NovelToon NovelToon

Skandal Cinta

Patah Hati

"Maafkan Aku Nia, aku mau kita putus!"

Seketika senyum indah Rania pudar, dia menoleh, menatap pria yang ada di sampingnya dengan mata yang melebar sempurna.

Ucapan pria itu bagai petir yang menggelegar di telinga Rania. Menusuk jantung dan mengoyak hati, membuat tubuhnya diam terpaku. Seakan tak percaya dengan kesakitan yang hatinya rasakan malam ini.

Taman yang tampak sangat indah, semilir angin menerpa menghembuskan rambutnya, langit gelap yang begitu cerah membuat langit bertabur gradasi bintang. Seharusnya taman ini menjadi tempat romantis untuk pasangan muda-mudi merajut kasih.

Termasuk dirinya. Namun, Rania justru harus merasakan sesak di dadanya. Gadis itu menjatuhkan pandangan matanya pada ujung sepatu Cinderella bukan kaca yang dia kenakan.

Perihnya hati seperti teriris dengan belati kemudian disiram dengan perasan jeruk nipis, membuatnya seakan ingin mati.

Pasokan udara di sekitarnya seketika langka dan sulit untuk masuk ke dalam paru-parunya. Cahaya redup dari lampu yang berpijar pun justru  terasa menyilaukan matanya yang berkaca-kaca.

"Apa kesalahanku? Kenapa kamu memutuskanku?" tanya Rania bingung. Memberi kesempatan untuk kekasihnya mengemukakan alasan yang masuk akal untuknya.

Tadi ... beberapa detik yang lalu mereka masih biasa saja. Masih berbincang dan bergurau manja. Namun tiba-tiba ucapan yang dilontarkan Bara bagai hujan yang datang tanpa aba-aba.

Kekasih hatinya mengucap kata yang menjadi momok menakutkan dalam sebuah hubungan.

"Kamu pasti sedang bercanda, kan, Mas? Oh ... aku tahu. Kamu pasti mau ngasih kejutan sama aku kan?" lirih Rania lagi mencoba untuk tersenyum.

Untuk menenangkan kemelut di hatinya, Rania menganggap apa yang dilakukan kekasihnya saat ini adalah sebuah lelucon. Berharap semua ini hanyalah kejutan yang sering dilakukan pria itu padanya, walau hati kecilnya mengatakan yang berbeda.

"Mungkin dia mau mencari sensasi baru. Biar tampak menyakinkan saat memberikan hadiah padaku. Jika cara lama, sangat mudah ditebak olehku," pikir Rania naif.

Menarik napas untuk menenangkan detak jantung yang melaju kencang. Otaknya terus saja berpikiran positif.

Bara menghela napas berat. "Aku tidak sedang bercanda Rania. Aku mau kita putus. Mulai hari ini jangan hubungi aku lagi!" ujar Bara mengulang kalimat itu lagi.

"Apa kesalahanku? Jawab aku, Mas?" desak Rania menuntut.

Pandangan Bara menghindar saat Rania menatap dalam bola matanya. Rania terus mendesak dan meminta alasan yang jelas. Apa yang membuat lelaki itu memutuskan dirinya secara sepihak seperti ini?

Bola mata lelaki itu tampak bergerak liar, mencari alasan yang pas agar Rania puas dan tidak terlalu menyakitinya, atau justru agar tidak ketahuan seberapa brengsek dirinya

"Aku merasa kita tidak cocok satu sama lain.  Aku harap kamu mengerti keputusanku ini!"

Rania terkekeh geli mendengar ucapan pria yang sebentar lagi akan menyandang status mantan tersebut.

"Setelah tiga tahun kita pacaran, kamu baru mengatakan kita tidak cocok satu sama lain saat ini?! Apa tidak ada alasan yang lebih logis lagi!" balas Rania tak percaya.

Rania memicingkan matanya menelisik tujuan yang tersembunyi dari balik netra lelaki itu. Alasan lelaki itu terdengar mengada-ada.

Gadis cantik bersurai panjang itu menatap wajah Bara lekat-lekat. Mencari kebenaran dan keseriusan di raut wajahnya. Rania terdiam, tubuhnya pun semakin terasa lemas.

