NovelToon NovelToon

Cinta Istiqomah

Part 1. Bangkit

Assalaamu 'alaikum Readers

Selamat datang di cerita cinta istiqomah

Vote dan komenmu jangan lupa ya

🌹🌹🌹

Hembusan angin yang menenangkan meleburkan ketenangan sepucuk bunga kamboja yang melambai-lambai hingga perlahan jatuh ke tanah. Bunga kamboja itu jatuh tepat pada sebuah gundukan tanah, tempat peristirahatan seorang insan yang namanya telah tersematkan di sebuah batu nisan.

Seorang perempuan muda berumur dua puluh enam tahun dengan balutan pakaian muslimahnya sedang tersenyum tegar menatap ukiran nama "Fahril Ramadhan bin Jazir Muzaffar" di batu nisan yang nampak jelas di pandangan matanya. Air matanya meluruh lirih. Tidak dapat dibendung lagi. Ia duduk di samping pusara itu tidak seorang diri melainkan di sampingnya terdapat gadis kecil berumur tujuh tahun dengan balutan pakaian muslimahnya sedang tersenyum ke arahnya. Menguatkan dirinya yang mudah rapuh jika berada di tempat ini. Tempat peristirahatan terakhir sang suami.

Perempuan muslimah itu bernama Filzah Banafsah. Dan gadis kecil di sampingnya bernama Zaura Azkiya, putri sematawayangnya bersama suaminya yang telah kembali lebih dulu di sisi sang Khaliq.

"*Mas Fahril aku datang lagi ke sini Mas, aku datang bersama Zaura, anak kita." Filzah berucap dalam hati. Seakan sedang berbicara dengan suaminya yang sudah tiada. Sesekali ia menoleh dan tersenyum ke arah sang putri.

"Mas yang tenang ya di sisi Allah, in syaa Allah aku akan menjaga Zaura, aku akan menjaga buah hati kita yang belum pernah melihat Ayahnya sama sekali." Lanjutnya dalam hati*.

Seketika Filzah teringat akan sesuatu hal. Ia teringat kembali akan kejadian yang menyakitkan serta meremukkan hatinya. Kejadian yang telah merenggut nyawa suaminya.

*Flashback

Tujuh tahun yang lalu...

Filzah dan seorang laki-laki yang tak lain adalah suaminya yang bernama Fahril baru saja keluar dari rumah sederhana mereka. Filzah sedang hamil besar. Usia kandungannya sudah menginjak sembilam bulan itu artinya tinggal menunggu beberapa hari lagi untuk melahirkan buah cintanya dengan suaminya, Fahril.

"Sayang, aku berangkat kerja dulu ya." Ucap Fahril berpamitan kepada istrinya.

Filzah mengangguk pelan seraya tersenyum hangat. "Iya Mas, kamu yang semangat ya kerjanya." Balas Filzah memberikan semangat kepada suaminya.

Fahril mengangguk sangat bersemangat. "Pastinya dong Sayang, kan aku kerja untuk kamu dan buah hati kita ini." Fahril mengelus lembut perut buncit istrinya. Seakan sedang mengelus buah hatinya yang sebentar lagi akan meramaikan kehidupannya. Tidak sabar rasanya bagi Fahril untuk menunggu buah hatinya terlahir ke dunia.

"Ya sudah kalau begitu Mas berangkat kerja dulu ya, kamu jaga diri baik-baik ya, jaga anak kita baik-baik ya, Aku mencintaimu, aku juga mencintai anak kita." Seketika Fahril sangat serius dalam ucapannya. Bahkan tatapan matanya juga berubah. Menjadi serius dan tidak main-main.

"Mas... Kok Mas bicaranya seperti itu?, Mas kan hanya pergi sebentar, kenapa berpamitannya seperti mau pergi lama?." Perasaan Filzah mulai terasa tidak enak. Ia merasa ada yang aneh dengan suaminya kali ini. Tidak biasanya ia berpamitan dengan kata-kata seperti itu.

Perlahan Fahril tersenyum. Menenangkan hati istrinya yang baru saja berkecamuk hebat akibat perkataanya yang dirasa aneh.

"Iya Sayang maaf ya, aku nggak bermaksud membuat kamu jadi berpikiran yang aneh-aneh, tapi nggak salah kan kalau aku bilang seperti itu, aku kan mau berangkat kerja jadi kamu harus jaga diri kamu baik-baik dan jaga anak kita juga ya."

Akhirnya Filzah dapat bernapas lega. Ia sudah tenang kembali. Pikiran aneh-anehnya sudah ia tepis jauh-jauh. Kini ia kembali fokus menatap wajah meneduhkan sang suami yang akan berangkat kerja. Mencari rezeki untuk dirinya dan untuk anak mereka yang sebentar lagi akan terlahir ke dunia.

"Mas in syaa Allah aku dan anak kita akan baik-baik saja, lagi pula di rumah kan aku nggak sendirian, ada Ibu sama Bapak."

"Iya Sayang, kamu istirahat saja ya di rumah, kamu jangan melakukan aktivitas yang berat-berat, kalau butuh sesuatu kamu minta bantuan Ibu saja, ya."

"Iya Mas in syaa Allah aku akan baik-baik saja, Mas juga hati-hati ya, kalau Mas lelah Mas istirahat saja dulu, jangan dipaksa ya Mas, aku nggak mau Mas kenapa-kenapa, sebentar lagi kita akan punya anak, jadi Mas harus selalu sehat."

Fahril mengangguk. Meyakinkan sang istri agar tidak terlalu mencemaskan dirinya yang akan pergi bekerja.

"Ya sudah kalau begitu aku berangkat dulu ya, takutnya aku terlambat, nanti malah kena semprot Pak Mandor." Fahril terkekeh diakhir ucapannya.

Filzah ikut terkekeh. Namun di detik berikutnya ia terkejut ketika Fahril mencium keningnya dengan cukup lama. Dan akhirnya Fahril menyudahinya.

"Aku pergi dulu ya." Pamit Fahril lirih.

Filzah ragu. Ia seperti merasakan keganjalan dengan sikap suaminya saat ini. Tidak biasanya Fahril berangkat kerja dengan mencium keningnya bahkan cukup lama.

"Mas nggak apa-apa kan?" Tanya Filzah cemas.

Fahril menggeleng pelan. "Aku nggak apa-apa kok Sayang, ya sudah aku pergi dulu ya."

Akhirnya Filzah mengizinkan suaminya untuk pergi berangkat kerja lebih tepatnya dengan berat hati. Entah apa yang membuatnya tiba-tiba merasa berat untuk melepaskan suaminya pergi padahal ini bukan pertama kalinya ia melepaskan kepergian suaminya untuk berangkat kerja namun kali ini Filzah merasa berbeda sekali dengan hari-hari sebelumnya.

"Assalaamu 'alaikum."

"Wa 'alaikumus salaam."

Fahril benar-benar sudah pergi menuju tempat kerjanya. Sebagai seorang kuli bangunan setiap hari Fahril berangkat pagi dan pulangnya sore hari saat matahari hendak tenggelam dari bumi.

"Mas Fahril kenapa aneh sekali ya?, nggak seperti biasanya, dia tadi pamitan seolah-olah nggak akan kembali lagi, astaghfirullahal adzim." Filzah buru-buru menepis pikiran negatif yang baru saja terlintas di benaknya.

"Ya Allah lindungilah suami hamba di manapun ia berada, lancarkan pekerjaannya hari ini, dan izinkan ia kembali pulang ke rumah dalam keadaan sehat wal afiat, seperti saat ia pergi berangkat kerja. Aamiin."

Fahril sudah pergi ke tempat kerjanya. Namun Filzah masih saja kepikiran dengan sikap Fahril yang seperti tidak biasanya.

"Filzah."

