NovelToon NovelToon

Terjerat Pesona Ayah Tiri

Episode 01. Menikah Lagi

"Apa?! Bunda mau menikah lagi?! bunda gila ya, ayah baru aja meninggal Bun, belum ada 7 hari sampai ayah meninggal, tapi bisa-bisanya ya Bunda mau nikah lagi kayak gini?! pikiran Bunda itu sebenarnya di mana, hah?! Aku benar-benar nggak nyangka loh kalau Bunda bisa bertindak seperti ini." ucap marah seorang gadis yang diketahui bernama Jelita.

Di tengah kesedihan yang masih menyelimuti keluarga mereka, Jelita mendengar kabar yang mengagetkan dan membuatnya marah. Ibunya, yang baru saja kehilangan suaminya, ingin menikah lagi. Teriakan-teriakan dan makian-makian memenuhi ruangan kosong tempat mereka berdua berbicara, sehingga mereka lupa bahwa mereka adalah ibu dan anak yang seharusnya saling mendukung.

Jelita merasa kecewa dan tidak mengerti bagaimana ibunya bisa membuat keputusan yang begitu cepat. Apakah pikiran ibunya masih pada sang ayah yang baru saja meninggal? Jelita merasa ibunya telah mengkhianati ayahnya dan dirinya sendiri dengan keputusan ini.

"Jel! Berani ya kamu bentak Bunda kayak gitu! bunda ini Bunda kamu, orang yang udah ngelahirin kamu, bisa-bisanya ya kamu teriak-teriak sama Bunda kayak gitu! ini hidup Bunda terserah Bunda mau menikah lagi atau enggak, lagi pula ayahmu juga sudah meninggal jadi daripada bunda terus bersedih dan berkabung lebih baik Bunda menikah lagi seperti ini dan mencari laki-laki lain yang dapat menggantikan ayahmu untuk menemani hidup Bunda. Oh iya, beberapa hari lagi calon suami bunda akan datang kemari dan berkenalan denganmu. Kamu jangan pernah bersikap kasar sama dia karena sebentar lagi dia akan menjadi ayahmu ...,"

"Ini sudah lumayan sore lebih baik kamu segera mandi dan istirahat, Bunda akan melupakan semua kejadian hari ini. Tapi Bunda harap besokkannya Kamu tidak akan pernah mengatakan semua ini kepada Bunda ataupun calon suami Bunda. Bunda sayang sama kamu, tapi Bunda nggak bisa membiarkan kamu berkata-kata seperti itu. Sudahlah, Kamu pergi saja ke kamar kamu sana, bunda mau lanjut mengecek kerjaan bunda." semua kata-kata dari ibunda Jelita atau lebih dikenal dengan nama Widya cukup merasuk ke hati Jelita dan membuatnya semakin marah saat itu.

Dia memang setelah ibundanya selesai mengatakan semua itu dia langsung beranjak pergi ke kamarnya di lantai atas dan tanpa sekalipun ingin mengobrol dengan ibundanya lagi. Dia cukup marah, namun tetap saja Widya adalah ibunya.  Sejak dulu Jelita sangat begitu dekat dengan Widya dan sangat begitu manja kepadanya. Jika dibanding sama ayahnya atau sama Widya, Jelita jauh lebih dekat dengan Widya dan sering menghabiskan waktu bersamanya.

Bundanya itu adalah seorang pemilik butik cukup terkenal di daerah itu dan setiap harinya selalu sibuk. Memang setiap harinya sibuk, namun kesibukannya itu hanya lewat ponsel. Widya jarang terlihat keluar rumah kecuali ada keperluan yang mendesak.

Setiap hari, ibu Jelita selalu menghabiskan waktu di rumah, sibuk dengan ponselnya.

"Aaaaakkkhhhh ... Sialan! Bisa-bisanya sih Bunda mau nikah lagi kayak gitu, apa dia nggak mikir kalau ayah itu baru meninggal, apa dia itu nggak cinta sama ayah, tega teganya ya seorang bunda yang sejak dulu sangat begitu baik dan kelihatan sayang sama ayah bisa ngambil keputusan seperti ini." sampai di kamarnya, Jelita merasa begitu terpukul dan tak bisa menahan emosinya lagi. Dia berteriak sekuat tenaga dan bahkan mengacak-acak rambutnya dengan kasar sambil merebahkan dirinya di atas kasur empuknya.

Jelita masih merasa kesal dengan keputusan ibunya yang begitu cepat ingin menikah setelah ayahnya meninggal. Jarak waktu yang terlalu dekat membuat Jelita tak habis pikir dengan keputusan tersebut. Bagaimana ibunya bisa memutuskan hal itu begitu cepat? Jelita merasa tidak bisa menerima keputusan tersebut dan merasa ibunya tidak menghargai perasaannya dan perasaan ayahnya yang baru saja meninggal.

Semua rasa kesal dan marahnya itu terus dia simpan hingga waktu berjalan hampir beberapa hari lamanya. Di hari ini tepatnya dipukul setengah sebelas siang terlihat bundanya tengah mengobrol akrab dengan seorang laki-laki dewasa yang kebetulan cukup tampan di ruang tamu. Memang saat ini Jelita juga ada di ruang tamu itu dan tampak memperhatikan mereka dengan tatapan tajam dan penuh dengan kebencian.

Hatinya terasa hancur saat mengetahui bahwa ibunya sudah menemukan kekasih baru. Rasa kebencian yang tertahan selama ini akhirnya meledak dalam hati Jelita.

