"Aku harus ke mana lagi?"
Langkah kaki Laura Halcyon kini tak tentu arah, baru saja ia mendapat kabar dari ayahnya jika Aurora — adiknya kembali masuk rumah sakit dan kali ini cukup parah.
"Adikmu harus dioperasi, Laura. Papa tidak punya cukup uang lagi."
Ucapan Finn Halcyon di telepon tadi terus terngiang di telinga gadis berusia dua puluh tahun ini. Entah di mana ia mendapatkan pinjaman untuk biaya operasi Aurora yang hampir menginjak angka dua ratus juta.
Di tengah kekalutannya, Laura teringat akan satu benda yang mungkin bisa ia jadikan jaminan untuk biaya operasi Aurora. Ia tidak akan menjualnya tetapi ia bisa menggadaikannya. Jika pun tidak diterima ia masih bisa mencari pekerjaan paruh waktu untuk mencicil utangnya.
Bergegas Laura menemui sahabatnya untuk mengantar pergi mendapatkan uang. Kondisi Aurora sudah tidak memungkinkan untuk ia bergerak lambat. Dihapusnya air mata kemudian ia memasang senyuman manis.
Harusnya Laura masih bekerja saat ini tetapi karena keadaan darurat ia meminta izin pada koordinatornya agar bisa pulang cepat. Laura tak pernah melakukan kesalahan dan selalu menuruti semua perintahnya sehingga koordinator itu memberikannya izin.
Sesampainya di rumah Zoya, kebetulan sahabatnya itu baru akan keluar. Hari sudah menjelang sore, Laura tahu Zoya pasti akan pergi bekerja.
"Hei Laura, mengapa kamu di sini?" tanya Zoya sedikit terkejut. Ia melirik jam di pergelangan tangannya kemudian menatap Laura, ia tentu tahu sekarang Laura seharusnya bekerja.
"Aurora harus dioperasi, Zoya. Aku dan Papa tidak punya uang untuk operasinya. Bisakah kamu membantuku menggadaikan perhiasan? Tetapi aku tak yakin itu akan membantu," jawab Laura, dengan sudah payah ia menahan air matanya.
"Oh astaga …! Berapa kamu butuh uang? Biaya operasi itu tidak murah lho," tanya Zoya, ia ingin membantu tetapi keadaannya pun sangat memprihatikan.
"Dua ratus juta."
"What?!" Zoya memekik, membayangkan uang sebanyak itu mungkin ia harus bekerja selama dua Minggu tanpa istirahat.
Laura menundukkan wajahnya, ia tahu itu jumlah yang sangat besar dan benda miliknya tidak mungkin bisa dihargai semahal itu.
Beberapa menit keduanya terdiam, sempat Laura menceritakan benda apa yang hendak dia gadaikan tetapi Zoya jelas mengatakan itu tidak akan sampai pada jumlah yang dibutuhkan Laura.
Tiba-tiba Zoya menjentikkan jarinya. Laura menatap sahabatnya yang terlihat menyeringai.
"Kita bertemu bosku, dia pasti mau memberikanmu uang tetapi kamu tahu sendiri apa pekerjaanku, bukan? Aku sebenarnya tidak ingin menjerumuskan ku tetapi cara ini satu-satunya. Terlebih lagi kamu masih virgin, pasti dihargai fantastis. Sorry Laura," ucap Zoya yang awalnya sangat antusias tetapi kalimatnya ia tutup dengan suara lirih.
Laura menutup kedua matanya. Ditariknya napas dalam-dalam seakan pasokan udara telah habis dalam paru-parunya. Ini sangat berat, ia tidak mungkin menjual dirinya tetapi di mana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat.
Aurora membutuhkan biaya operasi, sisanya bisa digunakan untuk menebus rumah mereka yang tergadai sebab Finn Halcyon pernah kesulitan keuangan sedangkan ada empat mulut yang harus diberi makan termasuk dirinya. Aurora yang sering sakit-sakitan, semua membutuhkan biaya.
"Aku bersedia," ucap Laura akhirnya.
Mata Zoya terbelalak. Ia menggeleng keras sambil mengibaskan tangannya. "Jangan Laura, kamu tidak seharusnya mengikuti jejakku. Sungguh aku tidak berniat membawamu ke tempat itu," tolak Zoya, ia yang memberi ide ia pula yang menolaknya.
