Di sebuah ruangan yang serba putih dengan bau obat-obatan yang menyengat. Terlihat seorang wanita terduduk di atas brankar nya sembari menatap ke arah jendela. Sedari tadi, tangan kanannya memegang perutnya. Sedangkan, tangan kirinya mencengkram sebuah selimut kecil berwarna biru. Tatapannya terlihat penuh kehampaan dan kekosongan yang baru saja dia alami dalam hidupnya.
Cklek!
Mendengar suara pintu, tak membuat wanita itu mengalihkan pandangannya. Tatapannya tetap mengarah ke arah jendela, menghiraukan suara langkah kaki yang mendekat padanya. Tanpa dia menoleh, dia pun sudah tahu siapa orang yang baru saja memasuki kamarnya.
Srett!
Wanita itu melirik sebuah kertas yang di sodorkan padanya, dia pun mengalihkan pandangannya dan menatap seorang pria berjas hitam yang berdiri di sebelah brankarnya. Tatapan pria itu terlihat datar, dia hanya menatap wanita di hadapannya tanpa ekspresi apapun. Dengan tatapan kosong, wanita itu mengambil kertas tersebut dan membacanya.
"Sesuai kesepakatan, kita akan bercerai setelah anak itu lahir. Tapi sayangnya, tenyata anak itu meninggal sebelum dia bisa lahir ke dunia. Aku tak membenci anak kita, walaupun pernikahan ini karena perjodohan para orang tua. Aku tak akan lagi memaksa hatiku untuk mencintaimu, karena sampai kapan pun ... aku tak akan bisa mencintaimu." Ujar pria itu tanpa membuat wanita tersebut menoleh pada nya.
Wanita itu hanya diam, dia menatap selembar kertas di tangannya dengan hati yang semakin terasa sakit. Keterdiamannya, membuat pria di sebelahnya geram. "ALUNA! JANGAN MEMBUATKU MENUNGGU LAMA! CEPAT TANDA TANGANI SURAT INI!" Sentak pria itu.
Aluna Sagita, seorang wanita cantik berusia dua puluh empat tahun. Satu tahun lalu, dirinya menikah dengan pria bernama Efendi Kalingga. Karena wasiat perjodohan mendiang orang tuanya. Aluna menjadi yatim piatu sejak dirinya berusia delapan belas tahun, dan dirinya pun di rawat oleh orang tua Efendi sampai dirinya menikah dengan putra mereka. Walaupun pernikahan itu terkesan terpaksa, tapi Aluna bisa mencintai suaminya. Tapi tidak dengan Efendi, dia tak mencintai Aluna dan bahkan tak memperlakukannya dengan baik.
Kehidupan rumah tangga mereka tak berjalan selayaknya rumah tangga normal pada umumnya. Sampai dimana Aluna hamil, Efendi merasa dia harus mempertahankan Aluna dan mencoba mencintainya. Namun, pria itu tak bisa. Dia sudah mencoba berusaha untuk mencintai Aluna, tetapi hatinya tetap tak bisa mencintai wanita yang masih menjadi istrinya saat ini.
Hingga, di saat kandungan Aluna yang baru menginjak usia Tujuh bulan. Tak di sangka, hidupnya kembali di terpa sebuah badai yang membuatnya merasa semakin rapuh. Dimana, Bayi Aluna meninggal di dalam kandungan sebelum bayi itu sempat di lahirkan. Efendi merasa itu sebuah kesalahan Aluna, dan dia semakin yakin untuk menceraikan wanita di hadapannya saat ini.
"Kamu sengaja membuat bayiku tiada agar kita bisa bercerai kan?" Pertanyaan Aluna membuat Efendi murka, dia langsung mencengkram pipi wanita itu hingga membuatnya merasa kesakitan.
"Buat apa aku memb*nuh anakku sendiri?! Kamu lah, ibu yang tidak becus menjaga anakmu sendiri! Bagaimana kamu bisa layak menjadi istriku hah?! Sedangkan menjadi ibu saja kamu gagal!" Perkataan Efendi membuat Aluna merasa tersudutkan.
"Cepat tanda tangani surat perceraian kita! Aku sudah muak dengan pernikahan membosankan ini!" Sentak Efendi dan menghempaskan pipi Aluna begitu saja.
Efendi mengambil sebuah pena dari dalam saku jasnya dan melemparnya di hadapan Aluna. Perlahan, wanita itu mengambilnya dan mulai menandatangani kertas perceraian yang pria itu bawakan untuknya. Batin Aluna semakin sakit, setiap goresan tinta yang dia ciptakan membuat luka di hatinya seakan semakin menganga. Sakit, d4d4nya terasa sesak hingga sulit bernafas. Walaupun Efendi tak mencintainya, tapi tak bisa terelakkan jika ada kenangan yang keduanya bangun walaupun itu hanya sedikit.
"Sudah kan?" Efendi mengambil kertas itu kembali, lalu dia melipatnya dan memasukkannya ke dalam saku jasnya. Matanya menatap ke arah Aluna yang menatapnya dengan derai air mata.
