Dalam kegelapan malam yang pekat, Vincent La Norgen duduk sendirian di ruang tamu rumahnya yang sunyi. Wajahnya tercermin di permukaan gelas whiskey yang tergeletak di atas meja kayu tua di depannya. Dia memandang ke luar jendela dengan tatapan kosong, sementara hujan deras turun dengan gemuruh di luar.
Suara petir menggema di kejauhan, menciptakan atmosfer yang hening di sekitarnya. Tiba-tiba, kilatan cahaya menyambar, menerangi ruangan sejenak sebelum kembali tenggelam dalam kegelapan. Vincent menutup matanya, mengutuk nasib buruknya saat dia terjatuh ke lantai, rasa sakit yang menusuk menusuk memenuhi pikirannya.
...Flashback:...
Di bawah cahaya bulan yang redup, Vincent bersama dengan rekan-rekannya dalam misi berbahaya di wilayah musuh. Mereka bergerak dengan hati-hati di tengah kegelapan, memasuki wilayah yang dijaga ketat oleh pasukan musuh.
Tiba-tiba, sebuah ledakan menghancurkan keheningan malam, dan helikopter tempur musuh muncul di langit. Pertempuran pecah di sekeliling mereka, dengan tembakan dan granat meledak di mana-mana. Dalam kekacauan itu, Vincent merasakan rasa sakit menusuk di kakinya, dan saat dia melihat ke bawah, dia melihat kakinya yang terluka parah oleh pecahan bom.
...Flashback end....
Kembali ke ruang tamu yang sunyi, Vincent mencoba menenangkan diri di tengah kilatan petir dan suara gemuruh hujan yang semakin keras. Dia meraih gelas whiskey di depannya dan mengangkatnya ke bibirnya, mencoba mengubur kenangan buruk dari masa lalu yang memenuhi pikirannya.
Dengan setetes whiskey yang membakar tenggorokannya, Vincent mencoba menghentikan kilatan memori yang menyapu pikirannya. Tetapi, kenangan akan kejadian tragis itu terus berputar di kepalanya seperti badai yang tak kunjung reda.
Kakinya yang terluka, teman-temannya yang tergeletak di medan perang, dan rasa putus asa yang menghantui setiap langkahnya. Semua itu membentuk beban yang tak terlalu bisa ditanggungnya lagi. Seakan-akan semuanya seperti terangkat oleh deru hujan yang semakin deras di luar sana.
Tanpa pikir panjang, Vincent mencoba bangkit dari tempat duduknya. Namun, dia tersadar akan keterbatasannya. Dia melihat ke bawah, ke kaki palsu yang setia menemani setiap langkahnya sejak mimpi buruk itu. Tidak seperti kaki manusia yang kuat, kaki palsu itu menjadi saksi bisu dari kehilangan yang dia alami.
Merasa putus asa, Vincent memejamkan mata sejenak, mencoba mencari kekuatan dalam kegelapan hatinya yang penuh rasa sakit. Dia tahu bahwa meskipun kakinya mungkin telah hilang, tetapi tekadnya untuk bertahan hidup dan menemukan kedamaian tidak akan pernah padam.
Dengan langkah goyah, Vincent bergerak melintasi ruang tamu yang sunyi menuju meja komputernya, tempat ia mencari pelarian terakhirnya: Dunia Virtual yang tersedia di internet. Di sana-lah, Vincent menemukan game FPS yang terlihat begitu realistis bernama "Echoes of Valor".
Setelah membuka perangkatnya, layar komputernya dipenuhi dengan gambaran epik dari dunia "Echoes of Valor". Langit-langit terbuka luas, medan perang yang luas, dan kota-kota yang hancur menanti untuk dijelajahi. Namun, yang paling menonjol adalah fitur kostumisasi karakter yang luar biasa.
Dengan senyum tipis di bibirnya, Vincent mulai menyesuaikan karakternya. Dia memilih seragam tentara klasik yang mempertahankan sisa-sisa identitas militer yang masih tertanam dalam dirinya. Dia memilih setelan perlindungan tubuh yang kokoh untuk melindungi dirinya di medan perang, dan senjata-senjata yang familiar di tangan militer.
