Falton melirik kamar Ashton yang terlihat terbuka sedikit, langsung saja kakinya melangkah memasuki kamar itu. Falton mendapati Ashton sedang rebahan yang memikirkan suatu hal. Falton tidak bisa membaca isi pikiran Ashton. Biasanya Ashton sendiri yang akan mengutarakan apa yang dipikirkan.
Falton duduk di tepi ranjang, Ashton masih menatap langit-langit kamar dengan pergelangan tangannya sebagai bantal di kepalanya.
“Ashton, kamu mikir apa?" tanya Falton, Ashton sadar dan melirik Falton. Ashton tidak menjawab, dan tidak mungkin juga ia membicarakan yang sebenarnya. Ashton memiringkan badannya membelakangi Falton, seolah tidak ingin diganggu oleh siapapun.
“Ashton, tolong jawab! Beberapa hari, pertemuan kita sangat dingin."
Falton kesal dan tidak bisa melihat tingkah Ashton yang tidak mau lagi terbuka padanya. Falton sudah lama bersama dengannya. Masih kurangkah kesetiaan Falton untuknya? Rasanya Falton ingin menghajar Ashton sendiri.
“Aku ingin istirahat, Fal. Tolong keluar!" usir Ashton dengan mata yang mulai tertutup.
“Aku tidak mau! Aku merasa kamu sedang menyembunyikan sesuatu. Dan sepertinya, itu adalah masalah besar, dan kamu tidak berani mengutarakan kepada siapapun!" kata Falton dengan nada marah.
“Aku minta tolong, kamu keluar Falton!" teriak Ashton tiba-tiba. Baru kali ini ia berani teriak di hadapan Falton. Entah masalah apa yang sedang menimpalinya, baru kali ini Ashton berlaku seperti itu Falton. Falton membelalakkan matanya, sadarkah Ashton akan perkatannya?
“Beraninya kamu bocah, meneriaku! Apa kamu merasa hebat ha?" teriak Falton tidak kalah sengitnya. Ashton bangun berdiri dan menampilkan sisi jiwa serigalanya. Ashton menampilkan gigi taringnya, netra merahnya menampakkan cahaya yang bersinar. Ia sisi lain Ashton yang jika diusik dalam masalah yang tengah dihadapi keluar. Dan tidak semua yang tahu akan hal itu, kecuali Falton. Faltonlah orang yang mengenal Ashton luar dalamnya.
“Sadar bodoh! Kamu pikir aku gak mampu melawanmu ha?" kata Falton dengan memberikan satu cakaran dan satu pukulan di wajah Ashton. Falton melakukan itu sebelum makhluk serigala di mansion mengetahui jika mereka berantam.
Merasa tertahan, dan yakin jika Ashton tidak akan melakukan perlawanan, Falton sendiri memberikan pukulan kuat tepa di dada Ashton. Ashton seketika lemah tak berdaya di kasur. Ashton tidak akan melawannya jika Falton bersalah, hanya saja kesalahan itu ada Ashton sendiri.
Ashton mengatur nafanya yang tidak beraturan. Ashton dipenuhi peluh keringat di sekujur badanya. Ia sangat Lelah setelah mengeluarkan sisi lainnya. Darah yang sempat berembes di di ujung bibir Ashton seketika hilang, karena Ashton dapat menyembukan sakit yang tidak seberapa itu.
“Masalah seperti apa yang sudah kau lakukan? Dari kemarin kamu sungguh aneh," kata Falton mencoba mengontrol emosinya. Ia ingin Ashton segera terbuka padanya.
Ashton lagi tidak menjawab. Ini sungguh aneh bagi Falton. Betapa sulitnya Ashton berkata, dan Falton seolah tahu jika Ashton memang sudah melakukan kesalahan.
“Jawab bodoh!" teriak Falton yang sudah tidak bisa menahan lagi. Ashton seolah membodohinya saja, dan Falton tidak dapa melihat hal kesalahan yang diperbuat.
“Aku tidak bisa menceritakan. Nanti, aka nada waktunya, aku menceritakannya padamu.”
“Ahk, kurang ajar kamu Ashton!! Kamu membuang-buang waktu saja!” katanya berdiri dan melampiaskan marahnya pada Ashton namun sayang Ashton tidak mempedulikannya.
