Pernikahan sakral telah terjadi di sebuah gedung berbintang di tengah kota. Seorang pria tampan bernama Henry Quirino pada akhirnya melepaskan status dudanya tepat di usia 33 tahun.
Ia menikahi wanita cantik bernama Rosetta Vedetta, sang sekretarisnya sendiri. Sebenarnya Henry masih berat untuk melakukan pernikahan ini lagi, kalau bukan desakan sang mommy angkatnya, Aria Oriana berusia 58 tahun dan anaknya, Alano Quirino berusia 5 tahun.
Alano tidak ingin bersekolah jika sang daddy tidak menikah lagi, dan dirinya juga belum mendapatkan seorang mommy. Alano tidak mau terus-menerus di bully oleh teman-temannya sebagai anak haram, bahkan anak tiri, dan anak angkat.
Sekeras apapun Henry berkata, Alano tetap tidak percaya bahwa ia anak dari daddy-nya sendiri. Setiap malam pun Alano sering menangis akan kerinduannya pada sang mommy. Gambar wajah wanita cantik itu terlukis di dalam bingkai di atas lemari dekat tempat tidurnya.
Henry sadar, selama 3 tahun pula sang sekretaris mengasuh Alano seperti layaknya anak sendiri. Tidak bisa di pungkiri, pergerakan hati Henry masih sulit terbuka untuk sang sekretaris yang sering di panggil Rose itu.
Henry berniat berpacaran dulu selama satu bulan dengan Rose, namun hatinya masih tetap tertutup. Walau Henry sendiri sering berpura-pura menyukai Rose.
Buktinya sentuhan apa pun tak pernah Henry lakukan pada Rose, kalau bukan Rose sendiri yang sering memancing Henry untuk memegangnya. Namun hanya sebatas ciuman, tidak lebih dari itu.
Ingatan Henry masih melekat pada sang istri, Emilia Felince. Wanita cantik yang telah menolak Henry beberapa kali, beberapa kali pula Henry mengejarnya.
Pria tampan penuh pesona menjadi rebutan para wanita. Emilia tak menyukai akan hal itu. Namun hatinya begitu saja luluh saat melihat perjuangan Henry untuk mengikat dan mengajaknya menikah. Sampai sebuah tragedi memisahkan kembali mereka berdua. Di mana di saat itu usia Alano masih menginjak 2 tahun.
Bukan sekedar kesedihan yang menyulut perasaan Henry, tapi ia rasa tak sanggup menjalankan kehidupannya. Kalau bukan akibat anak semata wayangnya, ia tak akan mungkin bisa melanjutkan kehidupannya itu.
"Sayang... Kenapa kamu melamun?" Rose memegang wajah bos yang saat ini sudah menjadi suaminya. Pria yang di incar Rose selama bertahun-tahun. Kini bisa ia dapatkan.
Wajah tampan itu tersenyum menatap kedua netranya. "Kita berangkat sekarang." Henry memalingkan wajahnya ke arah lain.
Hari ini mereka akan pergi bulan madu sesuai keinginan Rose. Anak semata wayangnya tentu juga ikut bersama dengan mereka.
Di katakan bulan madu, maka Rose akan menikmati masa-masa indah mereka berdua. Tatapan Henry begitu kosong saat ini. Pemandangan itu tak nyaman di mata Rose saat melihat Henry hanya melihat luar kaca mobil.
"Sayang, kamu sedang memikirkan apa?" Rose menarik dagu Henry agar bisa menatapnya.
Henry seperti biasa akan tersenyum manis. "Aku hanya lelah sayang. Aku ingin segera beristirahat." jawabnya dengan penuh kelembutan.
Rose tersenyum manis atas perkataan Henry. Ia berpikir bahwa Henry tak sabaran untuk memenuhi hasratnya yang terpendam setelah sekian lama.
"Aku tau akan maksud mu. Tapi kamu terlihat sangat tak bersemangat. Apa kamu lapar?" Rose memperhatikan Henry yang belum makan apa pun sejak pagi tadi. "Aku takut kamu tidak bertenaga, Hen." sambungnya penuh arti.
"Kalau begitu kita mampir di pinggir jalan sebentar. Aku ingin mencoba makanan khas daerah sini. Aku dengar di sini terkenal dengan kue siput. Bentuk dan rasanya unik. Boleh kita mampir sebentar sayang." pinta Henry mengingat akan makanan itu.
Perjalanan bulan madu kali ini mengingatkannya pada Emilia almarhum istrinya. Kue itu menjadi makanan favorit mereka di saat ingin pergi ke pesisir pantai.
