NovelToon NovelToon

HAZIM

Prolog

Tahun 2008

Aku Haniyatul Qoriah. Penggemar cerita-cerita dongeng. Impianku ingin bertemu dengan seorang pangeran layaknya seperti cerita dongeng. Barangkali terdengar konyol, tapi aku benar-benar mengharapkan hal itu terjadi.

Haniyatul Qoriah, seorang gadis yang lebih sering dipanggil dengan nama Hani. Tahun ini gadis itu akan beranjak naik ke kelas X MA. Mengambil jurusan IPA di sekolahnya. Ia mendaftar sekolah di sebuah madrasah yang terletak lebih dua kilometer dari rumahnya.

"Hani, coba baju ini, cocok tidak nak?" tanya Aida pada anak gadisnya.

Hani mengambil baju sekolah yang diberikan oleh ibunya. Di cobanya baju sekolah tersebut yang berwarna putih serta dipadankan dengan rok payung berwarna abu-abu.

"Cocok, bu," ucap gadis itu setelah melihat dirinya di cermin.

"Jilbab mau panjang sampai mana? Punggung atau sampai pergelangan tangan saja?" tanya Aida lagi yang masih sibuk memilih beberapa jilbab putih yang tergantung di hadapannya.

"Sampai pergelangan tangan, bu," jawab Haniyatul sambil memperbaiki jilbabnya yang berwarna biru, yang panjangnya sampai di punggungnya. Roknya ditepuk-tepuk perlahan agar benang yang menempel di roknya hilang.

Pasar pagi ini terlihat padat karena banyak orang tua yang sedang sibuk mencari seragam sekolah untuk anak mereka masing-masing.

"Aida? Ya Allah kita ketemu lagi ya," sapa Damia.

"Eh, Damia. MasyaAllah baru saja beberapa hari yang lalu kita ketemu, ternyata dunia ini kecil ya," Aida berseloroh sambil bersalaman dengan Damia dan memegang sebuah jilbab putih di tangannya.

Damia merupakan teman Aida. Ia mengenali wanita itu karena suaminya bersahabat baik dengan suami Damia. Aida mengira tidak akan bertemu lagi dengan wanita tersebut setelah Damia merekomendasikan sebuah sekolah madrasah untuk anaknya. Berkenaan Damia orangnya sibuk dan jarang sekali punya waktu luang.

"Ini Hani? MasyaAllah cantik sekali," puji Damia.

Haniyatul Qoriah hanya mampu tersipu malu ketika mendengar pujian tulus dari Damia. Kemudian, ia pun menyalami wanita yang berusia 30an itu. Tidak lupa pula ia menyapa anak perempuan Damia yang baru saja berusia 13 tahun.

"Ah, anak saya biasa-biasa saja. Habbah juga sekarang sudah besar ya, anaknya manis sekali," ucap Aida.

Damia tersenyum ketika mendengar pujian Aida. Sedangkan Habbah pula turut tersipu malu sama seperti Hayanatul tadi.

"Oh, iya. Bagaimana? Hani berhasil masuk ke madrasah yang saya rekomendasikan beberapa hari yang lalu?" Kali ini Damia menukar topik pembicaraan pula.

"Alhamdulillah, dia lolos tes masuk di madrasah itu," jawab Aida dengan mata berbinar.

"Alhamdulillah, madrasah Nurul Hidayah sememangnya sekolah yang paling bagus, fasilitasnya juga lengkap. Hanya saja sayang, belum ada asrama untuk putri. Jadi yang mondok hanya putra saja karena asrama putra sudah dibangun dari dulu lagi," jelas Damia sembari menunjukkan wajah sedikit kecewa.

"Tidak apa-apa jika Hani tidak mondok, dia bisa bolak balik ke sekolah naik sepeda. Dan ikuti pengajian lainnya jika para guru menyetujuinya," Aida melirik anak gadisnya. Sememangnya ia ingin Hani mondok saja di pesantren. Namun, karena Hani anaknya sering sakit-sakitan jika terlalu kelelahan, maka niatnya itu pun di urungkan. Andai saja Haniyatul tidak sering sakit-sakitan barangkali dia akan menyekolahkan anaknya di pesantren lain yang mempunyai asrama untuk putri.

"Ya, Allah. Terlalu asyik ngobrol jadi lupa tujuan kemari mau beli seragam sekolah buat Habbah. Jika begitu kami izin duluan ya," ucap Damia dengan ramah.

"Iya, sampai ketemu lagi. InsyaAllah," Aida bersalaman dengan Damia di ikuti oleh Haniyatul. Tak lupa ia juga bersalaman dengan Habbah yaitu gadis manis berhijab pink yang ada di hadapannya.

***

Haniyatul mengusap percikan keringat yang membasahi dahinya. Ia berjalan beriringan dengan ibunya karena kawasan pasar tidak terlalu jauh dari kawasan perumahan mereka.

"Bissmillahirrahmanirrahim,"

"Ar-rahmaan,"

Terdengar lantunan ayat-ayat suci al-qur'an dari masjid Jami' yang berada tidak jauh dari posisi mereka saat itu yang sedang bersiap-siap untuk menyeberang jalan.

Hati Haniyatul Qoriah berdesir hebat, darahnya mengalir dengan cepat, serta merta jantungnya berdetak lebih kencang. Lantunan ayat-ayat Allah membuatnya merasa damai. Sehingga hampir saja ia mengalirkan air mata. Suara merdu yang bergema di telinganya kala ini sering didengarnya ketika Azan subuh berkumandang dan ketika Zuhur malah suara merdu itu seakan tergantikan dengan suara yang lain. Dan kali ini baru pertama kali ia mendengar suara itu bergema di setiap penjuru masjid Jami' ketika waktu-waktu sudah mendekati Zuhur. Namun, sekarang lelaki yang bersuara merdu itu tidak sedang azan tetapi sedang membaca surat Ar-rahman.

