NovelToon NovelToon

Be My Brides

Prolog

Malam semakin larut, ketika Kalya menatap jauh pada langit-langit kamar tidurnya. Air mata masih setia menemani malamnya yang dingin dengan membayangkan kenyataan yang ia dengar beberapa tahun yang lalu. Kenyataan dimana pria yang selama ini menampungnya, menjaganya, menyayanginya, melindunginya serta menaungi hidupnya selama lebih dari dua puluh tahun ini bukanlah kakak kandungnya.

"Waktu itu, Mama melihat ibu kamu ingin bunuh diri. Ayah biologis kamu nggak mau mengakui kamu yang masih dalam kandungan sebagai anaknya. Jadi, ibu kamu depresi dan ingin mengakhiri hidup kalian dengan menabrakkan dirinya ke mobil yang lewat."

Kalya menutup mulutnya dengan punggung tangan. Kenyataan kalau dirinya tidak diterima oleh ayah biologisnya sudah membuat hatinya seperti ditikam. Apalagi mendengar kalau ibunya pun ingin membunuhnya juga saat masih dalam kandungan, membuat hatinya seolah dicacah halus-halus.

"Mama kasihan. Karena Mama nggak punya anak perempuan, Mama dan Papa jadi mutusin buat angkat kamu sebagai anak begitu kamu dilahirkan ke dunia ini, Kal. Ibu kandung kamu bahkan nggak bisa lihat wajah kamu karena Mama dan Papa langsung bawa kamu pergi pulang ke rumah."

Saat itu, Kalya hanya bisa menahan napasnya di tenggorokan.

"Nggak bisa, atau emang dia nggak mau, Mas?!"

Dan Kalya tahu jawaban apa yang semakin membuat dia merasa sakit hati melihat Kendra, Kakak sulungnya hanya diam membisu.

Malam ini, Kalya hanya sendirian di rumah. Tadi, Kendra dan istrinya, Nia, sedang pergi ke acara undangan makan malam salah satu rekan bisnis Kendra. Awalnya, Kendra mengajak Kalya untuk turut serta menghadiri acara tersebut. Tapi, beban pikiran yang saat ini tengah memenuhi benak Kalya, membuat gadis itu akhirnya membentangkan jarak antara mereka semua. Hati kecilnya berbisik kalau dia tidak bisa lagi seperti dulu yang dengan leluasa memanggil Kendra dengan sebutan 'Mas'. Ada ketidaknyamanan di hati Kalya mengingat kalau Kendra sebenarnya bukanlah kakak kandung Kalya.

"Sebenarnya, kami ingin merahasiakan hal ini dari kamu. Tapi, mau sampai kapan? Kamu juga berhak tahu siapa kedua orangtua kamu!"

Empat tahun sudah Kalya tahu tentang siapa dirinya yang sebenarnya. Tapi, selama empat tahun itu pula, duka itu belum juga menghilang. Berulang kali Kendra maupun Keanu-kakak kedua Kalya- menegurnya untuk tetap bersikap biasa. Tapi, mau bagaimana lagi? Psikis Kalya yang belum bisa menerima kenyataan itu sepenuhnya, hingga membuat dia tidak berdaya. Tetap ada sesuatu yang tak kasat mata yang membuat Kalya tetap berdiri di tempatnya, tanpa berani mendekat.

Kalya memiringkan tubuhnya di atas ranjang. Ia sedang putus asa saat ini. Kemarin, Keanu menghubunginya. Kakaknya itu bilang sudah tahu dimana ibu kandung Kalya berada saat ini. Tapi, Kalya tidak memberikan respons apapun. Dia seperti enggan untuk membahasnya. Dia tidak tahu harus merasa senang atau tidak. Kenyataan yang dia tahu kalau dia ingin dibunuh membuat dia merasa sangat benci dengan dunia ini. Benci, kenapa harus dia yang ada di dalam rahim wanita yang ingin bunuh diri itu?

Hampir saja Kalya tertidur dalam tangisnya, ketika didengarnya suara pintu rumah digedor oleh seseorang.

"Bik! Bukain pintu ya, Bik! Bik!!!"

Suara teriakan dari arah luar yang ditingkahi oleh suara ketukan pintu yang keras membuat Kalya terbangun dari tempat tidur. Suara itu adalah suara Gavin. Anak Kendra yang tinggal di rumah yang sama dengan Kalya.

"Bibik! Kemana, sih!?"

Suara hujan yang tiba-tiba turun dengan sangat deras membuat suara teriakan itu tiba-tiba berubah samar. Namun, Kalya sadar, kalau di rumah saat ini hanya ada dirinya seorang. Tadi sore, Bu Ratna, asisten rumah tangga itu izin untuk menjenguk saudaranya, dan akan kembali besok pagi. Sedang Kendra dan Nia, belum juga kembali.

"BIBIK!!!"

Suara teriakan Gavin terdengar lagi. Kali ini, pemuda itu pasti marah karena Kalya terlalu lama membuka pintu. Apalagi hujan yang semakin deras. Pasti dia juga merasa kedinginan di luar sana.

Tidak ingin membuat keponakannya itu semakin kesal, Kalya dengan cepat keluar dari kamar. Berlari menyusuri tangga rumah dan membuka pintu, dimana Gavin sudah menunggunya dengan wajah yang berkerut.

"Lama banget, sih! Ngapain aja di dalam?!" sentak Gavin dongkol melepaskan dasi yang sudah terlihat berantakan di lehernya. Mungkin karena kesal, dia menarik dasinya hingga hampir tidak berbentuk lagi.

"Maaf, Gavin... Tante ketiduran. Jadi, nggak dengar kamu pulang." Jawab Kalya melihat jam yang tergantung di dinding.