Dia sangat tidak menyukai pernikahan mereka dan juga laki-laki itu yang terlihat seperti ingin mengambil perhatiannya. Laki-laki itu memang tampan, dia juga tinggi dan badannya juga cukup bagus, namun Jelita yang sudah terlanjur membencinya tidak juga meliriknya sedikitpun. Jelita hanya menjawab seadanya dan tanpa senyum sedikitpun di bibirnya. Kebencian yang tertahan dalam hatinya semakin besar dan dia tidak bisa menerima kehadiran laki-laki tersebut dalam hidupnya.

Dia tergolong judes bahkan bisa dikatakan galak saat menjawab pertanyaan dan juga beberapa kata yang laki-laki itu lontarkan padanya mengenai sisi pribadinya yang Jelita sendiri sangat tidak nyaman dengan pertanyaan itu. Dia merasa tidak nyaman, namun bundanya yang seperti menekannya untuk selalu menjawab pertanyaan kekasihnya itu membuat Jelita menjawabnya dengan penuh keterpaksaan.

"Jadi, Kamu setuju kan jika kami menikah bulan depan?" Lagi-lagi pertanyaan itu yang terlontar. Jelita sudah cukup muak untuk menjawab semua pertanyaannya, namun karena desakan dari bundanya Jelita terpaksa meresponnya.

"Iya." hanya kata-kata itulah yang Jelita katakan sebelum akhirnya dia beranjak pergi dari sana.

Jelita melangkah keluar dari rumah dan menuju ke taman keluarganya di belakang rumah. Dia duduk termenung di sana, memikirkan semua kenangan manis yang dulu sempat dilaluinya bersama sang ayah sebelum dia meninggal. Jelita terlarut dalam pikirannya hingga tanpa sadar, air matanya mulai menetes.

Dia menangis dengan sedih, menyebut nama sang ayah berkali-kali, dan merindukan kehadirannya. Hatinya hancur saat menyadari bahwa dia tidak akan pernah bisa merasakan kehangatan pelukan sang ayah lagi. Kenangan yang menyayat hati ini membuat Jelita semakin merindukan sosok ayahnya yang begitu dicintainya.

"Ayah, kenapa ayah pergi ninggalin Jelita secepat ini, Yah? Jelita masih belum siap dengan kepergian ayah, Jelita sayang sama ayah. Jelita nggak pengen ayah pergi ninggalin Jelita dengan cara seperti ini. Ayah, Jelita mohon jemput Jelita sekarang juga. Jelita nggak kuat di sini yah. Bunda udah nggak sayang lagi sama Jelita dan juga ayah. Bunda udah melupakan kita, yah. Bunda akan menikah lagi satu bulan lagi. Ayah ... aku sangat merindukanmu, kumohon jemputlah aku untuk pergi bersamamu." tangisan pilu Jelita cukup mampu menghiasi kekosongan di taman itu. Dia menangis dan tangisannya tertuju pada sang ayah yang meninggal tujuh hari yang lalu karena kecelakaan tragis.

Hatinya terasa hancur dan kesepian setelah kehilangan sosok ayah yang sangat dicintainya. Jelita merasa sangat tidak berdaya dan tak mampu melakukan apapun selain menangis dan meratapinya. Dia merindukan pelukan hangat sang ayah dan berharap bisa kembali bersama dengannya. Namun, semua itu hanya tinggal harapan yang tak mungkin terwujud. Rindu yang tak tertahankan ini semakin membuat Jelita merasa kesepian dan terpuruk.

.......................................

Kini, satu bulan setelah kejadian itu, rumah Jelita dipenuhi keramaian dan dekorasi indah untuk menyambut pernikahan bundanya dengan seorang laki-laki yang menjadi kekasihnya. Awalnya, Jelita begitu bingung dengan bagaimana ibunya dapat menikah secepat itu. Namun, setelah Jelita mencari tahu, rahasia kelam di balik pernikahan itu terungkap.

Ternyata, sebelum ayahnya meninggal, bahkan jauh sebelum itu, ibunya sudah berselingkuh dengan laki-laki itu. Cerita pahit di balik pernikahan ini membuat Jelita terkejut dan merasa kecewa dengan ibunya yang telah menyembunyikan kehidupan rahasianya selama ini. Hatinya terasa hancur saat menyadari bahwa kebahagiaan yang diharapkannya untuk keluarganya hanyalah sebuah ilusi.

Bundanya sudah berselingkuh dan dengan teganya tertawa bahagia seperti itu di saat makam ayahnya saja masih basah oleh tanah.

"Mas, akhirnya kita menikah. Aku seneng banget mas, karena setelah sekian lama kita berhubungan akhirnya kita dapat menikah juga," tawa bundanya itu cukup mampu membuat Jelita sakit hati. Dia sama sekali tidak memberikan selamat kepada bundanya dan lebih memilih menghabiskan waktunya di sisi belakang tempat konsumsi.

"Iya sayang, akhirnya kita menikah juga ya aku seneng banget dan nggak sabar untuk menghabiskan malam pertamaku bersamamu. Oh iya sayang, dari tadi kita nggak lihat Jelita, dia ada di mana ya?" Bisa-bisanya laki-laki yang sekarang sudah berstatus sebagai ayah tiri Jelita itu mencari Jelita dan memalingkan wajahnya ke sana kemari untuk mencarinya.

Memang tampak perhatian sekali laki-laki itu terhadap Jelita yang sekarang sudah berstatus sebagai anak tirinya, namun Jelita yang masih begitu dendam dan marah dengan pernikahan mereka tak juga mau menampakkan batang hidungnya di depan mereka.