Haniyatul yakin laki-laki yang mengumandangkan Azan subuh tadi sama dengan laki-laki yang membacakan ayat al-qur'an detik ini.

Ia penasaran siapakah gerangan pemilik suara itu.

"Hani? Tidak mau menyeberang nak?"

Suara Aida membuat Haniyatul kembali tersadar dari lamunannya. Sontak ia buru-buru menyusul langkah kaki ibunya.

***

Haniyatul merebahkan tubuhnya di atas kasur setelah menyetrika baju sekolahnya dan memasukkan beberapa bukunya ke dalam tas ransel berwarna hitam. Ia masih lengkap memakai mukenanya setelah melaksanakan shalat isya.

Ia memejamkan matanya, menikmati suara merdu seseorang yang sekarang sedang membacakan surah Dhuha di masjid.

"Ya, Allah. Aku mohon pertemukan aku dengan pemilik suara itu," doanya di dalam hati.

Haniyatul penasaran sekali dengan sosok lelaki yang memiliki suara semerdu itu. Tambahan lagi suara itu melantunkan ayat-ayat suci al-qur'an dengan fasih sekali. Coba saja pagi tadi sewaktu ke pasar ia tidak bersama ibunya, sudah tentu Haniyatul akan menyusup ke masjid Jami' untuk melihat siapakah pemilik suara merdu yang mampu menggetarkan hatinya. Namun, sepertinya nasib tidak menyebelahinya kali ini.

Cahaya bulan pun menerobos masuk ke kamarnya, kunang-kunang berkumpul di jendelanya seakan tuhan mengabulkan doa gadis ini.

Di dalam masjid, terlihat seorang lelaki sedang melantunkan ayat-ayat suci al-qur'an yaitu surat Dhuha. Ia memejamkan matanya sembari mulutnya terkumat-kamit membaca ayat-ayat Allah, kunang-kunang mendekatinya seakan sedang menyinari laki-laki itu sehingga wajahnya yang putih memancarkan cahaya.

Matanya yang terpejam kini di buka. Ia melihat kunang-kunang yang berterbangan di atasnya. Lalu seekor kunang-kunang hinggap di atas al-qur'an yang di bacanya tadi. Dan Hazim Zaim tersenyum melihat hal itu.

***

Haniyatul mengayuh sepeda santainya yang berwarna oranye. Sepeda itu baru saja dibeli oleh ibunya. Baju baru, tas baru, sepeda baru dan semangat baru. Ia berharap hari ini semua berjalan dengan lancarnya atas izin Allah.

Bibirnya mengukir senyuman, ia sudah tidak sabar ingin tiba di sekolahnya. Tempat pertama yang ingin di kunjunginya sudah tentu perpustakaan karena Haniyatul adalah seorang gadis kutu buku dan penggemar novel-novel religi dan cerita-cerita dongeng. Kebetulan sekali di madrasah Nurul Hidayah terkenal dengan perpustakaannya yang memiliki puluhan bahkan ribuan buku yang setiap bulan buku-buku lama akan di gantikan dengan buku-buku yang baru.

"Aaaaa,"

Jleeeep!

Sebuah mobil melewati genangan air di jalan raya. Karena kebetulan semalam hujan tiba-tiba turun dengan derasnya pada pukul 10:00malam. Maka banyak genangan air di jalanan. Sedari tadi Haniyatul berusaha agar ia tidak terkena percikan genangan air tersebut tapi kini seragamnya kotor sudah. Dan ini semua disebabkan oleh mobil tadi

Haniyatul melihat baju sekolahnya, bajunya yang putih tadi kini sudah berubah warna menjadi kecokelatan. Perasaan kesal mulai menyerbu hatinya. Ingin saja ia menyumpah-nyumpah mobil mewah yang melewatinya tadi. Namun, ia harus sabar. Karena mungkin saja sekarang tuhan sedang mengujinya.

***

Haniyatul memarkir sepedanya di tempat parkir yang di sediakan oleh madrasah Nurul Hidayah. Baru beberapa langkah ia berjalan, tiba-tiba matanya menangkap mobil Afanza berwarna hitam. Iya, benar! Mobil itu yang membuat baju sekolahnya kotor.

Haniyatul memalingkan wajahnya. Sakit hati rasanya, karena pria yang mengemudi mobil itu tak pula meminta maaf padanya bahkan mobil itu melewatinya begitu saja.

"Maaf,"

Seorang laki-laki menyapa Haniyatul.

Merasa seseorang sedang berbicara padanya. Bergegas gadis itu membalikkan badannya. Di lihatnya seorang lelaki sedang berdiri di belakangnya. Dan tidak jauh dari lelaki itu terdapat mobil Afanza berwarna hitam. Haniyatul melirik sekilas ke arah mobil mewah itu. Kemudian, kembali melihat ke arah lelaki yang menyapanya tadi.

"Maaf, tadi sopir saya sudah membuat bajumu kotor," ucap Zaim.

Haniyatul tidak menggubris ucapan laki-laki tersebut. Dan bergegas menuju kearah bangunan yang terdiri dari dua lantai dengan deretan kelas-kelas jurusan IPA dan IPS.

"Eh, tunggu," Zaim menyusul langkah Haniyatul, dan berusaha menghentikan langkah kaki gadis tersebut.

"Sebentar!" teriak Zaim. Namun, Haniyatul tetap mempercepat langkahnya dan Zaim tak ingin kalah ia juga melakukan hal yang sama. Terjadilah kejar mengejar di antara mereka.

Braaak!

Zaim menarik tas ransel Haniyatul sehingga tali tas ransel gadis itu putus. Mata Haniyatul melebar ketika melihat tali tas ransel miliknya rusak. Padahal tas ransel itu baru saja di belinya kemarin.

Sementara Zaim pula, mulutnya membulat, tangan kanannya di gunakan untuk menutup mulutnya sementara tangan kirinya masih memegang tas ransel Haniyatul yang sudah rusak.