"Kamu kok pulangnya lama? Bukannya kantor bubar jam 5, ya?" tanya Kalya lagi dilewati begitu saja oleh Gavin.

"Bibik mana? Kok daritadi gue teriak-teriak nggak ada yang nyahut sih?" rungut Gavin melihat sekeliling rumah yang terasa begitu sepi.

Biasanya, asisten rumah tangga mereka yang rajin itu tidak akan tidur sebelum semua majikannya tiba di rumah. Kecuali, ya sudah ada pemberitahuan kalau majikannya itu tidak akan pulang, barulah si Bibik akan masuk ke dalam kamarnya.

Kalya hanya mendesah pelan dalam hati. Satu hal yang akhirnya Kalya sadari. Bukan hanya dirinya saja yang bersikap menjauh dari keluarga itu. Tapi Gavin, keponakannya yang usianya terpaut tujuh tahun lebih muda darinya itu pun terlihat semakin menjauhinya. Untuk alasan yang Kalya tidak tahu, Gavin sudah bersikap demikian terhadapnya, sejak usia pria itu menginjak remaja.

"Bik Ratna lagi jenguk adiknya di rumah sakit. Dan baru pulang besok pagi."

"Papa sama Mama?"

"Mas Kendra dan Mbak Nia pergi ke acara makan malam rekan kerja Mas Kendra. Nggak tahu pulang jam berapa." Jawab Kalya kemudian beranjak meninggalkan Gavin yang terdiam di tempatnya.

Lalu, tanpa menggubris kehadiran pria itu lagi, Kalya mulai menaiki tangga menuju kamarnya di lantai dua. Namun, belum juga sempat Kalya berhasil berdiri tegak di lantai tersebut, sebuah tangan besar langsung membungkam mulutnya dari belakang.

"Hhmmpt...! Gav-hmppt..." Kalya meronta berusaha melepaskan tangan Gavin yang menutup mulutnya. Dia berusaha untuk melepaskan dirinya ketika pria itu menyeretnya turun dari atas tangga menuju kamar tidur Gavin di lantai dasar.

Sekuat tenaga Kalya menarik tubuhnya ke arah yang berlawanan dengan Gavin saat pria itu sudah membawanya ke depan kamar lelaki tersebut. Namun, sekuat apapun Kalya melawan, tetap saja, perbedaan fisik mereka membuat Kalya kalah dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

Sesampainya di dalam kamar, Gavin yang tidak ingin membuang kesempatannya langsung mengunci pintu kamarnya dari dalam dan membanting tubuh yang lebih kecil Kalya ke atas tempat tidur.

"Gavin! Kamu apa-apaan, sih?! Kamu mau ngapain, hah?! Nggak sopan banget, tahu nggak!" teriak Kalya marah dengan tingkah Gavin yang membuatnya ketakutan. Meski begitu, dalam hati, Kalya berusaha bersikap setenang mungkin. Dia tidak ingin membuat keponakannya itu merasa puas karena telah mengerjainya seperti ini.

"Kamu mau ngapain, sih? Ngapain kamu nyeret--Gavin!!" Kalya kembali berteriak ketika Gavin mendorong tubuhnya yang hendak turun dari atas tempat tidur kembali terjerembab di atasnya. Kedua matanya menyalang melihat orang yang ia kira keponakannya itu telah duduk di atas perutnya sambil membuka kaos dalam yang dipakainya.

"Gavin! Kamu ngapain? Kamu jangan macam-macam! Tante--"

"BERHENTI NYEBUT DIRI LO TANTE!" bentak Gavin tiba-tiba menekan tangan Kalya yang sempat memukuli perutnya ke sisi kepala gadis itu.

"Berhenti nyebut diri lo sebagai Tante. Gue tahu, kalo lo... bukan Tante gue!" bisik Gavin tegas di telinga Kalya hingga gadis itu terpaku.

Setahu Kalya, yang tahu tentang jati dirinya hanyalah orangtua angkat, dan juga dua saudara angkatnya, Kendra dan Keanu. Bahkan Nia saja, yang notabennya adalah istri Kendra, tidak diizinkan untuk tahu tentang masalah itu.

"Kamu..."

"Lo nggak perlu tahu gue tahu ini semua dari mana. Yang perlu lo tahu adalah, gue benci saat lo bertingkah seolah-olah gue adalah keponakan lo. Gue ini bukan keponakan lo! Ngerti?"

Hati Kalya sangat sakit mendengar ucapan Gavin. Meski kenyataannya adalah demikian, dia menyayangi Gavin persis seperti ia menyayangi keponakannya sendiri. Dia mencintai Gavin, persis seperti ia mencintai keponakannya sendiri. Meski sikap Gavin yang dulunya sangat baik dan lembut kepadanya kini telah berubah menjadi sangat kasar, Kalya tidak peduli. Dia tetap menyayangi Gavin sebagaimana dia menjaga lelaki itu selama ini.

"Tapi... Tante..."

"DIAAAM!!! LO NGGAK DENGAR GUE BARUSAN NGOMONG APA, HAH?!" bentak Gavin lagi meruntuhkan sisa-sisa harapan di hati Kalya. Dia sudah kehilangan saudara-saudaranya dalam artian emosinya. Dan sekarang, dia juga harus kehilangan Gavin yang tidak ingin lagi dianggap keponakan olehnya.

"Gavin, kamu kenapa? Jangan bikin Tante takut. Tante--" kalimat dari bibir Kalya terputus saat bibir ranum tersebut dibungkam oleh Gavin. Bukan menggunakan tangan seperti saat menyeret Kalya tadi, kali ini Gavin membungkam bibir merah tersebut dengan mulutnya sendiri.