“Aku sendiri yang akan mencari. Ingat entah kesalahan apa yang kamu perbuat, aku sendiri yang akan memberitahu pada raja,” ancam Falton menunjuk-nunjuk Ashton.
Brak
Pintu kamar itu ditutupnya secara kasar. Falton berlalu pergi keluar dari kamar Ashton dengan emosi yang membuncah.
Falton dengan emosinya tidak memperhatikan lagi sekitarnya. Suara seseorang yang dihormatinya membuatnya berhenti.
“Apa kalian punya masalah nak?" tanya Raja Dalbert. Ia tadi mendengar pertengkaran Ashton dan Falton. Entah apa yang dipermasalahkan mereka, membuat raja Dalbert juga ingin mengetahui apa yang dipermasalahkan.
Falton membalikkan diri, ia melihat Raja Dalbert meminta jawaban padanya.
“Maaf raja, masalahnya bukan ada pada saya, tetapi pada Ashton sendiri,” jawab Falton. "Ya, sudah kamu istirahat saja!”
“Baik raja, saya permisi,” Falton menuju satu ruang untuk mengistirahatkan tubuhnya.
Raja Dalber melirik pintu kamar Ashton. Ia ingin berbicara pada anaknya, tetapi memberikan waktu sejenak agar putranya mau bercerita padanya.
Di kontrakan sedang ramai warga menyaksikan tindakan rintenir jahat itu. Ia sedari tadi berteriak tidak jelas dan mengumpat kasar. Sontak saja membuat penghuni kontrakan bergegas keluar.
“Hei, mahasiswa bodoh! Keluar! Kalian tidak layak untuk tinggal di sini! Bisa-bisanya membuat onar dan bahkan memfitnah orang! Keluar!" teriaknya sedari tadi.
Garvin dan teman-temannya keluar tanpa mempersilahkan ibu itu masuk Warga sudah berkemurun seolah melihat apa yang akan terjadi.
“Eh, nenek lampir. Ngapain ke sini ha? Sana pulang, dan jangang ganggu kita!” kata Valerie mengusir secara terang-terangan. Garvin dan Felix sedikit menghindar, biarkan para wanita yang saling bertengkar. Apalagi Valerie yang jika marah akan semakin ganas saja. Mereka cukup memantau saja, asalkan tidak ada lagi kekerasan seperti kemarin
Kini, Valerie sendiri yang berhadapan langsung di depan ibu itu bersama teman perempuan lainnya berada di belakangnya.
“Kalian tidak pantas berada di desa ini! Lebih baik kalian tinggalkan desa ini sekarang," serunya dengan mata melebar.
“Eh, nenek lampir. Kami datang ke sini bukan untuk berhadapan denganmu, melainkan berhadapan langsung dengan warga. Warga mau menerima kami, dan kami tidak sudi minta izin sedikitpun dari kamu,” kata Valerie dengan mata melotot.
la seolah ingin mencabik-cabik wajah paru baya itu yang penuh dengan make up. Memasukkannya ke dalam karung dan meneNdang ke dasar laut sana. Valerie melihat bodyguard yang berotot ada di belakang wanita itu.
“Kalian tidak pantas lagi di sini, karena sudah berani memfitnah saya. Jadi, tidak ada salahnya saya yang mengusir kalian dari sini!” serunya kekeh mengusir mereka.
“Kami mahasiswa yang berjunjung tinggi nilai kebenaran. Kami datang baik-baik, dan pulang pun harus berlaku baik. Anda bukanlah pejabat di sini, anda adalah orang rakyat yang seperti kami. Jadi, tutup mulut anda yang berbisa ini, sebelum saya robek sekarang!" ancam Valerie dengan emosi yang membuncah. Valerie sudah merasakan jika tidak bisa diselesaikan secara baik-baik maka secara kasar pun akan dilakukannya.
“Kalian tidak akan berani melawan saya, karena saya adalah orang terhormat di desa ini!" katanya dengan angkuh. Ia juga mengangkat pergelangan tangannya menunjukkan jari-jemarinya berikan lingkaran cincin mahal. Pura-pura ia juga seolah menyelipkan anak rambutnya untuk menunjukkan anting mahalnya. Perlahan meraba ke leher menunjukkan kalung mahal itu. Sungguh kepameran yang luar biasa. Valerie sadar betul apa yang dilakukan wanita paru baya. Valerie mendecih dan memutar bola matanya memelas.
