Senin pagi cerah. Secerah senyum Riana pagi ini. Hari ini hari pertamanya bekerja. Riana tak sabar menyelami dunia yang sesungguhnya. Semangat Riana membara. Wajar saja, ini hal baru yang akan dia alami. Semua kehidupannya bermula dari sini.
Riana memantas dirinya di cermin, dengan mengenakan kemeja semi-formal berwarna krem dengan motif bunga kecil dan rok plisket selutut berwarna senada dengan atasannya. Tak lupa sneakers warna broken white, melengkapi penampilannya. Rambut gelombangnya dibiarkan tergerai begitu saja. Riana bersiap menghadapi hari pertamanya bekerja.
Perusahaan tempat Riana bekerja adalah sebuah perusahaan pengembang game yang cukup termasyur, Gameflix. Dibalik penampilannya yang girly, Riana akan bekerja sebagai progammer. Riana hanya sebagai anggota team saja, bukan dalang utama yang mendesign dan membuat gamenya. Meskipun hanya sebagai anggota team, Riana cukup bangga dapat bergabung dengan Gameflix.
Karena sudah terbiasa hidup mandiri sedari remaja, Riana tak lagi merasa tak nyaman hidup sendirian di kota besar. Ya. Ayah ibu Riana telah lama meninggal dalam tragedi tabrak lari saat usia Riana belum genap sepuluh tahun. Menyakitkan memang. Apalagi Riana adalah anak semata wayang.
Setelah kepergian ayah ibunya, Riana diasuh oleh nenek dari ibunya. Nampaknya, nasib buruk tak berhenti menimpa Riana. Setahun setelah ayah ibunya meninggal, neneknya pun meninggal dunia karena sebuah penyakit. Riana lalu tinggal di sebuah panti asuhan. Dua tahun tinggal di panti asuhan, Riana mendapat keluarga baru yang mau mengadopsinya. Riana setuju untuk diadopsi, dengan syarat Riana akan tinggal sendiri setelah usianya menginjak delapan belas tahun.
Keluarga baru Riana sangat baik. Mama Lily dan Papa Danu selalu menyayangi Riana seperti anak kandung mereka sendiri. Meskipun hanya enam tahun tinggal bersama orang tua asuhnya, Riana sangat berterimakasih pada mereka. Riana selalu memberikan kabar tentang dirinya pada Mama Lily agar Mama Lily tidak khawatir dengannya. Seperti saat ini, Riana tak lupa mengetikkan sebuah pesan singkat kepada Mama Lily sebelum berangkat bekerja.
Hari ini, Riana mulai bekerja di Gameflix, Ma. Doakan agar Riana selalu diberi kemudahan dan kelancaran dalam bekerja ya, Ma. Riana sayang Mama.
Riana kembali memastikan bahwa penampilannya sudah rapih sebelum akhirnya keluar dari kamar kosnya.
"Pagi, Ri," sapa Ibeth, tetangga kamar Riana yang pagi-pagi suka sekali ngopi di koridor depan kamarnya.
"Pagi, Beth. Eh, bentar," Riana kembali masuk ke kamarnya dan mengambil satu bungkus besar camilan potato chips lalu menyerahkannya pada Ibeth.
"Thank you, Riri. Mulai kerja hari ini?" tanya Ibeth.
"Iya, Beth," jawab Riana sambil mengunci pintu kamarnya.
"Keterima di Gameflix?" tanya Ibeth lagi. Riana mengangguk sambil tersenyum pada Ibeth.
"Wow!! Kereeen... Congrats yaaa! Wuih lo emang ck ck ck... Juara," puji Ibeth.
"Alhamdulillah. Makasih, Beth. Aku berangkat dulu ya," pamit Riana.
"Ati-ati,"
Riana melambaikan tangannya tanpa menoleh ke arah Ibeth. Ibeth menggeleng-gelengkan kepalanya, merasa teman satu kosnya itu benar-benar cewek yang luar biasa.
'What a good luck, Ri!'
***
Gameflix. Perusahaan pengembang game terbesar di negeri ini. Riana tak pernah menyangka bisa diterima menjadi bagian dari perusahaan besar impiannya. Riana berdiri di depan gedung perusahaan yang menjulang tinggi bagaikan menuju ke langit.
