NovelToon NovelToon

Fisherman'S Book

ALVAREZ KECIL

Namaku Alvarez. Aku tinggal di sebuah kampung kecil. Masa kecilku tidak seindah anak-anak lainnya. Ibuku meninggal saat aku berusia sembilan tahun, meninggalkanku dalam kesedihan yang mendalam. Namun, kesedihan itu belum seberapa dibandingkan mimpi buruk yang datang setelahnya. Tak lama setelah kepergian ibu, ayah menikah lagi dengan seorang wanita yang mengubah hidupku menjadi neraka.

Wanita itu, Tirsa, membawa serta anaknya, Faris, yang sebaya denganku. Di hadapan ayah, mereka bersikap manis, seolah-olah keluarga yang penuh kasih sayang. Tapi begitu ayah pergi untuk bekerja di luar kota, wajah asli mereka muncul. Mereka memperlakukanku seperti budak, menyiksa dan menghina setiap gerak-gerikku. Ketika ayah mendapat pekerjaan di luar negeri dan tidak pulang selama sebulan penuh, penderitaanku semakin menjadi.

“Ibu, tolong berhenti memukul saya! Saya janji akan mencuci baju Faris! Tolong...”

Aku berteriak sekuat tenaga, tubuhku bergetar menahan sakit. Tapi Tirsa hanya menatapku dengan tatapan penuh kebencian. Gagang sapu di tangannya terus menghantam punggung dan pahaku. Aku merintih, tapi itu tidak menghentikannya. Hingga akhirnya, tubuhku tak sanggup lagi menahan rasa sakit. Pandanganku mengabur, dan aku jatuh ke lantai kamar mandi yang dingin, kehilangan kesadaran.

Saat aku terbangun, tubuhku penuh lebam. Aku menyeret langkah menuju kamar dan mulai mengobati luka-lukaku. Air mata mengalir tanpa bisa kuhentikan. Dalam keheningan, aku merindukan satu-satunya orang yang pernah mencintaiku tanpa syarat.

“Ibu... Al sangat rindu... Kalau saja Al bisa menyusul Ibu... Tapi Al harus kuat... seperti pesan Ibu...”

Aku menangis hingga kelelahan membawaku ke dalam tidur yang singkat.

Keesokan harinya, meski tubuhku masih terasa nyeri, aku tetap bangun lebih awal untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Setelah sekolah, aku pergi ke dermaga menangkap ikan untuk dijual di pasar. Saat air laut menyentuh luka-lukaku, aku menggigit bibir menahan sakit, tapi aku harus bertahan.

Di pasar, beberapa ibu-ibu membeli ikan dariku, mungkin karena iba. Aku hanya tersenyum lemah dan mengucapkan terima kasih. Saat pulang ke rumah, neraka lain sudah menantiku.

“Woi, anak lacur! Dari mana saja kau?!”

Aku menelan ludah, mencoba menahan ketakutan. “Saya dari pasar, Nyonya...”

Mata Tirsa menyipit. “Jangan panggil aku ibu! Ibumu sudah mati, anak lacur!”

Aku mengepalkan tangan, dadaku bergetar menahan emosi. Tapi sebelum aku sempat mengatakan sesuatu, Faris muncul dengan wajah penuh luka.

“Ibu, lihat ini! Dia memukulku!”

Mataku melebar. Apa?! Aku menggeleng kuat-kuat, tapi Tirsa sudah menarik daguku dengan kasar.

“Berani-beraninya kau menyakiti anakku!”

Aku mencoba menjelaskan, tapi pukulan kembali mendarat di tubuhku. Rasa sakit semakin menyiksa, hingga akhirnya gagang sapu patah setelah menghantam betisku. Aku terjatuh, tubuhku bergetar menahan nyeri, sementara Faris tersenyum puas di belakangnya.

Saat mereka pergi ke rumah sakit untuk mengobati Faris, aku terseret ke kamar, berusaha mengobati luka-lukaku sendiri. Aku tahu, penderitaanku belum selesai.

Malamnya, dalam perjalanan ke rumah sakit, Tirsa menoleh ke arah Faris. “Jadi, siapa yang sebenarnya membuatmu babak belur?”