"Kamu boleh membenciku, tapi jangan lupakan jika kamu sudah pernah menjadi seorang ayah. Walaupun hanya sebentar." Lirih wanita itu.
Efendi mengalihkan pandangannya, dia menatap ke sebuah selimut biru yang ada di dekat Aluna. Hati Efendi juga sakit kehilangan anaknya yang berjenis kel4min laki-laki. Walaupun pernikahannya dengan Aluna adalah sebuah keterpaksaan. Tetapi, dia tak membenci anaknya. Namun, setelah anaknya tiada. Efendi, tanpa pikir panjang menceraikan istrinya.
"Biaya pengobatanmu sudah aku lunaskan, aku juga tak mengambil rumah yang sudah menjadi hakmu. Tidak perlu datang ke pengadilan, agar perceraian kita berjalan lancar. Aku pergi, cepatlah sembuh." Setelah mengatakan itu, Efendi pun beranjak keluar. Meninggalkan Aluna yang terlihat sangat rapuh. Tak berselang lama, pintu Aluna kembali di buka oleh seseorang.
Cklek!
"ALUNAAA!" Seorang wanita cantik datang dengan raut wajah yang panik. Dia segera menutup pintu kembali dan mendekati Aluna yang berada di brankar.
"Astaga, Alunaaa! Gimana? Sudah baikan?! Maaf, aku telat datang." Seru wanita itu sembari memeluk Aluna.
Aluna memeluk balik dengan erat, air matanya jatuh. Dia menangis di bahu wanita yang baru saja memeluknya. Merasakan kesedihan Aluna, wanita itu semakin tak tega. Dia membiarkan Aluna menumpahkan segala tangisnya sampai dia lega dengan sendiri.
"Gak papa, belum rezeki. Dia pasti akan menunggu bundanya di tempat terbaiknya." Bisik wanita itu.
"Mega, Mas efendi menceraikanku." Lirih Aluna yang dapat membuat wanita bernama Mega itu membulatkan matanya. Dia melepaskan pelukan mereka dan menatap kaget ke arah Aluna.
"Kok bisa?! Kalian kan baru aja kehilangan anak!" Kaget Kega.
Aluna menggeleng, dia pun terkejut dan tak tahu lagi harus merespon seperti apa. Rasa sakit yang datang padanya bertubi-tubi, terlalu sakit untuk ia tumpahkan segala yang menghimpit d4d4nya. Melihat Aluna yang menangis, Mega mengelus bahunya dengan lembut. Sejak kecil, dirinya sudah menjadi sahabat baik Aluna. Bahkan, orang Tua Mega pun sudah menganggap Aluna sebagai putri mereka. Sedekat itu persahabatan keduanya, membuat Mega tak terima Aluna di sakiti seperti ini.
"Bener-bener buaya darat itu! Lihat saja, aku akan menghajarnya! Kamu, tunggu disini!" Sentak Mega dan berniat untuk menemui Efendi.
"Jangan." Aluna menahan tangan Mega, dia menggelengkan kepalanya dan berharap Mega tak berbuat masalah.
Mega menghela nafas pelan, dia berusaha mengontrol amarahnya. Lalu, wanita itu duduk di tepi brankar dan kembali mengelus bahu Aluna yang bergetar. Dia ingin menangis rasanya, sedih melihat sahabatnya yang seperti ini. "Gak usah nangis terus, laki-laki kayak dia tuh ada ribuan di dunia ini. Kamu cantik, banyak laki-laki yang akan mengantri buat dapetin kamu." Seru Mega memberi semangat.
"Aku sudah tak ada siapa-siapa lagi Mega, keluarga satu-satunya yang aku miliki adalah Mas Efendi. Setelah bercerai, aku ...,"
"Heh! Kamu gak anggap aku keluarga?! Mama bahkan merindukan anak kesayangannya ini. Bagaimana jika kamu tinggal bersamaku? Mama pasti senang sekali!" Seru Mega memukul pelan lengan Aluna.
Aluna tersenyum hangat, matanya berkaca-kaca. Dia lupa, jika dirinya masih memiliki teman baik yang menyemangati hidupnya. Lalu, Aluna pun memeluk kembali Mega. Membuat wanita yang dia peluk tersenyum lebar dan menepuk pelan bahunya.
"Buktikan ke buaya darat itu, kamu bisa hidup tanpa dia! Kamu bisa bahagia tanpa dia! Bahagia Selalu Aluna! Kamu pantas bahagia dengan pria yang waras, tak seperti mas Efendi mu itu!" Seru Mega yang di balas senyuman oleh Aluna.
Sementara itu, masih di satu rumah sakit yang sama. Tampak, seorang pria tampan sedang menatap ke arah sosok pria yang terbaring dengan banyak selang di tubuhnya. Pria itu menyentuh tangan pria yang terbaring lemah itu dan menggenggamnya dengan kuat. Perlahan, kepalanya tertunduk, sebelum dia kembali mengangkatnya dan menatap sendu pada sosok lemah di atas brankar.