Bahkan Filzah sampai tidak sadar bahwa Ibu mertuanya sudah berada di sampingnya serta sedang memanggil dirinya.

"Filzah?"

Akhirnya Filzah tersadar dan langsung menoleh ke arah Ibu mertuanya yang sedang mengelus pundaknya. Menyadarkan dirinya dari gemuruh hebat pikirannya tentang suaminya.

"I-iya Bu, ada apa?" Tanya Filzah sempat terbata-bata.

"Kamu baik-baik saja kan Nak?." Sang Ibu mertua yang bernama Uzmah menanyakan keadaan menantunya yang sejak tadi ia panggil namun tidak memberikan reaksi apapun.

Filzah mengangguk lirih. "Iya Bu Filzah baik-baik saja."

Uzmah dapat bernapas lega setelah mengetahui bahwa menantu yang sedang mengandung cucu pertamanya itu dalam keadaan baik-baik saja.

"Alhamdulillah kalau kamu baik-baik saja, ya sudah sekarang kita masuk ya, Fahril juga sudah berangkat kerja kan?"

Filzah kembali mengangguk lalu mengikuti ajakan Uzmah untuk masuk ke dalam rumah mereka yang terlihat sederhana. Maklum mereka tinggal di desa jadi rumahnya sederhana saja sama seperti rumah-rumah tetangga di sekitarnya.

Sementara di tempat kerjanya, Fahril nampak semangat sekali dalam bekerja. Maklum sebentar lagi ia akan resmi menjadi seorang Ayah maka sudah seharusnya ia berkerja dengan giat untuk membiayai persalinan serta perlengkapan yang lainnya.

"Aku harus semangat bekerja karena sebentar lagi aku akan punya anak dan kebutuhan pasti akan semakin banyak." Fahril menyemangati dirinya sendiri.

Cucuran air keringat yang membanjiri seluruh tubuhnya termasuk wajahnya tidak memudarkan semangatnya untuk bekerja. Bahkan saat ini Fahril semangat sekali mengaduk-aduk semen.

Namun tiba-tiba saja tanpa Fahril sadari besi-besi besar yang tertata di atasnya mau roboh. Seketika itu juga besi-besi besar itu terjun bebas ke bawah dan langsung menimpa Fahril.

Brugghh

Tubuh Fahril terlunglai lemas beserta besi-besi besar yang menutupi seluruh tubuhnya. Semua teman kerjanya yang berada di sekitarnya langsung terkejut dan menghampirinya.

"Astaghfirullahal adzim Mas Fahril."

"Ayo kita angkat besi-besi ini."

Dengan sekuat tenaga teman-teman kerja Fahril mengangkat besi-besi yang berada di atas tubuh Fahril. Dan akhirnya besi-besi itu dapat diangkat dan dijauhkan dari tubuh Fahril.

Darah segar keluar dari kepala dan hidung Fahril. Tubuhnya terlunglang lemas tak bertenaga bahkan kedua matanya menyipit. Menahan rasa sakit yang maha dasyat mendera tubuhnya.

"Cepat telepon ambulans." Ucap salah satu teman kerja Fahril kepada temannya yang lain.

"Mas Fahril yang kuat ya sebentar lagi ambulans datang untuk membawa Mas Fahril ke rumah sakit."

Fahril menggeleng pelan. Rasa sakit yang mendera seluruh tubuhnya termasuk kepalanya telah membuatnya antara sadar dan tidak sadar. Besi-besi yang mengahantamnya sangat membuat tubuhnya lumpuh total. Tidak bisa digerakkan lagi.

"Pa-Pak saya su-sudah tidak ku-at la-gi." Ucap Fahril terbata-bata menahan rasa sakit yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.

"Mas Fahril harus kuat, ingat istri dan orang tua Mas Fahril di rumah, apalagi istri Mas Fahril saat ini sedang hamil, Mas Fahril harus kuat ya." Salah satu teman Fahril menguatkan Fahril yang sudah tidak sanggup menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya.

Fahril kembali menggeleng pelan. "Pa-Pak sa-saya..." Tiba-tiba tubuh Fahril bergetar hebat. "Laa i-laaha illallah, mu-muhammadur Ro-sulu-llah." Perlahan tubuh Fahril melemas. Dan kedua matanya tertutup. Untuk selamanya.

"Inna lillahi wa inna ilaihi roojiun."

"Mas Fahril sudah meninggal dunia, ayo kita beritahu keluarganya."

Salah satu teman kerja Fahril sudah memberitahu keluarga Fahril. Memberitahu Filzah yang seketika langsung pecah tangisannya. Kedua orang tua Fahril juga demikian.

"Inna lillahi wa inna ilaihi roojiun." Ucap Uzmah dan suaminya dengan rasa ketidakpercayaan bahwa putra sematawaya mereka mereka telah pergi untuk selamanya.

"Nggak, nggak mungkin, Mas Fahril nggak mungkin meninggal, Mas Fahril masih hidup, tadi dia cuma pamit untuk bekerja, bukan pamit untuk..." Ucapan Filzah terhenti. Ia tidak sanggup lagi untuk melanjutkannya.

Uzmah langsung memeluknya. Memberikan ketenangan yang saat ini Filzah butuhkan. Kehilangan suaminya untuk selamanya tidak pernah terbesit dalam pikirannya selama ini namun takdir berkata lain. Allah telah mengambil suaminya dari kehidupannya.

"Mas Fahril." Tiba-tiba Filzah jatuh terlunglai. Untungnya Uzmah dan Jasir, Ayahnya Fahril langsung menahannya sehingga Filzah tidak terjatuh yang mana akan membahayakan kondisi bayi yang ada di dalam kandungannya.

***

Kini jasad Fahril sudah dikebumikan. Para pelayat perlahan meninggalkan tempat peristirahatan Fahril untuk selamanya. Hanya tersisa Filzah, Uzmah dan Jasir.

Filzah mengelus pelan pusara yang tertera nama suami yang sangat dicintainya. Rasanya seperti mimpi bagi Filzah. Baru saja tadi pagi ia mencium tangan suaminya namun kini ia mengelus pusara yang menjadi tempat peristirahatan sang suami tercinta.

"Mas, kenapa kamu pergi secepat ini, kenapa Mas?, aku nggak sanggup hidup tanpa kamu, Aku nggak sanggup..." Filzah menangis tersedu-sedu diakhir ucapannya.

"Mas kita kan mau merawat dan membesarkan anak kita, tapi kenapa kamu malah pergi meninggalkan aku, bahkan kamu belum melihat anak kita terlahir ke dunia..." Filzah kembali menangis. Rasanya saat ini Filzah seperti kehilangan separuh nyawanya. Filzah telah kehilangan separuh semangat hidupnya. Saat ini Filzah merasa kehidupannya hampa. Kebahagiannya terhenti begitu saja. Secepat ini kebahagiannya berganti menjadi keterpurukan. Ajal menjadi begitu dekat dengannya. Sangat dekat.

"Filzah...kuatkan hati kamu Nak, kuatkan demi anak di kandungan kamu, ya." Uzmah mencoba untuk menguatkan menantunya meskipun dirinya tidak bisa menguatkan dirinya sendiri. Seorang Ibu mana yang tidak terpukul ketika kehilangan putra tercintanya. Pelita dalam kehidupannya. Begitulah yang saat ini sedang Uzmah rasakan.

Jasir tiada henti-hentinya menguatkan istri dan menantunya yang terlihat sangat terpukul atas kepergian Fahril untuk selamanya.

Disela-sela tangisannya tiba-tiba saja Filzah merasakan sakit yang luar biasa di sekitar perutnya. "Astaghfirullahal adzim, perutku."

Uzmah terkejut mendapati menantunya sedang merintih kesakitan sembari memegangi perut buncitnya.