Faris mendesah, menyadari ibunya tidak tertipu. “Kakak kelas di sekolah. Mereka mengeroyokku.”

Tirsa tersenyum sinis. “Sudahlah, besok kita buat perhitungan.”

Faris tertawa kecil. “Oh iya, besok ulang tahun si anak lacur itu, kan? Gimana kalau kita kerjain dia?”

Tirsa menatap anaknya dengan tatapan licik. “Bukan sekadar mengerjainya. Kita singkirkan dia... selamanya.”

Faris menatap ibunya penuh tanya, tapi Tirsa hanya menyeringai. Dalam hati, mereka sudah merancang rencana kejam untukku.

---

Keesokan harinya, pagi yang seharusnya menjadi hari bahagiaku, menjadi awal tragedi. Saat aku sedang menyapu halaman, Tirsa dan Faris mendekat dengan senyum yang tak biasa.

“Selamat pagi, Al! Maafin Faris kemarin, ya. Sebagai gantinya, kami ingin mengajakmu jalan-jalan ke pantai. Kebetulan, ini ulang tahunmu, kan?”

Aku menatap mereka curiga. Biasanya, mereka hanya memberiku siksaan. Tapi... entah kenapa, aku ingin percaya.

“Baiklah,” jawabku ragu.

Kami naik mobil, perjalanan berlangsung cukup lama. Aku merasa ada yang aneh saat mobil terus naik ke arah tebing.

“Kenapa kita ke sini? Bukannya pantai ada di bawah?” tanyaku.

Tirsa tersenyum. “Pemandangan di sini lebih indah. Sekarang, tutup matamu. Kami punya kejutan.”

Aku menelan ludah. Ragu. Tapi akhirnya aku menuruti mereka. Aku mengambil kain yang mereka berikan dan menutup mataku. Mereka menuntunku mendekati tepi tebing.

“Sekarang, buka matamu,” suara Tirsa terdengar lembut.

Aku membuka penutup mata. Pemandangan laut terhampar luas di hadapanku, ombak menghantam tebing, angin berhembus sepoi-sepoi. Aku tersenyum, meski hatiku masih bertanya-tanya.

“Indah, kan?” bisik Tirsa.

Aku mengangguk. Tapi saat aku berbalik...

DOR!

Aku merasakan dorongan kuat di dadaku. Tubuhku kehilangan keseimbangan, dan sebelum jatuh, aku sempat melihat senyum puas di wajah Tirsa dan Faris.

“Ke... kenapa kalian melakukan ini padaku?!”

Aku berteriak. Tapi mereka hanya diam, menatapku jatuh ke dalam kehampaan. Tubuhku melayang, udara menerpa wajahku, lalu...

BYUR!

Aku menghantam air laut dari ketinggian 60 meter. Dunia menjadi gelap.

Aku tidak tahu berapa lama aku tenggelam dalam kegelapan. Tubuhku serasa melayang, terombang-ambing oleh ombak yang ganas. Kesadaran perlahan mulai memudar, tapi aku berusaha bertahan. Aku tidak bisa mati di sini. Aku tidak boleh mati di tangan mereka.

HASIL TANGKAPAN LAUT

Ketika Alvarez tenggelam di laut, dirinya berusaha berenang ke pinggir pantai, tetapi ombak yang begitu besar membuatnya kesulitan.

Di atas tebing, Tirsa berteriak meminta tolong kepada orang-orang yang lewat. Dengan akting yang luar biasa, ia menangis sejadi-jadinya. "Pak, tolong anak saya! Tadi dia bermain di tepi tebing, lalu terpeleset hingga jatuh! Tolong selamatkan anak saya, pak!"

Seorang lelaki segera menelepon tim SAR. Untuk menghindari kecurigaan suaminya, Tirsa langsung meneleponnya. "Sayang, Al jatuh dari tebing... hiks... hiks... hiks..."

Mendengar itu, ayah Alvarez terkejut. "Apa?! Al jatuh dari tebing?! Bagaimana bisa kau seceroboh ini?!"

Ia segera menutup telepon dan bergegas pulang dari luar negeri.