Tak ada air mata, tak ada rengek ataupun rintihan pilu yang memohon. Mengharap belas kasihan agar cinta yang dia miliki tidak dicampakkan.

Rania merasa hubungannya dengan kekasihnya selama ini baik-baik saja. Bahkan beberapa hari yang lalu mereka berdua masih berjalan berdua dengan mesra. Tapi kenapa tiba-tiba pria itu bertingkah seperti ini?

Rania Ivory Malvinia gadis cantik berumur 23 tahun. Mahasiswi semester akhir fakultas Tehnik ini sangat dewasa. Bahkan lebih dewasa dari pada umurnya.

Dia tahu kapan harus bermanja dan kapan harus bersikap serius serta kapan harus bersikap tenang, walau saat ini sebenarnya ia ingin sekali mengeluarkan taring dan cakarnya yang tajam. Mencakar dan mencabik hati lelaki yang ada di hadapannya saat ini. Agar pria itu tahu, seberapa sakit hatinya.

"Siapa dia? Apa dia lebih cantik dariku? Apa kelebihannya sehingga bisa membuatmu berpaling dariku?" tuding Rania menunjukkan keangkuhan dirinya.

Dia hanya berusaha menutupi kerapuhan hati yang hancur berderai saat ini. Tatapan matanya yang tajam tak lepas dari wajah Bara.

Bara tersentak. Dia tak menyangka Rania dapat menebak dengan tepat. Namun secepat membalikkan telapak tangan, pria itu mengontrol raut wajahnya.

"Wanita itu mengandung anakku, Nia," jawab Bara lirih tapi masih bisa di dengar Rania walau pelan.

"Apa?!" teriak Rania tercekat. Dia kaget, namun tubuhnya terpaku.

Rania menangkap rasa bersalah di wajah Bara. Cukup membuat Rania yakin apa yang dikatakan Bara bukanlah main-main seperti yang dia harapkan.

Rania mengigit bibir bawahnya, menahan agar matanya yang berkaca-kaca tidak banjir bagai air sungai yang mengalir deras.

"Kami akan menikah secepatnya," ujar Bara lagi. Tanpa memperdulikan keterkejutan gadis cantik bertubuh sedikit padat berisi tersebut.

Bagaimana perasaannya saat ini? Terluka kah, dia?

Wajah putih Rania kini memerah menahan amarah. Kedua tangannya terkepal erat.

"Berarti selama ini kamu mengkhianatiku, Mas? Kamu selingkuh di belakangku, jawab aku!" sentak Rania emosi.

Kemarahan itu terluapkan. Bohong jika Rania masih tetap bisa tenang saat kenyataan di depan mata menghempas kesadarannya.

Tiga tahun menjalin asmara. Namun kesetiannya dibayar dengan sebuah pengkhianatan. Hubungan mereka berakhir begitu saja dan dirinyalah yang menjadi pihak yang terbuang. Rania terkekeh menertawakan dirinya sendiri.

"Aku khilaf Nia. Aku juga nggak tahu akan jadi begini. Aku pikir ini hanya hal yang wajar yang dilakukan oleh lelaki dan wanita dewasa. Tapi bodohnya, wanita itu justru hamil. Padahal sudah berulang kali aku peringatkan untuk meminum kontrasepsi!" ujar Bara keceplosan membuat mata Rania semakin terbelalak lebar.

"Berulangkali?! Jadi kamu melakukannya berulang kali. Dasar lelaki ba-jingan!" teriak Rania tertahan. Tangannya yang terkepal akhirnya lolos juga.

Memukul-mukul dada bidang pria itu. Air matanya kini tak dapat lagi dia bendung, mengalir menganak sungai. Bara hanya diam membiarkan Rania memukul dirinya hingga puas. Lelaki itu tahu, dirinya telah melakukan kesalahan yang fatal. Mau apa dikata, semaunya sudah terlanjur terjadi.

"Maafkan aku Rania. Maaf ... aku khilaf. Semua ini juga karena kamu yang tak pernah mau menurutiku. Andai kamu bisa sedikit saja menahan ego dan meluruskan pikiran naifmu itu. Mungkin semuanya tak akan seperti ini!" dalih Bara.