"Ya Allah Filzah kamu kenapa Nak?"

"Ibu, perut Filzah sakit sekali Bu."

"Kamu mau melahirkan Nak, Pak ayo kita bawa Filzah ke rumah sakit."

"Iya yo Bu."

Filzah segera beranjak dari posisi duduknya dengan bantuan Uzmah dan Jasir yang memapahnya untuk menuju rumah sakit karena sebentar lagi ia akan melahirkan anak pertamanya, namun tanpa suami yang menemaninya.

***

"Owek... owek... owek..."

Bayi mungil yang baru saja dimandikan oleh seorang Suster menangis dengan lantang. Kemudian Suster memberikan bayi mungil itu kepada Filzah yang sedang terbaring lemas usai melakukan proses melahirkan anak pertamanya yang berjenis kelamin perempuan.

Uzmah yang berdiri di samping suaminya tidak kuat menahan tangisnya yang pecah seketika. Ia tidak sanggup melihat cucu pertamanya yang baru saja lahir ke dunia namun sudah kehilangan sosok Ayah dalam hidupnya.

"Assalaamu 'alaikum Sayang, selamat datang ke dunia ini Nak, kamu adalah penyemangat hidup Bunda, semoga kamu panjang umur dan sehat selalu." Diciumnya pipi mungil sang bayi yang masih merah kulitnya karena baru saja dilahirkan*.

*Flash on*

Filzah mengusap air matanya yang sudah kesekian kalinya terjatuh membasahi wajah senduhnya.

"Mas maaf ya mungkin besok-besok aku akan jarang berkunjung ke sini, karena aku dan Zaura akan pergi dari sini, aku ingin memulai kehidupan baruku di kota lain, aku nggak mau merepotkan Ibu dan Bapak lagi, sudah cukup selama bertahun-tahun ini aku merepotkan mereka apalagi saat ini Bapak sedang sakit dan Ibu harus berjualan kue untuk menghidupi kami, semoga kamu setuju dengan keputusan aku ini ya Mas."

Filzah berharap keputusannya untuk bangkit dari masa lalu serta memulai kehidupannya yang baru adalah keputusan yang terbaik untuk dirinya juga putrinya.

"Zaura..."

"Iya Bunda." Jawab polos gadis kecil yang terlihat sangat menyejukkan dengan balutan pakaian muslimah yang dikenakannya.

"Zaura mau ikut Bunda ke mana saja kan Sayang?"

Zaura terlihat sedang berpikir. Ia terdiam sejenak. Filzah yang melihatnya hanya tersenyum untuk menunggu jawaban yang akan diucapkan oleh sang putri tersayang.

"Memangnya kita mau ke mana Bunda?, kita akan pergi dari sini Bunda?"

Filzah mengangguk pelan seraya menebarkan senyuman kepada sang putri yang terlihat kebingungan atas pertanyaannya tadi.

"Iya Sayang kita akan pergi dari sini,  Bunda sama Zaura akan tinggal di kota lain, Zaura mau kan?"

"Kakek sama Nenek ikut juga kan Bunda?" Tanya Zaura dengan penuh harap. Berharap Kakek dan Neneknya ikut pergi bersamanya.

"Nggak sayang, Kakek sama Nenek tetap di sini, Bunda sama Zaura saja yang pergi."

"Yahhh." Zaura nampak sedih lantaran Kakek dan Neneknya tidak ikut pergi bersamanya.

"Zaura dengarkan Bunda ya, kita harus pergi dari sini Sayang, Bunda harus mencari pekerjaan, sekarang Kakek sedang sakit, Kakek butuh biaya supaya bisa sembuh dan bisa berjalan lagi seperti semula, dan Zaura juga mau sekolah kan?, nanti kalau kita sudah pindah ke kota lain in syaa Allah Zaura bisa sekolah." Filzah mencoba memberikan penjelasan kepada putrinya yang seketika bersedih karena Kakek dan Neneknya tidak akan ikut bersamanya.

Zaura terdiam sejenak. Ia memikirkan ucapan Bundanya yang ada benarnya. Saat ini Kakeknya sedang sakit dan membutuhkan biaya. Serta diumurnya yang sudah menginjak tujuh tahun Zaura memang ingin sekali bersekolah seperti anak-anak yang seumuran dengannya. Dan Filzah tidak mempunyai uang untuk membiayai Zaura sekolah hingga akhirnya Filzah memutuskan untuk pindah ke kota lain. Mencari perkerjaan serta membanting tulang untuk membantu Uzmah yang saat ini menjadi tulang punggung keluarga mereka semenjak satu tahun yang lalu Jasir kecelakaan saat mengojek hingga menyebabkan kakinya lumpuh dan tidak bisa bekerja lagi.

Perlahan Zaura menganggukkan kepalanya. Menyetujui ajakan Bundanya untuk pergi dan memulai hidup yang baru di kota lain.

"Alhamdulillah, sini Sayang peluk Bunda Nak."

Zaura langsung berhambur ke dalam pelukan hangat sang Bunda. ia begitu menyayangi Bundanya apalagi Zaura hanya memiliki orang tua tunggal yaitu Bundanya saja.

Filzah berkali-kali menciumi puncak kepala putri tersayangnya. Air mata tidak pernah absen menghiasi wajah senduhnya.

Kini tatapan Filzah dan Zaura tertuju ke arah pusara Fahril. Suami Filzah sekaligus Ayah dari Zaura. Mereka saling tersenyum memandangi pusara itu. Seakan-akan mereka sedang tersenyum kepada Fahril yang sudah tujuh tahun meninggalkan mereka.

🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹

Assalaamu 'alaikum Warohmatullaahi Wabarokaatuh

Hay Readerssss 👋👋👋

Apa kabar kalian semuaaaa

Semoga sehat selalu

Dan bahagia selalu

Serta jangan lupa untuk selalu bersyukur ya

Alhamdulillahirobbil 'Aalamiin

Ukhfira hadir kembali

Dengan cerita yang baruuuuu

Yang judulnya "Cinta Istiqomah" yang tidak lain dan tidak bukan adalah Novel ke-3 di noveltoon Ukhfira

Maa Syaa Allah Walhamdulillah Ukhfira terharu sekali dan nggak nyangka bisa menulis novel ke-3 ini tentunya berkat Allah subhanahu wata'ala serta berkat dukungan kalian para Readers yang baik hati memberikan semangat kepada Ukhfira baik melalui vote dan komen serta memfollow akun @ukhfira

Jazakumullah khoiron untuk kalian semua kawan Readersnya akohhhh💖💖💖

Tapi ngomong-ngomong yang mampir di lapak ini sudah baca lapak-lapak cerita Ukhfira sebelumnya kannn???

Kalau sudah dong, Alhamdulillah

Ukhfira ucapkan terima kasih

karena sudah membaca semua oret-oretannya Ukhfira dari awal sampai yang saat ini

Semoga kalian suka ya dengan cerita "Cinta Istiqomah" ini

Dan jangan lupa Vote dan komen juga yak

Jangan lupa juga doain Ukhfira ya semoga diberikan kesehatan dan waktu ulang untuk menyelesaikan cerita "Cinta Istiqomah" ini TAMAT

Tentunya ini berkat doa dan dukungan kalian

Readerssss

🤗🤗🤗

Sudah dulu ya

Sampai bersapa kembali di part selanjutnya

Mohon bersabar ya

Untuk menunggu part selanjutnya

🤗🤗🤗

Salam sayang untuk kalian Readers setianya Ukhfira 💞

Dan

Salam kenal untuk kalian Readers yang baru bergabung 👋

Wassalamu 'alaikum Warohmatullahi Wabarokaatuh

Ttd

Madura, 26 Juli 2020

18.59 WIB

~Ukhfira~

Part 2. Lembaran Baru

Assalaamu 'alaikum Readers

Selamat datang di cerita Cinta Istiqomah

Vote dan komenmu jangan lupa ya

🌹🌹🌹

Sebuah pintu kamar terbuka perlahan. Menampilkan Zaura dan Filzah yang baru saja keluar dari kamar mereka. Mereka berdua sudah rapi bahkan keduanya sama-sama membawa tas. Zaura menggendong tas kecilnya sementara Filzah membawa tas kecil dan tas besar miliknya.