Namun, di antara semua pilihan itu, ada satu aspek yang tidak bisa dia ubah: kakinya yang palsu. Meskipun demikian, dia memilih untuk mengintegrasikan kaki palsu tersebut ke dalam kostum karakternya, sebagai pengingat akan perjalanan yang telah dia lalui dan kekuatan yang dia temukan dalam menghadapi keterbatasan tersebut.
Setelah menyelesaikan kostumisasi karakternya, Vincent mengangkat pandangan dari layar dan menatap ke dalam jendela, di mana hujan masih turun dengan derasnya. Dengan hati yang penuh harapan dan tekad yang teguh, dia menyelam ke dalam dunia virtual "Echoes of Valor", siap untuk menghadapi tantangan yang menantinya dan menemukan kedamaian yang telah lama dicarinya.
...***...
Suatu malam, Vincent tenggelam dalam permainan "Echoes of Valor", sepenuhnya terfokus pada dunia virtual yang menawannya. Namun, tiba-tiba matanya terasa berat dan dia merasa pusing sebelum akhirnya kehilangan kesadaran.
Ketika Vincent kembali sadar, dia mendapati dirinya berada di tengah sebuah hutan. Dikelilingi oleh pohon-pohon yang menjulang tinggi, udara segar hutan mengalir di sekelilingnya. Dalam kebingungannya, dia melihat ke arah tubuhnya dan terkejut menemukan bahwa dia berada dalam karakter game yang dia mainkan, lengkap dengan biomekanik yang menggantikan sebagian tubuhnya.
"Dimana aku?" gumam Vincent dengan nada bingung, matanya memperhatikan sekeliling dengan waspada. Dia meraba-raba perasaannya, mencoba mencerna situasi yang tak terduga ini.
Dunia di sekitarnya terlihat nyata, dengan detail yang menakjubkan seperti yang dia alami di dalam permainan. Namun, sensasi tanah di bawah kakinya terasa begitu nyata, seolah-olah dia benar-benar berada di sana. Dan yang lebih mengejutkan, dia bisa merasakan setiap gerakan dan getaran dari bagian biomekanik tubuhnya.
Vincent mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua ini hanyalah mimpi, dengan logika "Ini semua tidak masuk akal untuk terjadi.". Dia memanjatkan doa dalam hati, berharap agar segera terbangun dari mimpi aneh ini. Namun, ketika dia mencoba memproses situasi yang dia hadapi, segala sesuatunya terasa terlalu nyata untuk diabaikan.
Dengan hati-hati, Vincent memilih untuk menjelajahi fitur permainan yang mungkin masih aktif di dalam tubuh karakternya ini. Dia mencoba mencari tombol atau antarmuka yang akan membantunya memahami situasi ini atau bahkan menemukan cara untuk kembali ke dunianya yang asli.
Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya Vincent berhasil menemukan sebuah antarmuka permainan. Layar holografik muncul di depannya, menampilkan berbagai opsi dan informasi tentang karakternya, termasuk statistik, inventaris senjata, dan peta wilayah sekitar.
Namun, ketika dia mencari tombol logout, dia menemukan bahwa opsi itu tidak tersedia. Tombol-tombol lain berkedip di layar, memberinya petunjuk tentang tindakan yang mungkin dia ambil di dalam permainan ini, tetapi logout tidak ada.
Vincent frustasi, namun tiba-tiba sekawanan makhluk hijau pendek (Goblin) muncul, mereka memekik dan mengelilingi Vincent. Mereka membawa berbagai senjata, mulai dari pedang berkarat, pentungan yang sesuai dengan ukuran tubuh mereka hingga ranting tebal yang dijadikan tongkat, dan sepertinya apapun yang bisa mereka gunakan untuk senjata.
Suara hutan seolah-olah menyambut kehadiran mereka dengan gemuruh yang aneh, menciptakan atmosfer yang semakin tegang.
Gerombolan Goblin itu mendekatinya, mata mereka menyala dengan kegembiraan jahat saat mereka merencanakan serangan. Dengan hati-hati, mereka mengintai setiap gerakan Vincent, mencari celah untuk menyerang. Namun, ketegangan di udara pecah ketika salah satu dari mereka tiba-tiba meluncur maju dengan tongkat tebal yang dipegangnya.
"Sialan."
