Sebagian orang menganggap bahwa kematian adalah awal dari kehidupan yang sebenarnya, namun terkadang juga kematian dapat membawakan kita ke sudut dunia yang berbeda itu berlaku untuk seseorang yang di hakimi oleh Tuhan.
Ada dua alasan kemana seseorang akan di bawa ketika akhir hayat mereka telah tiba,
pertama mereka akan di hakimi atas dosa-dosa yang mereka perbuat di dunia yang pada dasarnya mereka jatuh tidak jauh dari surga maupun neraka. Dan yang kedua mereka secara mutlak akan di hapus dari semua waktu, keberadaan, serta
dapat di anggap orang tersebut sejak awal tidak pernah terlahirkan, pilihan ini terjadi ketika seseorang telah melakukan perbuatan yang benar-benar tidak terampuni ketika semasanya hidup.
Kejadian serupa terjadi kepada seorang pria yang bernama Izaya, ketika akhir hidupnya telah tiba ia secara sadar melihat berbagai sudut pandang lain dari dunia. Dari banyaknya semesta yang tersusun hingga kekosongan yang menjadi latar belakangnya.
Namun pengelihatan tersebut hanya berlaku untuk sesaat ketika ia melihat suatu sosok yang menyinari semesta di balik kekosongan, seolah kedatangan dari keberadaan tersebut adalah penghakiman yang datang untuk menghakimi Izaya.
Sosok tersebut semakin mendekati Izaya dan mulai menampakan diri. Akan tetapi kehadirannya juga berdampak pada tubuh Izaya yang secara perlahan mulai terhapus sejalan dengan kehadiran sosok tersebut yang semakin mendekat.
"Kau.. Perlu di hukum.. Manusia."
Ketika suatu perkataan keluar dari sosok tersebut, secara sadar Izaya benar-benar telah terhapus dan menghilang.
Hingga kesadarannya kembali di tempat yang berbeda.
Tak lama kemudian, Izaya mulai kembali membuka matanya dengan rasa kebingungan atas apa yang baru saja ia alami.
"Aku... Aku hidup?"
Hal pertama yang Izaya perhatikan adalah kondisi tubuhnya sendiri, dan secara terkejut ia baru menyadari bahwa tubuhnya benar-benar telah berubah derastis dari kehidupan sebelumnya.
"Tempat apa ini?"
Rasa terkejutnya masih terus berlanjut saat ia melihat apa yang ia pijaki sekarang adalah dunia yang berbeda. Dimana Izaya seolah berada di atas semua realita.
"Yo selamat datang."
Sejalan dengan arah ke depan terdengar suara wanita memanggil Izaya, ya itu tampak seorang Dewi yang sedang duduk di tahtanya.
Kali ini Izaya tidak lagi terkejut dengan kehadiran yang berada di depannya, karena setelah apa yang ia alami sebelumnya itu sudah tidak akan membuatnya heran.
"Biar kutebak, kau pasti seorang Dewi."
Izaya mulai membuka obrolan dengan sosok di hadapannya yang berpenampilan seorang wanita memakai atribut zirah perak dengan rambut pirang yang panjang.
"Tepat sekali, sepertinya kau tampak tidak terkejut lagi dengan apa yang baru saja terjadi kepadamu. Akan kuperkenalkan diriku, namaku Chornelia salah satu dewi yang memegang hukum semesta."
Dewi tersebut tampak antusias dalam mengenalkan diri.
"Begitu ya, kupikira ku tidak perlu mengenalkan diriku karena kuyakin kau mampu melakukan apapun terhadapku, termasuk situasi saat ini, yang membuatku bertanya... Kenapa aku tidak jatuh ke neraka?"
"Ini lucu sekali, jadi kau telah menyadari dosamu ya, dan alasan kenapa kau bisa sampai kemari adalah karena pilihanku.
Kau terpilih untuk melayani setiap perintahku."
"Apa maksudmu?"
Mendengarnya membuat Izaya merasa kesal, karena baginya hal yang paling ia benci adalah di manfaatkan meski Dewa sekalipun.
"Sepertinya kau tampak tidak menyukainya ya, biar kuperjelas, alasan kenapa kau kemari adalah karena dosamu yang tidak bisa di terima oleh Dewa manapun. Kau memiliki dosa yang harus di perhitungkan."
"Tidak di terima?"
Di saat yang sama Chornelia tersenyum sinis ketika Izaya mengatakan hal yang membuatnya bingung.
"Bodoh, kau telah melalukan kejahatan dengan 500 kasus pembunuhan yang meliputi berbagai aksi kejahatan seperti pemerkosaan, penyiksaan, bahkan melibatkan anak-anak, itulah satu-satunya hal yang tidak bisa termaafkan oleh dirimu.
Namun kau cukup beruntung bila berada di bawah perintahku. Alasan kenapa kau tidak jatuh ke neraka adalah karena keputusanku."
"Jadi maksudmu... Semua itu adalah berkatmu?"
Dan hal yang sama terjadi, untuk sekali lagi Dewi Chronelia tampak menahan gelak tawanya saat mendengar perkataan dari Izaya.
"Ya, di saat dewa lain tidak menerima keberadaanmu, dengan sedikit pertolonganku kau di berikan kesempatan, bukankah itu sedikit terkesan romantis."
"Langsung saja, jadi apakah kau memiliki alasan khusus kenapa kau menerimaku?"
"Oh kupikir kau akan tetap kepada keputusanmu untuk tidak melakukan setiap perintahku."
"Itu tergantung hasilnya. Terlebih lagi aku di berikan kesempatan seperti ini tentu saja aku tidak akan menyiakannya."
Izaya mulai tampak tertarik dengan semua yang Dewa Chornelia katakan.
"Baiklah. Alasan khusus ya hmm... Yah mungkin ada, namun alasan utamaku adalah untuk menghukum dirimu."
"Hukum kah? Ya itu wajar sih, jadi pada akhirnya itu sama saja aku akan jatuh ke neraka. Ya baiklah akan ku jalani apapun hukuman itu."
"Bwahahahaha...!!"
Dewi Chornelia melepaskan tawanya sepuas mungkin dan membuat Izaya menjadi bingung. Tawa tersebut seolah bukan di tunjukan sebagai hiburan melainkan hasrat lain yang ia miliki.
"Hahh.. kau memang pria yang menarik, sudah kubilang bukan, kau orang yang beruntung bisa berada di tanganku. Karena jika saja aku tidak menerimamu, kau akan merasakan hukuman yang membuatmu tidak akan pernah berarti lagi di kehidupan manapun. Dan hukuman yang akan kuberikan ini tidak terlepas dari perintahku."
"Jika aku menolak?"
Untuk sesaat suasana menjadi serius di saat situasi yang tidak berpihak padanya Izaya justru mengatakan hal yang tidak seharusnya.
"Menolak? Kau tidak akan pernah bisa melakukan hal itu, karena sejatinya kau sekarang adalah bonekaku."
"Baiklah satu hal lagi, apakah itu akan membuatku tetap menjadi diriku sendiri?"
"Ya.. Yaaaa..!! Hukuman yang akan kuberikan ini di baliknya juga ada alasan khususku. Jadi kau tidak perlu khawatir soal tujuanmu. Aku akan bertanya sekali lagi apakah kau bersedia berada di sampingku? Atau justru menentangku."
Mendengar tawaran tersebut membuat Izaya merasa tertarik hingga membuat raut wajahnya penuh rasa percaya diri.