"Aku mau Dad, dua untuk ku." Alano diam-diam juga suka akan kue itu. Ia sering mencicipi kue itu di tempat lesnya. Akan tetapi Alano tak tahu siapa yang membuat kue itu.
Setiap hari minggu kue itu akan hadir sebagai bentuk syukur sang pembuat, karena beralasan bisa hidup untuk yang kedua kalinya.
"Aku juga ingin mencicipi kue itu. Mari kita cari lokasinya." setuju Rose dengan melihat ponselnya mencari letak toko kue di sepanjang perjalanan.
Akan tetapi Henry melihat sebuah plang nama tokoh roti di pinggir jalan. "Kita berhenti di toko itu saja." perintahnya pada sang supir.
"Baik Tuan." jawab Cendro segera memarkir kendaraan.
"Di sini sepertinya kurang enak deh sayang." Rose tidak menemukan toko roti itu di ponselnya.
"Enak enggak enak, kita coba dulu. Sebentar aku ke sana." Henry langsung turun.
Entah mengapa ia saat ini ingin membeli langsung roti itu sendiri. Biasanya itu tugas Rose sebagai sekertaris, atau supir yang membawa mobil itu. Tertarik, itulah yang di rasakan Henry.
Lonceng pintu berbunyi pertanda ada pelanggan yang masuk.
"Selamat datang. Anda mau membeli apa Tuan?" wanita cantik itu masihnya menyusun kue, dengan dirinya belum melihat ke arah Henry. Di mana Henry melihat berbagai makanan dan kue di sana.
"Tolong bungkuskan kue siput untuk porsi satu box." pinta Henry dengan lidahnya sudah tak sabaran memakan kue itu.
"Sebentar ya Tuan." jawab wanita itu memutar posisi tubuhnya ke arah Henry dengan Henry terpaku akan melihat wajah yang sama persis dengan almarhum istrinya.
Wanita itu dengan santai membungkus kue siput pesanan Henry. Cairan di kedua kelopak mata Henry mengalir begitu leluasa. "Emillia..." panggilnya.
Wanita itu berhenti dengan perlahan melihat Henry yang sudah menangis melihatnya. Wanita itu terdiam sebentar, setelahnya melirik kanan dan kirinya. "Apa anda memanggil saya?"
Henry mengangguk pelan.
Wanita itu kembali tersenyum manis. "Maaf Tuan. Saya ini bukan Emillia, tapi Bella." Bella mengambil tisu dan menyerahkannya pada Henry.
Henry terdiam sembari mengambil tisu di tangan Bella. Kalau bukan almarhum istrinya lalu siapa wanita di hadapannya ini? Setahu Henry, almarhum istrinya tidak mempunyai kembaran.
"Apa kamu mengenal ku, Nona?" Henry tentu ingin lebih memastikan bahwa yang ia lihat itu nyata, atau saat ini ia sedang berkhayal.
"Maaf Tuan. Saya baru melihat anda hari ini." Bella meletakkan box di etalase kaca dekat Henry. "Ini pesanan anda Tuan." ucapnya dengan ramah di campur senyuman.
Berkali-kali Henry mengedipkan serta mengusap-usap kedua matanya. Wanita itu benar-benar mirip dengan wajah almarhum istrinya. Henry tak tahu harus bagaimana ia lakukan. Di saat seperti ini saja, wanita di hadapannya tak mengenal siapa Henry.
"Apa kamu menetap di toko ini?" Henry akan memastikan semuanya.
Bella mengangguk pelan. "Ini toko ibu angkat saya Tuan. Saya yang meneruskan usaha beliau. Jika anda berkenan membeli lagi, silahkan mampir ke toko kami. Di sini banyak sekali pilihan makanan." Bella juga menunjuk berbagai macam makanan dan kue.
Henry dengan cepat mengangguk pelan. "Nanti saya akan datang ke sini. Tolong kamu jangan kemana-mana." pinta Henry akan secepatnya kembali setelah memastikan sesuatu.
"Anda begitu aneh Tuan. Lebih baik anda segera pergi karena di belakang anda sudah antri panjang." Bella juga menunjuk pelanggan setianya yang hampir setiap hari datang.
Henry menoleh kebelakang. Ternyata memang benar sudah banyak pengunjung. Ia pun segera mengeluarkan sejumlah uang. "Sisanya kamu ambil saja." ia bergegas pergi dengan Bella belum sempat berkata terimakasih.
Langkah kaki Henry berhenti di depan toko. Dadanya kini bergetar hebat menyaksikan istrinya masih hidup. Ia menoleh kembali ke arah Bella dari luar toko yang tertutup kaca transparan. 'Aku akan menemui mu lagi Emilia.' ia kembali melangkahkan kakinya untuk masuk ke mobil.
