil foto keluarga yang ada di ruang tamu. "Kenapa kalian ninggalin aku sendiri? Kenapa kalian nggak ajak aku? Kenapa kalian selalu memperlakukan aku seperti ini?" air matanya sudah tak bisa terbendung.

Dulu Luna juga sering ditinggal sendiri. Tapi waktu itu kakak dan kedua orang tuanya masih hidup. Jadi dia masih bisa melihat mereka. Namun kini, mereka sudah pergi jauh meninggalkan dunia ini. "Pa, ma, kak, aku kangen.." lirihnya. Ia kembali menangis sambil memeluk foto tersebut.

"Ternyata, rindu yang paling menyakitkan ialah rindu kepada mereka yang sudah tidak lagi bisa kita lihat, sudah tidak bisa lagi kita sentuh." Luna semakin tersedu.

*******

Tiba-tiba Dewangga jatuh sakit. Ia harus dilarikan ke rumah sakit. Tentu saja keadaan Dewangga itu membuat Ryan gelisah. Sepanjang hari ia menunggu papanya bangun. Sudah hampir seminggu Dewangga tak sadarkan diri.

"Pak Ryan, ada yang ingin aku sampaikan mengenai permintaan pak Dewangga sebelum jatuh sakit." kata pengacara Dewangga.

"Apa papa sudah menulis wasiat?" pengacara itu menganggukan kepalanya. Kemudian ia menyerahkan berkas yang merupakan wasiat dari Dewangga yang Dewangga tulis sendiri.

Ryan membaca wasiat itu. Namun matanya terbelalak. Ada sebuah permintaan papanya yang membuatnya tidak senang. "Bisa nggak kalau poin ini dihapus?" Ryan menunjuk sebuah poin yang menurutnya tidak masuk akal.

"Bisa, tapi pak Ryan tidak akan mendapat apapun dari warisan pak Dewangga." kata sang pengacara.

"Kalau bapak ingin warisan pak Dewangga jatuh ke ibu Sinta, silahkan abaikan poin ini!" imbuh sang pengacara.

Ryan mulai berpikir keras. Ia menjadi kesal karena. "Kenapa dia tidak membiarkan aku hidup tenang sih?" gumam Ryan seorang diri.

Setelah membaca surat wasiat dari papanya. Ryan mulai berpikir keras lagi. Ia memikirkan bagaimana memenuhi permintaan papanya itu.

Ryan menemui Luna di tempat kerjanya. "Aku mau bicara sama kamu!" kata Ryan masih bersikap dingin.

Luna mengikuti Ryan. Ia duduk bersebrangan dengan Ryan. "Ada apa? Kamu juga mau nyalahin aku atas kematian kakak dan mamaku?" tanya Luna dengan ketus.

"Papaku sakit."

"Om Dewangga sakit apa?" Luna nampak begitu khawatir.

"Parah, papa sakit parah. Tapi, sebelumnya ia meminta aku agar menikahi kamu." Ryan tidak berbasa basi. Ia langsung bicara ke intinya.

Tentu saja perkataan Ryan itu membuat Luna terkejut. Mulutnya mangap saat mendengar perkataan Ryan tersebut. "Aku nggak mau. Gila apa ya, kamu mantan suami kakakku. Nggak mungkin aku nikahi kamu." dengan cepat Luna menolak. Selain dia tidak menyukai Ryan. Luna juga memikirkan pandangan orang terhadapnya.

"Aku nggak butuh jawaban kamu. Lagipula kamu harus mempertanggungjawabkan atas kematian kakak kamu." kata Ryan yang begitu sangat melukai hati Luna.

"Karena kamu, aku sekarang menjadi seorang duda." imbuh Ryan.

Brakk..

Luna menggebrak meja. Ia marah karena tuduhan itu. "Aku nggak pernah celakai kakak aku!" serunya dengan kesal.

"Kenapa kamu bisa selamat? Kenapa cuma Lita dan mama yang ada di mobil itu?"

"Ak.. Aku.."

"Udah cukup! Aku nggak butuh alasan kamu. Aku kesini cuma kasih tahu kamu. Kalau kamu masih punya hati nurani, kamu pasti akan penuhi permintaan papaku, sekaligus mempertanggungjawabkan kematian kakak kamu." Luna sampai terdiam. Ia tak percaya jika Ryan akan menuduhnya seperti itu.

Ryan pun segera beranjak. "Besok pagi jam 10, datang ke rumah sakit! Kita menikah di depan papaku. Kita juga bisa rahasiain masalah pernikahan ini!" kata Ryan sebelum ia meninggalkan tempat tersebut.

"Hufff.." Brakkk..

Luna memukul meja karena kesal. Ia bahkan sama sekali tidak bisa melawan Ryan. "Hah.." Luna menyangga kepalanya. Ia berusaha untuk meredam amarahnya.

"Kenapa semua orang mikir aku yang celakai kakak dan mama aku? Mereka tak tahu seberapa hancurnya aku saat menerima kabar itu." gumamnya seorang diri.

Luna kembali merasa tertekan. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Luna kemudian memikirkan kembali akan kebaikan Dewangga kepada dirinya dan keluarganya. Mendengar Dewangga sakit parah, hati Luna menjadi sedih.

Ryan kembali ke kantor. Ia meminta Dito, assistennya untuk menyiapkan pernikahannya besok. Ia sangat yakin Luna akan setuju menikah dengannya. Ia tahu bahwa Luna merasa bersalah kepada kakaknya. "Jam 10 di rumah sakit! Siapin semua dan jaga rahasia pernikahan ini!" pinta Ryan.

"Siap laksanakan." jawab Dito.

Selain keluarga, Ryan tak ingin orang lain tahu mengenai pernikahan keduanya. Apalagi istrinya adalah adik kandung dari istrinya sebelumnya.

"Setidaknya warisan papa aman dari wanita rubah tua itu." gumam Ryan.

Ia sama sekali tidak mau, semua harta warisan papanya akan jatuh ke tangan mama tirinya. Sejak kecil, ia sangat tidak menyukai wanita itu. Ryan selalu merasa jika mama tirinya itu memiliki niat tak baik terhadap papanya.

"Ryan, aku bawa makan siang buat kamu." Rose masuk ke ruangan Ryan dengan senang.

Setelah kematian Lita, Rose mulai terang-terangan mendekati Ryan. Ia memang menyukai Ryan sejak dulu. "Taruh aja disitu, aku udah makan tadi." jawab Ryan. Meskipun Ryan nampak tak senang. Tapi ia masih bersikap baik ke Rose.

"Besok aku mau nikah sama Luna." kata Ryan.

Tentu saja berita itu membuat Rose terbelalak tak percaya. Ia merasa kesal karena Ryan kembali menikahi orang lain.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!