"Tau mas, dari tadi kok dia nggak muncul Ya, nggak ngucapin selamat juga, apa dia nggak datang ya ke acara nikahan kita? Tapi masa nggak datang sih? ini kan pernikahanku, masa dia dengan teganya nggak datang ke pernikahan bundanya sendiri." Widya hingga kini terus merasa resah dan kesal dengan Jelita yang hingga kini tak juga mau menampakkan batang hidungnya di hadapannya.

Jelita memang datang ke pernikahan mereka, namun tak mau mengucapkan selamat ataupun muncul di hadapan mereka. Dia cukup marah dan kemarahannya memuncak saat dia dengan sadar menyaksikan bundanya berciuman mesra dengan pria yang kini menjadi suaminya, dan itu disaksikan oleh banyak orang.

Ciuman itu bukan hanya sebagai tanda sahnya pernikahan mereka, tapi juga menjadi sorakan gembira bagi orang-orang di sekitar. Namun bagi Jelita, itu menjadi sebuah kebencian tersendiri. Ia menatap tajam ke arah mereka sebelum akhirnya memilih untuk pergi dari sana. Hatinya sedang tidak karuan dan ia sudah tidak kuat lagi berada di tempat itu. Semua itu menjadi sebuah kenangan yang pahit dan sulit untuk dilupakan.

..................................

Setelah beberapa saat Jelita meninggalkan tempat pernikahan ibunya, dari kejauhan terlihat ibunya datang dengan suaminya, berusaha mengejar Jelita yang tak henti-hentinya berjalan. Mereka berlari terburu-buru, dengan susah payah mencoba mendekati Jelita yang tampaknya tidak berniat berhenti, meskipun ibunya dan suaminya telah memanggilnya berkali-kali.

"Jelita, tunggu, nak. Kamu mau pergi ke mana sih? Bunda baru aja menikah loh ini, kamu juga nggak ada datang ke tempat Bunda. Sebenarnya kamu dari tadi ada di mana sih, Bunda dan ayahmu mencarimu dari tadi." di tengah ucapan itu, akhirnya Jelita berhenti dan dengan perlahan membalikkan tubuhnya. Tatapan tajam dari matanya terarah langsung kepada ibunya yang terkejut melihat Jelita menatapnya dengan intensitas yang belum pernah terjadi sebelumnya.

"Ayahku? Nggak Bun, dia bukan ayahku. Ayahku tetaplah Barata. Selamanya yang ada di hatiku dan berstatus sebagai ayahku tetaplah Ayah Barata. Mau Bunda sudah menikah atau belum aku nggak peduli. Aku sayang sama Bunda tapi aku nggak bisa nerima pernikahan kalian, maaf ya aku harus pergi. Terima kasih sudah mengundangku dan selamat menikah." setelah mengucapkan itu, Jelita tampak membalikan badannya dan pergi meninggalkan tempat itu dengan tergesa.

"Jelita, mau sampai kapan kamu bersikap seperti ini? Bunda mencintai Revan dan ingin menikahinya. Maafkan bunda ya karena sepertinya bunda harus egois kali ini." batin Widya sembari melingkarkan tangannya di pinggang suaminya yang ternyata bernama Revan dan melangkahkan kakinya kembali ke dalam ruang pernikahannya.

.....................................

Setelah pergi meninggalkan pernikahan ibunya dengan langkah berat, Jelita merasa tak sanggup lagi melihat ibunya menikah dengan seorang pria yang bahkan belum benar-benar ia kenal. Rasa kecewa dan sedih begitu memenuhi hatinya.

"Aku tak habis pikir, bagaimana bisa bunda begitu mudahnya melupakan ayah dan memutuskan untuk menikah lagi? Apa yang ada dalam pikirannya? Aku merasa seperti kecewa dan diabaikan. Kenapa ia tidak memikirkanku dan perasaanku?" ucap Jelita dalam hati.

Setelah berpikir sejenak tentang tujuan yang akan ia tuju, Jelita tanpa ragu-ragu segera bergegas pergi ke sebuah cafe di dekat sana. Ia memesan secangkir kopi dan duduk di sudut ruangan, merenung dengan wajah yang penuh kesedihan. Pikirannya melayang pada pernikahan ibunya dengan seorang pria asing, dan ia tidak dapat menahan rasa sedih yang melanda hatinya.

Jelita merenungkan kenangan indah tentang ayahnya, Barata, yang telah pergi meninggalkannya dan ibunya. Ia merasa kesepian dan terasing. Ia tak tahu harus berbuat apa selanjutnya.

Ia menyesap kopi yang masih panas, mencoba menenangkan dirinya. Namun, perasaan sedihnya tak kunjung hilang. Ia merasa seperti kehilangan segalanya. Ia tak ingin mengabaikan kenangan indah tentang ayahnya, tapi ia juga tak bisa melihat bundanya menikah lagi.

Jelita memejamkan mata, mencoba mengatasi rasa sedih yang memenuhi hatinya. Ia tahu bahwa ia harus menerima kenyataan, tetapi ia merasa terjebak dalam keputusan yang tidak ia inginkan. Ia hanya bisa duduk di sana, terdiam dan merenung, sambil memikirkan pernikahan bundanya dengan pria asing yang tak disukainya.

Dalam keheningan yang mengelilinginya, Jelita merenung tentang masa lalunya yang indah bersama ayahnya yang telah meninggal. Ia merasa kesepian dan kehilangan. Namun, di tengah kegelapan hatinya, ia mulai menyadari bahwa ia harus mencari cara untuk melanjutkan hidupnya dan menemukan kebahagiaan yang sejati.