“Terhormat yang ibu katakan? Saya lihat Anda sama sekali bukanlah terhormat. Saya yakin, warga di sini juga sering mencaci maki Anda. Karena apa? Karena cerminan sifat Anda yang memang bukanlah terhormat, melainkan rendahan,” kata Valerie penuh penekanan. Ia juga mencondongkan wajahnya untuk mengumpat ibu paru baya itu.
“Apa ha? Ingin menampar? Sini tampar!" kata Valerie yang menjauhkan wajahnya. Ia sudah memebaca situasi ibu paru baya itu hendak menamparnya. Namun Valerie bisa menangkapnya secara cepat. Valerie mencengkram tangan itu begitu erat hingga ibu itu kesakitan. Membalas dengan kejadian yang beraninya menampar Greisy.
Lalu, Valerie menghempaskan tangannya secara kasar
“Dasar, kurang ajar!" umpat ibu itu seraya memegang tangannya yang kesakitan.
“Nah, ini yang dikatakan wanita terhormat. Yang ada wanita rendahan, sana pergi!" usirnya.
Sontak saja warga menghebohkan dengan tepukan tangan dan sorak-sorak. Untuk kedua kalinya si rintenir itu dapa dikalahkan Valerie.
“Bagus nak, hajar! Kamu begitu,” puji salah satu warga dan masih banyak lagi berbagai pujian dari warga. Valerie tersenyum puas atas dukungan warga. Ibu ini juga malah semakin kesal melihat dukungan warga pada dia.
Tiba-tiba tanpa di duga seseorang menyamburkan seember air pada wanita tua itu.
Byur
Tepat di wajahnya dan pakaian mahalnya juga ikut basah.
“Sudah dari tadi diusir gak pulang-pulang. Sana mak lampir pergi!” kata Jois dengan mudahnya dan tanpa bersalah melakukannya. Sontak saja para warga tertawa terbaha-bahak dengan siraman air itu. Ibu itu masih dengan mengatur nafasnya seolah susah bernafas karena air yang tersiram itu datang tiba-tiba.
“Good Job,” kata Felix memberikan satu jempolan baik pada Jois. Semuanya tertawa puas melihat kekalahan ibu rintenir itu sekaligus menyandang sebagai mak lampir.
Akhirnya si mak lampir pulang dengan keadaan yang sungguh memalukan. Para warga berteriak seru untuk mengejek si rintenir itu.
Para warga juga ikut bubar, karena pertunjukan sudah selesai. Suatu kemenangan bagi mereka melihat kekalahan si rintenir. Felix dan Garvin yang sempat menepi kini mendekat ke teman-temannya.
“Semakin meningkat ajah tuh mulut, bisa lawan orang Val,” kata Felix.
“Iyalah, selagi makhluk seperti dia aku lawan. Gak seperti kalian berdua malah memilih menghindar.
“Ye, siapa juga yang menghindar. Ini urusan para wanita, jadi pria tidak boleh ikut campur. Kan gak seru wanita lawan pria,” katanya dengan kerkilah. Walau sebenarnya mereka juga menghindar, membiarkan Valerie yang mengatasi kedaatangan si rintenir itu.
“Tahu ah, yang penting aku puas lawan dia. Setidaknya terbalaskan akan hari kemarin yang menampar Greisy,” jawab Valerie dengann mudahnya. Ia tidak ingin membalas tetapi mengingat Greisy yang sudah ditamparnya, maka Valerie juga harus bertindak melawan.
Greisy haru dengan penuturan Valerie. Senang rasanya jika Valerie bertindak membelanya. Ia tersenyum tulus melihat Valerie.
"Terimakasih Val,” kata Greisy tulus.
"Iya sama-sama. Sudah ah, masuk gerah nih gue," kata Valerie masuk ke dalam.
Malam hari, Garvin dan Felix ikut rapat di kantor kepala desa. Sementara para wanita, di kontrakan untuk menghidari hal-hal yang tidak diinginkan. Satu jam lamanya, mereka akhirnya pulang. Mereka mendapati teman-temannya sedang menonton televisi.
“Hello para girls,” sapa Felix dengan narsisnya. Dan itu mengundang kekesalan bagi Valerie, Jois, dan Lily.
“Ini gak ada yang jawab gue nih?" tanya Felix berharap ada yang menjawab. “Iya hello juga Felix ganteng,” jawab Greisy. “Yes, all right. Greisy seratus untukmu,” “Uang nih cair?" tanya Greisy menggoda.