"Asal aku bisa menjadi diriku sendiri, dunia manapun akan kuhadapi. Tentu dengan senang hati dan rasa tidak sabar aku menerimanya."
Pemikiran mereka berdua benar-benar terlihat sejalan, wajah yang mereka tunjukan seolah memiliki tujuan yang sama.
"Bagus.. Aku menyukainya. Baiklah akan ku jelaskan bagaimana kehidupanmu berikutnya. Pertama aku akan mengirimu ke suatu dunia tempat kami berada, ya dunia para Dewa. Dunia tersebut bisa kau sebut sebagai dunia sihir dimana segala kemungkinan bisa terjadi. Dan hukuman yang aku maksud adalah aku ingin kau membunuh Dewa jahat yang mempengaruhi dunia tersebut termasuk raja iblis dan rasnya."
"Itu terdengar tidak adil, namun aku cukup tertarik, terutama soal dunia sihir ini."
"Ya aku yakin kau akan menyukainya, namun tidak semua sesuai keinginanmu. Asal kau tau dunia tersebut berbeda jauh dengan dunia asalmu, kecil besar bahkan otoritas semua itu di tentukan oleh kekuatan dan kecerdasan. Bisa di katakan orang yang mempunyai bakat bisa saja jauh melampaui ekspetasi."
Izaya menaruh tanganya di dagunya sambil berpikir.
"Kalau begitu bagaimana cara menentukan kekuatan tersebut? Jika aku memasuki dunia tersebut akankah aku memiliki peluang untuk mendapatkan sejenis kekuatan?"
"Pada dasarnya iya, dan itu di tentukan oleh sistem dunia tersebut, namun kau adalah pengecualian. Anggap saja itu adalah bagian dari hukumanmu, tapi tenang saja kau bisa dapatkan kekuatanmu sendiri dengan cara berkembang."
"Ya tidak masalah selagi aku bisa berpikir dengan caraku sendiri. Dan aku memiliki beberapa pertanyaan, apakah dunia itu di penuhi dengan keberadaan Dewa?"
"Tidak-Tidak, keberadaan Dewa di sana hanyalah otoritas yang artinya ada hierarki sistem yang menempatkan otoritas tersebut. Dan setiap wilayah pasti memiliki pemimpin kau bisa menyebutnya sebagai Dewa."
"Ya itu sudah cukup kupahami, lalu... Apa alasan khususmu?"
Setelah itu Chronelia menegakan diri dari tahtanya lalu berjalan menghampiri Izaya yang berada di hadapannya. Dengan rasa senang ia perlahan mendekatkan wajahnya sendiri ke arah telinga Izaya.
"Ahh aku ingin setiap peranmu berakhir sebagai Villain hingga semua orang termasuk Dewa menjadikanmu sebagai ancaman. Dan jangan lupa soal hukumanmu."
Setelah Chronelia membisikan hal tersebut kepada Izaya, ia berjalan menghampiri tahtanya kembali dengan rasa bahagia yang tampak di wajahnya.
"Yah aku tidak tau apa tujuanmu ingin melakukan semua itu, namun yang jelas...
Bagiku ini bukan hanya sekedar hukuman namun kau telah memberiku kesempatan untuk merasakan hiburan sekali lagi."
Hal yang sama di rasakan juga oleh Izaya.
"Aku semakin menyukaimu, sebelum aku mengirimu ada hal yang harus kuberitahu. Saat kau tiba di sana, kau akan menyandang namaku."
"Namamu? Bukankah itu akan menjadi pusat perhatian. Bahwa aku telah menyandang nama seorang Dewi."
"Kau tidak perlu khawatir, keberadaanku sangat jauh dari dunia tersebut sehingga tidak ada makhluk yang dapat mengetahuiku. Kau bisa beranggapan bahwa diriku adalah konsep itu sendiri."
"Begitu ya, aku telah menduga bahwa kau memiliki jalanmu sendiri, karena kau memiliki otoritas yang tinggi jadi kupikir kau mampu bertindak semaumu. Di samping itu kenapa kau mengubah diriku yang sebenarnya?"
Ketika Izaya memperhatikan keseluruhan tubuhnya sendiri ia menyadari semua penampilan yang menggambarkan kepribadiannya telah di ubah, dari rambut hitam menjadi lebih pekat serta kondisi fisik yang terlihat awet muda dengan pakaian satu set kasual biasa.
"Hee.. Padahal aku berusaha untuk membuatmu terlihat tampan dan sedikit muda. Ya mau tidak mau kau harus mengakuinya. Baiklah langsung saja kukirim. Izaya... Berjalanlah dengan pelan-pelan kepadaku."
Mendengar perintah tersebut Izaya dengan segera berjalan menghampiri Chronelia yang sedang duduk berada di tahtanya.
Saat Izaya selangkah dekat dengan Chronelia... Suatu cahaya tiba-tiba datang dan menariknya.
Lalu tanpa di sadari Izaya telah berada di dunia yang berbeda.
***
Di dunia tersebut hal yang pertama Izaya pandang adalah rumput-rumput yang subur serta bukit-bukit yang di penuhi tumbuhan. Sekilas Izaya berpikir pemandangan ini tidak jauh berbeda dari pedesaan di dunia sebelumnya.
Namun di samping itu Izaya juga merasakan sesuatu yang berbeda dari dalam tubuhnya seperti fisiknya telah meningkat serta ia dapat merasakan adanya energi mengalir dalam dirinya.
"Cobalah kau gunakan energi sihirmu untuk menciptakan cermin."
Terdengar suara bisikan dari Chronelia di dalam pikiran Izaya, dan ia baru menyadari bahwa saat ini Chronelia sedang tidak bersamanya.
"Oh."
Izaya mengulurkan tangannya ke depan hingga secara langsung tercipta sebuah cermin.
"Begitu ya, kau memang istimewah Izaya, tidak kusangka kau mampu melakukannya secepat ini. Atau mungkin itu adalah bakatmu, aku tarik ucapanku tentang kau yang tidak dapat menggunakan sihir tanpa berkembang sendiri. Dan sekarang lihatlah dirimu ke cermin tersebut."
Izaya bercemin sesuai perintah Chronelia dan ia menyadari bahwa mata kirinya telah tergantikan oleh mata lain.
"Mata apa ini? Berwarna kuning?"
"Ya aku telah memberikanmu mata kiriku sebagai hadiah karena keputusanmu yang bijak dalam berhubungan denganku. Gunakanlah mata itu di saat kau benar-benar membutuhkannya. Dan mulai saat ini aku akan putus kontak denganmu, jadi putuskanlah sendiri bagaimana kau mengawali perjalananmu dan tentunya jangan lupa dengan tujuan yang sebelumnya kau buat. Atau kau akan menyesalinya, baiklah sampai jumpa semoga kau dapat membuatku terhibur di setiap ceritamu."
Dan setelahnya Izaya tidak dapat lagi mendengar suara Chronelia dari dalam pikirannya.
"Villain kah? Bodoh, tentu saja setiap peranku akan berakhir menjadi penjahat. Dan sekarang... Darimana ya aku memulainya, sungguh membuatku tidak sabar."
"Begitu ya, sistem dunia tidak mampu menahan batasan dari manusia itu. Sehingga pria itu mendapatkan kekuatannya dari kebocoran sistem atas kekuatannya sendiri. Aku tidak menyangka aku telah membawa sesuatu yang berbahaya di dunia para Dewa. Yah biarlah selama ia menjadi bonekaku aku akan tetap menyayanginya."