Jelita membuka matanya, mengambil napas dalam-dalam, dan memutuskan untuk menghadapi kenyataan dengan kepala tegak. Ia merasa kuat dan siap untuk menemukan jalan hidupnya yang baru.

"Aku tahu tidak mudah untuk melupakan masa lalu, tapi aku harus belajar untuk melepaskan dan memulai hidup yang baru. Aku harus berani mengambil risiko dan mengejar impianku sendiri." ucap Jelita dalam hati.

Bersambung ...

Episode 02. Kehilangan yang Membawa Dendam

Setelah dua hari sebelumnya Widya dan kekasihnya mengikat janji suci pernikahan, kini mereka berdua tengah berada dalam kebahagiaan yang meluap-luap di ruang tamu indah rumah Widya. Dalam suasana yang penuh cinta, mereka saling berpelukan dan berciuman dengan penuh gairah, tanpa memedulikan waktu dan tempat di mana mereka berada.

Namun, ketika momen mesra itu mencapai puncaknya, tiba-tiba Jelita muncul dari balik pintu dan melangkah keluar. Dengan langkah anggunnya, Jelita seolah hendak pergi ke suatu tempat yang hanya diketahuinya. Namun, tak berselang lama, suara panggilan tegas dari bundanya, Widya, memecah keheningan dan menghentikan langkah Jelita dengan paksa.

"Jel, tunggu. Kamu mau keluar ya? Bunda nitip dong beli sesuatu di Alfamart," permintaan bundanya itu cukup membuat Jelita menghela napas.

Ia ingin segera pergi dari rumah saat itu dan pergi ke tempat yang ingin ditujunya, namun karena sejak dulu ia tak pernah menolak permintaan bundanya membuatnya dengan terpaksa menghentikan langkahnya dan menerima semua permintaannya.

"Apa?" tanya Jelita malas.

Lalu sembari bangkit dari duduknya, Widya menjawab. "Ehm, beliin susu yang biasanya Bunda minum dong dan juga sama roti selai kacang yang biasanya Bunda makan waktu sarapan. Tadi waktu Bunda ngecek di dapur udah pada habis, jadi kamu beliin ya sekalian,"

Setelah ucapan itu terlontar dari bibirnya, tampak Widya melangkah dengan mantap menuju Jelita. Dalam genggaman tangannya, ia memegang sebuah kartu yang berkilauan. Kartu tersebut adalah golden card, simbol dari hasil kerja kerasnya selama ini.

"Hmm," setelah kata-kata itu terlontar dari bibirnya, Jelita segera membalikkan badannya dan beranjak keluar dari rumah. Ia ingin pergi ke tempat favoritnya untuk menenangkan diri sekalian melepaskan segala perasaan dan unek-unek yang menghimpitnya beberapa hari ini.

Selama beberapa hari setelah bundanya menikah dengan Revan tampak bundanya itu berubah seratus delapan puluh derajat dari sebelumnya. Jika sebelumnya bundanya itu tampak sangat rajin, ramah dan seperti layaknya ibu-ibu pada umumnya, kini Widya tampak berbeda. Bundanya itu tampak lebih manja kepada Revan dan jarang sekali mengerjakan pekerjaan rumah yang biasa dia lakukan.

Bundanya seringkali menyuruh Jelita untuk melakukan pekerjaannya ataupun bahkan pernah beberapa kali menyuruh Jelita untuk mencarikannya seorang art. Sebenarnya Jelita mau mau saja melakukannya ataupun mencarikan bundanya seorang art namun karena Jelita masih tak habis pikir dengan bundanya yang tiba-tiba berubah seperti itu membuatnya lebih memilih pergi daripada mengerjakan semua pekerjaan yang biasa bundanya lakukan.

Saat Widya menyuruh Jelita untuk mengerjakan pekerjaannya Jelita hanya tutup kuping dan beranjak pergi dari sana. Ia bukannya tidak mau tapi ia masih juga merasa marah dan kecewa dengan bundanya, semenjak bundanya diketahui berselingkuh dengan Revan bahkan jauh sebelum ayahnya meninggal.

Semua perasaan kecewa itu sudah menggerogoti pikiran serta hati Jelita hingga membuatnya ingin mengakhiri hidupnya daripada melanjutkan hidupnya seperti ini. Pikiran kecewa sudah menguasai dirinya hingga ia lebih memilih untuk mengacuhkan bundanya serta ayah tirinya daripada melupakan semua masalah yang terjadi dan menerima mereka kembali.

.................................................

Tap ...

Tap ...

Tap ...

Langkah-langkah Jelita membawanya ke sebuah taman yang sunyi dan sepi di pinggiran kota Jakarta. Ia memilih duduk di salah satu kursi yang tersedia, dan dalam keheningan taman itu, ia terdiam, membiarkan pikirannya melayang jauh ke masa lalu.

Kenangan-kenangan indah dan momen manis dengan ayahnya terasa begitu hidup dalam pikirannya. Jelita membiarkan dirinya terhanyut dalam aliran kenangan yang mengalir begitu deras. Air mata tak terkendali mengalir di pipinya tanpa sadar, mengungkapkan kerinduannya yang mendalam terhadap sosok ayah yang sangat ia cintai.