Sementara itu, Alvarez masih berjuang berenang ke tepi. Tiba-tiba, datang ombak yang sangat besar dan menghantamnya. Kepalanya membentur batu karang, mengeluarkan darah. Dalam hatinya, ia berkata, "Ibu, sepertinya Al akan menyusul ibu..." Sebuah senyum tipis terukir di wajahnya sebelum ia kehilangan kesadaran.

Namun, sesuatu yang aneh terjadi. Saat Alvarez mulai tenggelam ke dasar laut, kepalanya tanpa sengaja menyentuh sebuah buku yang terselip di antara batu karang. Tiba-tiba, buku itu memancarkan cahaya dan menyatu dengan dirinya. Seketika, air laut tidak lagi menyentuhnya. Ia bisa bernapas di dalam air.

Di atas tebing, orang-orang menunggu tim SAR tiba. Tirsa dan Faris duduk di dekat mobil, pura-pura menangis, tapi di dalam hati Tirsa berkata, "Walaupun tim SAR datang, anak lacur itu tidak akan selamat. Tebing ini tinggi dan ombaknya ganas."

Tak lama, tim SAR tiba dan mulai mencari Alvarez. Namun, sebelum mereka menemukan sesuatu, sekelompok lumba-lumba muncul, mengangkat tubuh Alvarez ke punggung salah satu dari mereka, lalu membawanya pergi.

Tim SAR mencari selama setengah hari tetapi tidak menemukan apa pun. Tirsa tersenyum puas. "Baguslah kalau anak lacur itu tidak ditemukan."

Hari mulai gelap. Tim SAR menghentikan pencarian dan berencana melanjutkannya esok hari. Orang-orang pun meninggalkan lokasi.

 

10 Tahun Kemudian

Kini, Alvarez telah tumbuh besar di sebuah pulau kecil dekat Desa Mosuh. Desa itu berjarak sekitar 100 meter dari pantai. Alvarez sering pergi ke sana untuk menjual hasil tangkapannya di pasar. Kini usianya sudah 20 tahun, dan ia tinggal sendirian di pulau itu.

Di pesisir pantai, Alvarez duduk termenung. Ia mengingat kembali ayahnya dan perlakuan ibu tirinya. Ia mengepalkan tangan, menahan amarah yang masih tersisa.

Tiba-tiba, seekor lumba-lumba melompat di depannya. Alvarez terkejut. "Astaga, Marshu! Mau bikin jantungku copot, ya?!"

Marshu, lumba-lumba yang pernah menyelamatkannya, tampak ingin bermain. Namun, Alvarez mengabaikannya. Tak terima dicuekin, Marshu melompat dan menyemprotkan air ke wajah Alvarez.

"Hei! Dasar lumba-lumba usil! Mau ngajak main atau ngajak berantem, hah?!" Alvarez tertawa sambil menaiki punggung Marshu.

Saat itu, Alvarez menyadari sesuatu. Ia kini memiliki kemampuan luar biasa dalam menangkap ikan.

"Hmm, kalau gini caranya, kenapa nggak sekalian beternak kerang aja ya? Nggak usah capek-capek nyari terus." Dengan ide itu, Alvarez mulai mengumpulkan kerang dan membuat tambak sederhana menggunakan kayu dan jaring.

Hari semakin malam. Suara burung camar terdengar, dan matahari mulai tenggelam. Alvarez merasa puas dengan pekerjaannya hari itu.

 

Keesokan Harinya

Alvarez berdiri di pantai tanpa mengenakan baju, memperlihatkan bekas luka di tubuhnya serta otot-ototnya yang kini kekar. Ia bersiap untuk mengecek perangkap ikan yang ia pasang kemarin.

Setelah memeriksa perangkap, ia berseru, "Wah, hasilnya lumayan nih! Bisa buat beli mesin buat perahu baru!"

Ia menaiki sampannya dan menyeberang ke Desa Mosuh. Saat tiba, para warga menyambutnya.

"Al! Tangkapannya bagus hari ini?" tanya seorang pria paruh baya.

Dengan semangat, Alvarez menjawab, "Bagus banget, Paman! Sepertinya hari ini keberuntungan sedang berpihak padaku. Mungkin besok aku bisa menang lotre!"