"Zaura kita ke kamarnya Kakek dan Nenek dulu ya, untuk berpamitan."

"Iya Bunda."

Kini Filzah dan Zaura sudah berada di dalam kamar sederhana. Tempat tidur Uzmah dan Jasir. Didapatinya sang pemilik kamar yang sedang berada di dalam kamarnya. Uzmah sedang menyuapkan Jasir sepiring makanan, menu makan malamnya.

"Eh ada Zaura cucuk Nenek dan Kakek." Sapa Uzmah ketika melihat Zaura mulai menghampirinya. Begitu juga dengan Filzah yang sudah menggantikan posisinya untuk menyuapkan Bapak mertuanya, Jasir.

"Bapak makan yang banyak ya Pak." Ucap Filzah disela-sela kegiatannya menyuapkan sendok demi sendok nasi dan lauknya ke mulut Bapak mertuanya.

"Kalian sudah mau pergi sekarang ya?" Tanya Jasir dengan raut wajah sedih. Namun sesekali ia menutupinya dengan senyuman keterpaksaan.

Filzah mengangguk pelan. Ia tidak kuasa melihat raut wajah Bapak mertuanya yang seketika bersedih ketika mendapat anggukan kepala darinya.

"Bapak sama Ibu nggak usah sedih ya, in syaa Allah kami akan kembali ke sini, kami akan menjenguk Bapak dan Ibu."

"Iya Nak, meskipun Fahril sudah meninggal tapi kamu tetap menantu kami, dan Zaura adalah cucu kami, jadi tolong jangan lupakan kami ya." Jasir sudah tidak kuasa menahan bendungan air matanya yang seketika meluruh begitu saja.

Filzah ikut berderai air mata meskipun awalnya ia berusaha mati-matian untuk tidak meneteskan air matanya setetespun agar Bapak dan Ibu mertuanya tidak bersedih. Namun apa daya bila hatinya yang selembut kapas dengan mudahnya tersentuh jika melihat orang-orang yang disayanginya meneteskan air mata.

"Iya Filzah Bapak benar, sampai kapanpun kamu adalah menantu kami, kamu adalah bagian dari kehidupan kami, begitu juga dengan Zaura, jadi tolong jangan lupakan kami ya."

Filzah semakin hanyut dalam kesedihannya. Linangan air mata Uzmah membuatnya ikut berlinang air mata pula. Filzah begitu merasakan bagaimana Bapak dan Ibu mertuanya begitu menyayangi dirinya juga Zaura. Rasanya semakin berat bagi Filzah untuk meninggalkan mereka berdua. Namun jika ia tidak pergi maka seterusnya ia akan selalu merepotkan mereka berdua dan Filzah tidak mau itu terus menerus terjadi.

"Iya Bapak, Ibu, in syaa Allah Filzah nggak akan melupakan Bapak dan Ibu, terima kasih atas kebaikan Bapak dan Ibu selama ini. Terima kasih selama tujuh tahun lamanya Bapak dan Ibu sudah membantu Filzah untuk membesarkan Zaura. Filzah nggak akan pernah melupakan kebaikan Bapak dan Ibu, Filzah juga nggak akan pernah melupakan jasa mulia Bapak dan Ibu. Sekali lagi Filzah ucapkan terima kasih Bapak, Ibu."

"Iya Nak sama-sama." Ucap Uzmah dan Jasir hampir bersamaan.

"Kalau begitu Filzah dan Zaura pamit pergi sekarang ya Pak, Bu."

Jasir menganggukkan kepalanya. Begitu pula dengan Uzmah yang semakin mempererat tubuh Zaura di dalam dekapannya.

Filzah beranjak dari tempat duduknya. Mencium tangan Bapak mertuanya dengan hormat seraya berkata "Bapak baik-baik ya di sini, in syaa Allah Filzah akan pulang dengan membawa uang untuk biaya berobat Bapak agar Bapak bisa berjalan seperti semula."

Jasir mengangguk penuh haru. "Aamiin, jaga diri kamu baik-baik ya Nak, kalau kamu nggak sibuk sering-sering telepon Bapak dan Ibu ya, karena kami akan sangat merindukan kalian nantinya."

"Iya Pak in syaa Allah."

Perlahan Filzah melangkahkan kakinya. Menghampiri Uzmah yang tidak sanggup berucap kata dan hanya bisa menangis memandangi wajah polos cucu sematawayangnya yang dalam beberapa menit ke depan tidak akan bisa ia pandangi dari jarak dekat lagi karena diantara mereka akan ada jarak yang memisahkan mereka.

Zaura menyeka lembut air mata sang Nenek yang jatuh perlahan. "Nenek jangan menangis lagi ya, Zaura sama Bunda cuma pergi sebentar kok, kalau Nenek rindu nanti Zaura akan telepon Nenek."

Uzmah bukannya berhenti menangis malah tangisannya semakin pecah bahkan sampai tersedu-sedu. "Cucuku Sayang." Uzmah langsung membawa Zaura ke dalam pelukan kasih sayangnya.

Setelah cukup lama berpelukan dengan Uzmah kini Zaura menghampiri Kakeknya yang sudah menunggu Zaura untuk berpamitan dengannya.

"Kakek, Kakek cepat sembuh ya, makan yang banyak supaya Kakek cepat besar, eh Kakek kan sudah besar ya." Zaura terkekeh diakhir ucapannya. Ia bahkan menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal namun karena ia salah berbicara. 

Jasir ikut terkekeh kemudian hanya bisa mengelus lembut puncak kepala sang cucu yang kini sudah berusia tujuh tahun. Jasir menjadi teringat ketika dulu sering mengelus puncak kepala Zaura waktu masih bayi.

"Kakek, Zaura minta maaf ya, Zaura sudah nggak bisa memijat kaki Kakek karena Zaura harus pergi." Zaura nampak bersalah karena ia sudah tidak bisa memijat kaki Kakeknya yang mana hampir setiap hari ia lakukan agar kaki Kakeknya cepat sembuh dan bisa berjalan lagi seperti sedia kala.

"Iya nggak apa-apa kok, Zaura hati-hati ya, ikuti semua perintah Bunda ya Nak."

Zaura memberi hormat kepada sang Kakek. "Siap Kek." Ujarnya bersemangat.

"Kalau begitu Zaura pamit dulu ya Kek, assalaamu 'alaikum." Zaura mencium tangan sang Kakek. Jasir pun ikut mencium kening Zaura dengan penuh kasih sayang.

"Bapak, Ibu ke depan dulu ya, mau mengantarkan Filzah dan Zaura sampai depan rumah."

Jasir menganggukkan kepalanya. Mengizinkan istrinya untuk mengantarkan menantu dan cucunya yang akan pergi dari rumahnya saat ini juga.

Ketiga perempuan beda generasi itu akhirnya telah sampai di depan rumah sederhana keluarga mereka yang mana orang-orangnya juga sederhana.

"Ibu, Filzah pamit pergi dulu ya, Ibu jaga kesehatan Ibu, jangan sampai kelelahan kerjanya."

"Iya Nak, kamu juga jaga kesehatan kamu ya, kalau nanti kamu sudah mendapatkan pekerjaan kamu juga nggak boleh sampai kelelahan."