Begitu Haniyatul memandang kearah Zaim. Malah lelaki itu tersenyum lebar sambil menampakkan beberapa batang giginya.

Kisah kita baru saja di mulai. Pertemuan kau dan aku yang akan memunculkan sebuah perang besar.

To be continued...

Perang Dimulai

Ayo liat bagaimana takdir bekerja

______________________________________

Matahari mulai naik dikaki langit. Awan kian cerah, memancarkan keindahan warna birunya. Embun-embun mulai menetes dari dedaunan hijau. Bahkan jalan raya sudah terdengar bising dengan kendaraan yang lalu lalang di depan Madrasah Nurul Hidayah.

Braaak!

Zaim menarik tas ransel Haniyatul sehingga tali tas ransel gadis itu putus. Mata Haniyatul melebar ketika melihat tali tas ransel miliknya rusak. Padahal tas ransel itu baru saja di belinya kemarin.

Sementara Zaim pula, mulutnya membulat, tangan kanannya di gunakan untuk menutup mulutnya sementara tangan kirinya masih memegang tas ransel Haniyatul yang sudah rusak.

Begitu Haniyatul memandang kearah Zaim. Malah lelaki itu tersenyum lebar sambil menampakkan beberapa batang giginya.

Dbuuuk!

Buku-buku Haniyatul jatuh di atas tanah, gadis itu malah semakin melebarkan matanya. Emosinya sudah tidak tertahan lagi. Sedangkan Zaim pula bergegas mengangkat kedua tangannya ke udara, seakan mengatakan bahwa ia tidak bersalah.

Haniyatul melempar tasnya ke atas tanah yang permukaannya terdapat batu-batu kerikil kecil sehingga lebih menambah kesan mewah pada Madrasah Nurul Hidayah. Madrasah Nurul Hidayah adalah Madrasah yang dekorasinya menyongsong elemen-elemen keislaman dengan ukiran-ukiran kaligrafi di dinding-dinding sekolahnya tidak hanya itu, sekolah ini juga memiliki kolam yang berukuran sederhana dengan jembatan diatasnya yang menghubungkan kearah bangunan sebelah barat. Kolam itu terisi dengan ikan berwarna-warni.

Pandangan Haniyatul terarah pada Zaim, ia tidak bisa lagi menahan amarahnya. Bajunya kotor, tasnya rusak, dan kini buku-bukunya berhamburan di atas tanah.

"Ya, Allah. Baju ku kotor, tas ku rusak, buku berhamburan setelah ini apa lagi?" ucap Haniyatul sambil menyilangkan tangannya ke dada.

Sekali lagi Zaim tersenyum lebar. Tangannya masih juga tak di turunkan, "maaf, lagian salah siapa juga? Dari tadi di panggil malah saya diabaikan."

Jreeeng!

Haniyatul melayangkan tatapan elangnya pada Zaim. Sudahlah bersalah malah lelaki itu menuduhnya juga bersalah karena mengabaikan panggilannya.

"Sungguh sopan sekali Anda meminta maaf, sudah melakukan kesalahan malah berkata saya juga bersalah. Jadi maksud Anda di sini saya pokok permasalahannya? Sopirnya mengemudi tidak liat-liat, eh. Ternyata tuan mudanya juga malah begini sikapnya," Haniyatul mulai mengeluarkan segala yang ada di pikirannya. Ia tidak peduli lagi apa laki-laki itu akan marah atau tidak.

Zaim menurunkan tangannya. Alisnya di naikkan sebelah, sungguh ia merasa tersindir sekali.

"Saya yang kurang sopan santun? Saya sudah minta maaf yang situ itu malah tidak menjawab. Sombong sekali Anda," balas Zaim tak kalah pedasnya.

Haniyatul dan Zaim pun mulai beradu mulut, tidak dipedulikan lagi bagaimana seluruh siswa melihat mereka. Suara mereka memenuhi setiap sudut ruangan sekolah. Bu guru yang ada di kantor sekolah pun mulai menengok keluar kantor. Kebetulan sekali kantor sekolah berhadapan dengan lapangan tempat Zaim dan Haniyatul berkelahi.

Seorang guru wanita berkaca mata dengan jilbab panjang berwarna cokelat datang menghampiri Zaim dan Haniyatul.

"Anda yang salah," ucap Zaim. Masih mempertahankan argumennya.

"Anda yang salah," balas Haniyatul.

"Ada apa ini?"

Zaim dan Haniyatul terdiam. Suara ibu guru itu bagaikan petir yang menyambar ditelinga mereka. Masing-masing mulai tersadar di mana posisi mereka sekarang. Mata mereka terarah pada sekeliling yang sudah di penuhi para siswa yang keasyikan menonton perkelahian mereka.

***

Zaim dan Haniyatul berdiri menghadap kearah meja kepala Madrasah. Ternyata kepala Madrasah Nurul Hidayah adalah seorang wanita berusia 40an.

"Muhammad Hazim Zaim," gumam Qamariah. Tangannya membuka lembaran demi lembaran yang berisi tentang identitas siswa.

Nama\= Hazim Zaim

Umur\= 15tahun

Kelas\=X. Ipa.2

Nama orang tua :

Ibu: Fitriah S. Pd. M. Ag

Profesi: Dosen

Ayah: Kiai Abdul Zahid

Profesi: Kiai, mengajarkan ilmu agama di pondok-pondok pesantren.

Setelah membaca lembaran berisi Identitas Zaim, Bu Qomariah membuka satu lagi lembaran yang berisi tentang identitas Haniyatul.

Nama: Haniyatul Qoriah

Umur: 15tahun

Kelas: X. Ipa.1

Nama orang tua:

Ibu: Aida

Profesi: Ibu rumah tangga

Ayah: Lukman

Profesi: Nelayan

Bu Qomariah menutup buku identitas yang berukuran besar bersampul hijau tua. Ia tidak pula membaca sampai habis identitas kedua siswa itu. Cukup mengetahui nama, kelas, nama kedua orang tua, dan profesi kedua orang tua mereka. Tanggal lahir dan sebagainya tidak pula diambil tahu oleh guru tersebut. karena setelah ini ia ada rapat jadi ia harus membereskan masalah kedua siswanya dengan segera.