"Aku sudah memutuskan Zoya. Bawa aku ke sana," ucap Laura dengan sungguh-sungguh.
***
Di sebuah club malam
Beberapa pria berpakaian serba hitam berjalan ke salah satu ruang VIP. Langkah mereka terburu-buru, dua pria yang berjaga di depan pintu membukakan pintu itu dan salah satu dari rombongan pria itu masuk.
"Tuan," sapa pria itu lalu ia membungkukkan sedikit tubuhnya.
"Apa yang kamu dapatkan Jack?" tanya pria yang sedang memegang gelas berisi vodka, ia lalu menyesapnya tipis-tipis.
"Tuan Nick Fernando sedang melakukan transaksi jual beli senjata ilegal di salah satu club, beberapa anak buah kita telah saya tempatkan di club itu untuk mendapatkan banyak informasi," jawab Jack.
Pria itu berdeham sebagai jawaban jika ia menerima informasi dari Jack. Ia kembali menyesap minumannya sambil menyeringai. Lawannya rupanya mulai memperkuat jaringan bisnisnya di bidang jual beli senjata ilegal. Bukan masalah, ia bisa mengalahkan mereka dengan mudah, pikirnya.
Di sisi lain masih di club yang sama, Zoya membawa Laura menemui bosnya. Pria bertubuh tambun itu terus mengamati Laura yang memang sangat cantik hanya saja kurang polesan make up. Dia sendiri tertarik tetapi ia lebih tertarik dengan jumlah uang yang akan ia dapatkan.
"Kebetulan ada satu bos besar di club ini. Aku akan menawarkan padanya. Dia sangat picky terhadap wanita yang tidur dengannya, karena kamu masih virgin dia pasti memberikan harga fantastis," ucapnya kemudian ia tertawa senang.
Laura meremas jarinya, jelas sekali ia gugup tetapi ia tidak bisa mundur lagi. Beberapa menit yang lalu ia mendapatkan kabar jika kondisi Aurora semakin melemah.
'Kamu pasti bisa Laura,' ucapnya dalam hati.
Bos dari Zoya itu lalu menelepon seseorang, ia berusaha meyakinkan dan akhirnya dia menutup panggilan dengan tawa bahagia.
"Kamu dandani dia, Tuan Mahen bersedia membayar lima ratus juta untuknya. Aku akan memberikannya setengah dan aku setengahnya," ucap Tom, bos Zoya.
Mata Zoya dan Laura terbelalak mendengar angka yang diberikan untuk harga dirinya. Uang yang bisa membantu kehidupan keluarganya untuk beberapa waktu ke depan.
"Kamu mendapatkannya Laura, aku sedih tetapi aku juga bersyukur karena kamu berhasil," bisik Zoya, ada air mata yang membasahi pipinya namun dengan cepat ia mengusapnya.
Laura mengangguk, ia menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan perlahan. Ia akan menjual harta berharga dalam hidupnya, kesuciannya.
'Semua demi keluargaku,' gumamnya dalam hati.
Zoya membawa Laura ke ruangan khusus untuk mendandani sahabatnya itu. Ia sangat sedih, beberapa kali ia menggigit bibirnya agar tidak menangis. Setelah selesai, ia pun mengantar Laura ke ruangan yang sudah diberitahu oleh Tom sebelumnya.
Belum sampai di depan pintu, sebuah notifikasi di ponsel Laura masuk dan itu adalah kiriman uang dari Tom. Bergegas Laura mengirimkan uang senilai dua ratus juta pada rekening Finn Halcyon.
Baru saja Laura akan membuka pintu itu dengan tangan gemetar, terdengar suara teriakan dan beberapa orang berlari keluar. Suara tembakan memenuhi club ini namun Laura tak tahu harus lari ke mana. Masuk ke dalam kamar untuk bersembunyi atau ikut pergi.
Namun karena intuisinya mengatakan ia harus masuk dan bertemu dengan seseorang yang telah membeli keperawanannya itu dan mengucapkan terima kasih, maka Laura melangkah masuk. Dibukanya pintu itu tetapi ia tidak menemukan seseorang.
"Tuan? Tuan Mahen?" panggil Laura yang sudah tahu nama orang yang membelinya.
"To … long …."