***
Dalam perjalanan yang baru ia mulai, Izaya memutuskan untuk mengikuti arah jalan yang terlintas di depannya. Di samping itu ia terus mencoba menciptakan berbagai hal dengan sihirnya mulai dari barang antik hingga sebongkah emas ia ciptakan, sehingga ia meninggalkan berbagai jejak di belakangnya.
"Apa yang di katakan Nona itu bohong soal kekuatanku? Buktinya aku mampu menggunakan kekuatan sihirku sepuasku, bahkan aku tidak merasakan lelah. Dan... Tanpa kusadari aku telah masuk ke daerah musuh ya."
Di daerah tersebut Izaya hanya melihat kehidupan para Goblin yang melakukan aktivitas mereka selayaknya penduduk desa biasa. Namun kedatangan Izaya justru membuat dirinya sendiri bingung dengan tanggapan para warga Goblin yang tidak menentang sama sekali soal kedatangan manusia.
"Melihat para Goblin mengingatkanku soal Game. Dimana mereka sangat agresif terhadap manusia terutama wanita, mungkin aku salah memilih genre waktu itu, yang jelas... Goblin jauh lebih buruk dari tampang mereka."
Izaya bergumam dengan nalurinya yang berambisi untuk segera menghancurkan koloni mereka.
Rasa tertariknya terhadap apa yang ia temukan membuat Izaya ingin memahami kekuatannya sendiri dengan begitu ia mungkin mampu membuat peluang yang lebih besar untuk menghancurkan mereka.
Namun untuk saat ini berjalan mengikuti arah adalah satu-satunya pilihan untuk memahami berbagai hal.
"Oh?"
Langkahan Izaya terhenti ketika ia melihat seorang manusia berada di kawasan para Goblin, terlebih lagi manusia tersebut adalah seorang wanita yang tampak sibuk mengobati mereka. Tanpa pikir panjang Izaya menghampiri wanita tersebut yang berada di salah satu tempat tinggal para warga Goblin.
"Apa yang sedang kau lakukan?"
Izaya langsung bertanya kepada wanita tersebut dan memandanginya cukup serius.
"Eh? Manusia? Bagaimana bisa anda... Mungkinkah anda juga salah satu orang yang di utus Dewi Gabriel untuk menolong warga Goblin?"
"Dewi Gabriel?"
Perkataan wanita tersebut cukup membuat Izaya bertanya-tanya, namun setidaknya ia memahami situasi saat ini hanya dengan mendengar alasannya.
"Anda kelihatannya bingung, jadi bukan ya. Maaf aku belum memperkenalkan nama, aku Riris salah satu pengikut Dewi Gabriel. Apakah anda seorang petualang?"
Wanita yang bernama Riris tersebut berbicara cukup sopan kepada Izaya, sikapnya sangat mencerminkan pakaian yang ia kenakan seperti biarawati.
"Ya aku seorang petualang. Sepertinya kau cukup sibuk mengobati para Goblin."
"Ya seperti itulah, lagi pula ini sudah tugasku. Sepertinya anda orang baru yang datang kemari ya, saya sarankan untuk segera keluar dari kawasan Goblin ini."
"Kau mengatakan hal itu kepadaku seolah kau tidak khawatir dengan dirimu sendiri."
"Ya karena itu adalah tugas saya, kalau begitu apa ada yang bisa kubantu?"
Untuk sesaat Izaya melirik ke arah tubuh wanita tersebut yang benar-benar membentuk tubuh ideal seorang wanita, dan itu cukup membuat Izaya berdebar-debar melihatnya, membuatnya berspekulasi bahwa wanita tersebut berada dekat di umur 40 tahun dengan tinggi yang sama persis yakni 195cm sejajar dengan Izaya.
Hingga suatu ide terlintas di pikiran Izaya.
"Oh ya kelihatannya kau cukup ahlih dalam sihir, jika aku di berikan tawaran.. Kalau bisa aku ingin belajar tentang dasar sihir setidaknya sampai aku memahami konsepnya."
"Belajar tentang sihir ya, itu keputusan yang bagus, seorang petualang baru memang harus bisa melindungi dirinya dengan sihirnya sendiri. Namun aku tidak dapat membantumu untuk hal ini, karena aku hanya belajar tipe sihir penyembuh dan bukan petarung. Tapi anda bisa belajar bersama suamiku."
"Suami? Sebentar... Bukankah seorang biawarati tidak boleh menikah?"
Ketika Izaya mengatakan hal tersebut, ia baru teringat bahwa dunia yang sekarang ia jalani mungkin sangat bertolak belakang dengan kehidupan sebelumnya.
"Ah apa yang anda maksud adalah pakaian yang saya kenakan? Iya itu memang benar, seseorang yang memakai pakaian biawarati sepenuhnya mereka telah menjadi pengikut Dewi Gabriel, namun... Karena saya tidak mampu menahan bisikan iblis. Maka saya telah terjerumus oleh salah satu dosa besar. Untuk menebus dosa tersebut saya memilih untuk menjauhi keberadaan Dewi Gabriel tapi tetap menjalani tugasnya."
"Kau takut di perhitungkan kah."
Sejujurnya Izaya sangat tertarik dengan Dewi yang bernama Gabriel, namun pioritasnya sekarang adalah untuk membuat dirinya menjadi lebih kuat dengan kemenangan yang mutlak.
"Baiklah ini peta yang akan membawamu ke tempat suamiku berada."
Riris memberikan sebuah peta ke tangan Izaya. Dan tampaknya peta tersebut bukan hanya sekedar menunjukan lokasi suaminya berada, namun berbagai daerah lainnya yang berada di luar kawasan Goblin.
"Oh ya satu hal lagi. Aku ingin tau sejak kapan kalian datang ke daerah Goblin ini?"
"Sekitar 8 jam yang lalu. Memang ada apa?"
"Begitu ya itu masih belum terhitung satu hari. Tidak, tidak apa-apa aku hanya heran dengan perkataanmu sebelumnya yang menyuruhku untuk keluar dari kawasan ini. Kalau begitu aku akan pergi, oh ya lain kali jika kita bertemu di waktu yang tepat... Aku ingin sedikit bermain denganmu."
Setelahnya Izaya bergegas pergi meninggalkan Riris dan segeranya ia menuju ke lokasi yang telah ia dapatkan.
***
Lima menit kemudian...
Dalam beberapa jarak meter ke depan dari tempat Izaya pertama kali bertemu dengan Riris, akhirnya Izaya telah sampai ke lokasi yang di tunjukan oleh peta tersebut. Dan ternyata lokasi tersebut sejalan dengan arah Izaya akan pergi. Artinya meski takdir tidak mempertemukan mereka, Izaya pasti akan bertemu dengan suami Riris.
Hal yang pertama kali Izaya pandang sesampainya di sana adalah sebuah pertarungan antara manusia dengan Goblin di area yang terbilang seperti sebuah lapangan terbuka.
Dalam pertarungan mereka yang sengit salah seorang petarung dari pertandingan tersebut melirik Izaya. Yang tidak lain adalah pria yang di sebut-sebut sebagai suami Riris.
"Stopp...!!"
Pria tersebut mengangkat tangannya dan bermaksud untuk menghentikan pertarungan mereka sejenak.
"Kenapa ada manusia? Dan pakaian tanpa atribut itu... Kau seorang pengembara?"