Bu Qomariah menyentuh bingkai kaca matanya lalu memandang kearah Haniyatul dari atas kebawa. Dilihatnya baju gadis itu kotor dengan tas rusak, kedua tangannya pula memegang buku-bukunya yang terlihat masih baru.

"Ada apa ini? Masalahnya apa?" tanya Bu Qomariah pada kedua siswa yang ada di hadapannya.

"Maaf ustazah, tadi--tadi sopir saya tidak sengaja melewati genangan air yang ada di jalan raya dan genangan air itu mengenai baju--" Zaim menghentikan kata-katanya. Ia ternyata belum mengetahui nama gadis yang berkelahi dengannya tadi.

"Haniyatul," ucap Bu Qomariah.

Tanpa diperintahkan, Zaim langsung melanjutkan lagi ucapannya.

"Genangan air itu mengenai baju Haniyatul, dan malangnya sopir saya tidak meminta maaf. Dan begitu tiba di sekolah, saya ingin mewakili sopir saya untuk meminta maaf pada Haniyatul. Akan tetapi, dia tidak menggubris sedikit pun panggilan saya. Saya mengejarnya dan akhirnya jadi begini," jelas Zaim panjang lebar. Ia menundukkan kepalanya.

"Kamu, Haniyatul. Kenapa tidak menjawab panggilan Zaim?" Kini pandangan Bu Qomariah terfokus pada Haniyatul.

Haniyatul meremas kasar telapak tangannya. "Saya... Saya...," ucap Haniyatul terbata-bata.

"Sa...Saya belum pernah berbicara dengan cowok selain dengan keluarga dan ayah saya, karena itu saat laki-laki ini memanggil saya, saya jadi takut," jelas Haniyatul pula.

"Bwahahahahah,"

Zaim tertawa sekeras-kerasnya. Sedangkan Bu Qomariah pula mulai menahan tawanya.

Haniyatul menundukkan kepalanya karena wajahnya yang mulai memerah diakibatkan rasa malu yang mulai menyelubungi hatinya. Sedangkan Zaim, suara tawanya sudah memenuhi ruangan kantor.

Bu Qomariah melihat kearah gadis polos yang ada di hadapannya kini. Inilah sebabnya mengapa ia menggabungkan siswa laki-laki dan perempuan di kelas yang sama, hal ini karena agar mereka tidak terlalu canggung ketika bertemu nanti. Apalagi sampai terbawa perasaan saat tidak terbiasa melihat lawan jenis. Dan sudah tentu dengan menggabungkan siswa laki-laki dan perempuan juga akan mengakibatkan masalah. Namun, menurutnya masalah apapun itu akan bisa dihindari jika orang tua dan guru saling bekerja sama membangun karakter dan kepribadian para siswa dengan tidak hanya menjadi siswa yang pintar saja. Tetapi, menjadi siswa pintar dan beretika. Namun, ada juga beberapa pesantren yang tidak sepahaman dengan pemikiran Bu Qomariah. Akan tetapi, Bu guru ini tidak pula mengambil pusing akan hal itu karena setiap orang bebas untuk berpendapat dan bertindak sesuai undang-undang negara dan ajaran agama.

"Ehem," Bu Qomariah berdehem. Serta merta suara tawa Zaim langsung tidak terdengar lagi. Meski orang tuan Zaim kaya, itu tidak menjadikannya siswa yang sombong dengan kekayaan orang tuanya.

"Menurut saya, kalian berdua salah, Zaim sekarang minta maaf dengan Haniyatul," perintah Bu Qomariah.

Tanpa membantah sedikit pun Zaim langsung meminta maaf seraya membungkukkan badannya," maaf, saya benar-benar minta maaf,"

"Hmmm," gumam Haniyatul, ia menundukkan wajahnya.

Bu Qamariah menghela napas panjang. Baru awal masuk sekolah perkelahian sudah terjadi. Bagaimana untuk dua tahun kedepannya? Guru ini pun menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tidak habis pikir dengan tingkah kedua siswa itu.

"Karena kalian sudah berkelahi pada saat awal masuk sekolah, sebagai hukumannya berdiri didepan kantor, Zaim di sebelah kanan dan Haniyatul di sebelah kiri, dengan jarak tiga meter sampai jam mata pelajaran pertama selesai," sekali lagi Bu Qomariah memberikan perintah.

"Oh, iya. Saya hampir lupa. Zaim ganti tas ransel Haniyatul yang sudah kamu rusakkan. Paham!" Lanjutnya.

"Paham ustazah!" Sahut Zaim pula.

***

Bu Qomariah berpidato di depan ratusan siswa baru, terlihat dari sorot matanya kewibawaannya sebagai seorang kepala Madrasah.

"Saya harap kalian dapat mematuhi peraturan-peraturan sekolah dengan baik, dan ingat! Siswa yang tidak hadir ke sekolah lebih dari tiga kali tanpa alasan yang wajar akan saya keluarkan dari sekolah demikian juga dengan yang bolos,"

Begitulah isi pidato yang diucapkannya dengan mencantumkan sebuah ancaman agar para siswa tidak berani alpa sesukanya apalagi bolos.

Siswa yang berbaris mulai menahan tawa ketika melihat Zaim dan Haniyatul dihukum di hari pertama masuk sekolah.

"Siapa perempuan itu?" tanya Aydan.

"Aku tidak tahu, kita baru saja masuk sekolah. Bertemu dengannya saja tidak pernah," jawab Mukhlis pula. Pandangan kedua siswa ini terpusat pada Haniyatul dengan perasaan yang penasaran terhadap gadis itu.

***

Matahari semakin terik, percikan keringat mulai membasahi dahi Zaim dan Haniyatul. Zaim memandang kearah Haniyatul. Gadis itu di tempatnya.