Laura mendengarnya dan menajamkan pendengarannya. Suara itu terdengar lirih, ia mencarinya dan menemukan asal suara itu dari kamar mandi. Bergegas ia membuka pintu kamar mandi dan mendapati seorang pria sedang terbaring bersimbah darah di lantai kamar mandi tanpa mengenakan sehelai benang pun.
"Oh my God!" pekik Laura.
"Tu-tuan Mahen," ucap Laura terbata.
Laura menyobek bajunya untuk membalut luka Mahen yang sekiranya sedikit membantu untuk mengurangi pendarahan, kemudian ia bergegas membawa lelaki yang masih tetap menjaga kesadarannya itu padahal perutnya penuh dengan darah.
Laura mengabaikan tubuh lelaki itu yang tak tertutupi apapun. Ia membaringkannya di tempat tidur dan tak tahu harus melakukan apa lagi. Laura menarik selimut dan menutupi tubuh pria itu. Ia kebingungan mencari kotak obat atau menghubungi siapa saja yang bisa membantunya.
"Aku harus bagaimana?" gumam Laura, ia terus memperhatikan wajah Mahen yang terlihat memucat dan matanya sudah tertutup entah sejak kapan.
Panik, Laura naik ke tempat tidur. Ia mencoba memeriksa pernapasannya dan ternyata lelaki tampan ini masih bernapas hanya saja terdengar tidak teratur.
"Oh Tuhan kirimkan pertolongan secepatnya," gumam Laura.
Ponselnya berdering, nama Zoya tertera di sana, dengan cepat Laura menjawabnya. Rupanya Zoya mengatakan jika tempat ini semakin tidak aman sebab ia tak sengaja mencuri dengar bahwa tempat ini akan segera diledakkan. Ia meminta Laura segera keluar, ia tidak ingin sahabatnya mati konyol di tempat ini.
Laura menyimpan ponselnya lalu ia menggigit bibirnya. Ia menatap lamat-lamat wajah tampan itu, ada desiran aneh saat ia melihat wajah tampan ini. Seperti pernah mengenalnya tetapi entah di mana. Tidak tega rasanya meninggalkan pria baik ini, tetapi ia juga harus menyelamatkan diri.
"Maafkan aku tidak bisa menolongmu Tuan Mahen. Terima kasih juga karena telah membeli keperawananku. Suatu saat jika kamu selamat maka aku berjanji akan memberikannya seperti kamu telah membayarku," ucap Laura kemudian ia mengecup dahi Mahen lalu berlari pergi.
***
Satu Minggu kemudian …
Mahen membuka matanya, samar-samar ia melihat nuansa putih dan mencium aroma obat-obatan. Ia langsung tahu jika ia berada di rumah sakit.
"Kamu sudah bangun Nak?" Suara itu jelas Mahen kenali, Keenan —ayahnya rupanya berada di rumah sakit ini.
Mahen menoleh dan mendapati ayahnya, Paman Leon, Eleanor dan Jack yang berada di sana. Ia tersenyum samar, berusaha memberitahu jika ia baik-baik saja.
"Jack panggil dokter," pinta Leon.
Jack pun keluar dan tak lama kemudian dokter segera datang bersama dua suster untuk memeriksa keadaan Mahen. Setelah dokter menyatakan jika kondisi Mahen telah baik-baik saja dan hanya akan melakukan pemulihan selama dua sampai tiga hari di rumah sakit barulah keluarga Mahen merasa tenang. Dokter pun berpamitan.
"Ayah, Paman, Bibi Lea, aku ingin berbicara empat mata dengan Jack," ucap Mahen.
"Dasar anak Keenan! Kamu itu baru saja membuka mata dan mau membahas bisnis? Tidak, Ayah tidak mengizinkan dan sekarang kamu sebaiknya istirahat," tegur Keenan, cukup kesal dengan putranya yang selalu saja mengutamakan pekerjaannya. Ia tidak mungkin mengatai Mahen sebagai anak setan sebab ia adalah ayahnya bukan setan.
Leon dan Lea menahan tawa, namun dengan cepat Leon memalingkan wajahnya saat Mahen memohon padanya lewat tatapan mata. Ia setuju dengan Keenan saat ini, Mahen butuh istirahat.
Hingga malam tiba, akhirnya Keenan pulang setelah Leon dan Lea pulang lebih dulu sore tadi. Tinggallah Jack yang menjaganya. Pria itu terlihat menunduk dan terus memasang wajah bersalah. Masih jelas diingatkannya saat ia menemukan Mahen di tempat tidur tiga menit sebelum ledakan itu terjadi, persis satu menit setelah Laura meninggalkan kamar itu.