Filzah tersenyum sembari menganggukkan kepalanya. Namun pada detik berikutnya ia kembali meneteskan air matanya. Ia tidak sanggup meninggalkan seorang perempuan baik hati di hadapannya yang selama ini membantunya mengurus dan membesarkan Zaura.

"Bu..." Tangis Filzah pecah seketika. Ia langsung berhambur ke pelukan Ibu mertuanya.

Uzmah pun demikian. Ia membalas pelukan menantunya dengan deraian air mata yang tidak kalah derasnya.

"Ibu terima kasih karena selama ini Ibu baik sekali sama Filzah, Filzah sudah menganggap Ibu seperti Ibu Filzah sendiri, Filzah sayang sama Ibu." Ucap Filzah dengan sesegukan.

Uzmah mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ibu juga berterima kasih sama kamu Filzah, karena meskipun Fahril sudah meninggal kamu tetap bersedia untuk tinggal bersama Ibu dan Bapak, dan kamu juga memperbolehkan kami untuk membantu merawat serta membesarkan Zaura, Ibu juga sudah menganggap kamu sebagai anak Ibu dan Ibu juga sayang sama kamu dan Zaura."

Setelah cukup lama akhirnya pelukan mereka terlepas. Dan keduanya saling menyeka air matanya masing-masing. Menggantikannya dengan senyuman yang terlihat dipaksakan.

"Ibu kami pamit pergi ya."

"Iya Nak."

"Assalaamu 'alaikum."

"Wa 'alaikumus salaam."

Kini Filzah mulai melangkahkan kakinya bersama Zaura. Meninggalkan Uzmah yang hanya bisa melambaikan tangannya sebagai tanda perpisahan kepada menantu dan cucu tersayangnya.

🌹🌹🌹

Filzah dan Zaura sudah sampai di stasiun Malang. Dan mereka juga sudah memasuki gerbong kereta api yang akan membawa mereka pergi dari tempat yang menyisakan banyak sekali kenangan, terutama kenangan Filzah bersama laki-laki yang dicintainya, Fahril.

"Bunda kita akan pergi ke mana?" Zaura masih belum tahu akan pindah ke kota mana. Filzah juga belum sempat memberitahu.

"Kita akan pergi ke Jakarta Sayang."

"Kenapa harus ke Jakarta Bunda?, Jakarta itu jauh kan Bunda?"

Filzah terdiam sejenak. Ia mencari jawaban yang tepat untuk pertanyaan sang putri tersayang.

"Karena Jakarta adalah Ibu kota Indonesia Sayang, kata orang-orang di Jakarta lebih banyak lowongan pekerjaannya dan in syaa Allah akan lebih cepat dapat, tapi kita kembali serahkan semuanya sama Allah. Zaura berdoa saja ya semoga rezeki Zaura ada di Jakarta."

"Aamiin, iya Bunda, Zaura berdoa semoga Bunda cepat dapat pekerjaan dan nanti kita bisa cepat pulang ke rumah Kakek dan Nenek."

"Aamiin." Filzah mengaminkan doa sang putri yang sepertinya tidak ingin berjauhan dengan Kakek dan Neneknya dalam waktu yang lama. Filzah juga berharap demikian. Ia berharap bisa kembali lagi ke rumah Bapak dan Ibu mertuanya dengan membawa uang untuk biaya berobat Bapak mertuanya serta uang untuk membiayai kehidupan mereka sehari-hari.

🌹🌹🌹

Rute perjalanan dari Malang ke Jakarta dengan menaiki kereta api menghabiskan waktu kurang lebih lima belas jam lamanya. Kini Filzah dan Zaura telah sampai di stasiun Kebayoran Jakarta Selatan. Waktu menunjukkan pukul 10.20 pagi. Filzah sengaja memilih jam pemberangkatan jam 19.00 malam agar ketika sampai Jakarta hari sudah pagi dan Zaura juga sudah bangun dari tidurnya.

"Bunda sekarang kita mau ke mana?" Tanya Zaura usai keluar dari gerbong kereta api. Dan kini mereka sedang berdiri di tengah-tengah stasiun yang cukup padat dengan para penumpang lainnya yang akan menggunakan alat transportasi kereta api juga.

"Kita akan mencari kontrakan Sayang, tapi sebelum itu kita ke toko emas dulu ya."

"Untuk apa Bunda?"

Filzah hanya tersenyum untuk menjawab pertanyaan kedua kalinya dari sang buah hati yang sudah aktif merespon setiap ucapannya.

Tanpa berlama-lama lagi di stasiun itu Filzah yang tidak pernah lepas menggandeng Zaura segera keluar dari stasiun dan menaiki angkot untuk menuju tempat yang tadi ia ucapkan kepada Zaura.

Kini Filzah dan Zaura sudah berdiri di depan salah satu toko Emas yang ada di kota Jakarta. Filzah mengalihkan pandangannya kepada benda mungil yang melingkar di jari manisnya. Sebuah cincin emas yang sudah bertahun-tahun melekat di jari manisnya.

"Mas maafkan aku, aku harus menjual cincin pernikahan kita. Aku nggak ada pilihan lain Mas. Hanya cincin ini yang bisa aku jual. Semoga kamu menyetujuinya ya Mas. Aamiin." Ucap Filzah di dalam hatinya yang sebenarnya berat untuk menjual cincin tersebut karena benda yang melingkar itu adalah satu-satunya peninggalan dari suaminya. Namun ia tidak punya pilihan lain.

Akhirnya Filzah benar-benar melangkahkan kakinya. Masuk ke dalam toko emas tersebut dan benar-benar menjual cincin pernikahannya dengan Fahril untuk membiayai kehidupannya di tanah perantauan, Ibukota Jakarta.

Setelah beberapa menit kemudian Filzah sudah keluar dari toko emas tersebut. Uang hasil menjual cincinya juga sudah ia masukkan ke dalam tas. Dan kini tujuan terakhirnya ialah mencari rumah kontrakan untuk tempat tinggal dirinya bersama putrinya.

🌹🌹🌹

Filzah dan Zaura sudah sampai di depan rumah sederhana yang mulai saat ini akan menjadi tempat tinggal mereka. Usai membayar uang kontrakan dan pemilik kontrakan memberikan kunci kepadanya, Filzah segera masuk ke dalam rumah kontrakannya. Tidak lupa ia bersama sang putri dengan bersamaan mengucapkan kalimat Basmalah sebelum mereka benar-benar masuk ke dalam rumahnya.

"Alhamdulillah akhirnya kita sudah sampai di Jakarta ya Sayang, dan kita sudah punya rumah untuk tempat tinggal kita."

"Iya Bunda alhamdulillah."

Sejenak Filzah duduk di kursi yang sudah ada di rumah kontrakannya. Ia dapat bernapas dengan lega karena Allah telah melancarkan perjalanannya dari Malang menuju Jakarta.

Filzah berharap dengan ia membuka lembaran baru di Jakarta ia dapat mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan bisa menyekolahkan Zaura serta bisa mengumpulkan uang untuk biaya berobat Bapak mertuanya agar bisa sembuh dan bisa beraktivitas seperti sedia kala.

"Bunda ayo kita telepon Kakek dan Nenek, Zaura sudah rindu sama Kakek dan Nenek."

Zaura membuyarkan lamunan Filzah yang sedang merangkai harapan hidup ke depannya. Filzah akhirnya tersadar dan ia segera mengeluarkan handpone yang ia simpan di tas slempangnya.

Lantaran handponenya bukan handpone canggih yang bisa menelepon dengan sambungan video call maka Filzah hanya dapat menelpon Ibu mertuanya melalui sambungan telepon suara saja. Namun itu sudah cukup bagi Zaura yang sudah mulai merindukan Kakek dan Neneknya.

"Halo, assalaamu 'alaikum." Suara Uzmah di seberang sana mulai terdengar di pendengaran Zaura.