Akhirnya Izaya mendapatkan waktu untuk berbicara dengan orang yang ingin ia temui.
"Yo paman, bisakah kita berbicara sebentar? Aku kemari atas kemauan istrimu."
Pria itu memiliki struktur tubuh yang cukup bagus di usia menjelang tua, selain itu atribut yang ia kenakan terlihat seperti seseorang yang telah terlatih.
"Istriku? Baiklah tunggulah sebentar."
Setelah ia mendengar permintaan Izaya dengan segera pria tersebut menghentikan pertandangin secara penuh. Hingga mereka berdua memiliki waktu untuk mengobrol.
"Mereka semua sudah pergi jadi apa yang ingin kau bicarakan? Oh ya sebelum itu bisakah kau memberikanku bukti bahwa kau telah bertemu dengan istriku?"
"Ya tidak masalah."
Izaya memberikan peta yang sebelumnya Riris berikan kepadanya, dan tanggapan pria tersebut hanya mengamati tanpa mengambilnya.
"Ohh kau benar. Aku mempercayainya, sebelumnya aku berpikir kau adalah penjahat yang mencoba mengancam istriku, karena kau tau sendiri mulai hari ini akulah yang akan mendidik para Goblin untuk menjadi petarung demi diri mereka sendiri. Aku dan istriku akan menjadi panutan mereka karena kita sama-sama bekerja untuk masa depan koloni Goblin. Jadi wajar saja bila aku berpikir akan ada orang yang mencoba menghalangi kita terutama membinasakan para Goblin dengan usut bertemu dengan orang yang membimbing mereka."
Pria tersebut cukup percaya diri dengan yang baru saja ia katakan.
"Ya aku akan langsung ke inti pembicaraan. Aku ingin kita bertarung agar aku paham sendiri bagaimana cara sihir bekerja."
"Boleh-Boleh saja sih, tapi apa kau yakin? Matamu menunjukan keseriusan untuk bertarung melawanku secara penuh."
"Ya, meskipun ada kemungkinan buruk bahwa aku akan mati. Tapi belum tentu aku akan kalah, di kehidupan manapun kemenangan akan selalu ku dapatkan."
"Hahahah...!! Kau pria yang menarik, begini-begini aku juga mantan pahlawan yang bersanding dengan Dewi Gabriel. Aku menerimanya, panggil saja namaku Artanta."
[Sword Of Dawn]
Di saat yang sama seorang pria yang bernama Artanta tersebut memanggil sebuah pedang dari tangannya.
Melihat hal tersebut membuat Izaya memahami bagaimana cara kerja sihir dalam keadaan yang berbeda, seperti contohnya pedang yang baru saja Artanta keluarkan ia tampaknya membutuhkan rapalan sihir seperti penyebutan nama untuk memanggil pedang tersebut.
Apa yang Izaya pikirkan sekarang adalah membandingkan sihir yang selalu ia gunakan untuk menciptakan berbagai hal dengan sihir Artanta yang membutuhkan penyebutan nama, dan jelas Izaya berpikir kedua hal tersebut sangat berbeda.
"Baiklah, aku akan mencoba sedikit bagaimana perbandingan ini."
Izaya mengulurkan tangannya ke depan hingga sebuah pedang besi tercipta di tangannya. Hanya dengan melihatnya sekilas struktur dari kedua pedang tersebut jelas berbeda, yang di miliki Artanta seolah memiliki energi sihir yang besar melapisinya sedangkan Izaya sebaliknya.
"Bagaimana? Apa kau merasakan perbedaan kekuatan kita?"
Justru apa yang Artanta tunjukan membuat Izaya semakin tertarik untuk melihat perbedaan di antara mereka.
"Begitu kah, begitu kahhh... Menarik. Kupikir sebelumnya segala hal yang di ciptakan sihir adalah lewat imajinasi tanpa suatu batasan penggunaannya. Namun ternyata ada juga sihir yang membutuhkan penyebutan nama, dalam bahasa lain mungkin aku menyebutnya Summon. Artinya apa yang sekarang kau pegang adalah benda nyata dan bukan tercipta dari sihir. Benar begitu.... Sensei."
Izaya penuh gairah semangat yang terdapat di setiap perkataannya.
"Rupanya kau cukup jeli, aku tidak menyangka kau akan memahaminya secepat ini. Ya itu benar, ini bukanlah sihir namun cenderung ke pemanggilan, jika di perumpamakan ini seperti kau menyimpan pedang dalam suatu sihir dan secara bersamaan itu bisa di iringi energi sihir. Tapi ada juga sihir murni yang membutuhkan pengucapan."
Ketika Artanta sedang menjelaskan, suatu tindakan di tunjukan oleh Izaya yang dimana ia tiba-tiba menjatuhkan pedangnya.
"Sejujurnya aku tidak membutuhkannya untuk melawanmu, namun sebagai gantinya akan kutunjukan sebuah hiburan."
Pedang yang ia jatuhkan bukanlah sebuah alasan untuk melakukan penyerangan, namun dalam keadaan ini Izaya benar-benar merasa berantisipasi. Kedua tangan Izaya secara langsung menunjukan adanya cahaya yang tampak mengalir seperti energi sihir, hingga sebuah sarung tinju tercipta di kedua tangannya.
"Sarung tinju? Dan itu terlihat terbuat dari besi apa kau yakin memilih metode penyerangan jarak dekat?"
"Ya aku sudah bilang bukan, apa yang akan kulakukan sekarang ini akan sedikit menghiburmu. Terlebih lagi aku melakukan hal ini karena aku juga ingin mengamati bagaimana cara kerja sihir dalam batas tertentu."
Kepercayaan diri Izaya yang ia tunjukan membuat Artanta merasakan keraguan di setiap tindakannya.
"Baiklah, aku akan mulai."
Tanpa pikir panjang Artanta langsung menghunuskan pedangnya ke arah depan Izaya, dan tentu saja Izaya dapat dengan mudah menghindarinya karena itu berada di jarak arah pandangnya.
Ketika Izaya dapat merespon serangan tersebut, ia baru menyadari bahwa pola serangannya bukan hanya tertuju pada satu arah, ya Izaya merasakan adanya suatu terjangan mengarah ke setiap titik vital dalam satu serangan, seolah Artanta mampu melakukan semua itu hanya dalam satu tindakan.
"Begitu ya kau memang mantan pahlawan, aku akui itu."
Lagi-lagi kepercayaan diri Izaya membuat Artanta merasa ragu untuk melanjutkan serangan berikutnya, dan hal tersebut berdampak pada peluang Izaya untuk membalikan keadaan.
Ketika Izaya melihat sebuah celah dalam serangan Artanta dengan segera ia memanfaatkan situasi tersebut untuk membuat satu serangan yang mematikan dalam satu serangan.
"Te-Tekanan apa ini? Gawat... Itu akan mengenaiku, aku bisa merasakan adanya tekanan dahsyat dari pukulan yang akan di lancarkan pria ini."
Artanta bergumam dengan rasa takut dari kehadiran pukulan Izaya, yang terlihat mencoba memanfaat kelemahan dari serangan yang ia ciptakan sendiri.
"Baiklah akankah kau mampu menahan pukulan ini pahlawannn!!"
Pukulan dari arah kanan dengan penuh tekanan Izaya lancarkan tepat mengarah di dada Artanta dan itu mampu mengabaikan serangan pedang miliknya.
"Gawat...!"
