PROLOG
Annira namanya, siswi SMA kelas 12 A. Ia adalah gadis pendiam dan penuh tekanan. Masa lalunya yang begitu menyakitkan, bermula dari diabaikan lalu di khianati oleh teman-temannya membuat ia trauma. Annira berusaha pergi sejauh mungkin agar tidak bertemu dengan teman pengkhianat dan berpegang teguh agar tidak mudah percaya kepada siapapun.
Annira bersekolah di kota M, saat ini ia telah duduk di kelas 3 SMA, setelah perjuangannya selama 3 tahun ini tinggal di kota orang dan beradaptasi, Annira menyadari dirinya tidak senang bergaul karena banyak faktor seperti faktor waspada akan pengkhianat, faktor hubungan dengan keluarga, dan faktor kepribadian. Kepribadian Annira cenderung murung dan penyendiri membuatnya tidak bisa berada di keramaian, Annira juga tidak ingin dekat dengan siapapun dan tidak mudah menjadi penurut alias keras kepala. Positif thingking aja, mungkin seseorang belum muncul mengubah hidupnya.
Meski ada riwayat trauma akan kisah pengkhianatan, Annira memiliki seseorang yang ia sukai di kelasnya, namanya Rich. Rich adalah cowok pendiam di sekolah, tetapi di luar sekolah tidak begitu. Rich adalah lelaki gaul yang bebas berteman dengan siapa saja, tidak pandang bulu dan pandai bekerjasama. Itulah yang menjadi daya tarik bagi Annira, tidak sepertinya yang terlihat antisosial.
Pagi ini, Annira bersantai di koridor memandangi taman didepan kelasnya, tiba-tiba seseorang menepuk bahunya. Annira menoleh, mendapati Rich didekatnya.
"Nih, untukmu." Rich memberikan segelas minuman dingin yang dibelinya dari kantin.
"Terima kasih." Jawab Annira singkat, bukan kali ini saja Rich memberinya minuman atau sejenis makanan ringan. Ini adalah yang ke sekian kalianya. Annira berasumsi, mungkin saja Rich memperhatikannya karena kasihan melihatnya sendirian, Rich tidak mungkin tahu kalau ia menyukainya.
Setelah Rich pergi meninggalkannya, Annira terharu, ia telah mendapat perhatian dari crush, tetapi ia tidak berharap crush nya mengungkapkan perasaannya suatu hari karena ia membenci cinta.
Sepulang sekolah, Annira menemukan masalah di perjalanan. Ada sebuah kerumunan yang menarik perhatiannya dan seorang lelaki yang memakai seragam SMA, hanya saja seragam SMA yang dipakainya berbeda, menandakan perbedaan sekolah.
"Tolong! tolong, jangan pukul gue." kata lelaki itu memohon pada banyak orang yang mengerumuninya dan memukulnya, sepertinya ia sangat kesakitan. Annira kasihan lalu menghampiri kerumunan itu bermaksud menolong lelaki itu.
"Stop! ini jalan umum. Saya akan panggilkan polisi, ini kekerasan dan pengeroyokan." kata Annira agak mengancam.
"Lapor polisi?, Silakan, kami tidak takut. Anak ini yang salah telah membuat onar disini, ngebut dijalanan sampai menabrak pagar rumah saya." kata salah seorang lekaki tua penuh amarah. Annira menyadari situasi tidak berubah, lelaki itu tetap saja dipukul oleh warga. Annira segera menerobos kerumunan lalu menutup tubuh lelaki itu, menggantikan posisi tersakit yang pernah ada, ia rela tulang belakangnya remuk oleh pukulan warga.
Ternyata sangat sakit, pikirnya. Bagaimana dengan nasib lelaki yang ia peluk itu setelah dipukul dalam waktu yang sangat lama, itu pasti sangat sakit.
Annira yang baik hati merasakan sakitnya pukulan itu sampai ia pingsan.
Aroma rumah sakit segera membangunkan Annira yang terbaring lemah dan tulang belakangnya yang seakan patah semua.