Pria itu tertawa. "Kalau butuh bantuan, bilang saja, ya!"

"Siap, Paman Sam! Kalau butuh utang, boleh juga, kan? Haha!"

Setelah sampai di pasar, Alvarez menjual ikannya ke penadah terbesar, Paman Jao.

"Paman Jao! Hari ini ada diskon spesial buat pelanggan setia, nih!" kata Alvarez bercanda.

Paman Jao tertawa. "Dasar kau ini, Al! Harga tetap sama, tapi aku beli semuanya."

Alvarez menerima bayaran sekitar 100 dolar. Dengan senyum puas, ia meninggalkan pasar sambil melambaikan tangan. "Terima kasih, Paman Jao! Jangan lupa traktir aku kalau kaya nanti!"

"Hati-hati di perjalanan, Al! Jangan lupa pulang ke rumah sebelum gelap!" teriak Paman Jao.

Alvarez tertawa sambil bergegas menuju toko untuk membeli mesin perahu barunya.

Di dalam hatinya, satu hal semakin jelas. Perjalanannya belum berakhir. Ia akan kembali. Dan saat hari itu tiba, semua yang pernah menyakitinya akan mendapatkan balasan.

KERANG ABALON

Setelah membeli mesin perahu di sebuah toko di pinggiran desa Mosuh, Alvarez duduk di tepi pantai, menunggu mobil pengangkut barang yang akan mengantarkan mesinnya. Sinar matahari sore mulai meredup, angin laut berembus lembut, membuat ombak bergulung dengan ritme tenang. Beberapa menit berlalu, akhirnya mobil tersebut tiba, debu-debu kecil beterbangan saat kendaraan itu berhenti.

Seorang pria bertubuh kekar turun dari mobil, membuka bak belakang, dan bersama Alvarez menurunkan mesin perahu. "Hati-hati, benda ini berat," ujar si sopir.

Alvarez terkekeh. "Tenang, aku lebih kuat dari yang kau kira."

Setelah selesai, Alvarez mengucapkan terima kasih kepada sopir itu. Karena pria tersebut merupakan karyawan toko, ia tak perlu membayar biaya pengantaran.

Dengan penuh semangat, Alvarez mengangkat mesin tersebut ke perahunya, lalu mulai memasangnya di bagian belakang. Tangannya lincah bekerja, memastikan tiap baut dan mur terpasang dengan benar. Setelah tiga puluh menit berlalu, ia akhirnya menyelesaikan pemasangan.

"Baiklah, mari kita lihat apakah kau bisa berlari di air," gumamnya sambil menyalakan mesin.

Begitu perahu mulai melaju, tiba-tiba dari dalam air muncul Marshu, lumba-lumba sahabatnya, dengan gerakan yang mengejutkan. Alvarez terlonjak kaget, hampir kehilangan keseimbangan. Marshu tampak senang melihat reaksi temannya dan mulai melompat-lompat, seolah menertawakannya.

Alvarez mendengus, menyipitkan mata ke arah sahabatnya itu. "Binatang sialan... Kau senang melihatku kaget, ya?"

Marshu kembali melompat, lalu mengeluarkan suara ceria, seakan membenarkan tuduhan Alvarez.

Setelah menguji mesinnya di laut, Alvarez menepikan perahunya di perairan dangkal dekat terumbu karang. Airnya jernih, sehingga dari atas perahu ia bisa melihat dasar laut yang dipenuhi bebatuan dan pasir. Ia menghela napas dalam-dalam, lalu mengenakan kacamata selamnya.

"Baiklah, saatnya berburu kerang," gumamnya sebelum melompat ke dalam air.

Begitu tubuhnya menyentuh air, sensasi dingin menyergap kulitnya. Ia membiarkan tubuhnya tenggelam perlahan, menggerakkan kakinya dengan lembut agar tidak mengganggu ekosistem bawah laut. Cahaya matahari menembus air, menciptakan pemandangan indah dengan bayangan ikan kecil yang berenang di antara karang.