“Sayang aku gak ada uang,” jawabnya dengan nada sedih yang dibuat-buat.
“Bilang ajah pelit,” cibir Lily. “Ck, suka akulah,” jawab Felix kesal. “Bagaimana tadi rapatnya?" tanya Greisy.
“Masalah Kita tidak ada lagi lanjutannya. Dihentikan sampai di sini,” jawab Garvin.
“Apa?” kata para wanita serempak dengan mata yang melebar. Tidak ada lanjutan, berarti tidak akan diselidiki lagi oleh pihak sana.
"Kenapa harus gitu?" tanya Valerie dengan kesal.
“Karena memang tidak ada lagi bukti kuat, maka ini terpaksa dihentikan. Mengingat juga kita sebentar lagi ada di desa ini,” jawan Garvin.
Manggut dan mengerti, mereka tidak ada lagi bertanya. Malam hari tidak ada lagi yang menjadi unsur pencarian dibahas. Itu berarti besok hari akan memulai aktivitas tanpa ada lagi penyelidikan.
Sementara di kamar mewah yang cukup mewah, ibu rintenir sedang bersantai di rajangnya. la sedang sibuk dengan sosial medianya. Namun dari arah jendelanya tiba-tiba angin yang mengencang menghantukkan daun jendela itu terbuka ke dinding. Sontak saja membuat si ibu kepanikan. Horden berwarna hijau emas itu malah bergerak-gerak. Perlahan dilihatnya ada bayangan di balik horden itu seorang pria melewat begitu saja.
Ibu paru baya itu langsung saja tidur menutupi sampai kepala dengan selimut. Merasa tidak ada pergerakan atau terjadi sesuatu perlahan tapi pasti ia menyibak selimut itu sedikit melirik kea rah jendela. Sudah tidak ada lagi, ia bangun dan perlahan melangkah kea rah jendela.
Saat menuju jendela, sudah ada seorang yang berdiri di belakangnya.
“Kamu akui kesalahanmu dan minta maaf ke mahasiswa itu!" perintahnya dan sontak membuat ibu rintenir panik mendengar suara itu. Lampu seketika mati dan membuatnya berteriak histeris
“Ahk, siapa kamu?” katanya ketakutan. Ia tidak bisa melihat jelas wajahnya, namu ia memasitika itu adalah pria yang mencoba mendekatnya.
“Aku tahu kamu pelakunya bukan? Dan kalung itu adalah milikmu!" kata orang itu melangkah perlahan dan ibu yang sudah takut itu mundur juga.
“Apa tujuanmu datang ke sini? Kau ingin uang maka akan kuberikan? Asalkan kamu tidak mengangguku!" katanya seolah mengajak bernegosiasi namun sayang pria itu tetap melangkah ke arahnya.
Sudah terpojok di dinding, tidak ada lagi celah untuk bisa pergi dari pria itu.
“Aku tidak butuh uangmu! Aku ingin kau minta maaf dan akui kesalahanmu!" teriaknya dan satu pukulan mendarat ke dinding. Satu keputusan berat akhirnya ia mengangguk dalam ketakutan. Pukulan itu jelas sangat kuat, dan ia takut jika hal itu kena dalam dirinya.
Pria itu tersenyum sarkatis. Cukup mudah ternyata menakut-nakuti manusia. Hanya sekali gertakan membuatnya tidak berani. Ia yakin ibu paru baya ini akan menurutinya, jika tidak maka akan terjadi sesuatu.
“Bagus. Jika kamu tidak melakukannya, maka siap-siap kamu akan seperti dinding ini,” ancamnya penuh penekanan tepat di wajahnya. Ibu paru baya itu beringsut ketakutan, tidak mau lagi menjawab menjawab selain anggukan kepala. la memejamkan matanya dan berharap ada orang yang membantunya malam ini.
“Nyonya! Nyonya!” panggil anak buahnya yang kini ada di hadapannya sekarang. Iya, pria itu sudah pergi dari hadapannya. Lampu sudah kembali terang, dan ia membuka matanya.
la seperti orang yang kelimpungan, mencari pria yang tengah mengancamnya tadi. Tidak ditemukan, seolah misterius dengan kehadirannya. Dus bodyguardnya menatap heran dengannya.