Kalya yang tidak habis pikir dengan apa yang dilakukan oleh Gavin terhadapnya hanya bisa terpaku. Dia tidak percaya kalau sekarang, orang yang menekan bibirnya dengan bibir pria itu adalah orang yang selama ini hidup sebagai keponakannya.

"Sekarang, lo tahu apa yang gue mau kan?" tanpa menunggu Kalya sadar dari keterkejutannya, Gavin melepas gesper yang melilit di pinggang celananya. Membuka kancing celana itu dan menurunkan resletingnya.

"G-Gavin...KAMU--"

*****

Episode 1

Kalya mengusap wajahnya dengan lesu. Wajah yang masih terlihat cukup bengkak atas apa yang sudah terjadi beberapa hari ini belakangan ini. Sejak kemarin, dia tidak bisa hadir untuk bekerja. Alasannya, karena dirinya jatuh sakit. Kalya memilih untuk menyendiri dengan cara mengurung diri di kamarnya . Dan hari ini, adalah hari pertama bagi Kalya untuk masuk bekerja lagi, setelah absen selama tiga hari.

Setelah kejadian buruk yang menimpa dirinya kemarin, Kalya tidak ada habis-habisnya menangis sendirian di kamar. Karena ulah yang dilakukan oleh Gavin, dia seperti manusia yang tidak punya arti kehidupan lagi. Lelaki yang ia sayangi sejak lahir itu, akhirnya menghancurkan masa depannya. Dan itu terjadi, hanya dalam waktu satu malam.

Tidak terasa, air mata Kalya kembali menggenang. Sungguh tega Gavin terhadap Kalya. Apa kesalahan yang telah Kalya buat, hingga Gavin tega berbuat demikian terhadapnya. Apa ini semua karena ternyata Kalya bukanlah saudara kandung Kendra, ayahnya Gavin, maka Gavin bisa bersikap seperti itu kepadanya? Apa begitu berat dosa Kalya yang bukan darah daging keluarga Gavin?

"Hayo! Kamu lagi ngelamunin apa?"

Tepukan serta teguran yang diberikan seseorang di pundak Kalya sontak membuat gadis itu tersentak. Dia kaget dan geragapan melihat salah satu seniornya sudah berdiri di dekat meja kerja Kalya dengan senyum yang bertengger manis di bibir pria itu.

Buru-buru Kalya menyeka sudut matanya sebelum akhirnya menoleh dan tersenyum.

"Eh, Mas Rio... Aku nggak lagi ngelamunin apa-apa kok, Mas...." Sahut Kalya berbohong, menutupi kesedihannya dengan senyuman.

Mario --nama pria itu-- duduk di kursi yang berseberangan dengan Kalya. "Nggak usah bohong. Aku tahu kok, daritadi kamu itu melamun terus..." Mario mengangkat jari telunjuknya ke udara dan meletakkannya di dahi mulus Kalya.

"Soalnya di jidat kamu udah tertulis 'sedang melamun'."  katanya refleks, membuat Kalya menyentuh dahinya sendiri dengan panik.

"Hah?! M-masa sih, Mas?!"

Mario tertawa melihat tingkah laku Kalya yang konyol. Kelihatan sekali pikiran gadis itu tidak sedang berada di tempatnya. Habis, mana mungkin di dahi Kalya ada tulisan seperti itu, jika bukan orang lain yang membuatnya.

"Kalya, Kalya...kamu kok lucu banget, sih.... Aku nggak nyangka," kekeh Mario, seketika menyadarkan Kalya dari tingkah bodohnya.

Wajah Kalya merah saat gadis itu mengerucutkan bibirnya sebal ke arah Mario.

"Ih, Mas Rio apa-apaan, sih?! Ngerjain aku, ya?! Nggak lucu, tahu!" rungut Kalya dibalas Mario dengan tepukan pelan pada punggung tangan Kalya di atas meja.

"Mas nggak bercanda kok, Kal! Tadi, emang ada tulisannya.... Tapi, begitu Mas datang, tulisannya malah ganti jadi, 'Godain aku dong, Mas Rio...', gitu Kal..."

Tawa Mario semakin meledak melihat tampang Kalya yang semakin kesal. Gigi graham gadis itu saling bergemeletuk seiring dengan tatapan gadis itu yang nyasar ke arah plastik putih yang tadi sempat Mario bawa menghampirinya.

"Ih, Mas Rio! Kalau bercanda lagi, aku makan nih, makanannya! " ancam Kalya meraih plastik asoy berwarna putih bening tersebut.

Tapi, bukannya takut, Mario malah dengan santai mengangkat kedua bahunya.

"Bubur itu emang buat kamu, kok....Makan aja," Katanya membuat Kalya menyadari isi dari plastik tersebut.

Dari aroma yang tercium dari bungkusan itu, Kalya tahu kalau isi plastik tersebut adalah makanan. Pikirnya itu adalah makanan untuk Mario sendiri. Tapi, ternyata dia salah. Mario bilang, itu untuk Kalya.

"Katanya, tiga hari ini kamu sakit, kan? Mas belum ada waktu buat jenguk kamu. Jadi, Mas pikir, hari ini mau beliin kamu bubur ayam aja." Ucap Mario mengundang perhatian Kalya.

"Mas kok tahu, aku masuk kerja hari ini? Bisa aja 'kan, Mas beli makanan ini, dan ternyata aku belum masuk kerja? Mas nggak takut rugi?"