Zaim mulai melemparkan batu kerikil kecil pada Haniyatul sehingga mengenai sepatu gadis itu. Namun, sayangnya. Haniyatul tidak melirik sedikit pun kearah Zaim. Gadis itu masih melihat lurus kedepan.

Zaim tidak ingin menyerah. Ia kembali mengambil batu kerikil kecil dan melemparkannya pada Haniyatul. Sekali lagi batu kerikil itu mengenai sepatunya. Namun, gadis itu masih tidak memandang kearah Zaim.

"Gadis ini benar-benar berbakat mengabaikan orang," gumam Zaim.

***

Haniyatul masuk ke dalam kelasnya. Wajahnya berubah merah karena sedari tadi berjemur dibawah terik matahari.

Ia melihat sekelilingnya. Ternyata ada satu bangku yang kosong di urutan ke tiga, bergegas Haniyatul menuju kearah bangku itu.

"Maaf, apa bangku ini kosong?" tanya Haniyatul, bibirnya terasa kering karena ia belum pernah membasahkan tenggorokannya dengan air setelah dijemur di bawah sinar matahari seperti ikan kering.

"Oh, kursi ini kosong," ucap seorang gadis berjilbab panjang, berwarna putih dan berkaca mata. Gadis itu sempat melirik sekilas kearah bangku kosong yang ada di sebelahnya, tepat dekat dengan jendela.

"Bisa saya duduk disini?" tanya Haniyatul.

"Ah, bisa. Silahkan," Jawab gadis berkacamata sembari menepikan badannya.

"Perkenalkan namaku Ainul Jariah," ucap gadis berkaca mata itu lagi, sambil mengulurkan tangannya pada Haniyatul dengan niat untuk bersalaman.

"Nama saya Haniyatul Qoriah, panggil Haniyatul saja," Haniyatul menyambut uluran tangan gadis itu. Kemudian, duduk diatas bangkunya.

Baru berapa menit Haniyatul di kelas, seorang guru laki-laki pun datang, guru itu mengajarkan mata pelajaran Fikih.

"Assalamualaikum," ucap guru laki-laki tersebut, yang sering di panggil dengan nama ustadz Zulfikar.

"Walaikumsalam warahmatullahi wabarakatu," jawab semua siswa yang ada di kelas dengan serempak.

Ustadz Zulkfikar meletakkan buku paket diatas meja. Kemudian, ia mengambil map kuning yang ada di mejanya. Di dalam map kuning itu berisikan absen siswa kelas X. Ipa.1.

Matanya membaca satu persatu nama siswa. Ternyata semua siswa hadir hari ini.

Guru laki-laki itu berjalan kearah papan tulis sambil memegang map berwarna kuning tersebut.

"Alhamdulillah, semua hadir ya?" ucapnya.

"Iya, pak," jawab sebagian siswa.

"Ini pertama kali kita ketemu bukan? Perkenalkan nama saya Muhammad Zulfikar, bisa dipanggil ustadz Zul, atau ustadz Zulfikar juga bisa," ucapnya seraya menatap satu persatu siswa kelas X. Ipa.1.

"Oh, kamu yang dihukum tadi kan?" tanya ustadz Zulfikar pula seraya pandangannya terfokus pada Haniyatul.

"Iya, ustadz," sahut Haniyatul sambil tertunduk malu. Bagaimana ia tidak malu, hari pertama seharusnya ia memberikan kesan yang baik untuk guru-guru. Tetapi sekarang hancur sudah reputasinya.

Drrrt!

Ponsel ustadz Zulfikar bergetar, bergegas guru muda itu mengambil ponselnya dari kantong celananya.

"Assalamualaikum,"

Guru itu menjawab panggilan yang masuk. Sedangkan, siswa yang lain mulai melakukan aktivitas mereka, ada yang membuat gambaran abstrak di belakang buku dan ada pula yang asyik mengobrol.

Haniyatul melirik arloji yang terpasang ditangan kanannya. Ternyata masih ada 30 menit sebelum istirahat. Ia sudah tidak sabar ingin istirahat karena sememangnya sekarang ia haus sekali.

"Hush... Hush!"

Terdengar suara di jendela seakan-akan sedang memanggil Haniyatul. Awalnya gadis itu mengabaikan suara itu. Tetapi suara tersebut tak henti-henti ribut di jendelanya, mau tidak mau ia memalingkan wajahnya kearah sumber suara.

Di jendela terlihat Zaim sedang tersenyum lebar ketika mereka sedang beradu pandang. Dibelakang lelaki itu ada dua siswa laki-laki.

"Apa?" tanya Haniyatul dengan suara berbisik-bisik.

Zaim pun mengulurkan botol air Aqua pada Haniyatul.

"Nah minum, jangan khawatir aku tidak meletakkan racun di air itu," Zaim berseloroh, dan tangannya masih mengulurkan air Aqua pada Haniyatul.

"Aku tidak haus," tolak Haniyatul. Ia memandang lurus kearah papan tulis.

"Ya, tuhan. Cewek ini, cepat ambil air ini sebelum ustadz selesai menjawab panggilannya," ucap Zaim lagi. Ia tidak ingin ketahuan oleh ustadz Zulfikar. Bisa-bisa nanti ia akan dihukum lagi karena dikira mengganggu Haniyatul.

"Tidak mau," tolak Haniyatul dengan tegas.

Zaim melihat kearah ustadz Zulfikar, terlihat guru itu sudah hampir selesai berbicara di teleponnya. Mau tidak mau, botol air Aqua itu diletakkan saja diatas meja Haniyatul dengan susah payahnya.

Haniyatul membulatkan matanya, ia tidak menyangka lelaki tersebut senekat itu. Dengan senyuman yang mengembang Zaim pun berlalu di ikuti oleh dua orang temannya.