"Sudah sadar? ini rumah sakit. Jangan berpikir ini mimpi, kamu menolongku sampai kamu sendiri sekarat." ucap lelaki yang Annira tolong, ia menemaninya disini tetapi tidak terlihat terluka atau kesakitan seperti yang Annira rasakan.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Annira kepada lelaki itu.
"Seharusnya aku yang bertanya kepadamu, bagaimana keadaanmu? dan siapa kamu sampai rela membelaku?"
"Aku kasihan melihatmu, dan juga saat itu kamu minta tolong." jawab Annira membuat lelaki itu mengerti dan terlihat sedang menelan salivanya.
"Aku sungguh payah, padahal aku yang meminta orang lain untuk menolongku. Seharusnya aku berterima kasih kepada gadis ini." batin Reyvan.
"Terima kasih. Aku Reyvan, kamu akan di rawat beberapa hari disini, karena tulang belakangmu tidak bisa pulih dalam sehari ataupun dua hari." Annira sebenarnya tidak mau mendengar kenyataan buruk itu, tetapi mau bagaimana lagi, ini adalah resiko.
"Tapi bagaimana dengan ibu asrama dan sekolahku?"
"Aku akan mengurusnya."
Annira dirumah sakit dalam pengawasan dokter dan dijenguk oleh Reyvan setiap hari dengan membawa buah-buahan segar untuk Annira. Annira merasa tidak nyaman dengan perlakuan Reyvan yang menurutnya agak berlebihan, tepatnya perhatian bahkan Reyvan berada sampai dua dan tiga jam menemaninya dirumah sakit lalu sambil membukakan buah-buahan untuknya, sehingga ia tinggal memakan.
"Kamu tidak pulang, apa orang tuamu tidak mencarimu?" tanya Annira setelah ia disuruh memakan beberapa potong buah kiwi.
Reyhan hanya menggeleng lalu memaksa Anira agar memakan buah kiwi yang telah ia potong.
"Tidak. Aku tidak bisa makan buah lagi, aku kekenyangan." Penolakan Annira membuat Reyvan bangkit lalu keluar dari ruangan tanpa berkata.
Aneh, pikir Annira. Apakah ia telah salah berucap sehingga membuat lelaki itu pergi meninggalkannya?
Beberapa hari kemudian, Annira sudah sembuh. Saatnya ia kembali ke sekolahnya. Ijin hampir dua minggu membuatnya merindukan sekolah.
Annira kembali, tetapi ia masih mengingat lelaki tampan itu, Reyvan. Reyvan tidak pernah lagi menjenguknya sampai akhirnya ia pulang dari rumah sakit, apakah pertanyaan Annira saat itu sangat menyakiti hatinya?, atau jangan-jangan Reyvan memiliki masalah dengan keluarganya?
Memikirkannya membuat Annira menyesal, Andai ia tidak menanyakan pertanyaan yang seakan mengusir lelaki itu.
"Hey, ini buat kamu." Annira dikagetkan oleh kehadiran Rich yang membawa nasi goreng untuknya, mereka pun makan berdua di sebuah taman.
"Apa kamu baik-baik saja? Aku dengar minggu kemarin kamu ijin kalau kamu sakit, memangnya kamu sakit apa?" tanya Rich pengertian.
"Aku, hanya sakit maag." kata Annira berbohong, ia tidak mau menjelaskan kejadian minggu lalu dan berniat melupakan tentang rumah sakit dan Reyvan, lelaki yang menemaninya ketika berada di rumah sakit.
"Maag? setahuku kalau sudah maag, kamu tidak boleh terlambat makan. Makanya kamu harus jaga kesehatan, nyatanya maag itu lebih sakit dari yang lain." kata Rich.
"Sakit dari yang lain? maksudnya?" Annira tidak mengerti.
"Sudahlah, jangan cari tahu. Aku duluan, nanti jangan lupa piringnya diantar lagi kekantin, aku sudah bayar semuanya." ucap Rich yang mungkin bermaksud membuat Anira penasaran, tetapi Annira bukanlah seorang yang terlalu penasaran, ia akan berusaha melupakannya.