"Rugi? Hmph! Enggak tuh!" Mario menggidikkan bahunya sekali. "Yang namanya jodoh mah, pasti punya feeling kuat sama pasangannya. Ya, nggak?" ceplos Mario tiba-tiba, membuat Kalya mengerutkan dahinya bingung.

"Hah? Maksud Mas?"

Sadar dengan kesalahannya, Mario lantas memperbaiki ucapannya.

"Enggak...maksud aku...ya, kalau feeling aku salah, tinggal aku makan aja buburnya. Gitu aja kok repot sih, Kal?" tawa Mario kering, melihat tampang Kalya yang penuh selidik.

"Yaudahlah...dimakan aja! Udah dibeliin juga, masih aja bawel!" Mario mengajak rambut Kalya mengalihkan pembicaraan mereka. Dan aksinya itu ternyata mampu membuat rasa penasaran Kalya berubah menjadi rasa hangat yang menjalar dari ujung kepalanya, hingga menyentuh ke dasar hati gadis tersebut.

Kalya terdiam menikmati usapan lembut tangan Mario di puncak kepalanya.

Cukup lama Kalya menatap wajah Mario yang bak mentari pagi itu dengan mengaguminya dalam hati, sampai akhirnya suara kursi yang ditendang dengan kasar, mengagetkan keduanya.

Tidak sengaja, mata Kalya bertabrakan dengan mata dingin Gavin yang baru saja masuk ke ruangan mereka. Tatapan tajam pria itu sukses membuat nyali Kalya menciut dan langsung menundukkan kepalanya dalam-dalam.

"Gavin udah datang, ya?" gumaman yang terdengar dari mulut Mario menyadarkan Kalya kalau beberapa detik lalu, dia sempat melupakan keberadaan pria itu.

"Kamu tahu nggak, Kal? Keponakan kamu itu, sombongnya minta ampun, deh! Kemarin, waktu aku minta tolong buat titip makanan untuk kamu, tahu dia jawab apa?" Mario menyenggol lengan Kalya sedikit dan menarikkan alisnya.

"Apa?"

"Dia bilang... 'antar aja sendiri. Bukan urusan gue!'..."

Mario mencibir menirukan gaya bicara Gavin yang ketus. Kepalanya menggeleng sedikit sembari bercerita pelan pada Kalya.

"Sombong banget, kan?"

Diam-diam, kepala Kalya kembali terangkat. Di balik rasa kecewa dan sakit hatinya, dia memberanikan diri menoleh menatap wajah orang yang telah menghancurkan masa depannya itu. Wajah yang terlihat dingin, tidak tersentuh itu, meliriknya dengan sorot mata kemarahan. Sikap hangat yang bisa ia tunjukkan sejak kecil, perlahan-lahan terkikis dan berganti dengan sikap dingin penuh kesinisan. Kalya jadi takut untuk berada di sisi Gavin dengan perangainya yang demikian.

"Iya...Mas Rio benar. Dia benar-benar sombong sekarang,"

Kalya menahan napasnya di dada. Dalam hati, dia membenarkan apa yang Mario katakan tentang Gavin.

"Tapi, Gavin juga benar....ini bukan urusan dia." Kalya mengalihkan perhatiannya pada Mario yang juga tengah balas menatapnya. "Aku sakit juga, urusan aku sendiri. Bukan urusan dia. Jadi...nggak salah dia ngomong kayak gitu sama Mas Rio."

Kalya menundukkan wajahnya murung. Setelah dipikir-pikir, benar juga apa yang dikatakan Gavin kepada Mario. Sakitnya Kalya, adalah urusan Kalya sendiri. Karena, bagi Gavin, Kalya itu bukan siapa-siapa. Mau itu Kalya bahagia, atau menderita setelah malam naas itu, Gavin sudah tidak punya urusan apapun lagi. Dan Kalya pikir, sebaiknya pun, Gavin tidak perlu mencampuri urusan Kalya lagi.

Sempat timbul di benak Kalya untuk pergi dari kediaman keluarga Kendra sejak malam itu juga. Tapi, mengingat kekhawatiran yang Kendra dan istrinya tunjukkan terhadap Kalya kemarin, membuat keinginan Kalya untuk pergi menjadi pudar. Dia tidak tega. Dia tidak ingin Kendra bersedih. Dia tahu bagaimana kasih sayang Kendra terhadapnya. Dan dia tidak berani membebani orang yang ia kenal sebagai kakaknya itu menjadi bersedih. Apalagi sejak orangtua yang mengangkatnya meninggal beberapa tahun silam, Kendra yang merawat dan menjaga Kalya seperti seorang ayah, ibu dan kakak di waktu yang bersamaan. Sungguh, kalau bukan karena Kendra, Kalya sudah pasti pergi dari rumah tersebut.

"Kal! Kamu kenapa, sih?!"

Pukulan Mario di bahu Kalya mengagetkan gadis itu. Dia mengerjap beberapa kali menatap bingung pada Mario yang hanya bisa menghembuskan napasnya malas.

"Ngelamun lagi deh, pasti..." keluh pria itu mencebikkan bibirnya bosan.

"Kamu itu kenapa, sih? Melamun mulu, daritadi? Kamu sakit? Atau mau Mas antar pulang?" tanya Mario beruntun dengan raut wajah cemas, menyentuh lengan Kalya.

"Kalau kamu emang sakit, kamu bilang, Kalya....Kamu nggak usah maksain diri untuk kerja kayak gini. Istirahat aja di rumah! Mas yakin kok, kalau Pak Kendra juga bakal ngerti kamu belum bisa masuk kerja hari ini,"

Mario yang sadar dengan perubahan sikap Kalya yang tidak seperti biasanya hanya bisa memandang cemas gadis itu. Dia khawatir terjadi sesuatu yang buruk kepada Kalya.