Bukan sekedar tatapan kosong lagi yang di rasakan Rose. Suaminya kini hanya berdiri di depan kaca sembari melihat pesisir pantai, di dalam hotel kamar milik mereka.
Pikiran apa yang merasuki pria itu? Sedari pagi mereka menikah, Henry dengan cepat berubah. Walau wajah tampan itu memang sedari dulu terlihat dingin dan kejam, butuh waktu lama pula Rose bisa meluluhkan hati itu.
Namun sepertinya, cintanya tak sama sekali terbalaskan. Sepulang membeli kue siput Henry memakan kue itu tanpa menawarkan Rose sedikit pun. Hanya Alano dan Cendro saja yang di tawarkan.
Perubahan yang sangat intens Rose rasakan. "Sayang..." panggil Rose dengan lembut sembari memeluk Henry dari belakang.
"Mmm... Ada apa?" Henry melepaskan pelukan Rose dengan melihat ke arah wanita di belakangnya itu.
Penampakan Rose kini tengah menggunakan pakaian lingerie dress berbahan satin. Akan tetapi Henry tak sedikit pun merasa gairah akan bentuk tubuh Rose yang hampir terlihat sempurna.
"Kamu kenapa sih, dari tadi melamun aja? Apa kamu lagi banyak pikiran?" Rose melingkari kedua tangannya ke leher Henry, "Katakanlah jika ada sesuatu yang mengganjal hatimu, Hen." kedua netra matanya menatap kedua aurora mata Henry.
Henry melepaskan tangan Rose dengan hampir wanita itu ingin mencium bibirnya. "Aku capek Rose. Aku mau istirahat." saat ini ia tak ingin di ganggu oleh Rose dan segera beristirahat saja.
Rose semakin gusar dengan perilaku Henry. Pria itu tak sama sekali tertarik dengannya. Kata sayang saja kini telah hilang. Saat ini Rose tak akan segan-segan merayu Henry. Ia juga sudah menyingkirkan Alano sementara waktu bersama dengan Cendro, agar tak menganggu permainan panas mereka.
Henry dengan santai tidur di atas ranjang. Walau matanya terpejam, pikirannya terus terbayang akan wajah Bella. Rindunya semakin memuncak, sampai pikirannya terpecahkan akibat Rose memeluk dari belakang.
"Sayang... Kamu enggak berpikir untuk melakukan sesuatu dulu sebelum tidur." Rose perlahan mencium lekukan leher Henry.
Henry teringat akan sesuatu. Ia pun menoleh ke arah Rose. "Rose... Apa kau yakin, jasad yang di temukan itu adalah Emilia?"
Deg!
Rose terdiam, nama wanita yang sudah begitu lama tak terdengar dari mulut Henry, kini tersebut kembali. Ada apa gerangan Henry membahas almarhum istrinya itu? "Bukannya kamu yang melihatnya sendiri Hen. Tubuh dan," Rose memegang kedua tangannya, merinding, dan rasa ketakutan tampak terlihat dari mimik wajah Rose.
"Kalau tes DNA-nya, apakah itu benar-benar sama Rose?" Henry begitu tak yakin akan hasil semua itu.
Rose kembali memeluk Henry. "Kamu sendiri yang mendengarnya Hen. Dokter telah menyatakan bahwa itu jasad dari Emilia. Kenapa? Apa kamu masih ragu? Apa kamu ingin menggali lubang kubur yang saat ini jasadnya saja telah menjadi abu? Oh tentu abu itu sekarang sudah meresap ke dalam tanah Hen. Maka berhentilah memikirkan dia. Bukannya sekarang ini adalah hari bahagia kita berdua. Kamu pantas untuk bahagia Hen. Dia juga sudah berbahagia di dunia lain." Rose perlahan membuka kancing pakaian Henry.
Henry memegang tangan Rose, "Berhenti! Aku nggak berniat untuk melakukan itu. Lebih baik kau segera beristirahat atau pergi keluar." Henry menjauhi tangan Rose dari tubuhnya.
"Sayang... Kenapa kamu berubah begini? Bukannya kamu sendiri yang mengajak ku menikah. Kamu juga berjanji akan mencintai ku dan menikmati waktu bulan madu kita selama satu minggu di sini. Kenapa kamu malah masih memikirkannya almarhum istri mu itu?" Rose gelisah atas perubahan singkat Henry. Butuh waktu lama ia meluluhkan hati pria pujaannya. Namun kini pria itu berubah secepat kilat.