Seorang lelaki menggunakan motor sport warna hitam, helm dan jaket berwarna hitam telah menunggu didepan gerbang sekolah. Begitu Annira keluar, lelaki itu nemberi kode lalu membukakan helmnya. Anira terkejut melihat orang itu adalah Reyvan. Reyvan memberi kode dengan jari telunjuknya agar Annira segera menghampirinya.
"Naik sekarang!" titah Reyvan ketika Annira tiba di dekatnya.
"Tapi aku ..." belum sempat Anira menyatakan alasan, Reyvan memotongnya.
"Naik sekarang, jangan ada alasan lain. Aku tidak bisa berlama-lama disini dengan tatapan aneh orang-orang disini."
Annira langsung melihat sekelilingnya, banyak orang memperhatikan mereka sehingga ia harus segera menuruti kata Reyvan agar mereka tidak menjadi pusat perhatian, walaupun ia belum tahu akan kemana Reyvan membawanya.
Anira dibawa ke sebuah kafe mewah, namun kafe tersebut sangat sepi. Adapun orang-orang di sana, namun mereka terlihat seperti pasangan muda yang elite. Reyvan memegang tangan Annira lalu membawanya duduk di tempat paling pojok, mungkin ada sesuatu yang harus mereka bicarakan.
Annira deg deg-an, baru kali ini seorang lelaki yang baru di kenalnya bertindak seperti ini. Karena Annira ingin menghindari berpegangan tangan, ia melepas tangan Reyvan yang menggenggam tangannya dengan paksa tetapi Reyvan tidak mau, Annira terpaksa harus menerima perlakuan itu.
“Apa maksudmu membawaku kemari?” tanya Anira sedikit kesal, ia ingin pulang lalu rebahan dengan tenang di asramanya.
“Minum, itu saja. Aku akan membawamu kesini setiap hari.” Annira tercengang mendengarnya. Reyvan kemudian mengeluarkan rokoknya, menyalakan korek, lalu merokok di hadapan Annira dengan santai seperti bos, padahal kondisinya saat ini, ia masih mengenakan seragam putih abu-abu.
“Anak sekolah merokok? Lebih baik kamu jangan sekolah.” Annira kecewa melihat lelaki tampan yang pernah ia tolong beberapa hari yang lalu, memang beginilah tabiatnya. Andai saja waktu itu Annira jangan menolongnya, tetapi sekarang sudah terlambat.
“Katamu benar, seharusnya aku tidak usah bersekolah karena aku lebih suka merokok. Sayangnya dipaksa sekolah membuatku stres.” Jawab Reyvan.
Seorang pramusaji di restoran membawa satu gelas Espresso coffee dan satu gelas coffee milk boba. Reyvan menyodorkan coffee milk boba ke arah Annira. Sebelum Reyvan ke kafe itu sebenarnya ia sudah memesan kopi itu, tanpa harus ia bertanya terlebih dahulu kepada Annira. Annira hanya tercengang untuk ke sekian kalinya, bagaimana bisa Reyvan menerima minuman sebelum ia pesan, ia tidak tahu Reyvan telah memesannya sebelum mereka tiba, alasan lainnya karena Anira menyukai minuman seperti kopi, mana mungkin ini hal yang kebetulan.
“Tempat ini, tempat favoritku. Jadi aku tidak perlu memesan.” Kata Reyvan seakan menjawab pertanyaan dibatin Annira.
“Kamu sendiri yang minum?” tanya Annira, sebab minuman di hadapan mereka ada dua gelas, jadi ia curiga. Mungkin saja Reyvan kemari bersama seseorang, dan seharusnya hari ini dia bersama seseorang yang di maksud, ia tidak mungkin sendiri. Reyvan mengangguk membuat Anira tidak percaya.
“Lalu kamu sering meminum dua-duanya sekaligus?”
“Jangan berpikir gila. Minuman di hadapanmu itu untukmu dan di hadapanku ini untukku. Kalau aku kemari sendirian, aku akan memesan satu saja.” Jelas Reyvan membuat Annira mengerti, ternyata Reyvan suka menikmati waktunya sendirian. Tapi tunggu! Kalau Reyvan suka menikmati waktunya sendirian, mengapa hari ini Reyvan membawanya kemari? Aneh!