Saat semangatnya membara di saat detik-detik menegangkan dimana Izaya mengenai zirah yang menutupi dada Artanta....
"Apa ini?"
Suatu keganjalan terjadi dimana Izaya merasakan adanya keanehan di tubuhnya yang membuat tekanan tersebut berkurang di hadapan Artanta.
Di saat yang sama Artanta memasang raut wajah sinis dan merubah ekspresi rasa takut yang sebelumnya ia rasakan menjadi pandangan yang berbeda.
"Bodoh... Aku tidak akan semudah itu mati di tangan seorang pemula hahaha!. Walau status kita sebagai guru dan murid aku tetap saja tidak mau mati tau!."
*Duarr...!!*
Tanpa di sadari secara langsung ledakan terjadi yang membuat setengah badan Izaya hancur terlubangi, dan itu cukup membuat Izaya terkejut dengan tindakannya.
Darah ada di mana-mana bahkan organ pentingnya telah hancur, Izaya benar-benar telah menerima luka fatal.
Di samping itu Artanta justru terlihat lega dengan apa yang terjadi kepada Izaya, bukan hanya merasa lega ia tampak lebih senang melihatnya.
"Kau mungkin akan bertanya, bagaimana ledakan itu terjadi. Ya ledakan tersebut terjadi tepat di saat kita pertama kali bertemu, lebih tepatnya peta yang kau tunjukan kepadaku adalah sama halnya dengan item sihirku. Aku hanya perlu sedikit mengenai peta tersebut dengan pedang yang aku lancarkan dan hal inilah yang akan terjadi, dan bodohnya kau menyimpannya di sakumu."
Artanta sungguh antusias dalam menjelaskannya ketika keadaan telah berpihak padanya.
"Begitu kah, maka tidak heran kau tidak menyentuh peta tersebut yang mungkin akan meledak karena berinteraksi langsung dengan penggunanya dan ternyata itu adalah kartu AS mu. Aku tidak menyangka pahlawan bisa selicik ini juga ya."
Dalam keadaan yang sangat mengenaskan Izaya masih memiliki kesadaran untuk berbicara dengan Artanta.
"Terserah apa yang kau katakan, bagiku semua yang kita lakukan menyangkut harga diriku. Yah meski sebenarnya tujuan peta tersebut adalah untuk membuat istriku bisa melindungi dirinya sendiri atau saat ia mulai memberontak mungkin aku akan melakukan hal yang sama."
"Begitu ya, inikah sifat aslimu? Apa yang terjadi bila aku memberitahu istrimu?"
"Terserah, selagi dia mengikuti perintahku aku yakin dia akan selalu berpihak kepadaku. Baiklah aku pergi semoga Dewa memberkatimu."
[REGENERATION]
Suatu ucapan terdengar di telinga Artanta yang membuatnya berhenti melangkah di saat ia baru berkeinginan untuk pergi.
"Hoi kau ingin pergi begitu saja tanpa menerima penyesalanmu ha?"
"Ti-Tidak mungkin."
Artanta di buat terkejut oleh tindakan Izaya yang tidak pernah terpikirkan olehnya, dimana Izaya yang sebelumnya menerima luka fatal hanya butuh beberapa momen Izaya bangkit dengan tubuh prima tanpa sedikit pun luka yang terlihat, itu seolah ia memiliki regenerasi super cepat.
"Kau telah membuatku kecewa, kupikir aku akan mendapatkan hiburan yang sedikit menyenangkan. Namun rupanya kau memulai kelicikanmu terlebih dahulu, maka dari itu akan kubuat kau menyesalinya."
Izaya secara perlahan mengarahkan tangan kanannya ke arah Artanta dan menunjukan rasa percaya dirinya.
"A-Apa yang kau mau?"
Artanta di buat bingung oleh tindakan Izaya.
"Sampai jumpa."
Suara jentikan jari terdengar.
*Blarrr*
Percikan darah keluar dari kaki Artanta tanpa merasakan sakit ia menyadari bahwa kedua kakinya dan lengannya telah menghilang dan secara reflek ia terjatuh terbaring.
"Si-Sialan kau... Bagaimana kau mampu menggunakan regenerasi!? Itu membutuhkan banyak energi yang akan membuatmu mencapai batasmu."
"Batas? Aku masih belum merasakan batasan itu. Asal kau tau pahlawan gadungan, selama kita bertarung aku memahami banyak hal terutama soal perbedaan sihir pengucapan dan yang tidak. Pada dasarnya itu sama namun sihir pengucapan cenderung dayanya lebih besar dan membutuhkan energi banyak. Seperti contohnya regenerasi tersebut membutuhkan banyak daya hingga perlu suatu pengucapan untuk mencapai tingkat tertentu. Sudahlah akhir hayatmu telah di tentukan dan jangan pikir ini telah berakhir."
Secara Tiba-Tiba sebuah kehadiran datang di balik bayangan Izaya.
"Ti-Tidak mungkin... Ririssss...!!!"
Sosok Riris dengan tubuh yang terikat rantai hadir di depan Artanta yang dalam keadaan terpuruk.
"Ahh.. Istrimu bilang ia berpaling kepadaku bukankah begitu... Sayang?"
Izaya mengatakannya dengan lentang dan membuat perasaan Artanta benar-benar tercambuk-cambuk.
"Apakah itu benar?.. Ririsss..!!"
Kenyataan yang berada di depannya membuat Artanta kehilangan harapannya, meski ia masih belum mendengarkan jawabannya hanya dengan melihat reaksi Riris yang hanya terdiam Itu sudah menyakiti perasaannya.
"Itu benar, aku telah mengandung anak Tuan Izaya. Selama ini aku merasa jijik dengan perlakuanmu sayang, aku sudah tidak tahan lagi, seorang ksatria yang hidup dalam ketakutan tidak akan pernah bisa selalu melindungiku. Tidak sepatutnya kita melanjutkan hubungan kita."
Risis tersenyum tipis dengan senang ia tunjukan kepada Artanta yang hanya mampu melihat mereka bercinta tanpa bisa melawan balik melihat dari bagaimana kondisi yang di terimanya.
"Jika kau masih meragukannya, aku bisa menunjukannya, jadi pasang baik-baik pandanganmu jangan kau palingkan."
Tanpa keraguan Izaya langsung memeluk Riris dengan erat dan menjilati lehernya, di samping itu tangan lainnya menarik pakaiannya lalu merobeknya secara halus serta membuat raut wajah yang penuh hasrat n4fsu di depan Artanta.
"Tidak...Tidakk...!! Kumohon hentikan kalian berdua. Jangan... Jangan...!!"
Sebuah suasana penuh romansa pun dimulai, dimana Izaya mencium bibir Riris dengan penuh rasa cinta hingga secara bertahap menjadi mulut ke mulut seperti lidah mereka saling bermain.
"Eeemmmm..."
Suara kecil dari Riris terdengar, saat ini ia dalam keadaan yang tidak dapat menentang tindakan Izaya namun ia sendiri justru terlihat menikmatinya dan momen ini masih belum berakhir, tangan Izaya terlihat masih belum berhenti untuk terus merobek pakaian Riris sampai ia menelanjanginya.
"HENTIKANNNNNNNN....!!"
Kemarahan Artanta memuncak membuatnya menggunakan seluruh energi sihir hingga melampaui batas, itu dapat mereka rasakan seperti bumi berguncang sangking kuatnya.