Alvarez mulai menyelam lebih dalam, matanya tajam mengamati celah-celah batu dan pasir. Beberapa kali ia melihat kerang kecil yang umum ditemukan di sekitar perairan ini, tetapi ia mencari sesuatu yang lebih besar. Ia mengulurkan tangan, menarik satu kerang dari sela-sela batu, lalu memeriksanya.

"Hmm, ini masih terlalu kecil," gumamnya dalam hati. Dengan hati-hati, ia mengembalikan kerang itu ke tempatnya, memastikan tidak merusak habitatnya.

Ia melanjutkan pencariannya, berenang perlahan agar tidak mengusik kehidupan laut di sekitarnya. Tiba-tiba, di antara beberapa karang yang lebih besar, matanya menangkap sesuatu yang menarik—kerang berukuran jauh lebih besar dari biasanya, cangkangnya tampak kokoh dan sedikit tertutup pasir.

"Ini dia..."

Dengan sigap, ia menyelam lebih dalam dan mencoba menarik kerang itu. Namun, cangkangnya melekat erat pada batu, seolah tak mau dilepaskan. Alvarez menghela napas, naik ke permukaan untuk mengambil udara. Setelah menarik napas panjang, ia kembali menyelam.

Ia mengamati posisi kerang tersebut, lalu menggunakan kedua tangannya untuk mencengkeramnya dengan kuat. Dengan gerakan perlahan tapi pasti, ia menggoyangkan cangkang itu dari sisi ke sisi, mencoba melemahkan pegangan alami kerang pada batu. Butuh beberapa detik, tetapi akhirnya... krak! Kerang itu terlepas.

"Gotcha!" serunya dalam hati.

Ia kembali ke permukaan, mengangkat kerang besar itu ke atas perahu. Napasnya sedikit tersengal, tetapi senyumnya merekah puas.

Tak ingin berhenti di satu tangkapan, Alvarez kembali menyelam. Kali ini, ia menemukan beberapa kerang lain dengan ukuran cukup besar tersembunyi di antara pasir dan batu. Setiap kali ia menemukan satu, ia memastikan untuk tidak merusak ekosistem di sekitarnya. Ia bahkan memperhatikan beberapa jenis kerang yang berbeda, mencoba mengenali mana yang bernilai tinggi dan mana yang lebih baik dikembalikan ke laut.

Setelah sekitar satu jam berburu, ia memutuskan untuk berhenti.

"Tangkapan hari ini cukup bagus," katanya sambil melihat hasil tangkapannya di dalam ember kecil di perahu. "Ada yang bisa ku makan, ada yang bisa ku budidayakan."

Ia menyalakan mesin perahunya, lalu mulai kembali ke pulau dengan hati puas, tak menyadari bahwa salah satu kerang yang ia ambil adalah sesuatu yang jauh lebih berharga dari yang ia kira.

Sesampainya di pulau, ia membawa beberapa kerang ke tambaknya. Namun saat mengamati isi tambak, dahinya mengernyit.

"Tunggu... Seingatku, aku tidak pernah menaruh kerang sebesar ini," gumamnya sambil memeriksa lebih teliti.

Ia mencari kerang yang sebelumnya ia tangkap, tetapi tak satupun ia temukan.

"Apa aku salah ingat? Atau ada yang menggantinya?"

Alvarez mengangkat bahu. "Ah, sudahlah. Lagi pula, kerang ini cukup besar."

Setelah menyelesaikan pekerjaannya, ia masuk ke rumah dan mulai mengolah beberapa kerang untuk makan malam. Aroma sedap menguar dari dapurnya, membuat perutnya semakin lapar. Setelah makan, ia memutuskan untuk tidur.

Ke esokan harinya ia ke toko paman Jao untuk menjual kerangnya sekaligus membeli joran pancing.

Di toko, ia mengeluarkan kerang-kerang nya dan menunjukkan kepada paman Jao.

"Paman, berapa harga kerang ini?" tanyanya.

Tanpa melihat, paman Jao menjawab santai, "Paling 2,5 dolar per kilo."

Alvarez mengerutkan kening. "Tapi paman, coba lihat dulu. Kerangnya cukup besar!"

Paman Jao mendesah, menghentikan pekerjaannya, lalu melirik ke arah kerang yang dibawa Alvarez. Begitu melihat ukurannya, matanya membelalak.

