NovelToon NovelToon

CAMARADERIE : Alesha & Airlangga

Terlambat

Karena tuntutan pekerjaan, Ale harus mengikuti kemana sang papa ditugaskan. Seperti saat ini, sang papa ditugaskan di salah satu daerah yang masih berada di bawah naungan Kodam Atlantis yang membawahi beberapa batalyon, dan Altair menjadi salah satu komandan dari batalyon tersebut.

"Ii, kakaknya tampan!" seru Ale saat ia tidak sengaja melihat seorang pemuda yang mengenakan seragam putih abu-abu yang dilapisi dengan almamater sekolah.

"Mulai" tegur Aldric.

"Biarkan saja, Al. Kakak sudah besar, biarkan dia berekspresi." ucap Alaric.

"Yeay, terima kasih Aric. " Ale mencium pipi adiknya sekilas.

Altair hanya bisa menggelengkan kepalanya pasrah melihat tingkah anak gadisnya yang kini sudah berubah banyak. Ia tidak lagi kalem, malah lebih berani berekspresi dan sedikit centil. Seperti tadi, ia bahkan tidak segan memuji ketampanan lelaki lain di depan dirinya dan kedua anak laki-lakinya.

Tiba di rumah dinas, Ale lekas mengambil seragam barunya untuk ia cuci. Karena besok ia harus memakai seragam itu. Hanya seragam putih abu-abu seperti pada umumnya yang dilengkapi dengan logo sekolah.

"Mama, tadi kakak lihat lelaki tampan." curhat Ale.

"Lebih tampan dari papa dan kedua adik?" tanya Ara.

"Masih lebih tampan papa dan kedua adik, tapi ini cukup tampan, mama." jawab Ale jujur.

"Wah, mama perlu lihat juga kalau begitu." ucap Ara.

"Ra, jangan mulai." teriak Altair dari ruang tengah. Sepertinya lelaki itu mendengar percakapan antara anak dan mama.

"Bercanda, mas " Ara balas berteriak.

"Nah, mama jangan macam-macam. Telinga papa tajam soalnya." Ale terkekeh kecil.

✨✨✨

"Lha!" heran Aric saat melihat penampilan kakaknya. Bagaimana tidak, mata indah kakaknya kini tertutupi kaca mata non ukuran, rambutnya juga yang langganan treatment kini sedang di kepang.

"Apa lagi kali ini kak?" tanya Al frustasi.

"Hehe" Ale hanya nyengir. Ia lalu ikut duduk disebelah mamanya.

"Gak ngaruh. Masih cantik itu." ucap Altair.

"Yah, kecewa aku. Lagian siapa yang ngomong kalau aku gak usah cantik cantik?" ujar Ale.

"Lagian ada-ada saja sih. " ucap Ara. Meskipun dirinya lah pelaku kepang mengepang itu.

"Kan biar gak menarik perhatian laki-laki, mama." jawab Ale.

Sarapan lalu dilaksanakan, agar tuan putri tidak terlambat datang ke sekolah barunya. Niat Ale untuk bersekolah di sekolah depan batalyon, surut begitu saja. Ia rasa, dirinya butuh suasana baru, mungkin dengan cara bersekolah yang jaraknya cukup jauh dari rumah.

"Bye-bye mama!"

Karena baru hari pertama sekolah, Ale dan kedua adiknya diantar oleh Altair ke sekolah.

"Ingat pesan papa, nanti papa jemput. Tunggu di halte yah." Altair kembali mengingatkan anak-anaknya saat mobilnya sudah berjalan.

"Kakak juga, jangan genit." Aldric memberikan pesan khusus untuk kakaknya.

"Genit aja kak. Mana tahu lagi hoki terus ketemu cowok ganteng." ujar Alaric.

"ALARIC!!!" seruan kompak itu membuat si bungsu menutup mulutnya, agar tidak sembarangan berkata.

Ale tiba di sekolahnya lebih dulu. Ia tak lupa pamit dan ia lalu membalikkan badannya dan melihat sekolah megah di depannya. Menurut hasil pencarian Ale lewat ponselnya, Tunas Bangsa adalah sekolah swasta favorit nomor dua di Atlantis. Hari ini Ale akan mengikuti serangkaian kegiatan sebelum dinyatakan menjadi siswi sekolah ini.