Lelaki itu masih mencari pembelaan diri. Kedua tangan Rania terhenti, tatapan matanya semakin tajam. Nafasnya naik turun tak beraturan menahan amarah.

"Apa kamu bilang? Kenapa jadi aku yang kamu salahkan dan kamu pojokkan begini! Seharusnya kamu yang merenungi kesalahan kamu itu. Nafsumu itu yang harusnya kamu tahan. Aku tak akan menolak. Jika kita sudah sah menjadi suami-istri. Seharusnya kamu itu ... ahkhhh," Rania kesal.

Mulutnya pun sampai tak tahu lagi harus mengatakan apa pada pria yang masih ada di sampingnya kini.

Kata-kata lelaki itu cukup membuat Rania semakin terbakar amarah. Rania menunduk, tangannya menggenggam erat sudut bangku tempat dia duduk hingga buku-buku jarinya memutih.

Secara tidak langsung, Bara menginginkan tubuhnya dalam ikatan yang haram. Tak bisakah Bara menunggu? Bukankah cinta itu saling menjaga dan menghormati. Bukan malah menghancurkan.

Bodohnya Rania, setelah apa yang lelaki itu buat hari ini. Dia justru masih menyimpan cinta naif yang begitu besar untuk Bara.

Merajut Pilu.

Wanita bagaikan kapas putih, suci, bersih!Jika sekali saja ternoda, maka warnanya tak akan indah lagi dipandang mata. Mereka bukan tinggal di luar negeri yang norma agama harus diabaikan.

Rania hanya meminta Bara untuk menunggu hingga dia lulus kuliah saja dan waktu itu pun tidak akan lama lagi. Paling lama sekitar satu tahun lagi karena sekarang dia sudah berada di semester akhir.

Tak bisakah pria itu berkorban sedikit saja untuknya? Seperti dia yang rela mengorbankan segalanya untuk kebahagiaan lelaki itu kecuali dengan kehormatannya.

Selama ini Rania selalu menuruti keinginan Bara, bahkan Rania rela membagi waktu istirahatnya yang beharga hanya untuk menemani Bara datang ke acara-acara penting.

Banyak lelaki yang datang menyatakan cinta pada Rania, jumlahnya saja sudah tak terbilang berapanya. Namun wanita itu masih tetap setia dengan harapan Bara tetap mencintainya dan tidak menggantikan dirinya dengan wanita lain.

Ternyata harapan hanyalah kenangan, nafsu yang menguasai diri pria itu justru lebih kuat dari yang Rania kira. 

Bara yang tak tega melihat Rania menangis perlahan mengangkat tangannya untuk menghapus air mata yang membasahi pipi ranum itu. Rania yang mulai jijik dengan bayangan kekasihnya dengan wanita lain mendorong gadis itu bersikap kasar. Rania langsung menepis kasar tangan Bara hingga menyisakan warna merah di kulit.

Bara tersentak kaget dan tertegun mendapati perlakuan kasar Rania yang selama ini tak pernah di tunjukkan di hadapannya.

Bara kesal terapi sedetik kemudian Bara sadar. Apa yang dilakukan Rania adalah reaksi yang wajar. Tak ada seorang wanita pun yang akan bersikap manis setelah mengetahui perselingkuhan kekasihnya itu.

"Maafkan aku Rania. Sebenarnya aku tak ingin menikahinya. Aku mencintaimu, tapi bayi itu ... aku tak mungkin mengabaikan anakku sendiri," tutur Bara menjelaskan masih dengan nada lirih.

Pria itu dilema. Rania semakin nanar menatapnya. Bodohnya Rania, saat seperti ini pun wanita itu masih saja tak bisa menghapus rada cintanya terhadap Bara.

Rania mendengkus sinis. "Tidak cinta ... tapi bisa jadi anak. Kamu pikir aku bodoh, Mas?"

"Tidak! Bukan begitu Rania. Semua tidak seperti yang kamu pikirkan!" balas Bara cepat. Dalam hati dia masih berharap wanitanya memaafkannya.