"Apa...? Ini kan kerang abalon! Dan ukurannya sebesar ini?"

Alvarez mengangkat alis. "Kerang apa?"

Paman Jao menatapnya seolah ia baru saja mengatakan hal paling bodoh di dunia. "Abalon! Ini salah satu kerang termahal di dunia!"

Alvarez mene cak. "Serius? Pantas harganya aneh."

Paman Jao menghela napas. "Di mana kau menangkapnya?"

"Di dekat pulauku."

Paman Jao mengangguk. "Begini, aku bisa membeli dua kilo saja. Kalau kau ingin harga lebih tinggi, jual saja di restoran bintang lima di kota. Mereka bisa menjadikanmu pemasok tetap."

"Harga pasarannya berapa?"

"Bisa mencapai 150 dolar per kilo."

Alvarez berpikir sejenak. "Paman, bagaimana kalau aku jual ke paman 100 dolar per kilo? Jadi dua kilo, totalnya 200 dolar."

Paman Jao tersenyum. "Baiklah, karena kau anak baik, aku beli."

Setelah menerima uangnya, Alvarez langsung bergegas ke kota dengan bus. Dalam perjalanan, ia termenung, mengingat kembali masa lalunya—bagaimana ayahnya pergi meninggalkannya, bagaimana ia diperlakukan oleh ibu tirinya. Tanpa sadar, ia mengepalkan tangan.

"Kalian berdua akan merasakan apa yang aku rasakan," bisiknya penuh tekad.

Setelah satu setengah jam perjalanan, ia tiba di pusat kota. Dengan membawa kotak Styrofoam berisi kerang, ia berjalan mencari restoran mewah. Akhirnya, matanya menangkap bangunan megah dengan interior mewah di dalamnya. Ia melangkah menuju pintu masuk, tetapi sebelum sempat masuk, seorang satpam menghadangnya.

"Permisi, Pak. Anda tidak bisa masuk dengan pakaian seperti itu," kata satpam itu, menatapnya dari atas ke bawah.

Alvarez menelan ludah. "Tapi saya ingin menjual kerang di sini! Bisa saya bertemu pemilik restoran?"

"Maaf, pemilik restoran ini bukan orang sembarangan," kata satpam dengan nada tegas.

Alvarez mendesah lesu. "Begitu, ya? Baiklah, saya permisi dulu."

Namun, sebelum ia pergi, terdengar suara wanita berteriak dari parkiran.

"Tolong... tolong! Tas saya dicuri!"

Alvarez langsung menaruh Styrofoam di tanah dan berlari ke arah sumber suara. "Ada apa, nona?"

"Tolong, tas saya dicuri! Pencurinya lari ke arah sana!" Wanita itu menunjuk ke sebuah gang sempit.

Tanpa pikir panjang, Alvarez langsung mengejar. Ia berlari kencang, matanya fokus pada sosok pencuri yang semakin jauh. Begitu masuk ke gang buntu, pencuri itu berhenti dan menoleh.

"Heh, kau pikir bisa menangkap ku?" katanya sambil mengeluarkan pisau.

Alvarez mendengus, membuka bajunya. "Hah, pisau sekecil itu? Kau yakin mau melawan aku?"

Begitu melihat tubuh Alvarez yang penuh bekas luka, wajah pencuri itu berubah. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Dalam hati, ia bergumam, "Orang ini pasti sudah melalui neraka... Aku tak mungkin menang."

Dengan gerakan hati-hati, pencuri itu meletakkan tas di tanah dan—bukannya menyerang—ia malah berbalik dan berlari sekencang mungkin, meninggalkan gang tersebut.

Alvarez mengerjap, menatap punggung pencuri yang menghilang. "Eh, aku sudah bersiap bertarung, loh! Aku buka baju bukan buat pamer luka, tapi takut bajuku kotor! Lagipula, aku mau masuk restoran, harus pakai baju bersih!"

Ia menggelengkan kepala, mengambil tas itu, lalu kembali ke wanita yang dirampok tadi. Hari yang awalnya hanya untuk berjualan kerang kini berubah menjadi petualangan tak terduga.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!