'Wow! Butuh bertahun-tahun untuk membangun semua kemegahan ini. Untuk menghancurkannya? In a split of seconds,' pikir Riana.
Riana memasuki gedung megah itu dengan kegugupan luar biasa. Meskipun dia pernah mengikuti seleksi dan wawancara kerja disana, tapi Riana tak sempat memperhatikan sebesar dan seluas apa gedung itu. Otaknya sedang dipenuhi bagaimana cara menjawab pertanyaan dari pewawancara kerja, sehingga tak sempat memperhatikan gedung yang begitu besar itu.
Mata Riana mengembara, menyusuri tiap sudut gedung yang akan menjadi tempat dia bekerja nanti. Banyak sekali orang-orang berlalu-lalang. Perlukah Riana mengenal satu per satu orang-orang itu? Nampaknya setahun bekerja disana belum cukup untuk mengingat semua nama karyawan di gedung itu.
"Bruk..." Riana menabrak seseorang.
"Maaf..." ucap Riana sambil membungkukkan badannya.
Orang itu hanya melihat penampilan gadis yang baru saja menabraknya itu.
'Orang baru?' pikirnya.
Lalu berlalu, diikuti seorang di belakangnya. Riana menegakkan badannya. Menghela nafas lega. Sepertinya dia tidak membuat kekacauan di hari pertamanya bekerja. Riana lalu memasuki lift yang sedang terbuka di depannya. Dipencetnya nomor lantai lima, tempat departemennya berada.
Lift berhenti di lantai lima. Koridor menuju kantornya sepi. Riana mengerutkan alis, lalu melihat ke arah jam tangannya.
'Masih kurang lima menit, aku belum telat kan?' tanya Riana dalam hati.
Riana terlihat semakin panik ketika kantor departemennya tak terdengar suara apapun. Riana melongok ke dalam. Ternyata sedang ada briefing pagi. Wajah Riana terlihat merah, menahan malu. Dia berjalan mengendap, memasuki ruangan. Lalu menyusup, membaur dengan para karyawan yang sudah berdiri berjajar disana.
'Mati aku!' umpat Riana dalam hati.
"Kita baru saja meluncurkan game baru dipasaran. Dilihat dari jumlah downloadnya sudah tembus delapan ratus ribu pendownload. Padahal game ini baru rilis tiga hari yang lalu. Selamat atas kerja keras rekan-rekan semua dalam merealisasikan ide-ide rumit yang ada di kepala saya," kata seorang pria seusia Riana yang berpakaian sangat kasual. Tepuk tangan riuh memenuhi seluruh ruangan. Riana ikut bertepuk tangan.
'Siapa pria itu? Ketua departemen?' pikir Riana.
"Selanjutnya. Saya ingin rekan-rekan semua membuat suatu game untuk anak-anak usia pra-sekolah. Usahakan game ini beda dengan game-game anak usia dini yang sudah beredar di pasaran. Ingat! Penggunanya adalah anak-anak pra-sekolah. Paham?" tanya pria tadi pada semua yang ada di ruangan itu.
"Paham~," semua menjawab. Riana berpikir keras tentang game yang baru saja direncanakan untuk dibuat.
"Satu lagi," kata pria yang terlihat sok bossy tadi.
Pria itu kemudian berjalan menyibak karyawan yang rapih berjajar. Semua karyawan mengerutkan alis, bingung dengan apa yang atasannya lakukan. Pria yang mengenakan hoodie hitam itu berhenti tepat di depan Riana.
"Satu bulan lagi, akan ada acara pertunangan saya dengan nona ini. Jadi pastikan kalian datang. Kartu undangan menyusul. Terimakasih!" kata pria itu tiba-tiba dan sukses membuat mata Riana terbelalak.
Seluruh ruangan bertepuk tangan. Lalu satu per satu menyalami Riana memeberi ucapan selamat. Riana terpaksa mengembangkan senyumnya sambil menerima ucapan selamat dari para koleganya yang bahkan belum dia kenal.
'Ini cuma prank kan? Ada kamera? Pria itu tadi siapa? Kenapa seenaknya sendiri? Tunangan? Bahkan aku nggak tau siapa namanya. Apa aku salah masuk gedung?Tidak. Lalu apa ini? Seseorang bisa tolong jelaskan padaku?'