"Terus seperti apa? Apa kamu pikir aku bisa kamu bodoh-bodohi, Mas!" tandasnya.

"Itu murni hanya pelampiasan hasrat semata, Sayang. Aku lelaki normal, aku butuh tempat untuk aku melepaskan stres dan penat. Aku juga tak berharap anak itu hadir. Aku juga bingung Rania. Aku ... arrkkk!" teriak Bara tercekat.

Dia mengusap wajahnya frustasi, bingung bagaimana menjelaskan situasi ini agar Rania mengerti.

Bara bagai makan buah simalakama. Kenikmatan sesaat yang dia rasakan membawa dirinya berada ujung jurang. Tak tahu harus maju atau mundur atau mungkin hanya berdiri di tempat.

Menikah dengan Nabila membuat Bara harus kehilangan gadis yang dia cintai. Tetapi memilih Rania yang merupakan gadis yang dia cinta membuatnya terancam kehilangan karier dan reputasi yang selama ini dia bangun mati-matian. Dua pilihan itu membuat dirinya kalut.

Nabila adalah wanita terlicik dan ternekat yang pernah Bara temui. Dalam hati Bara sangat menyesal pernah kenal dengan wanita seperti itu.

Pesona wajah cantik dan tubuh yang begitu berbentuk yang Nabila miliki membuat Bara waktu itu tergoda untuk mencicipi sari bunga yang Nabila tawarkan.

"Lalu ... kamu mau aku bagaimana? Apa yang harus aku lakukan sekarang? Kamu membuatku dalam posisi yang sulit. Kamu tega sama aku, Mas! Kamu jahat!" raung Rania putus asa.

Rania menangis, dia menutup wajah dengan kedua tangannya. Rintihan menyayat hati mulai terdengar dari bibir merahnya. 

Dia ingin menunjukkan sisi angkuhnya saat ini. Tak ingin mengeluarkan air mata sedikit pun. Tapi dia tak sekuat itu. Air mata itu terus mengalir. Rania terisak meluapkan kepedihan yang dia rasakan.

Taman yang cukup luas dan posisi mereka yang sedikit terpojok tak membuat mereka menjadi tontonan para pasangan yang sedang menikmati keindahan taman. 

"Maafkan aku sayang, aku khilaf! Tunggu sampai anak itu lahir, setelah itu aku akan menceraikannya. Membawa anak itu dan menikah denganku. Kita besarkan anak itu bersama-sama. Kamu  mau, kan, sayang?" Bara menggenggam tangan Rania penuh harap. Dia juga terluka dengan apa yang tengah terjadi.

Bara mencintai Rania, namun cintanya yang tak murni membuat dirinya terjebak dalam hubungan yang rumit. Apalagi wanita yang dia hamili mengancam akan membawa kasus ini ke pengadilan jika dirinya tak segera bertanggung jawab dan menikahinya.

"Mas mencintai kamu, Rania. Aku hanya sedang khilaf, maafkan Aku, sayang!" ujar Bara kembali membela diri. Kata 'khilaf' menjadi senjata ampuh untuk melindungi diri.

Genggaman Bara semakin erat, menyalurkan rasa takut yang dia miliki atas kehilangan wanita yang dia sayang sebentar lagi.

Lagi-lagi Rania menghempaskan tangan Bara, dia tertawa dengan sinis. Lalu menghapus kasar air mata yang mengalir di wajahnya.

Ucapan cinta yang dulu begitu indah di telinganya sekarang justru membuatnya muak. Semua yang Lelaki itu ucapkan palsu. Cintanya, perhatian dan kasih sayangnya semua palsu!

Bibir tebalnya mudah mengatakan cinta tetapi pembuktian dari kata cinta itu sendiri bagai oase di padang gurun.

Di bawah hamparan langit gelap yang bertabur bintang. Gadis itu  menatap kecewa lelaki yang telah dia sematkan namanya di setiap doa.

"Apa akalmu sudah hilang? Begitu mudahnya kamu mengatakan hal itu. Meminta diriku menikah padamu setelah kamu mengkhianatiku. Lalu membesarkan anak dari hasil selingkuhanmu bersama?! Jangan mimpi kamu, Mas!” hardik Rania lantang.