"MasyaAllah, sungguh pemandangan yang indah," Ainul membuka bicara setelah sedari tadi terdiam. Ia terkagum-kagum dengan ketampanan ketiga laki-laki tersebut.

"Kamu kenal mereka?" tanya Haniyatul.

"Iya, sudah tentu. Di sekolah ini tidak ada yang tidak mengenal mereka bertiga. Bahkan sebelum masuk sekolah rumor tentang mereka sudah tersebar luas. Yang berada disebelah kanan Zaim tadi adalah Muhammad Aydan Atthullah, terkenal dengan laki-laki berparas bule dengan sikap cool dan cuek, pendiam dan tidak cerewet. Ibunya berprofesi sebagai Profesor dan ayahnya bekerja di sebuah perusahaan besar. Yang ada disebelah kiri Zaim pula adalah Muhammad Mukhlis Asyraf. Dia satu-satunya cowok yang paling cerewet diantara ketiga mereka tadi. Ia keturunan tiongkok muslim, Ibu Mukhlis berprofesi sebagai kepala sekolah. Sedangkan, ayahnya mengurus restoran keluarganya. Dan terakhir adalah Muhammad Hazim Zaim. Menurut siswi perempuan, Zaim adalah yang paling populer ketimbang Aydan dan Mukhlis. Hal ini karena pesona parasnya dan sikapnya yang lembut. Zaim memiliki darah keturunan Arab. Kakeknya adalah orang Arab yang menikahi neneknya, yaitu gadis asli Indonesia. Oleh karena itu tidak heran jika paras wajahnya mirip seperti orang Arab. Dan Zaim adalah sepupuku," ucap Ainul panjang lebar. Diakhir ucapannya ia tersenyum manis pada Haniyatul. Sedangkan, Haniyatul pula membulatkan matanya ketika mengetahui bahwa Ainul adalah sepupu Zaim. Wajah keterkejutannya tidak bisa di tutupi lagi. Jika ia tahu dari awal bahwa gadis yang akan menjadi teman sebangkunya adalah sepupu dari laki-laki yang sudah merusakkan tasnya. Sudah tentu ia lebih memilih duduk di lantai ketimbang harus duduk disebelah Ainul.

***

Proses pembelajaran terus berlangsung. Terlihat ustadz Zulfikar tidak mempunyai tanda-tanda untuk berhenti mengajar sejenak. Bahkan bel juga belum berbunyi padahal sudah 5menit berlalu masa untuk istirahat bagi para siswa.

Tenggorokan Haniyatul benar-benar kering. Botol yang di berikan Zaim padanya tadi masih tidak di sentuh sedikit pun.

Ya, Allah. Kapan istirahat, batin Haniyatul. Gadis itu memandang botol air Aqua yang menggiurkan baginya.

Zaaap!

Ia menyambar kasar botol air Aqua tersebut lalu di minumnya air itu dengan rakus.

Ustadz Zulfikar tidak melihat kelakuan Haniyatul karena ia sedang menulis dipapan tulis. Hanya Ainul saja dan beberapa orang siswa lain yang mulai menahan tawa mereka.

Haniyatul menutup kembali botol air Aqua tersebut. Di lihatnya air dibotol itu sudah setengah. Ia juga menghela napas lega karena ia sudah tidak haus lagi.

Triiiing! Triiiing!

Bel berbunyi menandakan waktu istirahat sudah usai. Haniyatul pun meletakkan kembali botol air Aqua ketempatnya semula. Namun, baru saja botol itu di letakkan, gadis itu sudah berteriak kecil karena wajah Zaim sedari tadi dekat dengan kaca jendela.

Zaim tersenyum tipis ketika mendapati air di dalam botol Aqua sudah setengah. Sedangkan, mata Haniyatul juga mengikuti arah pandang Zaim, mata Haniyatul melebar. Bergegas ia memegang botol berwarna putih bening itu. Ia berniat ingin menyembunyikan botol itu agar Zaim tidak tahu bahwa air yang di berikannya tadi sudah ia minum hingga hampir habis. Akan tetapi, sepertinya sudah terlambat karena sedari tadi Zaim memperhatikan Haniyatul pada saat menyeruput air Aqua itu dengan rakus.

Haniyatul memukul kecil jidatnya. Untuk pertama kali keegoisannya runtuh dihadapan makhluk bernama laki-laki. Dan Zaim pula berlalu dengan penuh kemenangan.

Sepertinya kali ini aku yang menang Haniyatul.

~Hazim Zaim~

Bunga Sakura

Cahaya matahari menyinari bumi, terik cahayanya membuat percikan keringat di dahi seorang gadis yang sedang mengayuh sepeda santai. Hari ini musim semi telah tiba, bunga-bunga cinta pun kembali bermekaran. Mengetuk tiap pintu hati yang diberikan rasa cinta oleh sang pencipta.

Haniyatul memegang sepucuk surat sambil tetap mengayuh sepedanya dengan laju. Sesekali percikan keringatnya dihapus kasar agar tidak menitik mengenai pipinya.

Haniyatul menghentikan sepedanya begitu tiba di rumah kayu dengan bentuk sederhana, tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil. Dekorasinya seperti rumah zaman dulu kala. Namun, masih terkesan modern. Mulai dari lantai hingga ke dinding. Semuanya berbahan kayu, di halaman rumahnya pula terlihat rumput-rumput hijau dan pendek bagaikan sebuah karpet. Sungguh siapa saja yang ke rumah ini akan merasa damai dengan kicauan burung dan semilir angin yang menyejukkan.

"Assalamualaikum," Haniyatul memberi salam. Sepatu sekolahnya dilepas lalu di susun di rak sepatu.

"Walaikumsalam," jawab sang ibu dari ruang tamu.

Haniyatul bergegas masuk ke dalam rumah dan mencari sosok ibunya.

"Ibu," ucap gadis tersebut sambil mengambil posisi duduk di sebelah ibunya yang sedang menjahit baju yang robek.

"Hmmm," gumam Aida. Ia tidak pula menghentikan aktivitasnya.