"Wa 'alaikumus salaam Nenek." Zaura menjawab salam Neneknya dengan sumringah. Ia senang karena bisa mendengar suara Neneknya. Perempuan yang telah membesarkan serta merawatnya dari kecil, sama seperti Bundanya. 

"Nenek, alhamdulillah Zaura sama Bunda sudah sampai di Jakarta, dan sekarang Zaura sama Bunda sudah ada di rumah kontrakan." Zaura memberitahu kepada Neneknya bahwa ia bersama Bundanya sudah sampai di Jakarta.

Uzmah yang sedang duduk bersama Jasir di kamar mereka langsung mensyukuri kabar menantu dan cucunya yang sudah sampai di Jakarta dalam keadaan selamat.

"Alhamdulillah, Nenek dan Kakek senang dengarnya, Zaura baik-baik ya di sana Nak, sering-sering telepon Nenek dan Kakek ya."

"Iya Nenek in syaa Allah, Nenek dan Kakek juga baik-baik ya Di rumah." Ucap Zaura yang mengingatkan Nenek dan Kakeknya agar baik-baik juga di rumahnya, di Malang.

Sambungan teleponnya pun terputus usai salam Uzmah dijawab serentak oleh Filzah juga Zaura. Filzah kembali menyimpan handponenya dalam tas kecilnya.

"Zaura sekarang kita masukkan baju-baju kita ke lemari di kamar ya Sayang." Filzah mengajak putri tersayangnya untuk segera memasukkan baju-bajunya ke dalam lemari yang ada di kamar mereka.

"Siap Bunda." Tanpa berlama-lama lagi Zaura segera menuju kamarnya serta membawa tas yang digendongnya sejak tadi.

Filzah ikut menyusulnya dengan membawa tas besar yang isinya baju-baju miliknya. Tidak banyak yang Filzah bawa dari rumah mertuanya. Ia hanya membawa pakaian saja bahkan ia hanya memiliki satu tas kecil saja dan tasnya itu warnanya sudah mulai memudar namun bagi Filzah yang terpenting masih bisa untuk dipakai. Filzah adalah tipe perempuan yang sederhana dalam hidupnya. Ia tidak seperti perempuan di luaran sana yang memiliki koleksi barang-barang banyak serta bermerek. Bagi Filzah yang terpenting ia bisa makan itu sudah cukup dan harus selalu disyukuri karena masih banyak orang-orang yang kurang beruntung ketimbang dirinya. Istilahnya Filzah tidak akan melihat orang yang di atasnya tetapi Filzah akan melihat orang yang berada di bawahnya agar ia selalu bersyukur atas nikmat yang Allah berikan kepadanya.

🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹

Assalaamu 'alaikum Warohmatullah Wabarokaatuh

selamat pagi untuk kita semua

🤗🤗🤗

Jangan lupa bersyukur atas setiap nikmat yang Allah berikan

Jangan lupa tersenyum untuk menikmati hidup ini

🌷🌷🌷

Alhamdulillah Ukhfira masih diberi kesempatan oleh Allah hingga saat ini menginjakkan jari jemari di lapak cerita cinta istiqomah part kedua

😊😊😊

Jazakumullah khoiron untuk kalian yang sudah mau meluangkan waktunya untuk bertandang di lapak ini ya

Semoga kalian suka

dan semoga selalu bermanfaat

Aamiin Allahumma Aamiin

🙏🙏🙏

Jangan lupa untuk sekadar menyapa Ukhfira dengan vote dan komen kalian di sini

🙌🙌🙌

In Syaa Allah Ukhfira akan menyempatkan untuk membalas komentar kalian karena bagi Ukhfira komentar dan vote kalian adalah suatu bentuk penghargaan kalian yang harus Ukhfira apresiasi dengan membalas komentar kalian juga

🤗🤗🤗

Tapi...

Mohon berhati-hati dalam berkomentar ya

Komentarnya yang baik-baik saja

Soalnya Author yang satu ini mudah baper dan takutnya ujung-ujungnya malah badmood deh

😢😢😢

Kalau badmood nggak selesai-selesai dong cerita Cinta Istiqomahnya

Intinya kalau kalian memberikan energi positif maka dampaknya akan positif jugak

😊😊😊

Sampai bersapa ria di part selanjutnya Readers

😎😎😎

Wassalaamu 'alaikum Warohmatullahi Wabarokaatuh

Part 3. Penyemangat

Assalaamu 'alaikum Readers

Selamat datang di cerita Cinta Istiqomah

Vote dan komenmu jangan lupa ya

🌹🌹🌹

Filzah terbangun dari tidur malamnya. Perlahan ia membuka kedua matanya serta mendudukkan dirinya meskipun rasa kantuk masih menyerangnya. Ia menatap layar handponenya. Jam menunjukkan pukul 03.13 dini hari. Filzah bergegas turun dari ranjang kamarnya. Di samping tempat tidurnya terdapat Zaura yang sedang terlelap dalam tidurnya.

Sepuluh menit kemudian Filzah kembali masuk ke dalam kamarnya. Kondisi saat ini ia sudah segar dan tidak mengantuk lagi. Bekas air wudhu masih menghiasi wajah senduhnya.

Perlahan Filzah menghampiri sang putri yang tidurnya nyenyak sekali. Senyuman bahagia merekah di wajahnya. Filzah merasakan ketenangan ketika memandangi sang buah hati yang tertidur dengan damai. Bagi Filzah melihat putrinya tertidur dengan damai merupakan salah satu nikmat yang harus ia syukuri karena masih banyak di luaran sana anak-anak seusia putrinya yang tidak mempunyai tempat tinggal dan harus tidur di jalanan. Miris sekali ketika Filzah melihat pemandangan pilu itu.

"Zaura..., Zaura bangun Sayang." Filzah mengguncang-guncang lembut tubuh sang putri untuk membangunkannya.

Zaura belum kunjung terbangun dari tidurnya. Namun kedua matanya perlahan mulai terbuka.

"Zaura ayo bangun Sayang, kita sholat tahajjud dulu ya."

Zaura mulai kembali ke alam sadarnya. Namun belum sepenuhnnya.

"Bunda, Zaura masih mengantuk." Ucap Zaura dengan nada lemas. Dan kedua matanya hendak kembali terpejam.

Filzah mengelus puncak kepala sang putri agar tidak kembali tertidur. "Zaura ayo bangun Sayang, Zaura mau sekolah kan?"

Zaura menganggukkan kepalanya. Namun tubuhnya masih melemas akibat terserang rasa kantuk yang luar biasa.

Filzah sangat sabar dalam membangunkan Zaura. Ia memaklumi jika sang putri tidak langsung terbangun dari tidurnya. Namanya juga anak kecil. Filzah hanya perlu bersabar saja untuk membiasakan sang putri bangun malam dan melaksanakan sholat tahajjud yang juga dikenal dengan sebutan sholat malam.

"Kalau Zaura mau sekolah, Zaura bangun sekarang ya Sayang. Kita sholat tahajjud setelah itu Zaura berdoa sama Allah. Zaura minta sama Allah kalau Zaura mau sekolah, ya."

Perlahan Zaura mulai terbangun. Ia berusaha mendudukkan dirinya meskipun masih sempoyongan.

Filzah tersenyum penuh syukur karena sang putri berhasil ia bujuk untuk bangun dari tidurnya.

"Alhamdulillah Putri sholihahnya Bunda sudah mau bangun, baca doa dulu Sayang."

Zaura menengadahkan kedua tangannya seraya melafadzkan doa bangun tidur yang sering Filzah ingatkan kepadanya.

Zaura mulai turun dari ranjang tetapi masih sempoyongan. Filzah yang melihatnya terkekeh dan tidak hanya tinggal diam.