"Lihatlah kami, bukankah ini penuh gairah romansa? Oh ya ngomong-ngomong aku ingin memiliki anak dengan Riris sebanyak 10 anak, aku ingin tau bagaimana tanggapanmu... Pahlawan."
Izaya benar-benar memerankan jati dirinya kesan tersebut sangat berdampak pada Artanta yang tidak sanggup lagi melihat mereka bermesraan.
"Aku... Aku.... KUBUN-"
Perkataan Artanta terhenti ketika ia telah melampaui batasan energi yang di keluarkan hingga berdampak pada dirinya sendiri, itu seperti sebuah wadah yang berisikan kekuatan namun kekuatan tersebut mencoba melewati batas yang sanggup di terima, hingga berakhir menghancurkan dirinya sendiri.
"Aku menyukai momen ini. Lebih baik segeranya kau pergilah ke surga... Pahlawan."
Untuk sekali lagi Izaya mengarahkan tangan kanannya ke arah Artanta yang perlahan menjadi abu karena terbakar oleh energi sihirnya sendiri. Sebelum itu terjadi Izaya menciptakan sebuah momen dimana ia membersihkan semua kekacauan hanya dalam satu genggaman, hingga semuanya berakhir.
"Apa ini sudah cukup... Riris?"
Riris perlahan melepaskan pelukan dari Izaya dan mencoba untuk menutupi tubuhnya kembali.
"Iya itu sudah cukup. Terima kasih Tuan Izaya."
Riris menunjukan senyuman bahagia kepada Izaya.
"Meski begitu, aku tidak menyangka kau berani bertindak sejauh ini. Kau seperti iblis saja... Riris."
"Seperti perjanjian sebelumnya.. Saya siap menyandang nama anda... Tuan Izaya."
Riris berlutut di hadapan Izaya dengan rasa hormat yang ia tunjukan.
"Bagus, aku menyukai sikapmu. Riris... Mulai sekarang kau akan terikat oleh ku untuk selama-lamanya... Turutilah semua perintahku tidak terkecuali satupun. Jadilah pelayanku yang bersedia mengorbankan nyawa untuk diriku. Sihir [Reincarnation]"
Sebuah lingkaran sihir hadir di bawah kaki Riris hingga suatu cahaya menarik paksa tubuh Riris kedalam lingkaran tersebut.
Tidak membutuhkan waktu lama Riris kembali hadir dari dalam lingkaran tersebut namun dengan penampilan yang berbeda, Riris yang sekarang tampak memakai atribut yang sangat bertolak belakang dengan penampilan sebelumnya.
Selain kulitnya yang putih, sekarang ia di gambarkan memiliki rambut hitam panjang dan memakai sebuah zirah perang berwarna hitam serta wajah yang tertutupi oleh selembar kain hitam.
"Ini luar biasa, tidak kusangka aku mampu menguasai sihir secepat ini. Bahkan setelah membuat sihir reinkarnasi aku masih belum merasakan lelah. Dan Riris... Kau tampak elegan sekarang, aku jadi ingin membawamu ke ranjang. Akan ku katakan sekali lagi. Siapa tuanmu? Siapa penciptamu? Dan apakah kau merasa telah di sucikan kembali?"
"Tuan saya hanyalah Tuan Izaya, pencipta saya hanyalah Tuan Izaya. Dan saya baru terlahirkan kembali sebagai sosok suci yang akan mengabdi kepada anda Tuanku dan saya adalah.... Riris Void."
Dalam pengenalan diri tersebut Riris menunjukan pengabdiannya dengan cara tunduk di hadapan Izaya.
***
Beberapa waktu lalu saat sebelum Izaya menemui Artanta...
"Baiklah sampai jumpa."
"Tunggu!"
Selangkah ketika Izaya berkeinginan untuk pergi secara tiba-tiba Riris memanggilnya kembali. Dan respon yang di tunjukan Izaya hanyalah meliriknya dari belakang.
"Anu... Kalau boleh tau siapa nama anda?"
Riris bertanya kepada Izaya dengan rasa ragu, saat ia tau bahwa pria yang ia temui memiliki aura keberadaan yang berbeda.
"Izaya... Hanya itu saja."
Untuk beberapa saat Izaya merasa bahwa Riris ingin mengatakan sesuatu di balik alasan ia menanyakan nama.
"Sepertinya anda mengetahui sesuatu tentang anda bertanya soal kapan saya kemari. Benar begitu?"
"Oh? Tampaknya kau mencurigaiku ya."
Izaya memutuskan memutar balik badannya dan sekali lagi ia menghampiri Riris namun dengan jarak wajah yang cukup dekat. Dan tanggapan Riris tentang tindakannya hanya ia balas dengan senyuman.
"Entah kenapa saya ingin terus menggunakan bahasa formal kepada anda. Mungkin aura anda membuat saya merinding, saya bisa merasakan bahwa anda telah menemui banyak kematian."
Riris mengatakan hal tersebut tanpa beban sedikit pun setelah keraguan yang ia tunjukan sebelumnya.
"Hee.. Omonganmu menarik juga, selain parasmu... Rupanya kau tak tampak sepenuhnya seperti biawarati. Kau tau apa yang membuatku tertarik di setiap bagian wanita?"
Dengan hasrat cintanya Izaya meraih wajah Riris dan menunjukan kedekatan yang lebih dekat hingga mereka bisa merasakan nafas satu sama lain.
Namun sekali lagi Riris tidak menunjukan suatu jawaban kepada Izaya bahkan dengan kondisi yang terbilang cukup agresif.
Selang beberapa detik mereka saling memandang dengan senyuman yang mereka perlihatkan, yang sebenarnya itu adalah rasa kepercayaan diri mereka.
"Ya, aku menyukai sisi wanita karena...."
*Slash*
Terdengar sebuah sayatan dan tanpa di sadari segumpal darah keluar dari perut Riris, ia bahkan tidak menyangka telah menerima luka dalam keadaan yang tidak pernah terbayangkan olehnya.
"Huaakkk..."
Riris terus memuntahkan darah yang keluar dari dalam mulutnya, dan di saat kesadarannya mulai terganggu ia mencoba melihat apa yang sebenarnya terjadi.
"Be.. Begitu ya."
Tampak bercakan darah di tangan Izaya yang memegang sebuah pisau di sertai aura membunuh yang kuat.
Ketika Riris mencoba menyembuhkan dirinya sendiri tampaknya kejahatan Izaya masih belum berakhir. Sekali lagi Izaya melanjutkan kejahatannya terhadap Riris dimana kali ini ia mencekik leher Riris dengan sangat kuat tanpa memberikannya sebuah kesempatan, dan hal tersebut sudah jelas membuat Riris tidak berdaya hingga membuatnya terbaring ke lantai.
"Hoi Hoi... Kau pikir aku bodoh bisa tertipu dengan senyuman manismu haaa...!?"
Dalam keadaan Izaya mencengkram leher Riris di samping itu Izaya menyadari keinginan kuat yang di miliki oleh Riris, asumsi tersebut Izaya dapatkan saat melihat salah satu tangannya menyembunyikan sebuah pisau yang bermaksud untuk membunuh Izaya.
Keadaan ini benar-benar membuat hasrat membunuh Izaya melambung tidak teratur.
"Apa alasanmu mencoba membunuhku nona?"
Sembari Izaya menanyakan alasan tersebut ia secara sengaja semakin mencengkramkan cekikannya terhadap Riris.
"To... Tolong.. Be.. Rikan Kesem.. Patan.. Berbi... Cara."