Dengan langkah yang penuh perhitungan dan percaya diri, kaki Ale bergantian menapaki susunan batako yang membuat ia semakin dekat dengan gerbang sekolah.

HITUNGAN SATU SAMPAI TIGA SEMUANYA HARUS BERADA DI LAPANGAN!

Seruan itu membuat yang lain berlari secepat mungkin memasuki lapangan serbaguna yang terlihat dari gerbang sekolah. Ale juga melakukan hal yang sama.

Bruk!

Namun suara tadi berhasil membuat larinya terhenti dan melihat ke belakang. Disana, ada seorang perempuan yang sepertinya juga murid baru baru saja terjatuh. Tanpa berpikir lama, Ale memutar badannya dan berjalan mendekati perempuan tadi. Ia lalu membantunya berdiri, seolah lupa jika tadi ia terburu-buru memasuki lapangan.

"Kamu bisa jalan nggak?" tanya Ale memastikan.

"Bisa kok. Terima kasih yah. Kamu bisa lari ke lapangan sekarang, nanti kena hukum. "

Ale menggelengkan kepalanya.

"Udah telat kok, jadi sekalian saja." ucap Ale dengan sangat yakin.

"Namaku Liona. Liona Lanika lengkapnya."

"Halo Liona, namaku Ale. Ayo jalan sekarang, aku bantu kok." ajak Ale. Ia memapah Liona sampai ke lapangan dan menjadi bahan perhatian orang-orang di dalam sana.

"WAH, LIHAT TEMAN KALIAN! SUNGGUH HEBAT TELAT DIHARI PERTAMA MASUK SEKOLAH? MAU JADI APA NANTINYA? JADI PEMBANGKANG YAH? TERUS MALU-MALUIN NAMA SEKOLAH!" seru seorang perempuan yang sepertinya salah satu panitia MOS.

"Sudah, tenang dulu."

Pandangan Ale lalu mengarah ke sumber suara yang terdengar sangat adem. Matanya membulat melihat lelaki tampan yang ia lihat kemarin.

"cihh!" perempuan itu pergi setelah berdecih.

"Kenapa kalian bisa terlambat?" tanya salah satu panitia perempuan yang datang bersamaan dengan lelaki tampan kemarin. Suaranya jauh lebih lembut jika dibandingkan dengan kakak kelas tadi.

"Karena gak tepat waktu, kak" jawab Ale polos yang membuat Liona mencubit lengan Ale.

"apa sih Liona, kok cubit aku?" tanya Ale.

"Kalau ditanya, jawab yang serius." suara adem tadi berubah menjadi tegas, membuat Ale kembali terkejut.

"Tadi saya jatuh, kak. Terus Ale membantu saya, makanya kami berdua terlambat sampai di lapangan." jujur Liona.

Perempuan yang bernama Nadya Aisyah itu mengangguk mengerti.

"Hari ini saya maklumi yah, karena tujuannya juga baik, yaitu saling membantu. Silahkan cari regu kalian."

"Terima kasih, kak." kompak Ale dan Liona. Sangat kebetulan sekali mereka berada di regu yang sama.

Ale dengan seksama mendengar rundown acara hari ini yang dibacakan oleh salah satu panitia. Jadi kegiatan ini hanya berlangsung satu hari tapi sampai pukul 4 sore. Hal itu membuat Ale bergerak cepat mengirimkan pesan kepada papanya.

To Papa : Pa, kakak pulang agak sore hari ini.

To Al : Al, kamu dan Aric pulang duluan saja. Kakak ada kegiatan sampai sore.

"Le, jangan main hp dulu, sejak tadi kak Tiara lihat kamu terus." ucap Liona pelan, namun tatapannya tetap mengarah ke depan.

"Iya, nggak kok." Ale dengan cepat memasukkan kembali ponselnya ke saku bajunya dan memfokuskan pandangannya ke depan. Tadi ia juga merasa jika dirinya sedang diperhatikan dan benar saja, senior sarkas tadi adalah pelakunya.

Saat jam pulang tiba, Ale mendapati mobil papanya di luar. Kebetulan di sebelahnya ada Sinta dan juga beberapa senior yang lain yang sepertinya ikut menunggu jemputan di depan. Altair beberapa kali di sapa oleh anak-anak Tunas Bangsa dan diberi respon berupa anggukan oleh lelaki itu. Hal itu membuat Ale sangat bete.