Ayahnya, sosok yang selalu baik dan penuh kasih, telah meninggalkan dunia ini. Kehilangan sosok yang selalu mengusiknya setiap pagi dan dengan senang hati memasak untuknya saat ia berangkat sekolah, meninggalkan kekosongan yang tak tergantikan dalam hidup Jelita.

Rindu akan ayahnya begitu kuat, sampai-sampai Jelita tergoda oleh pikiran gelap untuk mengakhiri hidupnya dan menyusul sang ayah. Ide gila itu telah melintas dalam pikirannya berkali-kali, tergoda oleh keinginan untuk mengakhiri kesedihannya dan bersatu kembali dengan sosok yang sangat ia rindukan.

"Andai saja ayah belum meninggal, pasti hidupku tidak akan seperti ini. Aku pasti akan jauh lebih ceria dan akan ada orang yang akan selalu menggangguku setiap pagi. Ayah, aku sangat merindukanmu, kapan kita bisa bertemu lagi?" ucapan sedih Jelita mampu mewarnai seisi taman itu yang keadaannya juga sama sepertinya. Sepi, kosong, tak ada siapapun di tempat itu kecuali Jelita seorang diri.

Hanya dirinyalah orang yang datang ke tempat itu. Ia duduk sendirian, dikelilingi oleh keheningan yang menyayat hati. Air mata tak terbendung mengalir dari matanya, menciptakan jejak-jejak kesedihan di pipinya. Ia menangis, meratapi kepergian yang begitu mendalam, kepergian sang ayah yang hingga kini masih sulit baginya untuk diterima.

"Ini semua karena Bunda, Jika saja waktu itu Bunda tidak menyuruh ayah keluar untuk membelikannya mie ayam pasti ayah tidak akan meninggal, pasti ayah masih ada bersama kita dan keadaannya tidak akan seperti ini." ucapan pilu bercampur marah Jelita cukup terlihat di wajahnya.

Awalnya dia tidak akan menyalahkan bundanya atas kematian sang ayah namun setelah dipikir-pikir memang benar juga jika bundanya lah yang telah membuat ayahnya tiada. Jika saja waktu itu Widya tidak menyuruh Barata untuk pergi membelikannya mie ayam dikondisi yang tengah hujan lebat dan disertai petir mungkin Barata masih ada bersama mereka dan dia tak akan meninggal. Mungkin saja semua ini tidak akan terjadi, namun takdir tetaplah takdir, semua yang sudah berjalan dan terjadi tidak akan bisa terulang kembali ataupun diubah sebagaimana keinginan kita.

"Sebenarnya aku ingin pergi dari rumah itu ke suatu tempat yang jauh dan mereka takkan bisa menemukanku, namun karena aku masih sekolah dan aku juga tidak memiliki pekerjaan, maka aku terpaksa untuk tinggal dan menetap di rumah itu. Aku terpaksa tetap berdiam diri di sana tanpa sedikitpun ingin pergi. Namun aku diam bukan berarti aku lemah, aku akan melakukan sesuatu pada Bunda dan juga suaminya agar mereka sadar jika pernikahan mereka ini tidak bisa dibenarkan. Aku ingin menyadarkan mereka jika pernikahan mereka ini tidak seharusnya terjadi. Tapi bagaimana caranya aku untuk melakukan semua itu? sekarang saja aku begitu malas untuk dekat dengan mereka...,"

"Ehm, jika aku mencoba untuk mendekati ayah tiriku bagaimana? Ya ini sih hanya untuk sekedar membalas semua yang Bunda lakukan pada ayah. Aku ingin membuat Bunda cemburu dan pada akhirnya marah padaku. Namun, aku begitu benci pada pria itu, bagaimana bisa aku untuk akan menggodanya? Tapi saat ini aku tak memiliki cara lain selain itu. Haduh aku memang harus benar-benar mengambil cara itu. Baiklah. Sepertinya aku memang harus mengambil cara itu. Aku akan mencoba untuk mendekatinya dan membuatnya suka kepadaku. Aku akan membuatnya tergila-gila padaku sampai akhirnya memilih untuk meninggalkan Bunda dan memilihku ...,"

"Aku akan membuat Bunda cemburu dan hancur dengan apa yang pria itu lakukan kepadaku. Tapi bisakah aku melakukannya? Sekarang saja aku sangat begitu benci sama dia? huufftt ... Baiklah, sepertinya aku memang harus memikirkannya terlebih dahulu sebelum akhirnya mengambil tindakan. Semua ini tidak bisa hanya diambil dari satu pemikiran saja. Perlu beberapa kali pemikiran sampai akhirnya bisa mengambil suatu keputusan." entah dari mana Jelita mendapatkan sebuah ide gila seperti itu.

Ide gila untuk membalaskan dendam pada bundanya lewat suami barunya. Sebenarnya Jelita masih sangat begitu ragu dengan ide itu, namun karena tak ada ide lain yang terlintas di pikirannya, ia pun memilih untuk memikirkan ide itu sebelum akhirnya mengambil keputusan untuk akan memakainya atau tidak.

Sungguh, Pikiran Jelita terasa terjebak dalam kebuntuan yang menggelisahkan. Ia merasa bingung dan tak tahu harus berbuat apa untuk membalaskan dendamnya pada bundanya. Ragam pikiran dan pertimbangan memenuhi benaknya, membuatnya semakin terjebak dalam kegalauan yang tak kunjung usai.

Dalam pertarungan pikiran yang kacau, Jelita merasa khawatir bahwa cara yang ia pertimbangkan mungkin tidak akan berhasil. Ia takut bahwa rencana balas dendamnya hanya akan menghasilkan kegagalan, atau bahkan lebih buruk lagi, ia akan jatuh cinta pada pria yang seharusnya ia benci.