Riris tidak tahan lagi dengan rasa sakit yang membuatnya kehilangan kesadaran secara perlahan, bahkan setiap ucapan yang ia keluarkan itu terdengar seperti memaksakan dirinya sendiri.
"Ya aku akan memberikanmu kesempatan berbicara namun sebelum itu..."
Perlahan Izaya menaiki tubuh Riris yang terbaring dan secara perlahan ia melepaskan cengkraman yang di buatnya, untuk beberapa saat Riris merasa legah, namun sebagai gantinya Izaya menahan kedua tangannya.
Masih belum selesai, kali ini Izaya memegang dua pisau yang salah satunya di miliki oleh Riris, tanpa sebuah alasan dengan sigap Izaya memilih cara lain untuk membuat Riris tidak berdaya lagi dengan cara....
Menusuk kedua tangannya dengan pisau hingga ujungnya menembus lantai, dampaknya ia tidak dapat dengan mudah memberontak terlebih lagi Izaya menahan tubuhnya.
Tentu apa yang Izaya lakukan membuat Riris menjerit kesakitan namun itu hanyalah pendapatnya, tapi faktanya meski Izaya telah menahan semua titik vitalnya dan memberikan kesempatan untuk berbicara, lagi-lagi Riris menunjukan senyuman kepercayaan dirinya, yang seolah membuat Izaya semakin tertarik dengan kepribadian yang dimilikinya.
Tapi dalam sudut pandang Izaya, ia memiliki asumsi sendiri tentang respon yang Riris tunjukan. Pertama ia tidak ingin menjerit karena mungkin akan menjadi perhatian para Goblin di sekitarnya, yang kedua adalah soal suaminya, yang terlihat tidak ingin melibatkannya. Yang pada dasarnya wanita yang bernama Riris ini memiliki alasan tersendiri yang hanya ingin di dengarkan oleh Izaya tanpa melibatkan orang tercintanya.
Terlebih lagi tindakan Izaya sekarang membuat perhatian para Goblin di sekitarnya.
"Oh? Rupanya beberapa para kerdil di sini ingin ikut campur urusan kita, dasar makhluk kotor tak berakal."
Ketika para Goblin mulai menghampiri mereka berdua secara berkelompok, Izaya membuka mata kirinya selebar mungkin dan entah apa penyebabnya secara tiba-tiba para Goblin tersebut terdiam seolah membatu. Bukan hanya para Goblin saja, Izaya juga sedikit terkejut saat melihat reaksi Riris yang tampak merinding menyaksikannya.
"Jadi langsung saja.. Jawab pertanyaanku apa alasanmu mencoba untuk membunuhku ha!?"
Izaya terus menekan Riris tanpa memberikannya sebuah kesempatan untuk menyembuhkan diri dari luka fatal yang ia terima, sehingga kematiannya semakin mendekat. Namun dari reaksi tubuh Riris setidaknya saat ini ia mencoba menahan kesadarannya untuk berbicara dengan Izaya.
*Muntah Darah*"Saya... Memiliki... Beberapa permintaan, saya... Ingin.. Anda mengabulkannya."
"Begitu ya, lagi-lagi kau tidak menjawab alasanmu. Tapi soal perkataan terakhirmu tadi... Aku akan memikirkannya kembali, setelah kau menerima hukumanmu."
"Ya... Apa pun itu, saya akan menurutinya meski saya saat ini sangat menjijikan."
Suara Riris memang terdengar pasrah namun ekspresi yang ia tunjukan menjadi alasan Izaya untuk menunjukan jadi dirinya yang sebenarnya.
"Berapa lama... Kau mampu menahan kesadaranmu?"
Apa yang Izaya rasakan saat ini sangat berbeda dengan dirinya yang sebelumnya, dimana untuk pertama kalinya Izaya tersenyum selayaknya seorang iblis.
"Mungkin.... Sekitar... 35 menit."
"Itu sudah cukup."
Hasratnya telah memuncak, tanpa pikir panjang Izaya meraih pakaian Riris yang ternodai oleh darah, lalu secara bertahap ia melucuti pakaian tersebut sambil menekan bagian penting kewanitaan milik Riris hingga membuatnya terbawa suasana.
"Apa... Anda ingin melakukannya? Namun keadaan ini, tidak enak untuk di pandang."
"Justru dalam keadaan ini membuatku bergairah. Selain itu nikmatilah di saat-saat terakhirmu."
"Baik. Tuan Izaya."
Riris menunjukan senyuman bahagia meski dalam keadaan yang tidak mampu untuk melakukan apapun di hadapan keberingasan Izaya.
***
Beberapa momen kemudian di tempat yang sama... Lebih tepatnya setelah keinginan Izaya terpenuhi.
"Untuk pertama kalinya, baru kali ini aku menemukan seorang wanita dengan kepercayaan diri yang tinggi. Bahkan setelah apa yang ku katakan kau tidak menyangkal tindakanku. Atau mengatakan keinginanmu, sungguh membuatku jatuh hati."
"Anda juga, saya tidak menyangka anda memberi saya kesempatan untuk memulihkan diri di saat-saat terakhir. Sebelumnya saya berpikir akan mendapatkan kematian yang tidak enak di pandang."
Sembari Riris berbicara dengan Izaya yang berdiri di hadapannya, ia perlahan memakai kembali pakaiannya.
"Namun Riris... Sampai saat ini aku tidak menyangka, kau memiliki kepribadian yang di luar perkiraanku. Atau mungkin itulah sosok dirimu yang sebenarnya. Sebelum kau mengatakan permintaanmu, aku ingin mendengar alasanmu yang sebelumnya."
Setelah Riris memakai kembali pakaiannya ia mencoba untuk berdiri dan menghadap langsung dengan Izaya.
"Soal itu... Saat saya mendengar anda bertanya kapan saya datang, membuat saya berpikir anda mengetahui sesuatu tentang para Goblin yang terjinakan di kawasan ini."
"Oh soal itu kah. Yah.. Aku bisa merasakan sifat sejati mereka tanpa menggunakan sihir. Untung saja kau tidak melewati malam di kawasan ini, jika hal itu terjadi mungkin itu akan menjadi hal yang paling menjijikan di hidupmu bahkan melebihi apa yang sebelumnya kulakukan terhadapmu. Ya sebuah reproduksi yang sangat mengerikan."
"Anda tidak perlu menjelaskannya sampai di bagian itu, tapi hal itulah yang membuat saya tertarik untuk pertama kalinya kepada anda."
Lagi-lagi senyuman Riris yang penuh rasa kepercayaan diri ia tunjukan.
"Hanya itu saja? Aku yakin dalam satu pemahaman akan ada serangkaian maksud. Kau sebenarnya... Tidak berpihak pada Dewi Gabriel bukan? Bahkan pakaian yang ternodai itu tidak termasuk tujuanmu yang sebenarnya."
"Itu benar. Dalam kasus saya, bisa di katakan saya adalah Iblis. Ya iblis yang bernama Succubus."
Perkataan terakhir Riris sesaat membuat Izaya menyadari sesuatu.
"Succubus? Pantas saja kau mampu membuatku berada di fase yang jarang ku tampilkan. Ternyata aku telah bertemu dengan hasrat itu sendiri. Lanjutkan."