Dalam refleks, Vincent merespon dengan cepat, kedua tangannya meraih dua revolver di holster pinggangnya, sepasang Colt C. Python. Dengan gerakan yang gesit, dia membidikkan senjatanya ke arah makhluk yang menyerangnya, matanya menyala dengan keputusan yang teguh.
"Jangan berani mendekat!" bentaknya dengan suara tegas, suara menggema di antara pohon-pohon hutan. Dia menunjukkan bahwa dia tidak akan menjadi mangsa dengan siap menembak siapapun yang berani mendekat. Keberanian dan tekadnya bersinar melalui tindakan-tindakan tersebut, menciptakan aura perlindungan di sekelilingnya.
Suara gemuruh pertempuran pecah, bergema di antara pepohonan. Senjata-senjata berdentum dan teriakan para Goblin memecah hening siang hari. Dalam terangnya matahari yang menyilaukan, Vincent La Norgen berdiri tegak, revolvernya terarah pada serangan-serangan para Goblin yang datang dari segala arah.
Dengan suara nyaring, revolver Vincent meledak, membelah keheningan hutan dengan dentuman yang mengejutkan. Kepala makhluk itu pecah dari kekuatan tembakan, menyebabkan materi otak yang menjijikkan berceceran ke mana-mana. Vincent menahan rasa jijik yang menggelora di dalam dirinya, mengingatkan dirinya bahwa dia telah melihat hal-hal yang jauh lebih mengerikan di medan perang.
Sementara itu, para makhluk kecil lainnya tidak terpengaruh oleh kematian rekan mereka. Mereka bergerak maju bersama-sama, mengeroyok Vincent dengan keganasan yang ganas. Namun, Vincent tidak tinggal diam, dia mundur dengan cepat, menjauh dari serangan mereka dengan hati-hati. Dia tahu bahwa dia harus menjaga jarak agar tidak terjebak di tengah-tengah serangan dan menjadi sasaran empuk bagi para Goblin yang lapar akan darah.
Dengan keakuratan tembakan yang teliti, Vincent berhasil menjatuhkan makhluk hijau satu per satu. Untungnya, dalam mode terakhir permainannya, Vincent membawa senjata yang terkenal dengan kekuatan serangnya yang mematikan: Colt Python, dipasangkan dengan peluru Hollow-Point Bullet. Jenis peluru ini terkenal karena kemampuannya mengembang saat terkena benturan, menyebabkan kerusakan yang lebih besar tanpa risiko menembus terlalu dalam. Itulah yang membuat Vincent mampu dengan mudah memecahkan kepala makhluk hijau tersebut.
Dari segerombolan Goblin yang menyerangnya, dia berhasil membunuh sembilan. Namun, ketika dia menarik pelatuk revolvernya lagi, suara hampa menggema melalui hutan.
Klik! Klik! Klik!
"Sial! Aku kehabisan peluru," desis Vincent dengan nafas terengah-engah, menatap ke dalam silinder kosong revolvernya dengan rasa frustrasi yang melanda.
Colt Python yang dipegang oleh Vincent memiliki kapasitas enam peluru di masing-masing senjata. Meskipun senjata ini mematikan dalam game dan kenyataannya, namun satu kekurangan dalam senjata ini adalah proses isi ulang yang relatif lama, dan tidak akan efektif jika digunakan dalam kondisi seperti ini.
Dengan napas yang terengah-engah, Vincent memandang ke dalam silinder kosong revolvernya, merasakan ketegangan yang melanda di tengah pertempuran yang semakin memanas. Dia tahu bahwa dia harus bertindak cepat jika ingin bertahan hidup. Hanya satu hal yang di pikirkan oleh Vincent saat ini: lari menjauh, mengisi ulang senjata, dan menyelesaikan semua ini dengan membunuh sisanya.
Dengan tekad yang teguh, dia melangkah mundur, matanya terus memperhatikan gerakan para Goblin yang mendekat. Dia mencari celah di antara serangan-serangan mereka, berharap bisa membuat jarak dan memberinya waktu yang cukup untuk mengisi ulang senjatanya. Kedua revolvernya tetap dipegang erat, siap untuk digunakan begitu dia mendapat kesempatan.