“Kalian sungguh lama datang, dia sudah pergi!” teriaknya tidak terima atas apa yang telah menimpalinya. Bodohnya kedua pria itu sedari tadi tidak datang menolongnya.
“Maaf nona, kami tadi ketiduran,” jawabnya menunduk.
“Dasar bodoh! Sana keluar kalian!” usirnya dengan emosi.
Mereka akhirnya keluar meninggalkannya sendirian dengan wajah yang ketakutan. Sumur hidupnya baru kali ini ia diancam.
“Akh,sial! Tidak ada cara lain selain mengaku! Siapa pria itu sih,” gerutunya kesal.
Jadilah malam itu Ashton berhasil menemui ibu rintenir yang tidak punya empati itu. Ashton turun tangan langsung menghadapinya. Ashton kini berjalan menyusuri jalan desa tengah malam. la yakin warga desa tidak ada lagi yang beraktivitas. Ashton juga berjalan menuju kontrakan Greisy. Ia harus menyampaikan kabar ini, bahwa ia berhasil. Tinggal menunggu waktu besok, pasti berhasil.
Ashton tiba di kontrakan. Perlahan yang menyelinap masuk, menuju kamar Greisy. Dilihat Greisy dan teman-temannya sudah tidur dalam alam mimpinya. Ashton duduk perlahan di tepi kasur. Ia menyelipkan rambut Greisy ke daun telinganya. Agar bisa leluasa melihat wajah alami kekasih pujaan hatinya.
Seulas senyum hangat berhasil di raut wajahnya. Ashton senang bisa melihat wajah Greisy. Ingin rasanya membawa Greisy agar selalu berada di dekatnya. Ingatannya memutar tentang ideintitasnya. Tidak kurang dua hari lagi, semuanya akan diungkapkan. Ia takut Greisy akan menjauhinya. Rasa cintanya yang mendalam sudah tidak bisa disingkirkan.
Merasa puas, ia kembali merobek satu lembar kertas dan menautkan tulisan tangan untuk Greisy. Ia meletakkan di samping Greisy.
Ashton pun keluar dari kontrakan, pulang kembali ke hutan.
Tengah malam itu, Ashton kembali ke mansion. Ayah dan mama sedang menunggunya di ruang keluarga. Ashton melewat saja tanpa melihat sekitar, namun karena dicegah ayah maka Ashton juga duduk bersama dengan kedua orang tuanya.
“Ashton ada masalah kau dengan Falton?” tanya ayah mengintimidasi. Dalbert tahu jika Falton marah bukan karena sebab. Pasti ada alasannya.
“Dia saja yang terlalu mudah emosi yah,” jawab Ashton memelas.
“Katakan pada ayah, apa yang kalian permasalahkan?" tanya ayah mendesak. Dalbert yakin pasti ada yang disembunyikan Ashton.
Ashton sedikit bingung untuk menjawab. Salah langkah menjawab maka masalah akan semakin besar. Ashton tidak ingin ada yang lain mengetahui apa yang disembunyikan. Cukup hanya dirinya saja, saat ini.”
“Hanya kesalahpahaman ajah yah,” jawabnya singkat.
Dalbert menghembuskan nafasnya kasar. Ia tahu Ashton berbohong, namun ia tidak mau
memaksakan kehendaknya untuk mendesak Ashton.
“Ya sudah nak, kau istirahat. Besok kamu harus baikan dengan Falton. Gak boleh berantem!" kata mama menasehati.
Ashton mengangguk. Ashton pergi tanpa permisi, karena ia ingin beristirahat. Cukup Lelah karena sudah memaksa tubuhnya keluar dari gerbang hutan ke desa. Tenaga Ashton akan sedikit terkuras jika melewati gerbang hutan, karena itu sudah hukum alam jika manusia serigala keluar dari hutan maka tenagannya yang akan cepat terkuras.
Raja Dalbert malah mendelik kesal. Melihat kelakuan istrinya yang tidak pernah marah pada putranya. Sementara dirinya sedikit salah, siap-siap gendang telinga itu akan pecah dan terjadi diam-diaman beberapa hari. Sungguh sangat mengesalkan bukan, jika terlalu memanjakan putranya.
“Ma, jangan terlalu memanjakannya! Lihat kelakuannya yang semakin aneh saja, dan lagi ia pergi tanpa izin ke kita,” katanya.