***
'Tunangan? Siapa? Apa? Kenapa?' pertanyaan-pertanyaan yang berputar-putar di otak Riana.
"Gue nggak nyangka, karyawan baru yang bakal di tim gue ternyata pacarnya Tuan Barra," celetuk salah seorang cowok. Riana dengan reflek mendekat ke cowok itu.
"Siapa? Tuan Barra? Siapa itu?" tanya Riana pada cowok yang wajahnya mirip penyangi K-Pop itu.
"Hah? Tuan Barra kan tunangan lo. Omong-omong, kenalin nama gue Leo," kata Leo sedikit heran dengan Riana.
"Tunggu, tunggu. Tuan Barra yang kamu maksud bukan Barra Adiguna, CEO perusahaan ini kan?" tanya Riana memastikan dia tidak salah orang.
"Iyaaa. CEO kita. Masa' lo sama tunangan sendiri lupa?" tanya Leo sambil mengerutkan alis.
"Tunangan? Jadi, aku nggak kena prank barusan?" tanya Riana polos.
"Prank? Wait, lo bukan pacarnya Pak Barra?" tanya Leo akhirnya. Riana menggeleng dengan cepat. Semua yang ada di departemen pengembangan game melongo.
"Jadi bukan cuma aku yang kena prank?" tanya Riana diikuti anggukan dari seluruh ruangan.
"Tapi, Tuan Barra nggak pernah becanda. Dia kalo udah bilang A ya A. Jadi, kalo dia bilang bulan depan dia bakal tunangan sama lo, itu artinya beneran akan ada pesta pertunangan," kata seorang cewek, berambut sebahu, bernama Dinda.
"Nah, bener tuh. CEO kita nggak pernah narik ucapannya lagi. Nggak mungkin kalo cuma prank," lanjut cowok yang berdiri di sebelah Leo, bernama Raga.
"Lo nggak ingat ada salah sama Tuan Barra? Setau gue, dia nggak pernah pacaran karena nggak pernah ada satu cewek pun yang bisa naklukin Si Gunung Es," kata Dinda.
"Salah? Aku baru liat beliau hari ini, pagi ini di ruang ini. Apa gara-gara aku telat?" tanya Riana polos.
"Telat? Technically lo belom telat sih. Emang Tuan Barra aja yang kepagian. Briefing kek tadi dilakuin kalo emang ada game mendesak yang harus segera dibuat. Selebihnya kita nggak pernah ada briefing langsung dari CEO," kata Raga.
"Lo beneran nggak kenal sama Tuan Barra? Sebelum disini? Di suatu tempat gitu?" selidik Dinda. Riana mengerutkan alisnya, berpikir keras. Lalu menggeleng.
"Well. Liat sisi positifnya aja. Selain lo dapet pekerjaan baru disini, lo juga dapet calon suami, kaya lagi," ucap Leo menenangkan.
"Tapi beneran Tuan Barra nggak punya pacar? Nggak akan ada yang marah gitu kalo tiba-tiba dia tunangan sama aku?" tanya Riana memastikan.
Leo, Raga dan Dinda saling tukar pandang, lalu menggelengkan kepala mereka bersamaan. Riana meresapi apa yang baru saja terjadi di hari pertamanya bekerja. Bukan sebuah kerepotan karena banyak tugas yang harus dia lakukan. Tapi kerepotan tentang mencari jawaban atas apa yang CEOnya katakan padanya di hari pertama dia masuk kerja.
'Dia pasti salah orang, kan?'
***
"Nona Riana, Tuan Barra ingin menemui Anda," tiba-tiba sekretaris Tuan Barra, Rei, datang ke departemen pengembangan game. Riana yang masih dalam proses perenungan terkejut dan lalu mengikuti Rei untuk menemui Tuan Barra.
"Gue kasian sama anak baru itu. Tuan Barra tidak terlihat seperti bad mood pagi tadi, kenapa dia mencari mangsa?" kata Dinda ketika melihat Riana dan Rei keluar dari kantor departemen mereka. Leo dan Raga hanya menaikkan bahu mereka lalu kembali fokus pada layar komputer mereka.
Riana berjalan di belakang Rei sambil bertanya-tanya kira-kira apa yang akan Tuan Barra katakan padanya. Apakah Tuan Barra akan menarik kembali ucapannya tadi pagi? Semoga saja begitu. Riana belum sempat menata hatinya ketika Rei sudah mengetuk pintu suatu ruangan.