Wajah datar Altair semakin nampak saat melihat anaknya duduk bersama beberapa orang anak laki-laki.

Hai, Kak!

"Ma, kakak boleh bantu mama bikin sarapan gak?" tanya Ale.

"Tumben." heran Ara.

"Hehe " Ale cengengesan.

"Ada maunya yah?"

"Ma, kakak tampan yang kakak lihat kapan hari ternyata ketua OSIS di sekolah kakak tahu gak." Ale yang sedang gregetan sampai tidak sadar jika giginya bergeletuk.

"Wah, serius?"

Ale mengangguk.

"Boleh yah bantuin mama bikin sarapan?" rayu Ale.

"Iya iya, boleh kok." Ara mengangguk setuju. Ia senang melihat anaknya sangat excited melakukan hal-hal baru.

Keesokan paginya, Ara punya teman masak di dapur. Tidak muluk-muluk sebenarnya, hanya nasi goreng yang dicampur dengan ayam suwir dan juga sosis.

"Ma, ada wortel dan timun kan?" tanya Ale.

"Ada, kak. Ada di kulkas." jawab Ara.

Ale dengan sangat serius menghias nasi goreng di depannya. Ia menjadikan wortel sebagai mata dan timun yang dibelah dua menjadi mulut yang sedang tersenyum.

"Bisa aja anak mama." Ara mengelus rambut anaknya yang sedang melakukan usahanya agar di-notice oleh pemuda tampan yang Ale maksud.

"Terima kasih yah mama karena sudah mau membantu kakak ." Ale mengecup pipi Ara sebelum pamit untuk ke kamar dan berganti pakaian.

✨✨✨

Tiba di sekolah, Ale langsung saja menuju kelas 12 IPA 4, dimana Genta berada. Menurut hasil pencariannya lewat bertanya kepada beberapa temannya dan beberapa rakyat sekolah yang lain, biasanya Genta sudah datang jam segini.

"Halo, selamat pagi kakak-kakak!" sapa Ale dengan sangat ceria saat kakinya sudah berada di gawang pintu kelas Genta.

"Eh, ada adek cantik." celetuk seorang laki-laki yang duduk di sudut kelas.

Tanpa dikomando, Ale berjalan mendekat ke Genta dan menyimpan kotak makan transparan di depan lelaki itu.

"Buat kak Genta, biar semangat." ujar Ale dengan sangat percaya diri.

Genta mendongak dan menatap tajam Ale. Ia sungguh tidak suka jika ketenangannya diganggu.

"Bawa pergi. Gue gak sudi nerima ini." ucap lelaki itu tajam.

Ale sempat speechless, namun ia bisa menguasai dirinya dengan cepat, hingga senyumnya terlihat.

"Di coba dulu aja, kak. Barangkali ketagihan. Bye-bye kak." ujar Ale sebelum pergi.

"Bye-bye semuanya, tolong yah bantu Ale jagain kak Genta!" sebelum benar-benar meninggalkan kelas Genta, Ale sekali lagi pamit kepada penghuni kelas 12 IPA 4 yang sudah datang pagi-pagi begini.

Kepergian Ale barusan mengundang beberapa ekspresi dari mereka semua, ada yang terkekeh geli karena kecentilan Ale, ada juga yang merasa kagum dengan sifat pemberani Ale - yang sedikit terlihat tidak tahu diri, ada yang merasa kasihan juga.

"Lo gak mau Nta?" tanya Aidil, teman sebangku Genta.

"Gak. Lo ambil aja." jawab Genta.

Aidil bersorak senang, ia memanggil beberapa temannya yang lain, barangkali ada yang tidak sempat sarapan. Lumayan kan makan sesuap dua suap nasi goreng pemberian Ale.

Lidah Aidil perlahan merasakan nikmatnya nasi goreng ditangannya.

"Eh, gak jadi. Nasi gorengnya gak enak." ucap Aidil cepat sebelum yang lain bergabung.

"Ah, bohong lo. Enak banget ini." ujar Dadang yang sempat mencomot nasi goreng ditangan Aidil.

"Wah, dasar lo." ucap yang lain.

Jadilah seporsi nasi goreng itu habis dilahap oleh 5 orang teman kelas Genta. Dari ekspresi mereka tadi, sepertinya nasi goreng buatan Ale memang sangat enak.

"Beneran seenak itu Dang?" tanya Sinta.

"Iya, Desi, sangat enak." jawab Dadang.