Annira mulai meminum coffee milk boba saat Reyvan menyuruhnya. Reyvan menyeruput kopi Espresso panas sambil memandang Annira yang tengah tertunduk gugup. Reyvan mengamati rambut panjang, alis, mata, bibir, dan caranya menikmati coffee milk boba, Reyvan menganggap gadis di hadapannya begitu unik meskipun tidak terlalu cantik seperti gadis cantik lain yang selama ini tergila-gila mengidolakannya. Annira begitu berbeda baginya, terutama ketika Annira memeluknya dan menggantikan posisinya dipukuli oleh warga, hal itu membuat seorang Reyvan tersentuh oleh sebuah perasaan, perasaan ingin melihat gadis itu, ingin dekat selalu dengan gadis di hadapannya itu, entah perasaan apakah ini.
Anira selesai menghabiskan minumannya, ia kemudian baru teringat, ibu asramanya pasti mencarinya. Seketika ia terlihat gelisah, Reyvan melihat kegelisahan itu. Ia tahu apa yang gadis itu rasakan, ia pasti memikirkan untuk pulang.
“Mau pulang?” Reyvan mencoba bertanya ingin melihat reaksi Annira. Seperti yang ia duga, Annira bereaksi dengan penuh semangat, gadis itu bangkit dari kursinya.
“Kita masih akan mengunjungi suatu tempat.” Kata Reyvan dengan santai, Anira semakin gelisah. Ini sudah menunjukkan pukul 17.14, sudah sangat lama mereka di kafe itu setelah pulang dari sekolah pukul 15.25, seharusnya ia sudah pulang dan berada di asrama.
“Tapi aku tidak bisa. Aku harus pulang.” Anira hendak beranjak dan berlari pergi meninggalkan Reyvan di sana, sialnya setelah melewati pintu keluar, dua orang satpam menghalanginya. Ternyata Reyvan telah memberi aba-aba kepada satpam untuk menghentikan Anira yang hendak keluar, Alhasil Anira tidak bisa pergi tanpa Reyvan.
“Bukankah kamu tahu kota ini terlalu luas. Bahkan kafe ini sangat jauh, kamu ingin pulang dengan berjalan kaki? Aku yakin kalaupun kamu ingin menaiki kendaraan umum atau semacamnya, uang jajanmu sudah lama habis.” Perkataan yang di ucapkan Reyvan sangat tepat. Anira tidak bisa pulang tanpa Reyvan, kalau ia pulang dengan berjalan kaki mungkin saja bahaya sudah siap setelah beberapa langkah, dan uangnya saat ini memang sudah habis.
Anira mendadak takut melihat Reyvan berjalan ke arahnya dengan pelan. Reyvan akan membawanya ke mana lagi setelah ini, apakah ini adalah cara seseorang untuk menculik. Tidak! Anira berusaha mengamati tampang Reyvan, ia bukan seperti seorang penculik perempuan, tetapi disisi hatinya yang lain mengatakan penculikan itu bisa saja terjadi, dan pelakunya mungkin saja bisa menggunakan tampangnya yang tampan seperti Reyvan.
Reyvan meraih tangan Anira, tetapi Anira menepisnya, sisi buasnya muncul ketika ia merasa terancam, meskipun detak jantungnya sangat kuat, tubuhnya gemetar bagaikan gempa. Ia larut dalam pikirannya yang buruk terlalu takut akan sesuatu terjadi padanya seperti kejadian beberapa tahun yang lalu, ia di khianati beberapa teman sekelasnya.
“Aku sudah bilang, kita akan ke suatu tempat.” Reyvan kembali mengatakannya.
“Tidak!” Anira berteriak dengan nada gemetar, ia takut dengan bayangan-bayangan yang muncul di otaknya, 'suatu tempat' kata itu pernah terlontar dari mulut seseorang yang menjebaknya, dan kata itu kembali menghantuinya setelah sekian lama, ia takut dan membayangkan apabila terjadi lagi dan pelakunya Reyvan.