Jika saja ia terlambat mungkin Mahen telah tewas bersama ledakan di club tersebut yang menewaskan banyak orang.
"Saya bersalah Tuan," ucap Jack sambil menunduk. "Harusnya saya tidak meninggalkan Anda," ucapnya lagi.
Mahen menggeleng. "Lupakan itu, apakah kamu menemukan siapa wanita yang mencoba untuk membunuhku?"
Jack mengangguk lalu ia menggeleng membuat Mahen heran. "Ada dua wanita malam itu yang masuk di kamar Anda, Tuan," ucap Jack.
Mahen terdiam, ia mencoba mengingat wanita-wanita itu. Ia mengingat jelas wanita yang mencoba untuk membunuhnya, tetapi tidak dengan wanita yang menolongnya malam itu.
"Di dekat pisau kami menemukan satu kalung, sepertinya ini bisa dijadikan petunjuk. Pisau itu juga sudah tidak bisa diidentifikasi sidik jarinya," ucap Jack yang kemudian mengeluarkan kalung tersebut.
Mahen terbelalak, ia menarik kalung itu dari tangan Jack dan memeriksanya. Jantung Mahen berdebar kencang, jelas ia mengenali kalung ini lalu ia mencoba mencocokkan dengan kalung yang selalu melingkar di tangannya.
"Temukan gadis yang sudah menusukku itu. Bawa dia padaku karena aku yang akan mengurusnya sendiri," titah Mahen, ia tidak bisa menahan rasa yang bergejolak di dalam hatinya. "Wanita yang datang kedua kalinya itu adalah wanita yang telah aku bayar, tidak perlu berurusan dengannya. Dia sempat menolongku," imbuh Mahen.
Jack mengangguk kemudian ia meminta anak buahnya untuk membawa wanita yang mereka duga sebagai sosok yang mencoba untuk membunuh Mahen.
'Apakah itu kamu Namira. Apakah kamu sangat membenciku hingga berniat untuk membunuhku? Maafkan aku, maafkan Kakak. Aku sudah mencarimu tetapi ternyata kita berada di negara yang sama. Kakak akan menebus semua kesalahan Kakak padamu,' gumam Mahen dalam hati.
Satu jam berlalu, pintu ruangan terbuka dan masuklah dua pengawal Mahen yang memegangi satu wanita yang sedang memberontak minta dilepaskan. Mahen menatapnya dengan harus, sesaat pandangan mereka beradu dan Mahen mengenali tatapan penuh kebencian itu. Hatinya ngilu.
"Lepaskan dia," titah Mahen.
Dua pengawal itu pun melepaskan tawanan mereka, Mahen segera mencabut paksa selang infus di tangannya lalu ia turun dari ranjang sambil tertatih berjalan ke hadapan wanita itu.
"Aku membencimu! Harusnya kamu sudah mati!" bentak wanita itu yang sepertinya tidak mengenal takut.
Jack hendak maju tetapi Mahen mengangkat tangannya sebagai tanda Jack tidak perlu ikut campur.
"Mengapa kamu membenciku?" tanya Mahen, dia sangat merindukan sosok di hadapannya ini.
"Kamu masih bertanya? Kamu menghancurkan keluargaku berengsek!" bentaknya lagi.
Mahen menunduk, ia tidak bisa menerima kebencian yang begitu besar dari wanita yang selama ini ia cintai tanpa henti. Mahen lalu mengulurkan tangannya sambil berkata, "Apakah ini milikmu?"
Wanita yang sedari tadi terus membentak Mahen itu terdiam, ia hendak menarik kalung itu tetapi justru tangannya yang ditarik oleh Mahen dan ia langsung masuk ke dalam pelukan Mahen.
"Maafkan aku, maafkan aku. Aku akan menebus semuanya, aku akan memberikan kamu kebahagiaan. Maafkan aku," ucap Mahen.
Wanita yang berada di dalam pelukan Mahen itu tidak paham dengan perkataan lelaki yang hampir ia bunuh ini.
"Lepaskan, aku tidak akan tertipu," ucapnya mendorong tubuh Mahen.