"Desi gak tuh?" celetuk Aidil.

"Kan Dewi Sinta, disingkat jadi Desi." ujar Dadang.

Pipi Sinta memerah mendengar panggilan Dadang. Hanya lelaki itu yang mempunyai panggilan berbeda untuknya.

Sementara di kelas lain, Ale sedang diintrogasi oleh Liona.

"Kata teman-teman yang lain, kamu pergi ke kelas kak Genta?"

"Iya hehe " Ale cengengesan.

"Ngapain Ale? Kamu gak takut lihat muka menyeramkan kak Genta?"

"Menyeramkan sih, tapi ganteng. Gimana dong." ringis Ale.

"Dasar kamu yah" Liona menggeplak pelan lengan Ale.

"Lutut kamu gimana? Udah baikan?"

"Udah kok. Tapi belum bisa berlari." jawab Liona.

Seperti biasanya, akan ada sesi perkenalan dari masing-masing murid agar mereka bisa saling mengenal.

"Selamat pagi anak-anak!" sapa bu guru.

"Selamat pagi bu guru!" balas yang lain.

"Salam sejahtera untuk kita semua yah. Perkenalkan, nama lengkap miss adalah Audia Mukhnifa, sering dipanggil Miss Audi. Sekarang giliran kalian, dimulai dari ujung kanan depan."

Ale yang kebetulan duduk di ujung kiri menunggu giliran untuk memperkenalkan dirinya.

"Halo semuanya. Nama lengkap saya Liona Lanika, asal sekolah sebelumnya JHS Tunas Bangsa." ujar Liona.

Kebanyakan murid baru di sini berasal dari JHS Tunas Bangsa, sekolah yang berada di bawah naungan yang sama dengan sekolah Ale saat ini.

"Nama lengkap saya Alesha Danantya, panggilannya Ale. Dulu sekolah di SMPS Eagle." ucap Ale, tak lupa dengan senyumannya.

"Kok jauh kesini, Le?" celetuk salah satu teman Ale.

"Papa pindah tugas ke sini, jadi aku ikut. Terima kasih." Ale kembali duduk di kursinya, sembari mendengarkan satu persatu temannya memperkenalkan diri mereka.

Jadi Ale sekarang duduk di kelas 10. A, jumlah pelajarnya terbatas, hanya 25 orang. Bangkunya dibuat tersambung dengan meja, ada laci dibagian bawahnya dan mereka semua diberikan kunci, agar barang-barang yang dibawa aman.

Setelah sesi perkenalan selesai, miss Audi mengajak mereka untuk ke kantin, sebagai salam perkenalan katanya. Di kantin, Ale bisa melihat jika Genta sedang makan seorang diri.

"Hai kak Gentaa!" seru Ale senang.

Miss Audi yang melihatnya pun cukup kaget. Ia mengira jika Ale adalah pribadi yang kalem, namun lihatlah sekarang, ia terlihat sangat ekspresif. Apalagi tanpa tahu malu, Ale duduk di bangku depan Genta tanpa izin terlebih dahulu.

"Kak, aku duduk di sini yah. Kasian kak Genta makan sendiri." ujar Ale.

Tanpa meladeni Ale, Genta sebisa mungkin makan dengan cepat agar bisa segera pergi dari kantin.

"Le, sini lo!" teriak ketua kelas Ale.

"Bentar dulu. Aku makan disini, biar kak Genta ada temannya." ujar Ale. Ia menyantap sandwich di depannya sambil menatap Genta.

Tanpa sepatah kata, Genta meninggalkan Ale setelah makanannya habis.

"Yah, kasian lo Le. Dibilangin juga." ujar yang lain.

Ale hanya cengengesan dan pindah duduk di sebelah Liona.

"Gak usah dekat-dekat kak Genta, Le. Kulkas itu. " ujar Salwa.

"Kulkas, tapi dia ganteng. Gimana dong?" tanya Ale.

"Lo baru kali ini lihat orang ganteng yah?" tanya salah seorang teman Ale yang lain.

"Ya wajar sih, Ale kan dari pelosok. Jadi mungkin lebih excited melihat ketampanan warga ibu kota." ucap Liona polos.

"Di kota Eagle gak seramai di sini, jadi benar apa yang dikatakan Liona. Tapi disana juga banyak pemuda tampan kok." Ale mengeluarkan argumennya. Ia bisa mengerti pandangan teman-temannya kepada dirinya sekarang.