Reyvan melihat situasinya sangat menekan Anira, ia tidak mengerti lagi apa yang Anira pikirkan. Padahal sebelumnya Anira normal-normal saja, tetapi sekarang ia tahu Anira sedang tertekan oleh ketakutan. Reyvan sadar, mungkin dirinya terlalu baru untuk mengenal Anira. Reyvan berhenti membujuk Anira untuk pergi ke suatu tempat dengannya, karena ia tahu Anira akan bereaksi lebih menakutkan dan bisa mengacaukan situasi di kafe.
“Mbak, bantu saya antarkan gadis ini pulang. Mbak yang membawanya menggunakan sepeda motor dan saya akan mengawasi dari belakang. Saya akan membayar jasa mbak.” Reyvan mengambil keputusan yang pasti dengan meminta kasir di kafe itu, kebetulan kasir cantik yang mengetahui Reyvan adalah pelanggan setia disini langsung menyetujunya.
“Baiklah, tampan. Apa sih yang enggak untuk kamu.” Jawab kasir kafe itu dengan gaya centilnya, bukan tanpa alasan, kasir cantik itu memang sudah lama mengagumi Reyvan, sayangnya Reyvan bukan tipe lelaki yang sasimo (sana sini mao), Ada kriteria tertentu baginya untuk seorang cewek. Reyvan melihat Anira yang berkeringat sembari menutup kedua telinganya. Ini adalah pemandangan aneh bagi para pengunjung kafe ini, Reyvan harus segera membawanya pulang.
Reyvan mengantar Anira sampai di depan asramanya, lalu ia menghampiri gadis itu bermaksud untuk sedikit berbicara dengannya.
"Anira ..." Belum sempat Reyvan melanjutkan ucapannya, Anira segera menghindarinya, masuk ke asrama tanpa menghiraukan Reyvan maupun perempuan cantik yang memboncenginya tadi.
Reyvan tidak mengerti mengapa, gadis yang ia kenali namanya melalui kartu pelajarnya saat ia membawanya ke rumah sakit sekitar seminggu yang lali menjadi seperti ini.
"Ayo kita pergi, dia sudah masuk. Apakah kamu mau mengajakku ke suatu tempat?" kata kasir cantik yang dimintai tolong oleh Reyvan.
"Ini imbalannya." Reyvan hanya mengeluarkan beberapa lembar uang senilai lima puluh ribu rupiah dan langsung memberinya kepada perempuan itu, segera setelah itu ia pergi dengan wajah yang agak kesal. Belum sempat ia mengajak Anira ke suatu tempat yang ia inginkan, namun suatu masalah datang.
Anira memandang buku pelajarannya dengan tatapan kosong. Bayangan masa lalu yang suram membuatnya depresi.
Flashback on
Anira berada di tempat yang sangat gelap, kepalanya sangat pusing. Tiba-tiba lampu di nyalakan. Anira melihat teman-temannya laki-laki maupun perempuan sedang menatapnya sedang duduk di sebuah kursi. Mereka menatapnya penuh amarah, terlihat jelas dari wajah mereka. Bau rokok, minuman keras dan juga suara musik dinyalakan sangat keras. Anira mengingat terakhir sebelum berakhir di ruangan yang tak dikenal, ia berada di dalam mobil bersama Asna, Jeran, Mirani, Vion, dan Ken. Teman-temannya mengajak ia mengerjakan tugas kelompok disuatu tempat yang mana Anira tidak tahu, alasannya Asna si pemilik ide masih mencari-cari tempat sambil keliling kota B, setelah itu Anira tidak ingat lagi dan berakhir sadar di tempat asing yang sekarang dalam keadaan pusing.
"Anira, sudah sekian lama aku menanti waktu yang tepat. Sekarang saatnya kamu harus menerima takdir. Ken, Vion, Jeran kemarilah kita hajar dia." Temannya yang bernama Asna memanggil Ken, Vion dan Jeran, tiga teman laki-laki yang langsung menghampiri Anira.