“Aku tidak memanjakan putraku. Lihat sendiri, tenaganya seperti terkuras dan dia butuh istirahat. Dan lagi, ngapain harus izin dulu jika dia memang ma uke kamar saja,” jawab mama tidak kalahnya.
Dalbert tidak tahu harus jawab apa lagi. Ia tidak ingin berdebat dan berakhir dengan diam-diaman. Lebih baik dipendam sebelum ratu serigala itu mengeluarkan tatapan sinis dan mulut pedasnya. “Yah, kenapa diam?" tanya istrinya.
“Percuma lawan mama, yang ada mama yang bakal menang, ayah terus yang kalah.” Jawabnya kesal.
Istrinya tersenyum senang, suaminya tidak mengajak berdebat lagi. Itu berarti ia selalu mendominasi jika berdebat dengan suaminya, dan memang ia selalu menang.
“Nah gitu dong yah, kan mama jadi senang,” katanya seolah mengejek.
Greisy menggeliat di kasurnya. Ia melirik jendela yang menampakkan celah sedikit pada pantulan cahaya yang menyelip masuk ke ruang kamar. Pukul delapan, masih tidak ada pergerakan dari mereka, karena mengingat hari adalah hari minggu waktunya libur.
la bangun dan mengerjapkan bola matanya. Menoleh ke samping melihat temannya masih tertidur. Tidak sengaja ia menangkap sebuah surat terlipat lagi di kasur. Ia membuka surat itu dan membacanya dalam hati.
“Aku telah mengatasi masalahmu! Tunggu saja beberapa jam lagi, semuanya akan selesai. Ashton." Isi surat yang berasal dari kekasihnya. Rasanya tidak percaya jika Ashton dapat mengatasinya sendiri. Seolah menepisnya, Greisy tidak ingin memikirkan terlalu dalam lagi. Karena kasus ini sudah ditutup tanpa ada pelaku yang mengakuinya. Lagian tanaman hidroponik mereka semakin hari semakin berkembang. Tidak ada yang menjadi masalah beberapa hari ini.
Jika dipikirkan lagi, Ashton bukanlah orang yang bermain-main. Ia selalu serius dalam mengucapkan sesuatu. Lama termenung, Greisy sadar dan langsung beranjak keluar menuju kamar mandi.
Setelah mandi, nampak wajahnya begitu segar dan semangat. Teman-temannya masih belum ada yang terbangun. Greisy berniat untuk memasakkan sesuatu pagi ini. Meski tidak jadwalnya memasak, tapi karena ingin memasak maka Greisy berniat memasak sarapan pagi ini untuk teman-temannya juga.
Dengan lihainya ia memasak capcay kesukaannya. Daging sapi yang menjadi persediaan di kulkas masih segar diolah menjadi makanan yang menggiurkan lidah. Cukup satu menu makanan tetapi dalam porsi banyak. Brokoli dan wortel dicampurkannya ke wajan dengan daging yang sudah matang. Segala bumbu yang telah diolah juga dimasukkannya. Indra penciuman yang seolah menyeruak dengan wanginya masakan Greisy.
Beberapa menit kemudian satu baskom yang lumayan besar makanan itu telah masak. Ia menghidangkan di meja makan. Keringat di keningnya tidak mengurangi rasa semangatnya telah memasak sempurna di pagi ini.
“Hello my friends, Wake up!” panggil Greisy bergema di kontrakan.
“Guys bangun! Sarapan sudah masak! Cepat bangun, sebelum kuhabiskan!" teriaknya lagi dan seolah memberikan ancaman sedikit. Greisy masih berkutat dengan piring-piring, gelas dan sendok, menaruhnya di atas meja. Sungguh sempurna dengan pekerjaan sendiri.
“Kalau tidak bangun, jangan hara pada sarapan pagi ini!” teriaknya lebih keras. Sontak saja semuanya bangun lari terbirit-birit menuju dapur. Sungguh teman yang hanya menyelamatkan perutnya saja. Itupun susah untuk diajak makan, dasar!
"Oh, masih ingat bangun teman-teman!" seru Greisy menyindir.
Sayangnya tidak ada yang menjawab, karena masih mengumpulkan nyawa untuk bisa sadar dari tidurnya. Masing-masing mereka duduk dengan menyendokkan makanan ke piring.