"Eum, nggak papa kok, Mas.... Aku baik-baik aja." Lagi-lagi, Kalya mencoba tersenyum menutupi kebohongannya. "Emang, Mas tadi ada bicara sesuatu, ya? Mungkin aku nggak dengar?" tanya Kalya lagi, hanya bisa membuat Mario menatapnya beberapa saat.

"Udahlah, Kal... Nggak usah dipikirin. Pertanyaan Mas tadi nggak penting, kok." Kata Mario akhirnya bangkit dari kursi yang diduduki.

"Oh, ya....Buburnya jangan lupa dimakan, ya? Mas nggak suka lihat ataupun dengar kamu sakit lagi. Nggak bisa ketemu kamu, Mas bisa kangen, tahu..." Ujar Mario memberikan kedipan sebelah matanya genit pada Kalya.

"Ih, Mas ini ada-ada aja, deh! Udah sana! Jangan kelamaan disini! Ntar, Kalya jatuh cinta lagi sama Mas!" balas Kalya tertawa meladeni tingkah Mario yang menurutnya sangat menghibur. Penuh canda tawa, hingga untuk sesaat, Kalya melupakan tatapan tajam seseorang yang tengah memandangnya dari jarak jauh.

"Oh...bagus, dong! Kalau gitu kita bisa langsung nikah! Kamu mau nikahnya dimana? Di darat? Laut? Udara? Tinggal pilih...Mas bikinin deh, buat kamu!"  kata Mario lantas membuat beberapa rekan kerja mereka yang sejak tadi mendengar canda tawa Kalya jadi ikut menyambarnya.

"Di dalam mimpi!" sorak mereka sontak membuat Kalya tertawa terpingkal-pingkal hingga perutnya terasa nyeri. Melihat tampang masam Mario memandang satu per satu rekan kerja Kalya, membuat Kalya merasa begitu senang.

"Eeeeh! Sirik aja lo pada! Ck!" gerutu Mario jengkel yang hanya dibalas kekehan kecil oleh teman-teman Kalya.

Dan rasa jengkel Mario pun luntur, ketika matanya melihat Kalya yang masih tertawa di atas kursi kerjanya hingga kedua sudut matanya berair.

"Dia sangat cantik 'kan, Tuhan?" bisik Mario dalam hatinya memandang wajah Kalya yang merah karena terlalu banyak tertawa.

Akhirnya, Mario pun pergi meninggalkan Kalya dengan sisa-sisa kebahagiaan gadis itu yang melihat Mario diejek oleh teman satu tim kerjanya.

"Ah, Mas Mario...Mas Mario...kamu itu kok lucu banget, sih?" gumam Kalya tersenyum memandang punggung kokoh Mario yang kian menjauh.

Sejenak, tatapan gadis itu jatuh pada plastik putih berisikan makanan pemberian Mario yang masih terletak di atas meja kerjanya. Tangannya terangkat ingin meraih isi plastik tersebut, sebelum akhirnya tanpa peringatan sama sekali, plastik itu sudah terbang dan masuk ke dalam tong sampah yang ada di di samping meja kerja Kalya.

Dan kedua mata Kalya pun melotot sempurna melihat siapa yang saat ini sudah berdiri di depan meja kerjanya dan memandangnya dengan sorot mata yang begitu menusuk.

"Kamu..." geram Kalya mengepalkan kedua tangannya marah. "Ngapain kamu kemari, hah?"

*****

Episode 2

Kalya tidak tahu apa yang membuat Gavin bisa bersikap setenang itu terhadapnya. Tanpa menunjukkan raut wajah bersalah, Gavin berdiri di depan meja kerja Kalya dan menatapnya dengan sorot mata seolah Kalya itu adalah seorang tersangka pembunuhan yang patut untuk dihakimi.

"K-kamu…" Kalya meremas kedua tangannya di bawah meja. Perasaannya mengatakan kalau ia ingin sekali memukul, ataupun mencakar wajah datar Gavin saat ini. Tapi, logikanya langsung melarang. Entah kenapa, dia jadi takut melihat wajah Gavin yang malah terlihat menyeramkan seperti ini. Dia jadi ingat dengan kejadian beberapa waktu lalu bersama Gavin.  

"Gavin, mau apa kamu kemari? Kalau nggak ada yang mau diomongin, mending kamu balik ke tempat kamu sekarang."

Kalya berbicara dengan sedikit pelan. Matanya melirik ke kanan dan kiri melihat rekan kerjanya yang terus memperhatikan dirinya dan juga Gavin. Kalya jadi takut, kalau sikap Gavin yang seperti ini akan menimbulkan rasa curiga di antara karyawan lain terhadap diri Gavin yang mempunyai sebuah hubungan dengan Kalya.

"Mama tadi titip bekal ini buat lo. Katanya, lo nggak boleh telat makan dan minum vitamin yang dikasih sama dokter." Gavin menyerahkan buah kotak makan dan sebuah plastik putih ke atas meja kerja Kalya. Wajah dinginnya terlihat begitu datar saat Kalya menerima kotak bekal itu dengan tangan yang bergetar.

"M-makasih..." ucap Kalya terbata.

Kalya menundukkan wajahnya dalam. Sebenarnya, dia sangat ingin melemparkan makanan pemberian Gavin ini ke wajah lelaki itu, seperti dia melemparkan makanan pemberian Mario ke tempat sampah. Tapi, kendati melakukan hal semacam itu, Kalya lebih memilih untuk diam tanpa berkata-kata lagi. Bagaimana pun makanan itu adalah titipan dari Nia yang merupakan kakak ipar dari Kalya sendiri.