"Tidak Namira, Kakak bersalah, maafkan Kakak," ucap Mahen lagi dengan pipi yang telah basah oleh air mata.
"Namira? Aku bukan Namira!"
"Namanya Anna, Tuan. Anna Gilbert. Anak adopsi dari Tuan Hans Gilbert yang perusahaannya bangkrut karena ketahuan melakukan kecurangan pada perusahaan kita," bisik Jack.
'Anak adopsi?'Bagaimana mungkin? Apakah Namira terjebak di negara ini atau mereka yang menemukannya saat kedua orang tuanya meninggal dan kehidupannya hancur?' tanya Mahen dalam hati.
"Ya, aku Anna, Anna Gilbert. Anda salah orang dan tolong lepaskan saya sekarang atau saya akan kembali membuat rencana untuk membunuh Anda!" ucap Anna, ia benar-benar dibuat kesal.
Mahen tersenyum seringai. "Bawa Nona Anna pulang ke rumah. Berikan semua fasilitas dan apapun yang dia inginkan. Jaga dan jangan biarkan dia pergi, dua hari lagi aku pulang dan aku ingin dia tetap berada di rumah," titah Mahen kemudian ia kembali ke ranjang pasien.
Tangan Anna terkepal kuat. "Anda gila!" umpatnya tetapi ia tidak bisa melawan lagi karena kedua pengawal Mahen sudah membawanya pergi.
Ada begitu banyak pertanyaan di benak Jack mengapa Mahen justru memanjakan orang yang hampir saja membunuhnya, hanya saj ia tidak berani bertanya sebab semua itu adalah urusan pribadi Mahen.
"Aku sudah mencarinya cukup lama. Aku yakin dia adalah adikku yang selama ini aku cari. Kalung ini adalah buktinya," ucap Mahen menjawab segala tanya di benak Jack.
"Tetapi Tuan, bukankah terlalu cepat untuk menyimpulkan? Kalung seperti itu ada banyak dan ada dua wanita bersama Anda malam itu. Bisa saja kalung itu adalah milik wanita yang satunya lagi," ujar Jack, ia masih ragu dengan keputusan Mahen yang terkesan mengada-ada.
Mahen menggeleng. Sebenarnya ucapan Jack ada benarnya, hanya saja kalung dan tatapan penuh kebencian itu membuatnya yakin. Jika harus dibandingkan dengan wanita yang menyelamatkannya di kamar mandi, ia tidak yakin jika itu adalah Namira sebab wanita itu meninggalkannya dan bahkan tidak mengenalinya.
'Lalu bagaimana dengan Anna? Dia juga tidak mengenaliku,' gumam Mahen dalam hati. Seketika ia menjadi bimbang.
***
Laura menangis haru menyaksikan kedua orang tuanya memeluk Aurora yang akhirnya dinyatakan sembuh, bahkan hari ini sudah diperbolehkan pulang. Sampai detik ini Laura tidak berani mengatakan dari mana sebenarnya uang yang ia dapatkan dan sampai saat ini pula ia masih mengingat lelaki yang memberikannya uang tanpa bekerja. Entah ia masih hidup atau sudah menjadi abu setelah ledakan itu.
"Kak Laura, terima kasih," ucap Aurora, ia merentangkan tangannya agar Laura masuk ke dalam pelukannya.
"Kakak akan selalu melakukan yang terbaik untuk kamu. Kesembuhan kamu adalah yang utama," ucap Laura, ia lalu melepaskan pelukannya dan mengusap air mata di pipi Aurora.
Finn dan Ameena ikut bergabung berpelukan dengan kedua putri mereka, rasanya tiada kata yang dapat mereka ucapkan yang lebih tinggi dari kata syukur. Aurora sembuh, rumah sudah ditebus dan mereka memiliki uang untuk bertahan hidup.
"Ayo kita pulang, Mama sudah menyiapkan makanan untuk kita di rumah," ajak Ameena.
Keluarga kecil itu pun pulang, Laura dan Ameena menggandeng tangan Aurora sedangkan Finn membawa tas mereka. Andai saja Laura mau berbalik ke belakang barang sebentar saja, ia pasti melihat pria yang sudah menyumbangkan uangnya itu juga sedang berjalan pulang bersama Jack. Hari ini Mahen sudah boleh pulang dan ia sangat bersemangat sebab seseorang sudah menantinya di rumah.