Greisy melongok tidak percaya dengan tindakan teman-temannya. Sedari tadi ia berteriak seperti orang Tarzan, dan tidak ada sahutan sama sekali dari mereka. Luar biasa sekali hidupa yang menikam Greisy. Teman-temannya sungguh tidak berakhlak. Bangun dan langsung makan, sungguh kehidupan yang penuh durjana.
“Dasar, tidak berperasaan!" kata Greisy kesal. la menarik kursi dan langsung melahap makanannya tanpa melihat teman-temannya lagi.
Semuanya acuh dan Lili mencebikkan bibirnya. Jujur saat ini tidak waktunya untuk menjawab Greisy. Perut mereka sudah berdemo untuk diisi dengan makanan. Malas untuk masak, merekalah itu. Untung saja Greisy yang rajin bangun menghidangkan makanan pagi ini.
Mereka menghabiskan makanan tanpa bersuara lagi. Selesai makan, Greisy terlihat marah dan melenggang pergi meninggalkan mereka. Semuanya tahu bahwa Greisy marah, tetapi setidaknya perut mereka sudah terisi dengan makanan lezat dari Greisy.
Seperti biasa hari minggu adalah kegiatan mereka Kerjasama di kontrkan untuk membersihkan isi kontrakan. Para pria sudah menyapu dan mengepel lantai, sedangkan Valerie, Jois, dan Lily sudah siapa dengan segala cuci menyuci dan membersihkan pekarangan kontrakan.
Greisy menjadi ratu hari ini. Karena dirinya sudah memasak sarapan sendiri tadi pagi. Cukup adi bukan? Kerjasama ini setidaknya tidak mengurangin rasa pertemanan mereka.
Setelah Kerjasama yang baik menghasilkan kerjaan yang cukup memuaskan, mereka lansung terlentang beralaskan tikar di ruang tamu. Di sana mereka mendapati Greisy yang santai menonton televisi.
“Gila, lelahnya kerja seperti ini. Sudah seperti babu saja,” kata Valerie dengan wajah lelahanya.
“Bukan babu, tetapi kerja rodi sih kalau menurutku,” celutuk Jois.
Felix dan Garvin tidak menanggapi. Karena pekerjaan mereka cukup ringan dan tidak menguras tenaga. Kalau Valerie, Jois, dan Lily, memang tidak terbiasa pekerjaan seperti yang mereka lakukan tadi.
Greisy tersenyum mengejek, teman-temannya tukang ngeluh terus. Tapi ia senang bisa berkumpul dengan teman yang menurutnya baik hati.
“Nah, itulah yang kurasakan tadi pagi, sendiriku memasak,” timpal Greisy dengan menyindir keras. Walau sebenarnya ia memang suka memasak.
Mereka menoleh melihat Greisy. Semuanya terkekeh dengan penuturan Greisy. Ternyata di balik mereka menjadi babu tadi, masih ada orang yang lebih menderita tadi pagi yaitu Greisy.
“Terimakasih Greisy cantik, makananmu sungguh enak!" puji Lily dan dibalas anggukan oleh teman lainnya. “Basi,” jawabnya singkat.
“Idih ngambek. Maaf yah, kita ini malas banget bangunnya. Nah sekali bangu itu langsung penge bawaannya langsung makan gitu , Lilynberkilah sedikit boleh juga. Dia tidak mau Greisy makin marah.
“Ya sudah iya. Lain kali jangan digituin aku. Kalau ditanya mesti jawab,” katanya.
"Iya Greisy cantik,” balas mereka serempak hingga mereka tertawa geli.
Masih dalam kotrakan, mereka tengah menonton televisi berupa komedi. Karena disambut dengan tertawa, maka mereka juga ingin merasakan tertawa lebih dalam lagi.
Namun, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kontrakan. Valerie yang tidak jauh dari pintu bangkit berdiri membuka pintu.
Mata Valerie melotot tajam menatapnya. Seorang rintenir yang lawan bertengkarnya, bersama kedua bodyguard. Valerie melipat tangannya di dada seolah meremehkan manusia itu.
“Buat apa lagi datang ke sini ha? Mau mencari masalah lagi gitu?" tanya Valerie beruntut. Ia sudah muak melihat ibu rintenir itu. Menganggu terus dalam setiap kegiatan mereka.
Si rintenir mencoba untuk menahan emosi, kalau bukan karena ancaman semalam ia memang tidak Sudi meminta maaf.