"Oh... Kau lupa Rose. Aku menikahi mu hanya demi mommy dan Alano. Aku juga ingatkan padamu, saat ini aku tidak menyukai pernikahan ini."
"Tidak Hen! Kamu tidak bisa seperti ini! Aku mencintaimu Hen. Kamu telah berjanji akan menikmati bulan madu kita."
"Tapi aku sama sekali tidak mencintai mu Rose. Besok kita akan kembali ke kota." Henry segera turun dari atas ranjang. "Aku rindu dengan Alano. Beristirahatlah hari ini. Lagian pekerjaan ku sangat banyak di kantor. Kamu pasti tau akan hal itu."
"Sayang..." Rose dengan cepat turun dari ranjang dan menghadang langkah Henry. "Di kantor sudah ada Aldo. Kamu tak perlu lagi khawatir dengannya." Rose kembali melingkari leher Henry. Ia tak akan melewati momen ini.
"Makanya aku semakin khawatir Rose. Dia masih baru di sana. Walau dia sudah banyak belajar dari mu, tapi aku belum bisa memastikan bahwa dia telah terlatih dengan baik. Perusahaan milik keluarga kami tak sekecil yang kau bayangkan Rose." Henry memeluk Rose dengan menggendongnya untuk membawa ke atas ranjang.
Bukan untuk memuaskan hasratnya. Akan tetapi meletakkan Rose agar tidak mengganggu lagi jalannya. "Istirahatlah. Aku mau menemui anak ku." perintah Henry dengan tatapan datar sembari melepaskan Rose. Kakinya kembali melangkah keluar kamar.
Rose mengeratkan kedua tangannya ke sprei putih yang menyelimuti ranjang itu. 'Aku tak akan menyerah Hen. Aku akan mendapatkan hatimu segera mungkin. Tak akan ada wanita lain lagi yang memiliki mu kecuali aku.'
Alano bermain bola kaki bersama Cendro di pinggir bibir pantai. Tendangan kali ini cukup kencang sampai-sampai terbang mengenai kepala seorang wanita yang menggunakan topi bergaya floppy hat dengan sedikit pita.
Wanita itu meletakkan bawaannya berbentuk wadah keranjang berukuran sedang, berisi berbagai makanan sesuai pesanan kliennya.
Alano berlarian kecil menghampiri wanita yang mengambil bolanya itu. "Maaf nyonya. Aku tak sengaja menendang bola itu begitu kuat sampai-sampai mengenai kepala anda." Alano tak berani menatap wajah wanita yang akan memarahinya.
Wanita itu menoleh ke arah belakang dengan wajahnya tersenyum manis. Ia duduk berjongkok di hadapan Alano. "Tidaklah masalah. Lain kali kau harus lebih berhati-hati wahai anak muda. Ini, ambillah bola mu." balasnya dengan lembut.
Alano tersanjung akan perkataan yang di lontarkan wanita di hadapannya. Ia menoleh siapa gerangan wanita dewasa yang bersuara bak busa sabun yang begitu lembut sekali. Alano terdiam, bola matanya tak bergerak sedikit pun.
Wajah yang mengingatkannya pada foto mommy-nya. Cendro baru saja sampai mengejar Alano. Pria tampan itu juga tersentak akan wajah wanita di hadapan tuan mudanya itu. "Nyonya..." panggilnya langsung.
Bella melirik ke arah Cendro sembari melihat kanan dan kirinya. Tidak ada siapa-siapa di dekatnya.
"Mommy..." Alano memeluk Bella begitu erat.
Bella begitu terkejut akan panggilan anak kecil di hadapannya. "A-aku bukan mommy mu nak."
"Ini nyonya besar kan? Ini benar nyonya kan?" Cendro ikut bersorak bahagia melihat Bella.
"Tu-tunggu dulu. Kalian salah orang sepertinya. Saya saja tidak mengenal kalian berdua." Bella meluruskan kondisinya.
Alano melepaskan pelukannya. "Aku yakin, anda mommy Emillia. Mommy ku yang telah meninggal 3 tahun yang lalu. Ternyata mommy masih hidup." Alano memegang kedua pipi Bella.
Bella tersenyum dengan perkataan Alano. Ternyata semuanya masih dalam belasungkawa atas meninggalnya seseorang. Kemiripan wajahnya mungkin mengingatkan mereka lagi. "Wahai anak muda. Aku sebenarnya bingung ingin berkata apa untuk kalian berdua. Aku Bella. Aku penjual kue di sekitaran sini. Aku bukan nyonya besar maupun mommy mu nak. Maafkan aku. Tapi begitulah nasib kita." Bella melepaskan tangan Alano sembari mengecup lembut tangan kecil itu.