Anira sudah curiga dengan pergerakan tiga laki-laki itu, terbayang ingatan di benaknya ketika ia pernah menonton film horor dimana tokoh protagonis yang mati di rusak oleh teman akrabnya kemudian dibunuh secara sadis di rumah kosong. Adegan itu nyata terjadi padanya.
"Ken, Jeran, Vion. Kalian bertiga temanku, kan? Tolong bawa aku pulang." Anira berusaha menyadarkan tiga temannya.
"Nir, mereka bertiga teman gue bukan teman Lo. Mereka cuma nurut sama gue." Teriak Asna dengan suara lantang agar kedengaran oleh Anira.
"Asna, Mir. Tolong aku, bawa aku pulang." Lirih Anira merasakan kepalanya pusing ditambah lagi bau alkohol dan asap rokok mendesak pernapasannya sampai ke saraf-saraf.
"Pulang aja sendiri kalau bisa." Jawab Asna, Mirani hanya diam menyaksikan Anira yang terkulai lemah sementara tiga teman lelakinya menahan Anira dan Jeran mengeluarkan beberapa pil lalu membuka mulut Anira dengan paksa.
"Kamu terlalu pintar, jadi dengan obat ini kamu bisa mengurangi daya ingatmu agar kamu tidak menguasai kelas." Kata Ken.
Anira melihat pil berwarna hijau di tangan jeran sangat banyak, biwsa overdosis jika pil-pil itu berhasil menerobos tenggorokannya.
"Tidak!" Anira menggigit tangan Jeran sebelum pil-pil itu lolos masuk kerongkongannya. Sekuat tenaga ia melayangkan kedua tangannya sehingga lumayan menjadikan serangan menyakitkan mengenai tubuh ketiga lelaki itu. Untuk memanfaatkan waktu, Anira segera pergi menuju pintu tetapi Mirani dan Asna sudah siap menghalangi didepan pintu.
"Sial beraninya melepaskan diri." Asna geram langsung menghampiri Anira mengajak Mirani memasung Anira. Namun Anira yang masih sadar dan merasa sudah berada diambang menuju bahaya segera beraksi menepis tangan Mirani dan Asna.
"Au." Asna dan Mirani merasa kesakitan, Anira ternyata cukup kuat meskipun sudah mereka beri minuman keras yang telah dicampuri obat-obatan terlarang.
Anira melihat tiga teman laki-lakinya sudah bangkit siap menyerangnya sehingga ia harus mengambil langkah lebih cepat, meraih kursi tempat duduknya tadi, melayangkan kursi itu ke arah lima teman pengkhianat dengan membabi buta seperti orang kesurupan. Beruntung kemenangan berpihak padanya dan lima temannya hanya berbekal pil, miras, dan rokok tidak berbekal senjata sehingga Anira mampu menumpas kejahatan mereka oleh serangannya memukul mereka dengan kursi.
"Maafkan aku Ya, Tuhan. Mereka mengancam hidupku." Anira berlutut sambil menangis lalu mengecek masing-masing teman pengkhianat itu semoga tidak ada yang mati oleh serangannya. Syukurlah mereka semua hanya pingsan. Anira kemudian pergi meninggalkan mereka dengan air mata yang deras, kenyataan pahit pertemanan yang berkhianat membuatnya rapuh.
"Aku akan waspada kepada siapapun dan tidak akan mudah percaya kepada siapapun." Anira melepas rasa sosialnya dan tidak ingin percaya pada siapun lagi. Ternyata selama ini Asna mendekatinya karena ingin mencelakainya. Asna adalah saingan prestasi sekelasnya, namun Asna selalu mendapat peringkat dua jadi tidak heran rasa iri membuatnya melakukan tindakan ini.
Mulai dari saat itulah, Anira mengambil keputusan meninggalkan kotanya, tanah kelahirannya lalu pergi ke kota M melanjutkan SMA disana.
Flashback off
"Tidak!" Anira menutup kedua telinganya, berteriak sekencang mungkin mengingat kejadian buruk itu. tiga orang teman sekamarnya, yaitu Lora, Adel, dan Nela terkejut. Nela yang mengira Anira kerasukan langsung memercik minyak suci kepada Anira.