Don't Touch Me

Rakyat sekolah sudah tidak asing lagi dengan pemandangan yang selalu mereka saksikan belakangan ini. Dimana Ale kerap kali menjadi mengekori Genta jika ada kesempatan. Dimana ada Genta, disitu ada Ale. Seperti saat ini, Ale sedang duduk di tepi lapangan basket dan berteriak heboh.

"KAK GENTA KAK GENTA GO!" teriak Ale.

Sejak tadi ia duduk di sana sambil melihat Genta bermain basket.

"Di kelas lo gak ada guru, Le?" tanya Nadya, teman kelas Genta dan juga panitia MOS sebulan lalu.

"Gak ada, kak. Lagi jam kosong, makanya bisa di sini dan lihat kak Genta main." jawab Ale.

Ale sudah bestie dengan beberapa teman kelas Genta yang perempuan. Dari mereka juga Ale bisa tahu jika bekal yang selama ini ia berikan tidak pernah dimakan oleh Genta, melainkan disantap oleh teman-teman kelas Genta. Menurut Ale, itu bukan hal yang menyakitkan, karena makanannya tetap dimakan, meskipun bukan Genta yang makan.

"YEEE, KAK GENTA KEREN EUYY!" sorak Ale lagi.

"Kak Sinta, ayo teriakin kak Dadang, biar semangat." ajak Ale.

"Ogah, Lo sendiri aja." tolak Sinta cepat.

Ale cengengesan. Ia kembali berjingkrak-jingkrak sambil berteriak bak orang kesetanan.

"Le, udah pergantian jam. Sono lu ke kelas!" usir Nadya.

Ale melihat jam tangannya, bersamaan dengan pemberitahuan yang terdengar di seantero sekolah jika jam pelajaran ketiga akan segera dimulai.

"Eh, iya. Ale pamit dulu yah pemirsa, nanti ketemu lagi. Bye-bye semuanya!" Ale berjalan sambil memberikan kiss bye kepada teman-teman Genta.

"Gila tuh anak, masih saja." Aidil menggelengkan kepalanya heran.

"Padahal udah ditolak, masih aja ngejar." sambung Dadang.

"Tiara mah kalah effort cuk!" ujar Randi.

Tiba di kelasnya, Ale langsung mengeluarkan buku mata pelajaran yang akan berlangsung. Ia memang suka mengekori Genta, tapi tidak pernah lupa apa tujuan utamanya ke sekolah.

"Muka kamu merah sekali, padahal AC nyala ini." ucap Liona.

"iya, tadi habis teriak-teriak." Ale nyengir. Ia menyempatkan minum sebelum guru masuk.

✨✨✨

Saat jam istirahat, Ale lagi-lagi mengekori Genta. Ia ikut duduk dibangku yang berisi teman-teman Genta.

"Le, gue gak kalah ganteng dari Genta lho." ujar Randi dengan sangat percaya diri.

"Tapi aku gak suka kak Randi. Maaf banget nih." jujur Ale.

"Jujur amat lo, Le." Dadang terbahak-bahak mendengar ucapan jujur Ale.

"Yee lo, Le." Randi mendengus.

Ale menumpukan dagunya pada tangan kirinya, sambil menatap Genta yang sedang makan dalam diam seolah orang-orang disekitarnya hanyalah patung.

"Gak usah lihat gue. " ucap Genta dengan sangat dingin.

Ale tersenyum.

"Kak Genta ganteng sih, makanya Ale suka lihat - lihat hehe."

Di sudut meja, ada seorang perempuan yang begitu geram melihat pemandangan di tengah-tengah kantin.

"Bisa-bisanya tuh cewek." salah seorang temannya mengompori.

"Dari pelosok juga, punya nyali banget. Mana nerd pula." temannya yang lain ikut mengompori.

Tiara mendengus mendengar ucapan kedua temannya tadi. Ia memang sudah menyukai Genta cukup lama, namun lelaki itu begitu dingin dan tak tersentuh. Selama ini ia selalu mengancam perempuan lain yang terlihat sok dekat sok kenal ke Genta, jadi para perempuan itu mundur dengan sendirinya. Hal yang sama mungkin akan ia lakukan kepada Ale juga, tunggu waktu yang tepat saja.

"Mau kemana lo? Udah bosan lihat Genta?" tanya Aidil saat melihat Ale berdiri.