Vincent dengan cepat membuat keputusan untuk berlari menjauh dari pertempuran yang semakin memanas, memilih untuk mencari tempat yang lebih terbuka daripada terus berada di dalam hutan yang gelap dan terbatas. Pertama, karena pandangannya menjadi terbatas di antara pepohonan yang rapat. Kedua, karena para makhluk hijau dapat dengan mudah bersembunyi di dalam rimbunnya pepohonan atau semak-semak, membuatnya sulit untuk membidik mereka.
Setelah beberapa saat berlari, Vincent akhirnya menemukan dataran terbuka yang tampaknya lebih cocok untuk situasi saat ini. Dengan cepat, dia menyimpan salah satu revolvernya kembali ke dalam holster dan mulai mengisi ulang senjata yang lain dengan hati-hati. Sesekali, dia melihat ke belakang untuk memastikan jaraknya dari para Goblin yang mengejarnya. Ketika dia merasa cukup aman dengan jarak yang ada, dia berbalik dengan tekad yang teguh, siap untuk menyelesaikan pertempuran yang tengah berlangsung.
Vincent berdiri di dataran terbuka, senjata yang terisi penuh kembali di tangan. Dia memandang dengan tajam ke arah para Goblin yang masih mendekat, tetapi kali ini dengan sikap lebih tenang dan fokus. Keringat mengalir di wajahnya yang penuh tekad, dan matanya memancarkan kecerdasan dingin.
Semburat angin menggema di antara pohon-pohon, sementara langkah kaki Vincent menyapu daun kering di bawahnya.
"Sudah saatnya mengakhiri ini," gumam Vincent, suaranya yang tegas menghantam hutan. Dia melangkah maju, siap untuk menghadapi sisa Goblin yang tersisa. "Kalian takkan menghentikanku."
Para Goblin, sekarang menyadari bahwa mereka berhadapan dengan musuh yang tangguh, memberikan suara desisan mengancam. Namun, mereka tetap maju dengan serangan liar, dipimpin oleh satu Goblin yang tampak lebih besar dan berotot.
Vincent, dengan sikap dinginnya setelah mendapatkan kembali kepercayaan dirinya, melibatkan diri dalam pertempuran yang semakin memanas. Dia menghindari serangan dengan gerakan yang lincah, menghindarkan diri dari setiap pukulan dan serangan para Goblin. Setiap tembakan yang dilepaskan dari revolvernya mengenai sasaran dengan sekumpulan suara letupan yang tajam, merobek tubuh Goblin itu satu per satu.
Namun, kehadiran pemimpin Goblin yang lebih besar memberikan tantangan baru. 'Goblin Leader' itu melompat maju dengan cepat, memegang pedang yang terlihat lebih berbahaya dari senjata Goblin lainnya. Vincent memperketat pegangan revolvernya, mempersiapkan diri untuk menghadapi ancaman ini.
Dalam pertempuran yang berlangsung, Vincent mulai menunjukkan keunggulan strategisnya. Dia mengambil keuntungan dari lingkungan, memanfaatkan dataran terbuka untuk melihat dan mengantisipasi gerakan musuh. Dengan gerakan yang cepat dan lincah, dia berhasil mengecoh pemimpin Goblin, memanfaatkan setiap peluang untuk memberikan pukulan kritis.
Namun, keberhasilan Vincent tidak datang tanpa harga. Seiring berjalannya waktu, dia mulai merasakan kelelahan fisik yang menyusup. Meskipun terlatih dalam pertempuran di dunia virtual, tubuh biomekaniknya merespons dengan intensitas yang lebih tinggi dalam pertempuran dunia nyata ini.
Goblin Leader, meskipun terluka, tidak menunjukkan tanda-tanda menyerah. Dia menggertakkan giginya dan melancarkan serangan terakhirnya dengan keberanian yang mengesankan. Vincent mengantisipasi serangan itu, melompat ke samping dengan lincah, tetapi pedang Goblin menyentuh salah satu komponen biomekanik di kakinya.
Suara gemerincing logam terdengar saat pedang menghantam komponen biomekanik.
Vincent merasakan kejutan listrik yang menyapu tubuhnya, menyebabkan ketidaknyamanan yang tajam. Namun, dia tidak membiarkan rasa sakit itu mengalahkan dirinya. Dengan tekad yang teguh, dia melanjutkan pertempuran, menangkap momen yang tepat untuk mengakhiri perlawanan Goblin pemimpin.