Bersentuhan dengan Bara saja kini gadis itu mulai merasa jijik. Apalagi hidup bersama dan membesarkan anak yang bukan darah dagingnya. Itu tak akan pernah Rania lakukan.

“Baik ... kita putus. Semoga kamu bahagia, Mas. Terima kasih! Terima kasih atas luka ini. Aku berharap suatu saat kamu akan menyesal dan mengingat hari ini seumur hidupmu!”

Rania langsung berdiri dari duduknya. Berlalu pergi sambil mengutuk Bara sepanjang jalan di dalam hatinya. 

Berjalan begitu cepat hingga sampai dimana mobilnya terparkir.

Lagi-lagi air mata itu mengalir tanpa dapat dia elakkan. Rania menangis, membaringkan kepalanya pada tangan yang terlipat dia atas kemudi. Wanita mana yang tak akan sedih, wanita mana yang tak akan sakit jika berada di posisinya.

Dia tidak kuat, hanya sedang berpura-pura kuat. Rania mencintai Bara setulus hatinya. Mereka berpacaran selama tiga tahun. Selama itu juga Rania menjaga kesuciannya hanya untuk sang kekasih. Sebagai hadiah saat lelaki itu resmi mengumandangkan namanya dengan indah dalam proses ijab kabul. Namun ternyata, keinginan Rania merupakan sesuatu yang naif di mata Bara.

Puas menangis Rania menjalankan mobilnya dengan ugal-ugalan. Jiwa muda penuh tantangan serta amarah yang menumpuk di hati menghilangkan rasa takut yang dia miliki.

Wanita itu seakan sedang meluapkan beban saat mengendarai mobil dengan kecepatan pembalap. Membelah jalanan kota di bawah gelapnya malam. Toh ... jika terjadi sesuatu padanya, tak ada yang dia bebankan. Suami dan anak yang menunggu di rumah, dia tak  punya.

Sementara orang tuanya masih ada Thalia–adik yang umurnya lebih muda tiga tahun darinya. Si bungsu kesayangan yang di mata Mamanya selalu menurut kata orang tua.

Langit yang hitam pekat seakan mengerti jika saat ini dirinya sedang berkabung. Berkabung atas matinya hati yang hancur akibat pengkhianatan.

Rania menjerit di dalam mobilnya. Suaranya yang kencang seakan hilang terhempas angin malam yang dingin menusuk tulang.

Hubungan tiga tahun yang dia jaga sepenuh hati laksana mengukir pasir di pinggir pantai. Hilang hanya dengan sekali sapuan ombak yang menerpa.

Cinta yang diberikan Bara padanya seperti warna pelangi yang tidak selalu muncul setelah hujan. Sekejap datang dan sekejap juga menghilang. Hilang terselip di antara awan-awan biru yang menderu-deru. Hanya hati yang merindu yang bisa merasakan kehadirannya. Merasakan alunan melodi asmara yang semu.

Rania menangis, terus menangis mengeringkan air matanya. Berharap rasa sakitnya luruh bersama air mata yang jatuh.

Villa pinggir pantai.

"Sampai kapan kamu mau menangis begitu? Nggak sayang sama tu mata. Sudah merah, bengkak lagi,” tegur Liliana iba.

Satu jam lebih Lili diam menampung semua keluh kesah Rania agar wanita itu bisa sedikit lebih tenang.

Selain sebagai pendengar yang baik. Wanita cantik bertubuh tanggung itu juga memiliki mulut yang tajam dan pedas, walau dia cukup paham kapan harus bersikap seperti itu dan kapan harus diam.

"Dari pada nangis, mending kamu dandan dan pergi hang out. Masih banyak cowok tampan dan mapan di dunia ini. Bukan cuma Bara saja. Lagian nih, ya ... kamu itu cantik, bukan kamu yang rugi ditinggalin. Tapi pria cabul itu! Bego banget sih!" umpat Lili kasar.

Liliana kesal setiap menyebut nama Bara tetapi dia lebih kesal lagi melihat Rania yang cengeng dan terus menangis hanya karena cinta. Seakan dunianya sudah runtuh saja karena ditinggal lelaki tersebut.