"Anak sholihahnya Bunda masih mengantuk sekali ya, ya sudah Bunda gendong ya."

Zaura menganggukkan kepalanya dan Filzah langsung menggendong Zaura di belakang punggungnya. Awalnya Filzah kesusahan untuk berdiri karena beban di belakangnya sedikit berat. Putrinya sudah mulai besar sehingga ia harus ekstra bertenaga untuk menggendongnya.

"Maa syaa Allah Putri sholihahnya Bunda sudah berat ya sekarang."

Zaura tersenyum merespon ucapan Bundanya yang mengatakan bahwa tubuhnya sudah mulai berat sehingga sedikit susah untuk menggedongnya.

Lima Belas Menit Kemudian...

Filzah dan Zaura sudah selesai melaksanakan sholat tahajjud dengan berjama'ah. Kini mereka sama-sama menengadahkan kedua tangannya ke langit. Mencurahkan isi hatinya kepada sang Pencipta sekaligus sang Pemilik seluruh alam.

"Ya Allah ya Robbi ya Rohman ya Rohim, Allahumma sholli wasallim 'ala Muhammad. Ya Allah ya Tuhanku terima kasih ya Allah atas nikmat sehat dan nikmat lainnya yang Engkau berikan kepada hamba serta anak hamba. Ya Allah lancarkanlah rezeki kami. Izinkan kami bisa hidup dengan rezeki yang halal. Izinkan hamba bisa mendapatkan pekerjaan yang halal agar hamba bisa mencukupi kebutuhan hamba sehari-hari serta dapat membiayai pengobatan Bapak mertua hamba. Dan izinkan anak hamba, Zaura bisa sekolah dan bisa mencari ilmu. Aamiin Allahumma aamiin."

"Ya Allah ya Robbi, ya Rohman ya Rohim, Allahumma sholli wasallim 'ala Muhammad. Ya Allah Zaura ingin sekolah, izinkan Zaura sekolah ya Allah, Zaura ingin menjadi anak yang pintar dan nanti kalau Zaura dewasa Zaura ingin membantu Bunda mencari uang. Aamiin."

Filzah menoleh ke belakang. Ia tersenyum melihat sang putri yang baru saja selesai berdoa kepada Tuhannya.

Zaura membalas senyuman Bundanya seraya beranjak dari duduk bersimpuhnya. Menghampiri sang Bunda dan berhambur di pelukan kasih sayang sang Bunda.

Filzah memeluk putrinya dengan penuh syukur yang tak terhingga. Berkali-kali ia mencium puncak kepala sang putri yang terbalut mukenah mungilnya.

"Ya Allah jadikanlah anak hamba menjadi anak yang sholihah, yang patuh terhadap perintahmu dan taat kepadaMu. Aamiin Allahumma aamiin." Doa Filzah dalam hati.

🌹🌹🌹

Matahari mulai menampakkan sinarnya. Menduduki singgasananya. Bumi kembali terang dengan sinarnya. Pagi ini Filzah berniat untuk mencari pekerjaan. Usai sarapan ia berganti pakaian yang rapi dan bersiap-siap untuk pergi mencari pekerjaan.

"Zaura, Bunda pergi dulu ya Sayang, Zaura nggak apa-apa kan Bunda tinggal sebentar?"

Filzah menghampiri sang putri yang sedang belajar membaca buku kisah-kisah para Nabi. Buku yang ia dapat dari membantu Neneknya berjualan kue waktu di kampung.

"Iya Bunda, Zaura nggak apa-apa kok di rumah sendirian." Ucap Zaura yang sejenak menghentikan kegiatannya.

Filzah dapat bernapas dengan lega karena sang putri tidak keberatan untuk ditinggal sendirian di rumah. "Alhamdulillah, ya sudah kalau begitu Bunda pergi dulu ya Sayang."

Zaura mengangguk patuh. "Iya Bunda." Seketika Zaura meraih tangan Filzah. Menciumnya dengan penuh hormat.

"Assalaamu 'alaikum."

"Wa 'alaikumus salaam Bunda."

Filzah mulai melangkahkan kakinya menuju luar rumahnya.

"Bunda."

Langkah Filzah terhenti. Ia menoleh ke belakang. Terlihat Zaura sedang tersenyum ke arahnya.

"Semangat Bunda!" Ujar Zaura memberikan semangat kepada Bundanya yang akan mencari pekerjaan.

Filzah tersenyum. Ia kembali menghampiri sang putri. Dan memeluknya dengan rasa sayang yang semakin bertambah di setiap harinya.

🌹🌹🌹

Langkah Filzah terhenti di sebuah minimarket yang letaknya tepat di samping jalan raya sehingga banyak sekali pengunjung yang datang.

"Semoga saja di minimarket itu ada lowongan kerja untuk aku. Aamiin."

Filzah kembali melangkahkan kakinya. Memasuki minimarket tersebut dan tak lupa mengucapkan basmalah sebelum memasukinya. Serta berharap ada lowongan kerja untuknya.

Setelah beberapa menit kemudian Filzah keluar dari minimarket tersebut. Raut wajahnya tidak seceria waktu ia masuk tadi. Seketika wajah cerianya memudar.

"Ternyata nggak ada lowongan pekerjaan di sini." Filzah kembali mengulas senyumannya. "Aku nggak boleh menyerah, aku harus tetap semangat, in syaa Allah di tempat lain ada lowongan pekerjaan." Filzah tetap optimis dan berpikiran positif.

Seharian Filzah menyusuri jalan setapak demi setapak. Keluar masuk toko mulai dari toko sembako, toko mainan toko makanan dan toko yang lainnya. Namun hasilnya sama tidak ada lowongan pekerjaan untuknya. Keringat mulai bercucuran di wajahnya yang sejak tadi pagi terpapar sinar matahari langsung.

Filzah berhenti sejenak. Disaat-saat ia sibuk mencari pekerjaan namun ia tidak melupakan kewajibannya sebagai seorang hamba yang taat dan patuh atas perintahNya. Filzah berdoa kepada Allah agar ia diberikan kesabaran dalam mencari rezeki yang tidak mudah untuk didapatkan dan membutuhkan kerja keras yang ekstra.

Usai sholat dzuhur Filzah kembali menyusuri jalanan. Pandangannya tertuju ke arah sekitar. Mengamati setiap bangunan-bangunan besar yang bertuliskan toko sembako, toko alat tulis dan lainnya. Semua toko yang ia perhatian tida ada tulisan "ada lowongan pekerjaan" atau "membutuhkan karyawan baru". Pada menit berikutnya Filzah melihat ada tulisan "ada lowongan pekerjaan" tetapi bukan di depan toko melainkan di depan sebuah kantor. Tidak mungkin Filzah melamar di sana karena ia tidak membawa ijazah sekolahnya dan dapat dipastikan bahwa kantor besar di hadapannya itu membutuhkan karyawan baru lulusan sarjana bukan seperti dirinya yang hanya lulusan SMA saja.

🌹🌹🌹

Hari mulai sore. Matahari mulai lengser dari singgasananya. Tetapi Filzah belum kunjung mendapatkan pekerjaan. Perutnya sudah keroncongan sejak tadi. Ia sudah tidak kuat untuk melangkahkan kakinya lagi. Tenaganya kian terkikis. Tidak ada alasan lagi untuk Filzah tetap menjelajahi jalan raya yang mulai padat karena pasti para pekerja kantoran sudah dalam perjalanan pulang ke rumahnya masing-masing.

Akhirnya Filzah memilih untuk pulang ke rumah kontrakannya meskipun ia belum mengantongi kabar bahagia untuk putrinya yang pasti sudah menunggunya. Menunggu kabar bahagia darinya tentang pekerjaan yang sedang ia cari.

"Assalaamu 'alaikum."