Bang!
Dengan tembakan akhir yang teliti, Vincent menghentikan perlawanan pemimpin Goblin. Makhluk itu jatuh dengan dramatis, menyusun akhir dari pertempuran yang panjang dan melelahkan. Dataran terbuka yang sebelumnya diwarnai keganasan kini kembali hening, hanya tersisa langkah kaki Vincent yang terdengar di antara rerimbunan pohon.
Vincent, meskipun terengah-engah dan terluka, mengambil napas dalam-dalam. Dia melihat sekeliling, mencari tanda-tanda bahaya tambahan. Saat dia meyakini bahwa pertempuran telah berakhir, langit di atasnya tampak lebih tenang. Hutan yang sebelumnya diramaikan oleh gemuruh pertempuran sekarang kembali ke dalam kedamaian.
Pertempuran melawan para Goblin memperkuat tekad Vincent. Dia menyadari bahwa di dunia virtual atau nyata, tantangan selalu ada. Dengan langkah mantap, Vincent melangkah keluar dari dataran terbuka itu, bersiap menghadapi petualangan berikutnya.
Dalam upaya bertahan hidup di hutan yang mencekam, Vincent merasakan setiap gerakan dan getaran dari bagian biomekanik tubuhnya dengan intensitas yang luar biasa. Seperti detak jantung yang berdenyut keras dalam dadanya, setiap respons tubuhnya menjadi lebih dari sekadar insting, melainkan sebuah kesadaran akan keberadaannya yang baru.
"Dunia ini terus memberikan kejutan," gumam Vincent dengan suara dingin, matanya yang tajam memperhatikan setiap komponen tubuhnya yang baru. "Sebuah hadiah yang menarik untuk dilemparkan ke dalam medan perang."
Dia merasakan kekuatan yang ada dalam jari-jarinya yang kini bisa memecahkan kayu dan ketahanan di kakinya yang memungkinkannya melompat dengan kecepatan yang mengagumkan. Namun, di balik kekuatan tersebut, dia juga belajar untuk memahami keterbatasan tubuhnya yang masih manusiawi.
"Dengan kekuatan ini, aku bisa melakukan banyak hal," pikir Vincent sambil mengamati pohon-pohon di sekitarnya. "Tapi aku juga harus waspada terhadap risiko yang ada."
Dengan pengetahuan dan strategi militer yang dimilikinya, Vincent mulai membuat rencana bertahan hidup yang terorganisir. Dia memanfaatkan lingkungan sekitarnya untuk membuat perangkap sederhana, seperti jebakan beracun untuk mendapatkan makanan dan perangkap untuk menangkap buruan. Setiap langkahnya dihitung dengan hati-hati, mengingat keberadaan predator di sekitar.
"Mengintimidasi mereka dengan kehadiran," gumam Vincent sambil memasang jebakan tikus di antara rerimbunan daun. "Membiarkan mereka merasakan setiap langkahku."
Selama berhari-hari berada di hutan, sikapnya yang dingin dan sinis semakin terasah. Meskipun dihadapkan pada rintangan yang mengancam nyawa, Vincent tidak pernah menyerah. Dia terus maju, menghadapi tantangan dengan keteguhan hati yang tak tergoyahkan.
"Dalam kegelapan, aku menemukan cahaya," ucapnya, tatapan matanya yang penuh tekad memandang ke langit yang tertutup pepohonan. "Dan aku akan terus melangkah, siap menghadapi apa pun yang menantiku di hari-hari mendatang."
Dalam prosesnya, Vincent menemukan bahwa pengalaman yang dia alami dalam permainan "Echoes of Valor" memberinya bekal berharga dalam menghadapi tantangan nyata di dunia ini. Dia belajar bahwa kunci untuk bertahan hidup adalah keberanian, ketekunan, dan kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan yang berubah-ubah.
"Sekarang aku mengerti," ucap Vincent sambil menatap ke dalam api unggun yang berkobar. "Tantangan ini bukan hanya tentang bertahan hidup, tapi juga tentang tumbuh dan berkembang."
Dengan tekad yang teguh, sikapnya yang dingin dan sinis semakin memperkuat dirinya saat dia melangkah maju ke dalam kegelapan hutan yang misterius, siap menghadapi apa pun yang menantinya di hari-hari mendatang.