"Wah, kalau itu gak pernah bosan, kak. Mau dilihat dari bangun tidur sampai mau tidur pun aku siap. Tapi urusan kali ini lebih penting dan harus segera dituntaskan." jawab Ale. Ia terlihat meringis.

"Apaan dah?" heran Dadang.

"Ingin menuntaskan hajat. Bye semuanya!" pamit Ale.

"Dasar bocil, lagi makan juga." dengus Randi.

"Jangan terlalu dikasih hati." ucap Genta.

"Terlalu gimana, Nta? Kita mah gak terlalu ngasih hati, takutnya malah lo yang gak punya hati. Dikasih bekal malah gak pernah lo makan." ujar Randi.

"Kalau lo mau, lo bisa sikat dia aja." Genta lalu berdiri setelah mengucapkan hal tadi.

"sayangnya dia bukan sesuatu yang biasa yang bisa gue sikat gitu aja." ucap Randi. Ia tahu jika Genta tidak mendengar ucapannya.

Sementara di kamar mandi, Ale baru saja selesai dengan hajatnya. Ia kini sedang merapikan poninya yang menutupi dahinya. Ia juga memperbaiki letak kacamatanya.

"Nyali lo sebesar apa sih sampai dekatin Genta segitunya?" tanya Tiara. Rupanya ia menunggu Ale sejak tadi.

Ale diam, merasa bukan dirinya yang ditanya.

"Gue bertanya ke lo, siaaalan." umpat Tiara.

Ale menoleh. Sebelah alisnya terangkat.

"Harus aku jawab pertanyaan kak Tiara?" tanya Ale balik.

"Lo gak usah belagu jadi cewek. Dari pelosok juga, gak usah terlalu centil sampai pengen jadi pacar Genta. Dengerin yah, Tiara aja yang kenal lama sama Genta gak segitunya, gak kayak lo yang sok kenal sok dekat." cerca teman Tiara yang berambut pendek, orang itu bahkan menunjuk wajah Ale.

Ale memegang lengan perempuan tadi lalu menghempaskan nya.

"Don't touch me!" ucap Ale. Pandangannya lalu terarah kepada Tiara.

"Sejak kapan melakukan usaha agar di-notice dianggap belagu? Sejak kapan kota asal menjadi alasan untuk tidak centil? Gue yang dekatin kak Genta kok disitu yang repot?" ucap Ale tenang sebelum meninggalkan kamar mandi.

"Cih!" Tiara berdecih. Rupanya peringatannya tidak akan mempan ke Ale. Ia harus memikirkan hal lain yang bisa membuat perempuan itu berhenti mengejar Genta.

Ale langsung kembali ke kelasnya. Ia sudah tidak mood untuk ke kantin lagi.

"Kenapa tuh muka?" tanya Salwa.

"Kurang sesajen" jawab Ale ngawur.

"Ngawur terus." Salwa menoyor pelan kening Ale.

Pulang dari sekolah, Ale menunggu angkot di halte yang tidak jauh dari gerbang. Ternyata disana juga ada Sinta.

"Kata anak-anak, lo ketemu Tiara yah tadi?"

"Iya, kak. Gak sengaja ketemu di toilet." jawab Ale.

"Bukan gak sengaja, Le. Dia memang nungguin lo. Lo gak kenapa-kenapa kan?"

Ale menggelengkan kepalanya dan tersenyum, seolah mengatakan jika ia baik-baik saja.

"Tiara memang seperti itu. Ia tidak suka jika ada orang lain yang mencoba menarik perhatian Genta. Kadang cuma ditegur lewat kata-kata, kadang juga lewat tindakan." beritahu Sinta.

"Ada kacungnya juga tadi. Tapi gak ngelakuin apa-apa kok." ucap Ale.

"Kakak dijemput kah?" tanya Ale kemudian.

"Iya, ini lagi tunggu bokap. Tadi katanya sudah di jalan. Kalau lo?"

"Naik angkot, kak. Ini lagi nunggu angkot." jawab Ale. Ia tidak pernah malu dengan cara menjalani hidup yang ia pilih saat ini.

Tidak lama kemudian, angkot jurusan batalyon sudah datang.

"Kak, duluan yah. Angkotnya sudah datang." pamit Ale.

"Iya, hati-hati, Le." Sinta melambaikan tangannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!