"Masuk," terdengar suara dari dalam ruangan yang mempersilakan Rei masuk.
Rei mempersilakan Riana masuk, lalu menutup pintu. Riana terkejut. Dia pikir, Rei akan ikut masuk bersamanya. Riana melihat Barra yang masih sibuk membaca dokumen di mejanya. Riana hanya diam dan menunggu. Barra melirik ke arah Riana. Lalu menutup dokumen yang sedang dibacanya.
"Riana Larasati. Dua puluh tiga tahun. Lajang. Lulusan S1 Teknik Informatika. Cumlaude. Golongan darah O. Ada yang kurang?" tanya Barra pada Riana. Riana menggeleng cepat.
'Darimana dia bisa tau?' tanya Riana dalam hati.
"Oke. Jangan lupa bulan depan. Persiapkan diri baik-baik. Kamu bo..."
"Bulan depan saya harus ngapain, Tuan?" tanya Riana cepat. Barra menatap Riana. Belum pernah ada yang berani memotong kalimatnya saat sedang bicara. Barra lalu berjalan mendekat ke arah Riana. Riana reflek memundurkan kakinya lalu menunduk.
"Kamu nggak denger saya tadi pagi?" tanya Barra berbisik pada Riana yang tertunduk.
"Iya, Tuan, saya denger. Anda akan mengadakan pesta pertunangan. Dan tugas saya adalah?" tanya Riana hati-hati, mencoba memastikan dia bukanlah calon pengantin wanitanya.
"Tugas kamu adalah menjadi tunangan saya. Jelas?" tanya Barra tegas.
"Tunangan itu hanya untuk berapa lama, Tuan? Saya tidak harus menikah dengan Anda, kan?" lagi-lagi Riana bertanya dengan sangat hati-hati, karena wajah Barra selain tampan, juga sangat menyeramkan saat itu.
"Pesta pernikahan mungkin akan diadakan satu hingga dua bulan setelah pesta pert..."
"APA?!" Riana terkejut lalu menutup mulutnya dengan tangan. Matanya yang terbelalak mendapat tatapan tajam dari Barra.
"Apa kau pikir saya main-main dengan semua ini?" tanya Barra dengan nada berbisik. Riana menggelengkan kepalanya, masih menutup mulutnya dengan tangan.
"Kalau kamu sudah paham, kamu boleh keluar," kata Barra sambil berjalan menuju meja kerjanya.
"Kenapa saya? Bukankah ada kandidat yang lebih baik dari saya?" tanya Riana akhirnya, memberanikan diri. Dia tidak mungkin begitu saja menyetujui menikah dengan seseorang yang sama sekali tidak dia kenal dan tidak mengenalnya.
"Apa ini hanya sebuah pernikahan kontrak atau semacamnya?" tanya Riana lagi ketika Barra belum memberikan jawaban atas pertanyaan sebelumnya. Barra berjalan ke arah Riana lagi. Berhenti tepat di depan Riana lalu tersenyum. Senyuman yang begitu mengerikan.
"Kenapa? Karena saya mau. Dan pernikahan ini bukan permainan yang bisa kamu akhiri dengan mudah. No, Honey! I want you so I marry you. Is that not enough?" kata Barra dengan nada berbisik sambil menatap tajam kedua mata Riana.
Riana hanya terpaku, terdiam menatap Barra yang masih menyelami kedua mata Riana. Mimpi apa Riana semalam? Kenapa hari pertamanya bekerja menjadi serumit ini? Dilamar CEO? Atau mungkin atasannya ini sedang salah minum obat? Atau salah orang? Riana mencari-cari keisengan di mata pria di depannya itu. Namun, nampaknya semua yang dikatakan Barra bukan lelucon.
Kenapa Barra memilihnya? Karena dia suka? Bagaimana bisa? Mereka baru saja bertemu di ruang departemen pengembangan game setengah jam yang lalu, itupun hanya lima menit tanpa bicara berdua, bagaimana bisa Barra menyukainya? Apa yang terjadi? Banyak sekali pertanyaan yang tak terjawab berputar-putar di kepala Riana. Nampaknya dia sudah sangat pusing memikirkan semua ini.