Filzah masuk ke dalam rumahnya sembari mengucap salam. Namun di ruang tamu ia tidak mendapati putrinya di sana. Padahal tadi pagi saat ia akan pergi mencari pekerjaan putrinya sedang belajar membaca.

"Zaura..."

"Zaura kamu di mana Sayang."

Filzah menuju kamarnya namun putrinya juga tidak ada di sana. Rasa cemas langsung menyergapnya.

"Zaura kamu di mana Sayang."

Tidak berhenti di situ, Filzah langsung mencari Zaura di ruangan lain. Dan sesampainya di dapur ia melihat gadis kecil sedang menyiapkan makan malam di meja makan.

"Zaura."

Zaura yang mendengar namanya dipanggil lantas menoleh. Ia langsung tersenyum sumringah melihat Bundanya sudah pulang ke rumah.

"Bunda." Zaura langsung menghampiri Filzah. Tidak lupa ia mencium tangan Bundanya dengan hormat.

"Bunda sudah pulang?"

Filzah mengangguk pelan. "Iya Sayang alhamdulillah Bunda sudah pulang."

Seketika pandangan Filzah beralih ke arah meja makan yang sudah tersedia nasi dan lauk pauknya.

"Zaura yang menyediakan makanan itu semua?" Tanya Filzah dengan rasa ketidakpercayaan.

Zaura ikut beralih menatap meja makan. Lalu menatap Bundanya lagi. "Iya Bunda, Bunda pasti belum makan siang kan?, ini sudah mau malam lho Bunda, ya sudah ayo sekarang kita makan Bunda."

Tanpa banyak bicara lagi Zaura langsung menggandeng tangan Bundanya. Membawanya menuju tempat makan. Bahkan Zaura juga menyediakan kursi untuk Bundanya.

"Maa syaa Allah, jazakillah khoiron Sayang."

"Wa jazakillah khoiron Bunda."

Meskipun lauknya hanya telur ceplok dan kecap manis tetapi Filzah tidak menyangka putri kecilnya bisa melakukan itu semua. Ia menjadi penasaran kira-kira putrinya ini belajar dari mana cara memasak telur ceplok. Seingatnya ia belum pernah mengajari Zaura tentang masak memasak.

"Oh iya sebelum makan Bunda mau tanya dulu sama Zaura."

Zaura mengangkat sebelah alisnya. Mengespresikan rasa penasarannya.

"Bunda mau tanya apa?"

"Kalau boleh Bunda tahu, Zaura tahu menggoreng telur dari siapa Sayang?, bukannya Bunda belum pernah ya mengajari Zaura memasak?"

Zaura terkekeh karena Bundanya menanyakannya tentang dirinya yang sudah bisa menggoreng telur. Padahal Bundanya belum mengajarinya.

"Zaura pernah lihat Bunda sama Nenek menggoreng telur makanya Zaura bisa Bunda."

"Maa syaa Allah, pintar sekali sih anaknya Bunda ini, tapi Zaura bisa menggoreng telur karena siapa Sayang?"

Zaura terdiam sejenak. Mencerna pertanyaan Filzah diakhir kalimatnya.

"Karena Zaura kan Bunda?"

Filzah menggeleng pelan. Zaura kembali berpikir. Mencari jawaban yang tepat dari pertanyaan sang Bunda.

"Karena Bunda sama Nenek, Zaura kan sering melihat Bunda sama Nenek menggoreng telur."

Filzah menggeleng untuk yang kedua kalinya. "Bukan Sayang."

"Terus karena siapa Bunda?" Zaura sudah menyerah dengan pertanyaan sang Bunda. Jawabannya sejak tadi tidak ada yang benar.

Filzah tersenyum. "Zaura bisa menggoreng telur karena Allah Sayang. Allah yang sudah membuat Zaura bisa menggoreng telur. Jadi Zaura jangan lupa untuk selalu bersyukur kepada Allah, sekecil apapun itu Zaura harus selalu bersyukur ya Sayang."

Zaura mengangguk patuh. Akhirnya ia mendapatkan jawaban dari pertanyaan Bundanya dan Bundanya sendiri yang menjawabnya.

"Iya Bunda, Zaura akan selalu bersyukur sama Allah."

"Kalau Zaura bersyukur jangan lupa ucapkan..." Filzah sengaja menghentikan ucapannya. Ia memancing putrinya agar menuruskan ucapannya yang sengaja dijeda.

Zaura sempat terdiam. Namun pada detik berikutnya ia sepertinya mengetahui lanjutan ucapan sang Bunda.

"Alhamdulillah." Ucapnya bersemangat.

"Maa syaa Allah putri Bunda sholihah sekali sih." Filzah kembali memuji Zaura sekali berharap ucapannya adalah doa untuk putri tersayangnya.

"Oh iya Bunda, artinya alhamdulillah itu apa Bunda?"

"Artinya itu segala puji bagi Allah Sayang."

"Oh." Zaura ber-o ria. Rasa penasaraanya sudah terpecahkan.

"Bunda sudah dapat pekerjaan kan?"

Seketika Filzah terdiam. Ia hanya dapat tersenyum, sedikit. Ia bingung untuk menjawab pertanyaan putrinya dengan jujur karena jujur saja Filzah tidak tega jika sang putri mengetahui bahwa saat ini dirinya belum mendapatkan pekerjaan.

Zaura yang memperhatikan Bundanya terdiam menjadi kebingungan.

"Bunda kenapa?"

Filzah mulai tersadar. Ia kembali mengulas senyumannya. Senyuman bercampur kesedihan.

"Zaura, maafkan Bunda ya Sayang, Bunda belum mendapatkan pekerjaan."

Zaura sempat terdiam. Ia ikut sedih melihat raut wajah sang Bunda berubah menjadi sedih. Namun Zaura tidak diam saja melainkan ia langsung menghampiri Filzah serta mengelus lembut pundaknya.

"Bunda nggak usah sedih ya, besok Bunda bisa mencari pekerjaan lagi, semangat ya Bunda."

Seketika hati Filzah meleleh. Melihat sang putri yang memberikan semangat kepadanya bukan hatinya saja yang meleleh namun air matanya juga langsung meleleh. Filzah tidak kuasa lagi menahan rasa harunya dan langsung memeluk putrinya.

"Maa syaa Allah Zaura, anak Bunda, anak kesayangan Bunda." Berkali-kali Filzah mencium puncak kepala Zaura dengan rasa sayang yang tiada terhingga.

"Bunda yang semangat ya cari kerjanya." Zaura kembali menyemangati Bundanya agar tetap semangat meskipun belum mendapatkan pekerjaan.

"Iya Sayang, Bunda akan semangat mencari kerja, untuk masa depan Zaura, untuk biaya pengobatan Kakek dan untuk kebutuhan kita sehari-hari."

Zaura tersenyum bahagia melihat Bundanya kembali bersemangat untuk mencari pekerjaan.

"Zaura, kamu adalah penyemangat Bunda, Bunda bersyukur kepada Allah karena sudah menghadirkan kamu dalam hidup Bunda, Bunda menyayangimu Sayang." Filzah mengeratkan pelukannya. Mengekspresikan rasa cinta dan sayangnya kepada putri sematawayangnya yang selama ini menjadi penyemangat dalam hidupnya.

🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹

Assalaamu 'alaikumu Warohmatullahi Wabarokaatuh

Alhamdulillah part ketiga sudah hadir untuk menyapa kalian semua

🤗🤗🤗

Bagaimana nih testimoninya dengan cerita Cinta Istiqomah?

Mau dilanjut nggak???

Komen di sini yak

🗣🗣🗣

Sampai bersapa ria di part selanjutnya Readers

😎😎😎

Wassalaamu 'alaikum Warohmatullahi Wabarokaatuh

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!