Satu detik, dua detik, sampai hitungan ke lima, Gavin masih tetap berdiri di tempatnya. Dan hal itu sukses membuat Kalya mengangkat wajahnya kembali memandang laki-laki di depannya dengan tatapan tidak suka.

"Ada apa lagi?" tanya Kalya mengerutkan dahinya melihat wajah datar Gavin.

"Nggak ada." Jawabnya.

"Terus, kenapa masih di situ?"

"Emang gue nggak boleh ada di sini? Emang lo siapa, berani larang-larang gue?" sengit Gavin tiba-tiba, membuat wajah Kalya memerah.

Tangan gadis itu mengepal dengan bibir yang terkatup geram.

"Aku memang bukan siapa-siapa. Tapi, kamu harus ingat, kalau kamu itu adalah anak magang di perusahaan ini. Kamu mau, kalau sampai Pak Kendra tahu tingkah laku kamu yang seperti ini?"

Sudut mata Kalya berair menatap Gavin yang hanya bisa terdiam. Mereka saling tatap, dengan Kalya yang memberikan isyarat bagi Gavin untuk sadar dimana mereka saat ini berada.

"Oke," Gavin menghelakan napas panjang dan mengedikkan bahunya sekilas. "Habis ini, jangan menghindar lagi. Dengar?"

Akhirnya, setelah mengatakan ultimatum semacam itu, Gavin berlalu meninggalkan meja kerja Kalya. Menyisakan raut wajah bertanya di setiap rekan kerja Kalya yang melihat dan mendengar pembicaraan keduanya. Sayup-sayup, Kalya pun bisa mendengar kalau beberapa di antara mereka sudah mulai berbisik satu sama lain.

"Itu anak magang, ada urusan apa sih, sama Kalya?"

Kalya pun diam pura-pura tidak mendengar ucapan teman-teman di sampingnya. Dia hanya menarik napas panjang dan menatap kotak makan pemberian Gavin tadi dalam-dalam. Andai saja kejadian buruk itu tidak menimpa dirinya dan Gavin sebagai pelakunya, mungkin saat ini Kalya pasti akan dengan senang hati menyantap makanan pemberian ibunya Gavin itu dengan lahap. Tapi, masalahnya sekarang adalah, mengingat nama Gavin ataupun segala hal yang bersangkut paut dengan lelaki itu, membuat Kalya ingin mengeluarkan semua isi perutnya.

Kalya benci. Sangat benci mengingat Gavin dan apa yang telah lelaki itu lakukan untuk merusak masa depan Kalya. Jika saja selama ini Kendra tidak memperlakukan Kalya selayaknya adik yang sangat disayangi oleh pria itu, pasti saat ini Kalya sudah pergi dari rumah keluarga Gavin tanpa menoleh sekalipun. Tapi, Kalya sadar, kalau ia mengambil langkah itu, sama saja dengan dia melukai perasaan Kendra yang telah mengasihinya selama ini. Apalagi, Kendra tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Kalya hingga membuat gadis itu menghindar beberapa hari belakangan ini.

"Mas… maafin Kalya, ya?" gumam Kalya bersedih. Sebelum air matanya menetes, gadis itu menelungkupkan wajahnya di atas meja. "Kalya bersalah…"

***

Kalya menggigit bibir bawahnya resah. Tangannya saling meremas gelisah karena harus duduk dalam satu mobil dengan Gavin. Dan itupun, hanya mereka berdua.

Tadi, sebelum pulang kerja, Kendra sempat menghubungi Kalya dan melarang gadis itu untuk kerja lembur hari ini. Kondisi Kalya yang jatuh sakit beberapa hari yang lalu dijadikan Kendra sebagai alasan untuk menyuruh anaknya, Gavin, untuk membawa Kalya pulang ke rumah mereka. Dan Kalya pun, tidak bisa menolak karena takut Kendra curiga ataupun kecewa, terpaksa harus menerima ajakan Gavin untuk masuk ke dalam mobilnya.

Sepanjang perjalanan, tidak ada interaksi apapun yang terjadi di antara. Keduanya hanya fokus dengan kegiatan masing-masing, dimana Kalya terlihat jelas menghindari komunikasi apapun dengan Gavin.

"Kalo mau tidur, ya tidur aja… gue nggak bakal ganggu kok," terdengar suara dingin Gavin yang masih menatap lurus ke depan, membuat Kalya tidak percaya dan menegakkan tubuhnya kaget.

Gavin pun menghelakan napasnya sedikit. Dia menggeleng sedikit dan kemudian kembali fokus pada jalanan dimana mobil-mobil hanya bisa merayap pelan di atasnya.

"Lo nggak usah takut. Gue cuma mau lo istirahat doang. Ntar, kalo lo sampai sakit lagi, Papa dan Mama gue juga yang repot, kan?"

Ucapan Gavin kali ini lagi-lagi menusuk relung hati Kalya. Secara tidak langsung, Gavin telah mengatakan kalau Kalya itu adalah orang yang merepotkan.

Kalya kembali membuang pandangannya ke arah luar jendela. Sungguh, dia sangat ingin cepat-cepat turun dari mobil itu. Dia sudah tidak tahan. Jantung dan hatinya terus saja berdenyut tidak senang berada di samping Gavin dan mendengar suara lelaki kejam itu.

Suara yang berasal dari ponsel di dalam tas Kalya, membuat Kalya berjangkit sedikit. Dia merogoh isi tasnya dan menjawab panggilan tersebut yang ternyata  dari seniornya, Mario.

"Halo, Mas?" sapa gadis itu lembut.