"Ada surat dari sekolah," ucap Haniyatul. Sesekali terlihat gadis itu mengibas-ngibas jilbabnya karena merasa gerah.

"Surat apa?" Kini Aida menghentikan aktivitasnya. Lalu pandangannya terarah pada anaknya.

"Surat dari sekolah bu, kepala sekolah menyuruh surat ini dibagikan pada ibu," jelas Haniyatul.

"Kamu tidak membuat onar di sekolahkan, nak?" tanya Aida. Baru pertama kali ia mendapat surat dari kepala sekolah selama Haniyatul bersekolah. Ia takut jika anaknya itu membuat hal yang mengundang emosi para guru.

"Ah.. ibu, anak ibu ini anak baik-baik bu, tidak mungkin saya menjadi pembuat onar di sekolah," Haniyatul mulai memuji dirinya sendiri.

Aida tertawa, kemudian mengambil surat yang di berikan oleh putrinya. Dibacanya isi surat itu.

"Lah, mulai besok kamu sekolah sore nak," ucap Aida. Lalu surat itu diletakkan secara sembarangan di atas meja.

"Iya, bu. Soalnya beberapa gedung sekolah sedang di renovasi. Dan beberapa kelas juga akan dibuat di sebelah selatan, karena jumlah kami yang banyak menyebabkan kelas tidak cukup jika ditempati oleh semua siswa secara bersamaan. Makanya kepala sekolah mengambil keputusan untuk mengadakan dua sesi belajar. Sesi pertama dari pukul 07:30 - 01:30 siang. Dan sesi kedua pula dari pukul 01:30- 05:40 sore," jelas Haniyatul.

"Jadi kamu sesi keberapa nak?" tanya Aida.

"Sesi kedua, bu," jawab Haniyatul, wajahnya terlihat kurang senang karena ditempatkan di sesi kedua.

"Oh, begitu. Padahal sekolah kamu itu besar, tapi masih juga kekurangan kelas," ucap Aida. Kali ini ia melanjutkan kegiatannya yang tertunda tadi.

"Jumlah siswa baru banyak ibu, sekitar tiga ratusan jadi tidak heran jika kepala sekolah harus membagi sesi sehingga beberapa ruangan kelas selesai di revisi dan dibangun, tapi bu. Haniyatul kurang suka jika harus di sesi kedua," Haniyatul mulai menceritakan hal yang membuatnya kurang senang hari ini. Beginilah sikap Haniyatul Qoriah gemar sekali berbagi suka maupun duka pada ibunya. Ia tidak segan-segan untuk curhat apapun itu pada ibunya.

"Mau sesi pertama atau pun sesi kedua sama saja, nak. Yang penting kamu sehat-sehat dan bisa sukses," ucap Aida. Ucapan sang ibu ini selalu saja bisa menjadi solusi bagi anaknya. Tidak hanya itu, kata-katanya bagaikan penawar yang mengobati segala keresahan. Dibalik ucapannya menjadikan anaknya tidak takut menghadapi kejamnya dunia.

Haniyatul tersenyum, ia menatap dalam-dalam mata teduh ibunya yang selalu membuatnya bahagia. Dimata tua itu selalu saja ada rasa kasih sayang yang tiada habisnya.

"Bantu ibu masukkan benang di jarum," pinta Aida. Ia memberikan jarum yang dipegangnya pada putrinya. Mata teduhnya itu kini tidak seterang dulu karena usianya yang semakin bertambah. Haniyatul berharap ibunya akan selalu dalam keadaan sehat sehingga bisa melihatnya meraih kesuksesan.

***

Terkadang insan baru yang hadir dalam kehidupan selalu saja bisa memberikan warna, kesan, bahagia, dan luka. Bagaimana cara orang itu datang menghampiri, atau datang mendekati semua itu ternyata takdir yang tertulis. Seperti aku bertemu denganmu di musim semi.

______________________________________________

Hari pertama masuk sekolah sore yakni di sesi kedua. Terasa aneh saja saat masuk sekolah siang-siang begini. Apa mungkin karena belum terbiasa jadi banyak siswa yang masih mengeluh. Apalagi siswa yang harus ke sekolah menaiki sepeda. Beberapa siswa yang baru datang ke sekolah lebih memilih nongkrong di kantin.

Di kantin sekolah terdiri dari beberapa meja yang tersusun memanjang. Lantainya berwarna biru dengan empat tiang yang menjadi pilar penyangga. Tidak hanya itu. Di tiang penyangga itu juga terdapat ukiran-ukiran kaligrafi yang unik.

Suasana di lapangan sekolah terlihat sunyi. Kelas-kelas juga terlihat kosong. Mungkin beberapa siswa belum hadir atau masih nongkrong di kantin untuk membasahi tenggorokan mereka karena cuaca yang panas.

Haniyatul berjalan ke kelas sembari mengecek tas ranselnya yang sudah dijahit seperti semula. Walaupun jahitannya kurang rapi tapi tas ranselnya masih terlihat baru dan bersih karena baru beberapa hari digunakan ke sekolah.

Beberapa hari yang lalu Zaim ingin mengganti tas ransel Haniyatul yang ia rusakkan. Namun, gadis itu menolak dengan keras. Haniyatul lebih memilih memperbaiki kembali tas ranselnya yang rusak ketimbang harus menerima tas baru yang diberikan oleh laki-laki itu.

Haniyatul terus mengobrak-abrik tas ranselnya, mencari pulpen berwarna biru sambil berjalan tanpa melihat ke depan.

Braaak!

Haniyatul menabrak seseorang. Karena tubuhnya yang kecil malah ia pula yang terdorong ke belakang, padahal ia yang menabrak orang.

"Maaf," ucap Haniyatul sembari menggosok-gosok dahinya yang terasa sakit.

Aydan menoleh kearah belakang setelah merasakan seseorang menabrak tas ransel yang ada di pundaknya. Untung saja Haniyatul hanya menabrak belakang laki-laki itu. Andai saja mereka saling berhadapan entah apa yang akan terjadi.