"Anira, kamu nggak apa-apa?" Lora segera memeluk Anira, Anira menangis menyerahkan sandarannya pada Lora.
"Anira, tidak apa. Jelaskan padaku apa yang terjadi?" tanya Lora. Lora, Adel, dan Dela berbeda sekolah dengan Anira, maka mereka bertiga tidak pernah tahu apa yang terjadi pada Anira di luar sana, kecuali jika Anira memberi tahu.
Tetapi Anira menangis semakin kencang, malahan sampai sesegukan.
"Anira apa ada orang yang mencoba melukaimu?" tanya Adel ikutan panik, namun Anira menggeleng.
"Apa kamu habis ketemu hantu?" tanya Nela dengan pendapat yang berbeda, gadis penakut ini selalu halu akan keberadaan hantu. Lora dan Adel menatap Nela secara bersamaan atas pertanyaan konyol itu membuat Nela harus menyambung lagi kalimatnya.
"Maaf guys, aku melihat tadi Anira pulang di waktu peralihan kira-kira lewat dari jam lima sore atau jam enam sore kurang. Konon katanya waktu-waktu seperti itu hantu-hantu bangun dari tidurnya dan akan memulai aktivitas mereka." lanjut Nela bermaksud menjelaskan agar pertanyaanya di anggap logis.
"Aku tidak mau membicarakannya. Yang jelas aku tidak mau masa lalu yang buruk itu terulang lagi, aku nggak mau." Ucap Anira sesegukan, Lora segera mengerti ucapan itu, yang mana artinya Anira memiliki trauma masa lalu. Lora setelah tahu bahwa Anira mengingat memori masa lalu yang mungkin sangat menyakitkan, meminta dua temannya agar tidak bertanya lagi, tujuannya agar Anira tidak tertekan.
Keesokan harinya, Anira masih berbaring di ranjang dalam keadaan tubuh ditutupi penuh oleh selimut.
"Nir ... Nira. Ayo bangun, gak biasanya kamu bangun telat. Sekolah loh." Lora bermaksud membangunkan Anira dengan menarik selimutnya, tetapi Anira malah mengencangkan selimut itu kembali, ditubuhnya.
Lora, teman yang paling bijak segera mengecek kondisi Anira, ia curiga kalau-kalau temannya ini sakit. Lora menempelkan telapak tangannya di dahi Anira, namun tidak panas.
"Aku tidak sakit. Aku lelah tidak ingin ke sekolah."
"Oh baiklah. Aku mengerti, aku akan menulis surat ijinmu dan meminta ibu Wini untuk menandatanganinya." Lora bergerak cepat menulis surat ijin Anira, lalu meminta tanda tangan ibu asrama, Ibu Wini lalu mengantarnya ke sekolah Anira.
Anira tengah tertidur pulas, padahal ini masih pukul sepuluh pagi, ia telah tidur sejak jam tujuh tadi. Namun ia terbangun oleh suara klakson motor yang mengganggu telinganya.
"Aduh, siapa sih di depan. Berisik amat." Anira turun dari ranjangnya, lalu mengikat rambutnya dengan terburu-buru.
Anira terlanjur melangkah ke depan pintu untuk melihat pengendara motor yang terus membuyikan klakson. Ia menyesal ke luar, seharusnya ia mengintip dulu dari jendela. Karena yang ada di luar pagar bukanlah kurir atau semacamnya, tetapi Reyvan, lelaki yang kemarin bersikeras mengajaknya ke suatu tempat. Anira tidak mau menemuinya, ia masuk lalu membanting pintu mengungkapkan rasa tidak senang atas kehadiran Reyvan.
"Anira tunggu. Apa yang salah?, aku tidak bermaksud melukaimu. Kemarin aku hanya ingin mengajakmu ke suatu tempat. Tapi kalau kamu tidak mau, aku tidak memaksa. Aku minta maaf." Teriak Reyvan dari luar pagar. Ia menahan malu menjadi pusat tontonan orang-orang ketika lampu merah. Belum pernah ia seperti ini sebelumnya, seperti pengemis memohon dimaafkan seorang cewek.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!