"Halo, Kal? Kamu dimana? Kok nggak ada di kantor?" tanya Mario langsung.

"Oh, iya, Mas… Aku udah di jalan. Mau pulang,"

"Pulang?!" Mario seperti terkejut mendengar jawaban Kalya. "Tapi, bukannya kamu bilang mau pulang bareng aku? Kok jadi aku yang ditinggal, sih?" protes Mario kemudian.

Kalya hanya bisa tersenyum masam. Dia mengusap tengkuknya tidak enak, dan melirik ke arah Gavin yang saat ini memasang tampang menyeramkan. Tatapan mata lurus dan tajam, serta rahang yang mengetat dengan tangan yang mencengkram erat kemudinya.

"Maaf, Mas... tadi, Pak Kendra nelpon aku dan  nyuruh aku pulang cepat. Jadi, aku belum sempat ngabarin Mas, deh… Maaf, ya?"

"Belum sempat atau lupa?" sindir Mario lagi, membuat Kalya hanya bisa tersenyum pelan.

"Maaf deh, Mas… jangan marah gitu, dong…. Aku janji, lain kali nggak akan lupain Mas lagi, kok…. Bener!" seolah lupa dengan siapa yang ada di sampingnya, Kalya mengangkat dua jarinya ke udara dan tertawa pelan, ketika mendengar Mario menggerutu.

"Yaudah, deh… nggak papa," Mario menarik napas panjang, dan kembali bertanya. "Oh ya… kamu pulang naik apa? Naik taksi, atau…"

Pertanyaan itu seketika membuat Kalya tersadar. Dia melirik ke arah samping, tepat pada wajah Gavin yang terlihat seperti ingin membunuh seseorang.  

"Aku sama Gavin, Mas. Tadi, Pak Kendra yang minta Gavin buat antar aku," jawab Kalya pelan nyaris berbisik.  

"Oh…, yaudah kalau begitu, bilang sama Gavin hati-hati bawa mobilnya. Nggak usah ngebut." Pesan Mario, diam-diam membuat Kalya meringis dalam hati. Jangankan mengatakan hal tersebut, menegurnya saja Kalya sudah tidak mau.

"Dan buat kamu, begitu sampai rumah, jangan lupa makan, terus mandi. Oke?" pesan Mario lagi, kali ini membuat Kalya memberengutkan sedikit wajahnya.

"Nggak oke!" kata gadis itu membuang pandangannya ke arah lain. "Aku 'kan udah gede! Nggak usah dibilangin juga, aku pasti lakuin, kok…" protesnya pada Mario, lagi-lagi membuat pria itu tertawa pelan di tempatnya.

"Ya, bagus dong, kalau begitu, artinya aku naksir sama orang yang tepat. Mandiri dan bukan tipe cewek manja. Bener, nggak?"

Entah itu kalimat yang berasal dari hati Mario sebenarnya, atau hanya sebuah candaan semata, Kalya merasa sedikit senang mendengarnya. Hatinya damai dengan detak jantung yang begitu menenangkan.

Seperti berbisik, Kalya menjawab. "Iya,"

Hati Kalya yang tadinya sedang berbunga, mendadak terasa layu, ketika mendengar suara deheman keras dari sebelahnya. Gavin yang sepertinya terlihat tidak suka, langsung melirik Kalya dengan sorot matanya yang tajam.

"Eum...Mas… aku… aku tutup teleponnya dulu, ya? Takut Gavin terganggu." Pamit Kalya nyaris berbisik pada Mario yang malah terdengar menggerutu.

"Nggak usah gitu juga, otak anak itu udah terganggu kali, Kal!" decak Mario.

"Mas…!"

Mendengar teguran Kalya yang gusar, membuat Mario hanya bisa menarik napas panjang. "Yaudah deh, gak papa. Kamu hati-hati, ya… Bye!"

"Bye,"

Begitu panggilan itu terputus, Kalya langsung memasukkan ponselnya ke dalam tas. Setelah itu, dia memiringkan tubuhnya kaku menatap jalanan kota yang terlihat cukup macet sore itu.

"Romantis banget, sih… udah jadian, ya?"

Kalya berusaha menulikan telinganya, mendengar nada sindiran yang Gavin keluarkan untuknya. Dia tidak mau membuka interaksi apapun pada cowok itu, karena takut akan mengundang hal yang tidak Kalya inginkan sama sekali. Bagaimana pun, hasil perbuatan Gavin malam itu menimbulkan rasa takut yang amat besar dalam diri Kalya. Apalagi, saat ini mereka hanya berdua di dalam mobil. Maka Kalya, akan berusaha sekuat tenaga untuk tidak menanggapi Gavin di sisinya.

Sementara itu, Gavin yang sadar dengan sikap Kalya yang sengaja mengabaikannya, langsung merasa marah dan berkata cukup keras.

"Kayaknya bumi ini udah penuh sama orang-orang brengsek!"

Pukulan Gavin pada kemudinya yang terdengar begitu keras, membuat Kalya kaget dan menoleh pada lelaki itu. Matanya menatap tajam sosok Gavin yang saat ini tengah mengatur napasnya karena emosi.

"Kamu salah satunya, kan?" balas Kalya, seketika membuat Gavin melihat ke arahnya.

"Apa?!"

Suara gemeretak gigi Gavin menatap Kalya, membuat nyali wanita itu kembali menciut. Dia hanya memberengutkan wajahnya dan membuang pandangannya lagi ke arah lain.

"Putusin cowok itu sekarang!" perintah Gavin tiba-tiba, seketika membuat Kalya merasa terkejut bukan main.

"Apa?!"

"Lo nggak budek, Kalya! Gue minta, lo putusin si brengsek Mario itu sekarang! Detik ini juga! Paham?"