Namun, ketika Jelita memikirkan pria yang menjadi target dendamnya, ia merasa ada sesuatu yang berbeda. Pria itu terkadang menatapnya dengan tatapan yang genit, seakan ada ketertarikan di antara mereka. Namun, Jelita hanya bisa berspekulasi. Jika pria itu benar-benar tertarik padanya, mengapa ia malah terlibat dengan bundanya? Mengapa ia tidak mendekati Jelita?

Dendam yang membara dalam dirinya telah membuat Jelita kehilangan akal sehat. Ia merasa terjebak dalam lingkaran kegelisahan dan stres yang tak kunjung usai. Ambisi gila untuk membalaskan dendamnya semakin menguasai pikirannya, mengaburkan rasionalitas dan membuatnya semakin terperangkap dalam kegelapan.

Bersambung ...

Episode 03. Pesona Jelita yang Menggoda; Pasti akan Takluk Padaku

Lagi-lagi hal itu yang Jelita saksikan. Sewaktu ia pulang ke rumah dan baru saja membuka pintu, tepat di sofa tampak bundanya yakni Widya sedang terlibat dalam keintiman yang begitu intim dengan suami barunya. Mereka begitu terlena dalam kehangatan cinta mereka sehingga melupakan posisi mereka yang sebenarnya masih berada di ruang tamu.

Lalu, dengan langkah yang malas, Jelita memasuki rumah yang seolah penuh dengan keheningan. Tanpa ragu sedikitpun, ia menuju tempat kedua orang tuanya dan meletakkan belanjaannya dengan tegas di atas meja di depan mereka. Saat barang-barang itu menyentuh permukaan kayu, ekspresi terkejut langsung terukir di wajah kedua orang tuanya. Mereka terkejut melihat kedatangan Jelita yang begitu tiba-tiba dan kehadirannya yang mendadak.

Sontak, Widya yang menyadari kehadiran Jelita, segera meminta suaminya pergi dan merapikan pakaian mereka yang berantakan. Dengan enggan, Revan segera meninggalkan ruangan dan berlalu ke arah dapur. Sementara itu, Widya, sang ibu, tampak berjalan mendekati Jelita dengan rasa malu yang tak terhingga. Setiap langkahnya terasa berat, seolah membawa beban kesalahan yang tak termaafkan.

Dalam keheningan yang mencekam, Widya akhirnya berdiri di depan Jelita. Wajahnya dipenuhi dengan perasaan campuran antara rasa malu dan penyesalan. Dalam suara yang lembut, ia bertanya, "Kamu sudah lama di sini, Jel? Barang-barang yang bunda minta, sudah kamu beliin, kan?"

Suasana yang kaku dan tegang mulai melunak saat Widya mencoba memecah kebekuan dengan pertanyaannya. Namun, di balik rasa malu dan penyesalan yang terpancar dari matanya, terlihat juga harapan akan pemulihan hubungan antara ibu dan anak yang tampak terputus.

Disini Widya merasa tidak enak pada Jelita. Jelita yang mengetahui apa yang dilakukannya bersama Revan sangat membuatnya malu. Sebelumnya dirinya tidak berpikir jika posisi mereka di sini akan sangat membahayakan jika mereka melakukan itu disini. Namun, mereka yang sudah terbawa nafsu tak juga memikirkan itu hingga akhirnya memutuskan untuk melakukan itu disini. Sudah cukup lama mereka melakukannya hingga akhirnya Jelita datang dan mengejutkan mereka.

Namun, di balik kelegaan yang mulai menyelimuti mereka, Widya merasakan rasa ketidaknyamanan yang mendalam terhadap Jelita. Jelita, yang mengetahui apa yang dia lakukan bersama Revan, merasa malu dan terhina. Tidak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa posisi mereka di ruang tamu itu bisa menjadi sangat berbahaya jika mereka memutuskan untuk melakukan hal itu di sana. Namun, nafsu yang membutakan akal sehat mereka, mereka terus melanjutkan tanpa memikirkan konsekuensinya. Mereka terjerat dalam keintiman yang melampaui batas, hingga tiba-tiba Jelita muncul dan menghentikan momen mereka dengan kejutan yang tak terduga.

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Jelita hanya mengeluarkan suara berdehem yang penuh dengan kekecewaan. Dengan langkah mantap, ia meninggalkan ruangan itu dan mulai mendaki tangga menuju kamarnya. Hanya di sana, di ruangan yang menjadi tempat perlindungan dan pemahaman akan kondisinya, Jelita merasa sedikit nyaman. Di dalam keheningan yang menyelimuti langkahnya, ia memikirkan bagaimana hubungan yang telah tergores ini bisa diperbaiki, dan apakah akan ada kesempatan untuk memulihkannya.

Namun, di balik ketenangan yang terasa semu, suasana di rumah mulai berubah. Seakan ada kekuatan yang tak terlihat, mengubah atmosfer menjadi tegang dan misterius. Ketika Jelita memasuki kamarnya, ia merasakan adanya kehadiran yang seharusnya tidak ada di sana. Hati Jelita berdegup kencang, seolah-olah memahami bahwa ada sesuatu yang tidak beres.

Perasaan sedih mulai memenuhi pikiran Jelita, seiring dengan kehadiran yang menciptakan kegelisahan dalam dirinya. Dia merenung, membiarkan kenangan-kenangan indah bersama sang ayah kembali hidup dalam ruangan itu. Setiap sudut, setiap benda, dan setiap hembusan angin tampaknya menyimpan cerita yang belum terungkap.