"Semoga kau tak berlarut dengan keadaan. Mommy mu telah bahagia. Semoga kalian berdua segera melupakan beliau. Beliau telah bahagia di sana." Bella menunjuk langit biru yang terlihat sangat cerah hari ini. "Aku permisi dulu untuk mengantarkan makanan ini." sambung Bella berdiri. Ia segera meninggalkan Alano dan Cendro yang masih mematung atas perkataan Bella.
Alano meneteskan air matanya, sedangkan Cendro langsung mendekati Alano dengan duduk berjongkok di hadapan tuan mudanya itu. "Jangan menangis tuan muda. Mungkin saja benar apa yang di katakan nyonya tadi. Dia hanya mirip saja dengan nyonya Emillia." Cendro memegang kedua bahu Alano.
Alano masihnya melihat Bella berjalan menuju hotel. "Tidak Cen. Dia memang mommy ku. Aku yakin. Dia mommy ku." Alano merasakan sesuatu sensasi yang mengikat antara dirinya dan wanita yang tak sama sekali mengenal anaknya sendiri.
Cendro pun sama. Apa yang di rasakan tuan kecilnya itu, ia juga rasakan. Suara nan lembut khas Emilia sangat melekat di dalam ingatannya. "Lebih baik kita istirahat dulu di kamar ya tuan. Nanti kita sambung lagi bermain di sini." Cendro akan menyampaikan berita ini terlebih dahulu pada majikannya.
"Tapi Cen, aku ingin mengejar mommy." Alano tak mau kehilangan lagi mommy-nya itu. Ia begitu saja berlarian mengejar Bella.
"Tuan, tunggu!" Cendro mengejar Alano yang begitu cepat anak kecil itu berlarian.
"Mommy..." teriak Alano berlarian.
Beberapa orang melintasi Alano. "Mommy..." teriaknya sembari menangis.
"Mommy..." teriak kembali Alano, sampai kakinya tersandung batu kecil dan mengakibatkan ia terjatuh.
"Mommy..." teriakan Alano dengan tetesan air matanya.
Bella tampak tak mendengar akibat suara orang-orang yang lewat, serta musik di area sekitar. Lambat laun Alano tak melihat mommy-nya lagi.
"Mommy..." teriak Alano dengan tangisan yang begitu sesak.
"Tuan, tuan. Apa anda terluka?" Cendro sangat khawatir dengan kondisi Alano.
"Kejar mommy, Cen. Jangan sampai mommy pergi meninggalkan ku lagi." teriak Alano ingin berdiri, akan tetapi kakinya terasa nyeri.
"Tuan, tuan. Lebih baik kita kembali dulu ke kamar. Nanti aku akan cari nyonya lagi. Aku tidak bisa meninggalkan mu sendirian di sini." Cendro menggendong Alano.
Alano masihnya menangis, matanya kesana kemari mencari Bella yang tak terlihat sedikit pun.
Cendro bukan tak mau mencari wanita yang mirip dengan nyonya itu. Saat ini kondisi tuan mudanya lebih penting. Bagaimana tuan besarnya tahu, ia bisa-bisa di hukum.
Di posisi Henry yang masuk ke kamar Alano, ia tak menemukan keberadaan anaknya itu. 'Kemana mereka?' Henry begitu khawatir saat anak dan supirnya tak berada di dalam kamar itu. Ia pun keluar kamar, akan tetapi Cendro menggendong Alano yang masihnya menangis memanggil mommy-nya.
"Ada apa Cen?" Henry mengambil Alano di tangan Cendro.
"Daddy, aku bertemu dengan mommy Emillia di luar sana." Alano menujuk lorong yang sepi.
"Benar tuan. Kami berdua melihat seorang wanita di pinggir pantai. Wanita itu sangat mirip dengan nyonya Emillia. Tapi dia tak sama sekali mengenal kami." Cendro langsung memberitahukan pada tuan besarnya itu.
Henry teringat akan wanita yang ia temukan beberapa jam yang lalu di sebuah toko pinggir jalan. "Apakah wanita itu berambut kecokelatan?" Henry memastikan.
"Benar tuan. Sepertinya dia sedang mengantar makanan ke hotel ini." ingat Cendro pada bawaan Bella.
Henry menyerahkan kembali Alano ke Cendro. "Tolong bersihkan tubuh Alano. Aku ingin berjumpa dengan wanita itu. Tolong kalian berdua rahasiakan ini dari Rose." pintanya.
Alano dan Cendro mengangguk pelan. Henry melangkah begitu cepat untuk mencari Bella. Semoga wanita itu belum pergi dari lingkungan hotel.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!