Lili cendrung selalu mengatakan sesuatu secara blak-blakan, membuat orang yang baru mengenal dirinya akan tersinggung dan salah paham. Namun walaupun sifatnya begitu. Rania bisa bersahabat baik dengan Lili yang menurut Rania jujur dan tidak bermuka dua.

“Mau gimana lagi, ini air mata nggak mau berhenti dengan sendirinya. Sudah dihapus masih aja turun lagi,” dalih Rania bagai bocah polos.

Lili ingin tertawa mendengar penuturan gadis itu yang terdengar begitu menggemaskan. Tapi sekuat hati dia tahan. Begitupun dengan lelaki yang duduk di belakang Rania.

Kupingnya menajam mendengarkan perbincangan mereka yang menarik perhatiannya sedari tadi. Saat ini dua wanita itu berada di sebuah Cafe milik Lili. Mereka berdua duduk di bangku yang paling pojok.

Sandaran kursi beberapa baris di bagian belakang ini memang dibuat agak tinggi. Agar ada kesan sekat antara meja satu dan meja yang lainnya, untuk memberi kesan privasi bagi sebagian pengunjung yang ingin berbicara empat mata atau saling bercerita dengan sahabatnya tanpa takut di awasi oleh orang lain.

“Kamu juga jadi perempuan itu jangan bego-bego amatlah ... cinta boleh tapi jangan cinta mati. Jadinya gini, saat cinta hilang, bodoh kamu abadi! Sekarang repot sendiri, kan. Mana yang kamu cinta pria semacam itu lagi. Itu mata diciptakan untuk melihat dengan jelas. Jangan merem saja!” balas Lili tajam.

Rania kembali menangis tanpa suara, bukan hanya  sakit diduakan Bara, tapi juga sakit hati karena perkataan Lili.

“Jahat banget sih, Li. Teman lagi sedih malah dibego-begoin. Hati kan nggak bisa memilih pada siapa dia mau berlabuh,” dalih Rania tergugu.

Rania mengambil tissue di atas meja untuk mengusap air matanya yang mengalir membuat matanya bengkak kembali menciptakan cekungan kawah hitam yang dalam.

“Nggak usah berpuitis deh, Lo. Makanya mau aja dikadali buaya darat. Dari awal aku tu sudah bilang sama kamu, pacaran itu cari yang sebaya aja. Jangan yang lebih tua kalau kamu belum siap. Pikiran pria dewasa itu pasti tak jauh-jauh dari bagian bawah."

Lili emosi. Rania yang mengalami tapi dia yang kesal setengah mati, ingin rasanya memukul wajah Bara saat itu juga andai lelaki itu ada di hadapannya saat ini.

“Nggak semua pria dewasa gitu. Lagi pula aku pikir, jika berhubungan dengan pria yang lebih dewasa. Bisa lebih mengayomi dan memanjakan aku dengan kasih sayang,” jelas Rania.

Hatinya kembali sakit jika terus mengingat hal itu. Dia kembali mengambil tissue untuk mengelap hidungnya yang berair.

“Dasar dia saja yang brengsek,” ucapnya kembali pilu.

Lili menghela napas berat, mengambil gelas yang berisi minumannya dan meminumnya hingga tandas. Lelaki tidak setia dan wanita bucin. Dua kombinasi yang memusingkan kepala jika dihadapkan pada posisi yang sama seperti saat ini.

“Jadi sekarang kamu maunya bagaimana?” tanya Lili akhirnya.

Dia berusaha melembut. Walau sebenarnya hatinya Lili masih geram.

Rania yang dia kenal adalah gadis yang tegas dan ceria. Dapat menunjukkan keanggunan dan keangkuhannya saat ada yang merendahkan dirinya. Tapi saat ini, gadis itu bagai seekor anak itik yang menangis terciap-ciap karena ditinggalkan oleh induknya.