.
...***...
.
Malam itu, di tepi sungai yang mengalir deras, Vincent duduk dengan postur tubuh yang tegak. Wajahnya yang suram tercermin dalam gemerlap cahaya bulan, menciptakan bayangan yang misterius di tengah kegelapan. Sementara suara air yang mengalir memberinya irama yang hening di tengah malam yang sunyi.
Dalam diam, dia merenungkan jejak hidup yang penuh dengan luka dan penderitaan. Setiap detik di hutan membawanya semakin jauh dari kehancuran masa lalu, tetapi bayangan itu masih menghantuinya, membatasi ruang geraknya bahkan di dunia yang baru.
"Dari medan perang ke dalam hutan yang penuh dengan misteri," gumam Vincent dengan suara yang penuh dengan rasa pilu, menyentuh komponen biomekanik di tubuhnya dengan gerakan yang dingin. "Siapa sangka bahwa permainan virtual bisa menjadi persiapan untuk pertempuran nyata seperti ini."
Dalam hatinya yang penuh dengan keraguan, Vincent mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang selalu menghantuinya. Dia belajar untuk tidak mempercayai apa pun kecuali dirinya sendiri, menemukan kebenaran yang keras di balik setiap pengalaman yang telah dia lalui.
"Tidak ada yang mustahil jika kita mau berusaha," ucapnya dengan sinis, merasakan kehangatan semangatnya yang mulai redup di dalam dirinya. "Hidup ini hanya tentang bertahan, tidak lebih dari itu."
Dalam cahaya bulan yang samar, Vincent bersiap untuk melanjutkan perjalanan ke depan. Meskipun di hutan masih penuh dengan misteri dan bahaya yang mengintai, dia tidak merasa takut. Sebaliknya, dia merasa penuh dengan ketidakpercayaan dan keteguhan hati yang tak tergoyahkan.
"Dunia ini begitu luas dan indah," ucapnya dengan nada sinis, sementara dia berdiri. "Dan aku akan menjelajahinya dengan kesepian, siap menghadapi apa pun yang menantiku di hari-hari mendatang."
Dengan langkah mantap, Vincent melanjutkan perjalanan ke depan, siap menghadapi petualangan yang menunggu di setiap tikungan. Di bawah langit yang cerah, dia melangkah dengan kecemasan dan keraguan, tetapi juga dengan tekad yang tak tergoyahkan untuk menjaga jarak dari kehidupan yang menyakitkan di masa lalu.
.
...***...
.
Hawa dingin malam menyeruak di antara pepohonan, menyatu dengan desir angin yang seolah berbicara tentang bahaya yang mengancam. Elion, seorang pemuda elf yang terluka, merangkak dengan susah payah di tanah yang keras, mencari perlindungan dari keganasan pemburu budak yang meneror desanya.
Darah mengalir dari luka di tubuhnya, menandai jejak kesengsaraan yang dilaluinya. Meskipun langkahnya semakin lemah, tekadnya tetap kuat. Desa elf yang damai di belakangnya, tempat dia biasa memandang langit yang cerah dan hutan yang rimbun, kini terabaikan dalam keadaan genting.
Tatapan Elion melintas di antara pepohonan, mencari tanda-tanda harapan di tengah kegelapan yang mencekam. Dan di sana, dalam sinar rembulan yang samar, muncul siluet seorang manusia.
Langkah Elion terhenti. Hatinya berdebar kencang, dipenuhi oleh perasaan campuran antara kebencian dan kebutuhan akan pertolongan. Manusia—makhluk yang selalu menjadi musuh para elf—sekarang menjadi satu-satunya harapan Elion untuk menyelamatkan desanya dari malapetaka.
Dengan perasaan yang terombang-ambing antara rasa curiga dan keputusasaan, Elion mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya dan melangkah mendekati sosok manusia tersebut, berharap akan menemukan belas kasihan di hatinya yang mungkin masih tersisa.
Elion menghentikan langkahnya di tengah hutan yang gelap, menatap siluet manusia yang semakin mendekat. Di hatinya, perasaan benci terhadap manusia masih menyala-nyala seperti bara api yang tak terpadamkan. Dia berharap bahwa sosok ini mungkin bisa memberikan pertolongan kepada desanya.