Dalam kegelapan yang memenuhi kamarnya, Jelita merasa seakan-akan sang ayah masih ada di sana, hadir dalam bentuk energi yang tak terlihat. Suara langkah kaki yang samar terdengar di lantai, dan bayangan-bayangan yang bergerak di sudut-sudut ruangan membuat bulu kuduknya merinding. Dia terhanyut dalam perasaan campuran antara rindu, kehilangan, dan ketakutan.

.........................................

Lalu keesokan harinya, setelah Jelita memergoki bundanya dan Revan sedang bermain di ruang tamu, kini dirinya tampak santai duduk di sofa ruang tamu, sibuk memainkan ponselnya. Meskipun seharusnya hari ini adalah hari Selasa, hari sekolah baginya, namun perasaan perut yang melilit membuatnya memutuskan untuk tidak masuk sekolah dan mengambil izin. Selain itu, Jelita juga merasa malas untuk pergi ke sekolah semenjak semua teman-temannya mengkhianatinya dan menjauhinya.

Sejak kepergian ayahnya, sikap dan sifat Jelita berubah drastis. Meskipun sebelumnya ia adalah seorang anak yang ceria, kini keceriaannya telah pudar. Ia menjadi seorang gadis yang dingin dan tanpa perasaan, yang hanya memiliki satu tujuan dalam pikirannya: membalas dendam pada bundanya atas kesalahan yang telah dilakukannya.

Dendam yang membara di dalam dirinya begitu kuat, membuat Jelita tak sabar untuk menghancurkan bundanya dan membuatnya merasakan penderitaan yang sama yang pernah ia rasakan. Bagi Jelita, kesalahan yang dilakukan oleh Widya begitu fatal dan hanya kehancuran yang dapat menjadi balasannya.

Namun, saat Jelita sedang asyik membuka Facebook, tiba-tiba saja rencananya untuk membalas dendam pada bundanya melalui Revan terlintas di pikirannya. Rencana itu begitu menggema di dalam benaknya, meskipun ia merasa bingung apakah benar-benar akan melaksanakannya atau tidak. Ia terjebak dalam pertanyaan moral yang membelenggu hatinya, namun keinginan untuk memperoleh keadilan tetap menghantui pikirannya.

"Kalau gue goda tuh orang, rasanya dia bakal tergoda gak ya? atau lebih buruknya justru gue yang tergoda sama dia. Ih, nggak-nggak. Nggak bisa, pokoknya gue harus bisa buat dia terjerat sama pesona gue. Gue harus bisa buat dia jatuh cinta sama gue. Ehm, tapi gue harus apa sekarang? dia lagi dimana, apa lagi di dapur sama bunda? dasar, udah tua kelakuannya masih kayak bocah aja." batin Jelita sembari dengan tegas mematikan ponselnya dan beranjak bangkit dari ranjangnya.

Dengan langkah yang perlahan namun pasti, ia langsung melangkah menuju dapur. Setiap langkahnya terasa seperti langkah menuju keputusan yang tak terelakkan. Akhirnya, setelah perjalanan yang penuh dengan keraguan, ia tiba di dapur.

Namun, begitu Jelita memasuki dapur, semua dugaannya tentang mereka terbukti benar. Mereka masih terlibat dalam momen kebersamaan yang intim di sana. Widya dengan penuh konsentrasi memotong sayuran, sementara Revan memeluknya dari belakang dengan penuh kasih sayang. Pemandangan itu membuat Jelita merasa geram. Rasa ingin marah dan meninggalkan rumah ini hampir menguasainya, tetapi ia tetap tenang karena ingat akan rencananya. Dalam diam, Jelita mendekati mereka dan dengan tiba-tiba menepuk punggung Revan dari belakang. Sentuhan itu penuh dengan godaan, mengirimkan pesan yang jelas kepada mereka.

"Eh, Jelita. Kamu disini?" sontak Revan terkejut dan melepaskan pelukannya pada Widya, menjauhkan tubuhnya dari wanita itu.

Tampak jelas mereka terkejut dengan kedatangan Jelita dan keberadaannya yang tiba-tiba. Tidak sedikitpun mereka mendengar langkah kakinya, namun tiba-tiba ia sudah ada di sana. Ada di belakang mereka dengan senyum yang menggoda namun aneh.

Dalam tatapan matanya yang penuh misteri, Jelita menatap Revan dengan senyum yang tak pernah ia tunjukkan sebelumnya. Ia yang biasanya terkesan cuek dan dingin terhadap Revan, kini tampak menatapnya dengan sorot mata yang penuh keceriaan. Senyumnya terpancar dengan pesona yang tak terduga, menciptakan aura yang menarik dan memikat.

"Iya, Yah. Baru aja. Rencananya sih mau minum, haus. Tapi berhubung kalian mesra-mesraan disini ya rasa harus ku jadi hilang. Kalian kenapa sih mesra-mesraan mulu? di sini lagi. Mentang-mentang pengantin baru mesra-mesraan mulu. Kalau mau mesra-mesraan ya di kamar aja lah atau di tempat lain yang sekiranya nggak ada seorangpun yang tahu. Aku yang setiap kali lihat kalian mesra-mesraan rasanya jadi pengen tahu. Mana aku baru aja diputusin pacarku lagi. Sedih." di sini, Jelita berusaha untuk menunjukkan sisi ceria dan rendah hati. Ia yang biasanya terlihat cuek dan jarang berbicara panjang dengan Revan, kini berubah menjadi sosok yang ramah dan penuh percakapan. Senyumnya pun tak henti menghiasi wajahnya.