“Sudah jangan nangis terus! Apa kamu mau menangis sampai pagi seperti ini. Ikut aku, aku akan mengajakmu ke suatu tempat untuk melepas kesedihanmu. Tapi kamu harus janji padaku. Setelah matahari terbit esok pagi. Lupakan Bara dan nikmati hidupmu yang baru. Memangnya kenapa jika tak ada Bara? Kamu cantik, masih banyak pria tampan dan mapan diluaran sana yang bisa kamu jadikan kekasih hati."

"Memangnya mau kemana?"

"Gak usah banyak tanya, ikut saja!" ajak Lili.

Rania mengangguk patuh. Memang yang dibutuhkannya saat ini adalah hiburan untuk dia bisa melupakan Bara sejenak.

Jika waktu sepertiga malam banyak digunakan orang untuk melakukan ibadah agar doa mereka bisa cepat diijabah. Namun berbeda dengan apa yang dilakukan dua gadis itu.

Lili mengajak Rania ke sebuah rumah yang ada di pinggir pantai. Sebuah villa kecil miliknya yang dia beli dari jerih payahnya sendiri. Bagian belakang villa itu langsung menjorok ke pantai. Hembusan ombak yang begitu kencang menyapu wajahnya yang putih dan cantik.

Kedua wanita itu duduk manis di teras balkon yang berada di lantai dua. Kamar yang selalu Lili tempati saat dia menenangkan diri di Villa tersebut.

“Nih minum! Jangan melamun terus, nanti kesambet baru tahu rasa!” Lili menyodorkan sebuah gelas kecil yang berisi cairan merah dari botol yang dia pegang.

“Alkohol?!” tanya Rania ragu.

“Hmm ... jangan bilang kamu nggak pernah meminumnya?” ucap Lili mengejek.

Rania menerima gelas itu sambil menggelengkan kepala. Seumur hidupnya, dia memang tidak pernah mencicipi benda haram itu.

Rania memang terkadang bersikap pemberontak tapi tak pernah melakukan hal-hal yang diluar batas. Berbeda dengan Lili yang terbiasa hidup mandiri sejak kecil.

Di umurnya yang masih muda, Lili berhasil menjadi seorang pengusaha muda dan membiayai hidupnya sendiri. Memiliki beberapa cabang kafe yang tersebar di beberapa daerah.

Kedua orang tua Lili hidup berpisah sejak dia kecil. Membuat Lili yang manis kekurangan kasih sayang dan hidup dengan Neneknya saja. Sejak neneknya meninggal dua tahun yang lalu. Kini LiLi hidup sebatang kara.

Rintik-rintik kecil hujan jatuh. Hembusan angin bersatu dengan ombak berhembus begitu kencang. Suara ombak bagai alunan musik sedih yang menemani mereka berdua malam ini.

“Cobalah! Selama ini cairan itu cukup membantuku saat aku mengalami masalah atau kesedihan yang tak dapat aku bagi dengan orang lain. Aku akan minum dan memandangi ombak yang berkejaran. Berharap rasa sakit dan kesepianku pergi terseret ombak yang datang,” ucap Lili terdengar sedih.

Suaranya mulai serak. Namun dengan cepat dia menenggak habis cairan merah yang ada di tangannya.

Rania mulai mencoba apa yang Lili lakukan. Menuangkan cairan merah itu ke dalam mulutnya dengan mantap. Saat cairan itu mulai masuk ke dalam tenggorokannya.

Rania merasakan pahit sejenak yang disusul rasa panas yang menjalar di kerongkongannya. Tubuhnya yang tadi dingin diterpa angin ombak mulai terasa menghangat.

Rania tak begitu familiar  dengan rasa minuman itu,tetapi sensasi yang disebabkan oleh minuman itu mulai membuatnya menikmati dengan perlahan.

Setidaknya kini dia bisa sedikit melupakan segala kecewa yang hadir di hatinya.

Rasa kecewa terkadang hadir karena kita terlalu percaya, memberikan segenap hati untuk orang yang tak mampu menjaga. Jika tahu rasanya akan sesakit ini, maka Rania akan memilih untuk tidak memberikan hatinya pada orang lain. Dia akan menjaga hatinya sendiri, agar dirinya tidak perlu merasakan sakit yang membuat raganya seakan tak mampu bergerak.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!