Namun, ketika jarak di antara keduanya semakin dekat, prasangka yang dalam muncul di dalam pikiran Elion. Dia mempertanyakan motif di balik kehadiran manusia ini di hutan elf, dan keberadaannya di sana yang hanya meningkatkan ketidakpercayaannya.
Dengan sisa-sisa kekuatannya, Elion hendak pergi, merasa bahwa bertemu dengan manusia ini adalah sebuah kesalahan. Namun, sebelum dia bisa melangkah lebih jauh, manusia itu tiba-tiba menghentikannya.
Dengan Colt Python di kedua tangan, manusia itu menodong Elion dengan tegas, membuat Elion terkejut dan terdorong mundur beberapa langkah. Meskipun hatinya penuh dengan prasangka, Elion tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa manusia itu sekarang adalah ancaman langsung bagi dirinya.
"Jangan bergerak," peringatkan manusia itu dengan suara yang tegas, matanya menatap tajam ke arah pemuda elf yang terkejut di hadapannya. Elion merasa tertekan oleh kehadiran manusia itu yang kuat dan siap menghadapi segala kemungkinan.
"Jangan bergerak," ucap manusia itu sekali lagi, suaranya menggema di antara pepohonan yang sunyi. Meskipun suaranya terdengar tegas, di baliknya terdapat kehati-hatian yang terpancar dari ekspresinya.
Elion, yang masih berdiri dengan tubuh gemetar, merasakan kecemasan yang memenuhi dirinya. Dia berusaha menenangkan diri, tetapi tekanan dari keberadaan manusia itu membuatnya merasa semakin terjepit.
"Siapa... siapa kamu?" tanya Elion dengan suara yang gemetar, mencoba menahan ketakutannya. Meskipun ia merasa terancam oleh kehadiran manusia itu, ia juga tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa luka-lukanya yang parah membutuhkan perawatan segera.
Manusia itu melihat ke dalam mata Elion, mencoba memahami apa yang ada di pikiran pemuda elf tersebut. Dia bisa merasakan ketakutan dan kecurigaan yang menghantui Elion, tetapi juga melihat keputusasaan yang dalam di balik matanya yang letih.
Pertanyaan Elion tergantung di udara, tetapi manusia itu tidak menjawabnya. Sebaliknya, dia terus menatap Elion dengan intensitas yang membuat Elion semakin tidak nyaman. Meskipun Elion mencoba menahan diri, tetapi tatapan tajam manusia itu membuatnya merasa seolah-olah dia diteliti dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Dengan cermat, manusia itu memperhatikan setiap detail dari tubuh Elion yang penuh luka dan darah. Namun, yang membuatnya tertarik adalah telinga Elion yang panjang, sebuah fitur yang sangat tidak biasa bagi manusia. Dengan ekspresi heran, manusia itu memperhatikan telinga Elion, mencoba memahami apa yang membuatnya begitu unik.
Ketegangan di antara mereka meningkat dengan setiap detik yang berlalu, dan udara di sekitar mereka terasa tegang dengan ketegangan yang tercipta. Elion merasa dirinya semakin tertekan oleh kehadiran manusia itu yang misterius, sementara manusia itu terus memperhatikan telinga Elion dengan rasa ingin tahu yang semakin bertambah.
Tidak ada yang berbicara selama beberapa saat, kecuali suara gemuruh lembut angin yang berbisik di antara pepohonan. Matahari terus tenggelam di ufuk barat, meninggalkan mereka dalam kegelapan yang semakin menggigit.
Kemudian, tanpa sepatah kata pun, manusia itu akhirnya merobek keheningan. Dengan suara yang tegas, dia menyuruh Elion untuk mengikuti langkah-langkahnya. "Ikutlah denganku," ucapnya dengan nada yang berat, tetapi tetap tegas.
Elion, meskipun penuh dengan pertanyaan dan ketidakpastian, tunduk pada perintah manusia itu. Dia merasa bahwa meskipun misterius, manusia itu mungkin adalah satu-satunya harapan untuk mendapatkan pertolongan bagi luka-lukanya yang parah. Dengan hati yang berat, Elion mengikuti langkah manusia itu, bersiap menghadapi apa pun yang mungkin menunggu di depan mereka.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!