'Menikah dengan orang asing? Aku boleh menolaknya, kan?'
***
'Kenapa Tuan Barra ngotot banget pengen nikah? Dan kenapa calonnya harus aku? Nggak bisa ganti siapa aja gitu yang mau?' Riana masih sibuk dengan pikirannya disepanjang koridor kembali menuju ruangannya. Kepalanya terasa sangat pusing, sehingga dia berjalan terhuyung-huyung.
"Bruk..."
"Maaf..." Riana meminta maaf sambil membungkukkan badannya.
"Hari ini kamu udah menabrak saya dua kali. Sepertinya kita jodoh," kata seseorang yang ditabrak Riana, sambil tersenyum. Riana dengan cepat mengangkat kepalanya. Dilihatnya seorang pria mengenakan setelan kemeja abu-abu dengan dasi putih. Tampaknya pria itu bukan sembarang pria.
"Dua kali? Anu, maaf..." kata Riana sambil menundukkan kepalanya.
"Sepertinya hari pertama mu berat ya?" tanya pria itu sambil melirik ke arah datangnya Riana, ruangan CEO.
"Bisa dibilang begitu,"
Pria itu maju lebih mendekat ke Riana.
"Barra memang suka sekali tipe-tipe cewek seperti kamu," katanya sambil tersenyum.
"Hah?"
'Mungkin aku yang salah masuk gedung. Kenapa orang-orang di dalam gedung ini aneh sekali?' pikir Riana.
"Iya. Cewek yang terlihat lemah, padahal sebenernya kuat di dalam. He likes it," jelas pria itu.
"Omong-omong, saya Arka. Wakil CEO. Kalo ada masalah soal Barra, kamu bisa langsung tanya saya," kata pria itu memperkenalkan diri.
"Saya Riana. Dari departemen pengembangan game,"
"Selamat bergabung, Riana," kata Arka sambil hendak berlalu.
"Tunggu,"
Arka membalikkan badannya.
"Tuan Barra tidak punya pacar atau tunangan?" tanya Riana dengan nada berbisik.
"Bukankah bulan depan kalian tunangan?" tanya Arka sambil mengerutkan alis.
'What? Secepat itu berita menyebar?'
"Anda tidak curiga kenapa Tuan Barra tiba-tiba ingin bertunangan? Terlebih dengan saya," tanya Riana pada Arka.
Arka melihat Riana dari ujung kepala sampai ujung kaki. Lalu menggelengkan kepalanya.
"Kamu sudah sesuai selera Barra. Untuk apa saya curiga?"
"Tapi, Pak. Saya ini karyawan baru. Dan saya belum pernah bertemu Tuan Barra sebelumnya. Kenapa Anda sama sekali tidak curiga?" Riana berusaha menjelaskan kebingungannya. Arka kembali berjalan mendekati Riana.
"Saya tahu kamu bingung. Tapi, Barra tak pernah main-main dengan perkataannya. Dia bilang dia ingin menikah dan itu dengan kamu. Anggap saja kamu mendapat durian runtuh. Kapan lagi bisa dinikahi oleh Barra Adiguna? Tak perlu mengkhawatirkan apapun. Kamu akan tetap bekerja sebagai karyawan pengembang game seperti semula. Jadi tak perlu terlalu dipikirkan," kata Arka lalu berlalu meninggalkan Riana yang tambah pusing dengan obrolannya bersama Arka.
Arka menggelengkan kepalanya. Seolah tak percaya Barra, CEO yang juga sahabatnya, memilih gadis seperti Riana untuk dinikahi. Arka tak menduga Barra akan secepat itu mengambil tindakan. Ancaman kepada Barra dari ayahnya baru diterimanya kemarin lusa. Dan kini, Barra sudah menetapkan pilihannya.
"Lo bener-bener gila. Kenapa lo pilih cewek kek dia?" tanya Arka ketika memasuki ruangan Barra.
"Dia tipe cewek yang nggak akan mudah menyerah. Gue butuh cewek tangguh. Dan lagi dia tahu bagaimana cara pegang komputer. Itu lebih penting," kata Barra.
"Soal penampilan?"
"Penampilan bisa diubah, Bro. C'mon! Buat apa cewek cantik tapi nggak bisa ngapa-ngapain," komentar Barra.
"Background keluarga?"