Jika keluarga Halcyon pulang dengan menggunakan taksi, maka Mahen bersama Jack pulang dengan menggunakan mobil mewah. Tak sabar rasanya memeluk orang yang selama ini ia cari, kabarnya Anna terus saja membuat kehebohan di rumah megah itu. Beberapa kali mencoba kabur tetapi ketahuan, Mahen tersenyum sendiri jika mengingat bagaimana kelakuan Anna yang ia pantau lewat CCTV di ponselnya.
Satu jam akhirnya mobil sampai di rumah, Mahen memang jarang tinggal di rumah ini sebab Leon memintanya untuk tetap tinggal bersama sampai ia menikah. Leon dan Keenan tahu jika selain menjadi seorang psikiater, Mahen juga diam-diam membuat kelompok mafia di mana ia menjadi ketuanya.
Mahen sangat kaya melebihi kekayaan Leon dan Lea, hanya saja ia tetaplah keponakan yang manis untuk Leon. Ia mengelola beberapa cabang kafe dan restoran Leon di sela-sela kesibukannya sebagai psikiater dan juga penyeludup senjata ilegal bahkan ia beberapa kali merakit senjatanya sendiri yang bernilai fantastis.
"Di mana dia?" tanya Mahen saat ia sudah melangkah masuk ke dalam rumah.
"Nona di dalam kamarnya, Tuan. Sejak semalam Nona tidak mau keluar bahkan menolak untuk sarapan," jawab Theo, wanita paruh baya — asisten rumah tangga di rumah Mahen.
Mahen mengangguk, ia sudah tahu semua itu dan langkahnya begitu cepat menuju ke lantai dua. Sepertinya Anna memang keras kepala dan sengaja melakukan itu semua agar bisa keluar dari rumah ini.
Mahen mengetuk pintu kamar itu, tidak ada jawaban hingga membuat Mahen panik. Ia mendobrak pintu dan menemukan Anna sedang meringkuk di tempat tidur. Langkah Mahen semakin melebar dan mendekati Anna yang ternyata mengalami demam, Mahen meletakkan punggung tangannya di dahi Anna dan itu terasa panas.
"Jack …!"
Suara teriakan Mahen jelas terdengar oleh asisten pribadinya itu. Jack segera datang, ia tahu Mahen membutuhkan bantuannya.
"Panggil dokter, Anna sakit," titahnya.
Jack mengangguk, ia segera menelepon dokter kepercayaan Mahen lalu ia meninggalkan kamar itu membiarkan Mahen bersama Anna.
"Oh kamu sudah pulang? Tidak jadi mati? Kalau begitu biar aku saja yang mati agar bisa menyusul kedua orang tuaku," ucap Anna sarkas, meskipun sakit ia tetap bisa mengumpat Mahen.
"Namira ah maksudku Anna, aku sudah meminta maaf padamu, maafkan aku. Mari kita mulai semuanya dari awal, Kakak sudah lama mencarimu. Kamu hidup seperti apa selama ini sebelum bersama orang tua angkatmu? Apakah kamu mengalami amnesia? Atau kamu sengaja menghukum Kakak? Katakan Namira, Kakak sangat terluka dengan kebencianmu ini? Masih bencikah kamu pada Kakak seperti dulu?"
Anna yang semula merasa kesal pada Mahen perlahan melunak. Wajah penuh rasa bersalah Mahen dan caranya meminta maaf membuat Anna merasa tersentuh. Hanya saja, ia tidak mengenal pria ini. Apakah benar dulu mereka adalah kakak-beradik? Mengapa ia tidak mengingatnya?
"Beristirahatlah, sebentar lagi dokter akan datang untuk memeriksa keadaanmu. Jangan sungkan jika butuh sesuatu, kamu tahu Kakak sangat sayang dan cinta padamu. Bukankah dulu kamu ingin kita menikah? Secepatnya kita akan menikah jika kamu sudah tidak lagi membenciku," ucap Mahen kemudian ia mengusap puncak kepala Anna lalu keluar dari kamar itu menunggu dokter datang.
'Apa? Menikah? Ja-jadi hubungan kami bukan seperti kakak-beradik yang aku pikirkan? Apakah aku pernah jatuh cinta di usia kanak-kanak? Ini terdengar aneh tetapi tatapan matanya sangat meyakinkan. Siapa sebenarnya aku?' Anna membatin.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!