"Maaf," Haniyatul membungkukkan badannya sembari sekali lagi meminta maaf.

Aydan tidak menggubris permintaan maaf Haniyatul. Tetapi, lelaki itu mengambil pulpen biru yang terjatuh di hadapannya. Lalu pulpen itu diberikan pada Haniyatul

Gadis itu mematung di tempat begitu Aydan memberikan pulpen padanya. Tatapan mata Aydan dingin, sedingin es yang mampu mendinginkan musim semi bulan ini. Raut wajahnya bersinar, secerah sinar matahari dan seindah cahaya bulan. Hidungnya kecil, bibirnya berwarna merah ranum. Jadi memang tidak heran jika lelaki ini digilakan banyak perempuan.

"Astagfirullah," Haniyatul menundukkan pandangannya. Ia tahu, ia tidak sewajarnya terlalu mengagumi ketampanan laki-laki itu. Apalagi sampai bisa membawa zina mata.

Pulpen yang diberikan oleh Aydan diambil oleh Haniyatul.

"Terima kasih," ucap gadis itu seraya berlalu pergi.

Aydan bergeming di tempatnya, pandangannya masih lurus ke depan padahal Haniyatul sudah beranjak pergi. Semilir angin bertiup mengenai wajahnya. Lalu bibirnya mengukir sebuah senyuman.

***

Haniyatul memilih duduk di kelas sebelum jam pelajaran masuk. Pandangannya lurus melihat keluar jendela, dilihatnya beberapa siswa sedang lalu lalang di luar kelasnya. Namun, tiba-tiba matanya menangkap sosok laki-laki yang dikenalnya. Laki-laki itu berjalan di belakang seorang gadis berjilbab panjang berwarna abu-abu. Wajah gadis itu begitu menenangkan, dan seperti sebuah lukisan. Sungguh mahakarya tuhan yang begitu indah sekali.

"Cantik bukan?" tiba-tiba saja suara Ainul menyapa kuping telinga Haniyatul, membuat gadis itu menoleh ke samping atau tepatnya ke arah teman sebangkunya itu yang sudah duduk disebelahnya.

"Siapa itu?" tanya Haniyatul.

"Gadis itu namanya Humaira. Ia sudah berteman dengan Aydan sedari kecil," jelas Ainul. Matanya tak lepas dari memerhatikan Aydan yang saat itu berjalan di belakang Humaira.

"Teman masa kecil," gumam Haniyatul.

"Tapi semua orang tahu, bahwa Aydan menyukai Humaira. Namun, sepertinya laki-laki itu ditolak," ucap Ainul lagi. Di wajahnya terbit rasa sedih. Apa mungkin Ainul juga menyukai Aydan?

Meong!

"Eh. Kucing," teriak Ainul. Gadis itu terlihat gemas dengan anak kucing yang berada tidak jauh dari mejanya.

Mata Haniyatul juga berbinar terang begitu melihat anak kucing berbulu oranye putih tersebut.

"Hani, kayaknya anak kucing ini kesasar," ucap Ainul.

"Lah.. bagaimana kamu tau anak kucing itu kesasar?" tanya Haniyatul pula.

"Di belakang gedung sekolah kita ada rumah kucing di bawah pohon yang daunnya rindang. Barangkali ibu anak kucing ini ada di sana. Aku mau minta tolong Hani, bawa anak kucing ini ke sana sebelum nanti diganggu oleh siswa laki-laki," pinta Ainul.

"Kita pergi ke belakang sekolah bareng yuk!" ajak Haniyatul pula.

"Maaf, tapi aku alergi dengan bulu kucing," jelas Ainul. Gadis ini teramat menyukai kucing. Namun, sayang. Ia alergi pada bulu kucing. Gadis ini akan bersin-bersin jika memegang kucing.

"Baiklah, biar aku pergi sendiri saja. Jika ada guru, bilang aku ke belakang sekolah mengantar anak kucing yang kesasar," pesan Haniyatul pada Ainul. Yang dijawab dengan anggukan kepala oleh teman sebangkunya itu.

Anak kucing berwarna oranye putih itu diangkat oleh Haniyatul. Di elusnya perlahan kepala si anak kucing tersebut sembari melangkah keluar kelas.

"Aku ingin memberimu nama," gumam Haniyatul.

"Nama apa ya yang bagus," Haniyatul mulai bermonolog sendiri.

"Gendut," gumamnya. Berhubung anak kucing itu Gendut maka dipanggillah si Gendut. Lalu ia terkekeh sendiri, merasa lucu dengan nama yang diberikan pada si anak kucing.

***

Begitu tiba di pohon yang daunnya rindang. Tampaklah sebuah rumah kucing berwarna cokelat. Sepertinya kepala sekolah Madrasah ini sangat menyayangi hewan.

Di depan rumah kucing itu terlihat ibu kucing sedang menunggu anaknya. Haniyatul meletakkan si Gendut di hadapan ibunya dengan hati-hati.

"Gendut.. kamu jangan nakal-nakal ya," pesan Haniyatul pula pada si anak kucing sambil mengelus kepalanya.

Terlihat si ibu kucing menjilati bulu anaknya. Tampaknya kucing itu sudah terbiasa dengan kehadiran manusia.

Haniyatul pun membalikkan tubuhnya dengan niat untuk pergi. Namun, niatnya itu terhenti. Di hadapannya terlihat Aydan sedang memegang kaleng makanan kucing. Pandangan mereka beradu. Kemudian, masing-masing menundukkan wajah.

Dedaunan berjatuhan bagaikan bunga sakura. Dan sekali lagi takdir mempertemukan mereka. Membuat hati Haniyatul yang sekeras batu kian melunak. Apakah lelaki itu yang menjadi idaman Haniyatul? Ataukah posisi Zaim hanya sekedar pemeran pendukung saja.

TBC

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!