"Itu yang baru gue selidiki,"
"Jangan sampe bokap lo ngira lo asal ambil cewek dari jalanan,"
"Tenang aja. Dia lulusan terbaik di kampus nomor satu di negeri ini," kata Barra bangga.
"Serius?" tanya Arka disusul anggukan mantap dari Barra.
"Padahal penampilannya kek nggak begitu encer otaknya," kata Arka.
"Don't judge the book from the cover," kata Barra.
"Lo yakin nggak mau bikin kontrak atau apa gitu biar bisa saling menguntungkan?" tanya Arka memastikan.
"Sudahlah, Bro. Gue mau nikah, bukan mau negosiasi bisnis, ngapain pake kontrak," kata Barra.
"Yaa biar aman aja, Bro. Biar dia tau tujuan lo nikahin dia adalah agar ayah lo mau investasi di perusahaan kita. Trus dia juga nggak bingung kenapa tiba-tiba CEOnya melamar dia di hari pertama dia kerja. Cuma kek ngasih penjelasan aja," kata Arka.
"Malah justru dia jangan sampe tau alasan gue nikahin dia. Biar dia nggak perlu akting di depan bokap nyokap gue. Biar taunya dia gue nikah karena gue mau, bukan karena alasan lain," kata Barra. Arka menghela nafas panjang.
"Well. Kalo itu mau lo, terserah aja lah. Gue cuma ngasih saran aja biar kedepannya aman," kata Arka.
Barra hanya menaikkan bahunya. Lalu fokus pada dokumen di meja kerjanya. Arka sudah akan pergi ketika pintu ruangan Barra diketuk.
"Masuk,"
Rei masuk sambil membawa tablet di tangannya, lalu menyerahkannya pada Barra.
"Semua tentang Nona Riana ada disini," kata Rei singkat, lalu meninggalkan ruangan. Arka yang penasaran tidak jadi keluar dari ruangan Barra.
"Gimana?" tanya Arka.
"Ayah ibunya meninggal saat usianya sekitar sepuluh tahun. Lalu diasuh oleh neneknya yang juga lalu meninggal setahun kemudian. Setelahnya tinggal di panti asuhan selama kurang lebih dua tahun. Lalu diasuh oleh sebuah keluarga sampai usia delapan belas tahun. Setelah itu hidup mandiri dengan berpindah-pindah tempat kos. Kuliah dari hasil beasiswa. Sekarang tinggal di kos daerah sekitar perusahaan dengan biaya kos per bulan lima ratus ribu rupiah," Barra membacakan singkat hasil laporan Rei.
"Kehidupannya keras ya?" komentar Arka.
"Kenapa dia tidak menolak pernikahan ini? Apa karena gue kaya?" tiba-tiba Barra bertanya-tanya.
"Kalo menurut gue, karena dia nggak berani sama lo yang selalu mengintimidasi," kata Arka. Barra mengerutkan alisnya.
"Keluar dari ruangan lo aja dia sampe nggak bisa jalan. Lo bilang apa sama dia?" tanya Arka.
"Lupa,"
Arka hanya mendengus. Sudah tahu kalau sahabatnya akan seperti itu.
"Over all, dia nampak gadis baik-baik dan bukan gold digger. Kalo lo masih ragu, lo bisa bikin kontrak dan bahas ini sama cewek itu. Tapi kalo lo masih pengen kek keinginan lo yang tadi, silakan saja. Gue balik ke ruangan gue dulu," kata Arka lalu meninggalkan ruangan Barra.
Barra sekali lagi melihat tablet yang berisi laporan Rei tentang Riana. Ditinggal ayah ibunya saat masih sangat belia. Tinggal di panti asuhan. Diasuh orang asing dan tinggal selama beberapa tahun. Lalu hidup sendiri. Bagaimana seorang gadis melewati semua ini sendirian? Apa Barra bisa menjalani semua itu? Sepertinya pilihannya bukan sembarang pilihan.
Barra tersenyum melihat slide akhir di tabletnya. Foto Riana tersenyum lepas dengan background langit senja di pantai. Sepertinya seharian ini Barra sudah menghilangkan senyuman itu dari wajah manis Riana. Barra lalu teringat saran Arka tentang membuat kontrak dan sebagainya.
'Perlu? Gue rasa akan lebih seru kalo tak ada kontrak,'
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!