“Saya ke sini mau minta maaf. Jujur saya memang pelakunya,” katanya dengan raut wajah menyesal.
“Nah kan, apa gue bilang memang Lo itu pelakunya dasar nenek lampir!” umpat Valerie dengan amarah yang menggebu-gebu.
Semua warga perlahan mendekati suara yang begitu mencekam itu. Suara dari Valerie sangat bernada nyaring kuat hingga dapat di dengar warga.
Teman-temannya juga turut keluar setelah mendengar umpatan Valerie. Mereka bingung kedatangan si rintenir itu. Untuk apa lagi dia datan? Satu pemikiran, dan melihat Valerie sudah dengan kepalan tangan mata yang melotot. “Ini ada apa Val?” tanya Garvin.
“Si Mak lampir ini datang mengakui kesalahannya. Itu berarti memang dialah pelaku sebenarnya,” jawabnya memberitahu tanpa melirik Garvin.
Semuanya tercengang, warga sontak saja menyoraki dengan nada kekesalan. Pasalnya karena masalah ini tenaga dan pikiran mereka terkuras untuk mencari si pelaku. Tidak jauh ternyata memang rintenir itu pelakunya.
“Apa betul yang diucapkan teman saya Bu?” tanya Garvin sedikit geram.
“Iya, betul saya adalah pelakunya. Oleh karena itu, saya ingin minta maaf pada kalian,” jawabnya menunduk malu, namun di hati sudah panas dengan tindakan Valerie yang berani menyentaknya di hadapan warga.
“Kami tidak akan pernah memaafkanmu!!” sentak Valerie menolak keras permintaan maaf darinya. Bagi Valerie ini sudah dianggap fatal, dia yang memulai dan mereka sudah sempat menuduhnya, namun masih tetap melawan mereka bahkan mempermalukan mereka beberapa hari yang lalu. Valerie tentu tidak akan memberikan maaf itu. Sungguh tidak sudi.
“Val, sabar! Tenangin emosinya!" kata Greisy membisik. Ia tidak mau Valerie semakin meluapkan kemarahannya.
“Aku tidak akan sabar melihat kelakuan yang telah diperbuat. Kita sudah sempat menuduh dan yakin bahwa dialah pelakunya. Tapi apa yang kita terima, dia seolah kita merendahkannya bahkan memfitnahnya. Dan satu lagi, dua tamparan yang dia berikan kepadamu. Cih, ingin rasanya kubalas sekarang!” kata Valerie mengebebu-gebu.
“Cukup Val!! Sentak Garvin tidak kalah sengitnya. Ia membaca pergerakan Valerie yang hendak memainkan tangannya. Ia tentu tidak mau Valerie mendapatkan kesalahan lagi, dan berujung fatal nantinya.
“Sudahlah, lagian ibu ini sudah minta maaf. Apa salahnya coba memaafkannya," kata Garvin dengan tenang dan memberikan kebijakan yang baik agar tidak ada lagi permasalahan.
“Ck, aku sebenarnya gak setuju. Tapi yah mau gimana lagi,” kata Jois menyelutuk. Ia sama sekali tidak setuju tapi balik lagi apa baiknya untuk masalah ini.
“Iya, Val. Sudah yah, malu tuh dilihatin warga!" kata Lily membujuk.
Valerie sontak saja menatap teman-temannya satu persatu dengan mata melotot. Begitu mudahnya mereka memaafkan setelah apa yang dilakukan oleh ibu rintenir.
Oh, tidak. Valerie tentu tidak mau meringankan setelah apa yang mereka terima. Valerei mencoba memikirkan sesuatu seraya teman-temannya masih berharap Valerie mau memaafkan.
Sejenak berpikir, dan satu ide terlintas pada pikirannya. Valerei dengan senyum yang sulit diartikan. Teman-temannya juga saling melirik apa maksud senyum itu. Tidak ada yang tahu, hanya Valerie yang tahu.
Valerie melangkahkan kakinya ke depan, menghdapa para warga yang berkerumun di depan kontrakan.
"Ok, setelah aku menimbang dan memutuskan secara terpaksa aku mau memaafkannya,” semuanya tersenyum berarti.
Valerie mau menuruti mereka.
"Akan tetapi,” kembali lagi tegang, warga juga berbisik-bisik apa yang akan dilakukan oleh Valerie. Warga seolah menebak, yang pasti akan merugikan si rintenir jahat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!