Namun, saat Widya menatap mata Jelita yang tampak menggoda Revan, matanya mulai memicing dan ia mencoba mencari tahu maksud dari semua ucapannya. Ada perasaan aneh yang dirasakan oleh Widya dari Jelita, namun ia tidak tahu apa itu. Seperti Jelita merencanakan sesuatu, namun Widya tidak mengetahui rencana apa itu dan kepada siapa rencana itu ditujukan.

Lalu, Revan yang menyadari keakraban yang mulai terjalin antara Jelita dan dirinya, terpesona oleh keindahan senyuman Jelita. Tanpa sadar, senyuman Jelita membuat Revan tersenyum pula. Ia membalikkan pandangannya ke arah Jelita dan dengan lembut menepuk pundaknya beberapa saat.

"Iya deh, nggak lagi-lagi ayah buat mesra-mesraan di tempat umum seperti ini. Sebenarnya tadi ayah ke dapur itu cuma pengen minum tapi berhubung lihat bundamu sedang masak dan ayah itu tergoda sama bundamu ya iseng aja ayah buat meluk dia dari belakang. Kamu tahu kan kalau pengantin baru itu gimana. Pasti di awal pernikahan akan seperti ini, romantis romantisan mulu. Ngomong-ngomong kamu punya pacar ternyata, terus putusnya kenapa?" tanya Revan.

Lalu, Jelita yang mulai menjalankan rencananya dengan mantap meraih tangan Revan dan memegangnya dengan lembut. Jemari lentik Jelita menyentuh hati Revan, membuatnya terkejut dan segera menatap ke arah tangan Jelita yang memegang tangannya.

Di sinilah Revan merasa tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi. Terlebih lagi, Widya, wanita yang menjadi istri Revan, merasakan perasaan cemburu yang tak terbendung saat melihat Jelita tiba-tiba memegang tangan suaminya dan tersenyum ke arahnya. Senyuman yang Widya amati terasa seperti senyuman yang menggoda, seolah-olah Jelita dengan sengaja ingin memikat Revan.

Dalam momen ini, kebingungan dan ketegangan terasa di udara. Jelita, dengan senyumannya yang menggoda, menciptakan gejolak emosi di antara mereka. Perasaan yang rumit dan tak terungkapkan mulai melingkupi setiap individu yang terlibat dalam situasi ini. Keajaiban dan kegelisahan tercampur aduk dalam hati mereka, menciptakan ketegangan yang tak terelakkan.

"Kalau gue nggak pengen balas dendam sama bunda, nggak akan sudi gue buat megang tangan nih orang kayak gini. Sok asik sama dia dan natap dia sampe segininya. Males gue, jijik. Tapi dengan apa yang gue lakuin barusan, gue bisa lihat bunda ada cemburu melihatnya. Hahaha ... bagus. Perlahan-lahan rencana gue pasti akan berhasil. Dan di saat itu bunda pasti akan menangis darah dengan apa yang gue lakuin. Mungkin ini adalah suatu kesalahan dan dosa. Nggak seharusnya gue ngelakuin ini pada orang yang udah ngelahirin gue dan ngebesarin gue. Tapi kesalahan bunda sama ayah udah begitu besar, gue nggak bisa maafin semua itu. Jadi maafin aku Bun, mungkin aku akan jadi anak berdosa kali ini." batin Jelita sembari menatap ke arah Widya dengan tatapan sedikit tajam dan menusuk.

Tatapan itu ia lontarkan kepada bundanya selama beberapa saat sebelum akhirnya ia tersadar dengan apa yang ia lakukan sekarang dan menggantikan tatapannya itu dengan senyuman.

"Kenapa rasanya aneh banget nih anak. Nggak biasanya dia kayak gini. Apalagi megang-megang tangan Revan. Kok rasanya aku cemburu ya, nggak rela rasanya melihat Revan di sentuh-sentuh cewe lain, meskipun itu Jelita. Dia kayak gini nggak lagi ngrencanain sesuatu kan?" pikir Widya sembari tatapannya terus terarah pada Jelita yang semakin membingungkan. Wajah Jelita yang semakin mempesona membuat Widya terperangah, sementara tatapannya yang aneh begitu menggoda dan menarik perhatian. Meskipun begitu, pandangan Jelita tetap tertuju pada Revan, suami Widya yang entah kenapa juga tampak tersenyum ke arah Jelita. Meskipun Jelita adalah anaknya, Widya merasakan kecemburuan yang tak terelakkan.

"Ehm, ya ada lah yah. Dikiranya aku jelek apa sampe gak laku. Ehm, kita putus karena emang udah gak sejalan aja. Dia juga beberapa hari lalu ketauan selingkuh sama temenku sendiri. Tapi gapapa lah, dia pergi aku masih ada yang baru," balas Jelita mencoba cemberut dan mulai menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

"Dan yang baru itu kamu, Yah. Akan kubuat kamu jatuh cinta sama aku. Sejauh aku berkaca diri, aku menyadari bahwa aku adalah seorang wanita yang memiliki kecantikan alami, tubuh yang sehat dan tentunya menarik. Dengan segala kelebihanku ini, aku yakin pria ini tidak akan bisa menahan pesonaku. Dia pasti akan tergoda dan akhirnya jatuh ke dalam dekapanku,"  lanjutnya di dalam hati.

Bersambung ...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!