Tepat saat itu, kemacetan jalan raya mulai berkurang. Perlahan-lahan, jalanan mulai lempang kembali, hingga membuat Gavin bisa leluasa melajukan mobilnya dengan kecepatan yang tinggi.

Sedang Kalya, gadis itu hanya bisa terdiam mencerna semua ucapan Gavin kepadanya.

"Aku benar-benar nggak ngerti sama jalan pikiran kamu, Gavin. Mas Mario itu--"

"Pokoknya, gue nggak mau tahu! Besok, gue nggak mau dengar lagi kalau lo punya hubungan sama cowok manapun! Termasuk si Mario! Ngerti?!"

Kalya tersentak, ketika Gavin membentak tepat di depan wajahnya. Emosi Kalya yang saat itu memang sedikit tidak terkendali, jadi membuncah dan berani membalas Gavin.

"Enggak! Aku nggak ngerti sama sekali! Aku ini Tante kamu! Apa hak kamu ngatur-ngatur aku?! Mau aku pergi bareng siapa juga, itu urusan aku! Bukan urusan kamu! Kamu itu cuma anak kecil yang nggak tahu apa-apa! Kamu cuma anak ingusan, yang bertindak tanpa berpikir sama sekali! Kamu pikir, apa yang kamu lakukan sama aku itu adalah hal yang wajar, hah?! Coba kamu pikir lagi, Gavin! Pikir! Jangan suka bertindak sembarangan, apalagi tentang apa yang harus aku lakuin! Ngerti kamu?!"

Kalya terengah-engah meluapkan kemarahannya dalam kalimat yang panjang. Pandangannya berserobok dengan mata Gavin yang menunjukkan kilat amarah.

Gavin pun tersenyum sinis. Emosi yang sudah mencapai ubun-ubun membuat Gavin semakin mengencangkan laju kendaraannya. Cengkramannya semakin kuat pada kemudi membelah jalanan menuju rumah mereka.

Begitu tiba, Gavin langsung turun dari mobil dan menghampiri Kalya yang masih syok duduk di tempatnya. Pria itu membuka pintu Kalya kasar dan mencengkram kedua bahu Kalya kuat.

"Ga-Gavin…"

"Dengar! Gue ngomong ini bukan untuk becanda sama lo. Tapi, ini peringatan! Gue mau, lo untuk berhenti dekat sama cowok manapun! Entah itu Mario, atau cowok manapun di kantor ataupun dimana aja! Ngerti?!"

Kalya yang merasa ketakutan hanya bisa diam menatap Gavin dengan sorot mata memelas. Cengkraman Gavin di lengannya begitu menyakitkan. Ditambah dengan ucapan pria itu yang melarang Kalya berhubungan dengan pria lain, membuat Kalya bingung dan bertanya-tanya dalam hati. Apa sebenarnya salah Kalya pada Gavin?

"Tapi, Tante--"

"DIAM!" bentak Gavin tiba-tiba memukul kaca mobil di sisi Kalya hingga menimbulkan suara hantaman yang keras. Kalya jadi beringsut takut melihat Gavin yang terlihat kerasukan setan seperti itu. Air mata Kalya bahkan sudah menetes saking ketakutannya.

"Udah berapa kali gue bilang, lo itu bukan Tante gue! Gue bukan keponakan lo! Lo bukan keluarga gue! Lo dengar nggak, sih?!"

Teriakan Gavin depan wajah Kalya benar-benar membuat hati Kalya terluka. Dia sadar, kalau dia bukanlah keluarga kandung dari Gavin. Dia bukan adik Kendra. Dia hanya anak angkat yang diasuh oleh kedua orangtua Kendra dulu. Dan ingatan itu berhasil membuat air mata Kalya semakin tumpah ruah membanjiri pipi merah gadis itu.

"Iya, saya dengar dan saya mengerti," dengan rembesan air mata dan tatapannya yang pilu, Kalya mendorong tubuh Gavin untuk menjauhinya.

"Saya tahu, dan saya sadar siapa diri saya sebenarnya. Tidak usah kamu perjelas juga, saya sudah mengerti, kok…. Dan apa yang kamu inginkan dari saya, juga akan saya turuti. Sebagai orang yang sudah diangkat dan diasuh oleh keluarga kamu, saya akan menuruti apapun yang kamu minta."

Kalya menundukkan sedikit wajahnya dan menarik napas panjang. Setelah itu, dia menghapus air matanya dan menatap Gavin yang terdiam di tempatnya.

"Seperti yang kamu bilang, saya bukanlah keluarga kamu. Saya bukan Tante kamu, dan kamu bukan keponakan saya. Jadi, mulai sekarang, mari hidup seperti orang yang tidak saling kenal. Saya orang asing, dan kamu pun demikian." Putus Kalya kemudian.

Wanita itu langsung keluar dari dalam mobil meninggalkan Gavin yang masih terdiam di tempatnya. Sampai akhirnya Gavin tersadar, dan berseru memanggil namanya.

"Kalya!"

Tepat di depan pintu rumah mereka, Kalya menghentikan langkah kakinya. Dia menoleh dan mencoba tersenyum datar pada lelaki itu.

"Soal aku yang nggak boleh dekat sama cowok lain, kamu tenang aja. Aku nggak ada niat, kok. Emang, laki-laki mana yang mau sama perempuan tidak terhormat seperti aku ini?" Kalya tersenyum pahit melihat Gavin yang sepertinya cukup terkejut mendengar ucapan Kalya.

"Aku sadar diri. Selain nggak punya keluarga... Aku juga nggak punya kehormatan."

*****

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!