"Saya memang iblis, namun untuk beberapa alasan... Saya telah kehilangan seluruh kekuatan saya. Bahkan bercinta dengan seseorang itu tampak sedikit sulit untuk saya lakukan. Bukankah ini terdengar ironis? Saya yang sejatinya iblis pembawa cinta justru tidak dapat melakukan hal tersebut, sekarang saya hanyalah manusia biasa. Dan alasan kenapa saya menjadi begini adalah... Karena terkena kutukan dari Dewi Gabriel."
"Gabriel lagi ya. Apakah suamimu mengetahui hal ini?"
"Tidak, bahkan tentang fase para Goblin yang terjadi di malam hari ia tidak mengetahuinya. Jika saja saya membiarkan malam berlangsung nanti, mungkin hal itu akan menyebabkan mentalnya hancur. Dan mungkin anda bertanya kenapa saya menikahi pria itu?"
"Tidak perlu, seorang iblis memiliki sifat alaminya bukan? terutama seperti di manfaatkan atau memanfaatkan."
"Saya cukup kagum dengan tanggapan anda. Ya dulu pria itu adalah pahlawan di daerah luar kerajaan Dewi Gabriel. Namun anda bisa beranggapan bahwa sekarang ia hanyalah pahlawan gadungan yang hanya memiliki sedikit harta. Obsesinya dengan koloni Goblin membuat saya ingin melekat padanya, maka dengan itu mungkin untuk beberapa waktu saya akan aman berada di dekatnya karena berada di luar jangkauan Dewi Gabriel, dan tentunya dengan sedikit kepalsuan soal diri saya yang terikat oleh Dewi mereka."
"Sepertinya aku mulai paham dengan alasanmu. Singkatnya... Kau ingin mencari seseorang yang mampu melindungimu, setelah kau melihat bagaimana diriku yang sebenarnya... Kau ingin berpaling kepadaku, itu seperti sebuah parasit."
"Itu benar, namun untuk anda tanggapan saya berbeda. Mungkin ini sudah saatnya saya menjelaskan tujuan saya. Meski secara 25% anda telah mengungkapkannya. Saya tidak bermaksud memanfaatkan anda, namun lebih tepatnya menyerahkan diri saya, di samping itu saya ingin anda melakukan sesuatu."
Beberapa perkataannya membuat Izaya tertarik, hingga sejauh ini semua yang ia katakan terdengar meyakinkan.
"Ya apa itu?"
Ketika Izaya bertanya tentang alasannya secara tiba suatu tindakan di lakukan Riris, dimana ia meraih wajah Izaya dan menunjukan ekspresi penuh gairah.
"Saya ingin... Anda mengakhiri penderitaan saya. Ya saya mohon hancurkan apa yang saat ini saya miliki, dan saat itulah saya bersedia menjadi bawahan anda."
"Menarik. Tapi bagaimana kau membuktikan kesetiaanmu itu? Tentu selain aset besarmu."
"Anda masih belum memahami tentang sihir bukan? Maka dari itu saya akan membagikan ingatan saya agar anda dapat memahami beberapa tingkatan sihir. Bukan hanya itu. Saya ingin anda merubah diri saya secara penuh, saya sangat yakin anda mampu melakukannya."
Dalam kehidupan sebelumnya Izaya tidak pernah bertemu dengan sosok yang memiliki dua kepribadian mengerikan seperti Riris. Ia seolah menggambarkan suatu individual yang tidak memiliki rasa emosional. Dan tentunya itulah yang membuatnya tertarik dengan Riris.
"Mengubah? Tidak. Itu masih belum cukup, aku ingin kau menyerahkan jiwamu serta segalanya namun dalam diri yang berbeda. Singkatnya aku ingin membuatmu terlahirkan kembali dan hanya terikat olehku, bahkan mengabaikan Tuhan sekali pun. Maka aku akan-"
"Lakukan."
Perkataan Riris yang memotong pembicaraan Izaya membuat keadaan menjadi penuh ketegangan, dimana Izaya juga terkejut saat mendengarkan jawabannya tanpa berpikir panjang.
"Aku benar-benar menyukaimu Riris... Ya aku jatuh cinta kepadamu. Maka dari itu.. Akan ku kabulkan keinginanmu."
Izaya mengulurkan tangannya kepada Riris dengan senyuman yang penuh kehormatan serta aura energi sihir mengiringi di sekujur tubuhnya.
"Baiklah Tuan Izaya. Saya akan membagikan informasi pengetahuan saya. Mohon berikan saya sedikit cinta anda."
Tanpa sebuah kondisi secara mengejutkan Riris langsung menyergap mulut Izaya lalu segeranya ia menciumnya.
Di samping itu sebaliknya yang Izaya rasakan adalah sebuah keadaan dimana ia di penuhi berbagai informasi ingatan yang mengalir dalam pikirannya.
***
Situasi saat ini di tempat pertarungan yang sebelumnya...
"Riris... Apa yang kau rasakan saat ini?"
Kehormatan Riris masih ia tunjukan di hadapan Izaya, meski dalam kondisi yang tidak seharusnya ia selalu lakukan. Kesan tersebut membuat keadaan ini seperti berhadapan langsung dengan seorang raja.
"Selain bahagia, saya senang dengan diri saya saat ini. Seolah semua pandangan saya hanya berpusat kepada anda, mungkin analoginya seperti anda adalah pencipta saya."
Mendengar pendapat Riris membuat Izaya melepaskan gelak tawanya. Seolah untuk saat ini dirinya telah mendapatkan apa yang di butuhkan untuk mengawali perjalanannya.
"Hahh.. Mungkin ini pertama kalinya aku tertawa di dunia para Dewa. Dan Riris... Kau mendapatkan apa yang telah kau bahagiakan bukan berarti setelah ini kau hanya dapat menghiburku. Ya selama kau mengikutiku kau akan kuberikan sebuah tugas yang akan kau tanamkan pada jiwamu. Untuk kedepannya aku tidak ingin kau ikut campur dalam setiap peranku, jadi selama aku tidak membutuhkanmu aku tidak akan memanggilmu."
"Baik! Lalu tugas apa itu Tuanku?"
Untuk beberapa waktu Izaya berpikir sejenak.
"Sebelum itu ku anggap kau tidak memiliki masa lalu lagi yang berhubungan dengan Dewi Gabriel termasuk saat kau menerima kutukan tersebut, dan aku tidak akan menanyakan alasan itu. Aku yakin dirimu yang sekarang menjadi yang baru bukan?"
"Benar, saya tidak mengingat apapun tentang masa lalu saya, karena kondisi saya saat ini tidak terikat oleh masa lalu."
"Berdirilah..."
Segeranya Riris melakukan perintah Izaya, ia mulai menegakan diri dan menghadap langsung kepada Izaya.
"Baiklah sudah kuputuskan. Riris... Mulai sekarang aku akan menanamkan sebuah perintah kepadamu. Di saat aku membutuhkanmu... Aku ingin kau menjadi pembawa informasi. Ya aku ingin kau mampu mencuri informasi dari setiap panggilanku."
"Baik.. Tuanku."
Sekali lagi Riris menunjukan kehormatannya dengan tunduk di hadapan Izaya. Selain itu secara perlahan tubuh Riris berubah menjadi abu hingga dalam satu keadaan ia menjadi sebuah cincin di salah satu jari Izaya.
"Ini luar biasa. Untuk saat ini aku tidak membutuhkanmu, karena... Dalam ingatanmu aku menemukan tujuanku berikutnya."
Izaya dengan wajah bahagia memberikan sedikit kecupan kepada Riris yang telah menjadi cincin di jarinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!