"Bangunlah! Apa kamu tidak bosan tidur di brankar ini? Sudah empat tahun, apa kamu tidak ada rencana untuk bangun?"
Cklek!
Seorang dokter datang dengan membawa sebuah berkas. Dia menghentikan langkahnya di samping pria itu dan menatapnya dengan tatapan cemas. "Tuan Arvian, kondisi adik anda tidak kunjung mengalami kemajuan. Jika alat-alat penunjang hidup ini pihak rumah sakit lepaskan, adik anda sudah tiada."
"Siapa yang menyuruhmu melepasnya hah? Biarkan adikku hidup! Walaupun dengan alat-alat itu! AKu Arvian Kent Sagara, akan menuntut pihak rumah sakit jika kalian mencabut alat-alat penunjang hidup adikku!"
___
Mohon dukungannya🥰
Enam bulan Kemudian.
Seorang wanita cantik tengah memakai jaketnya, dia mengibas rambut panjang bergelombang miliknya dan menatanya agar terlihat rapih. Tampak, wanita itu menatap ke arah cermin dan melihat pantulan dirinya. Wanita itu tak lain adalah Aluna, dia tersenyum menatap dirinya yang terlihat sangat cantik pagi ini. Tak terasa, enam bulan sudah Aluna menjadi seorang janda.
"Oke Aluna, jangan biarkan masa terpuruk mu membuat pria tampan di luar sana menunggumu terlalu lama. Keluarlah dari Zona sakit hati menuju lautan cinta. Karena dunia ini sangat indah, hanya orang-orangnya saja banyak yang menyia-nyiakan cinta." Seru Aluna menyemangati dirinya.
Cklek!
"Aluna aku ... eh, ngapain kamu dandan cantik pagi ini?" Mega terkejut kala mendapati Aluna yang berdandan sangat cantik. Karena biasanya, Aluna hanya berdandan ala kadarnya dan selalu berada di rumah. Selama enam bulan ini Aluna tinggal di rumah Mega, dia juga mendapati perhatian penuh dari orang tua Mega yang sudah ia anggap seperti orang tuanya sendiri. Sedangkan rumah yang dulu di berikan mantan suaminya, dia biarkan kosong begitu saja.
"Mau ketemu pria tampan kaya rayaa!" Seru Aluna dengan tersenyum lebar.
"Ck, lupakan! Siang ini kamu mau kemana?" Seru Mega sembari berjalan menuju ranjang Aluna dan merebahkan tubuhnya di sana.
Aluna berpikir sejenak, sebenarnya dia tak ada tujuan tertentu. Hanya ingin pergi keluar dan berjalan-jalan sejenak. Selama enam bulan ini juga, dirinya membantu Mama Mega mengurus butiknya. Sesekali dia membantu untuk mendesain baju. Beruntung rancangannya terjual mahal sebagai desain yang modern.
"Belum tahu si, paling ke mall. Aku ingin membeli baju, memangnya kenapa?" Tanya Aluna, dia sudah curiga jika Mega pasti akan memintanya untuk melakukan sesuatu.
"Kamu yang antar makan siang Papa yah, aku malas sekali keluar. Cuaca lagi sangat terik, aku tidak mau kulitku menjadi gelap. Beda sama kamu yang putih sejak lahir. Mau panas panasan pun bakal balik putih lagi." Pinta Mega dengan tersenyum lebar.
"Ck, kan ada tabir surya. Bilang aja kalau kamu malas. Lagian cantik itu gak harus putih, kamunya aja terlalu pengen putih. Wanita akan terlihat cantik di mata pria yang tepat." Sindir Aluna. Mega tersenyum hingga memperlihatkan giginya, sahabatnya itu tahu saja jika dirinya malas.
"Yasudah, nanti siang akan aku antar makan siang Papa." Ujar Aluna sembari mengambil ponselnya.
Aluna merasa bersyukur, dia merasakan kasih sayang yang sempat hilang dari orang tuanya lewat orang tua Mega. Awalnya, ada rasa takut di hati Aluna jika dia tinggal menumpang dengan keluarga Mega. Namun, di luar dugaannya. Keluarga Mega menyambutnya dengan baik.
"Aluna, enggak ada niat buat cari suami lagi? Kemarin ada yang nanya kamu ke papa loh." Celetuk Mega yang mana membuat Aluna menoleh.
"Buatmu saja, kamu kan masih jomblo. Hati-hati per4wan tua loh." Mendengar perkataan Aluna, membuat Mega cemberut sebal.
"Jodohku masih jagain jodoh orang kayaknya." Ringis Mega.
"Makanya, di rebut dong jodohmu. Kalau aku yah ... entar dulu deh, masih seleksi cari yang lebih dari Mas Mantan. Biar nanti dia gak besar kepala kalau aku menikah dengan pria di bawahnya." Ujar Aluna sembari kembali menatap ponselnya.
"Bagus itu! Biar si buaya darat itu gak terbang terus, sesekali dia harus di jatuhkan biar sadar dirinya itu buaya! Bukan buru Elang!" Seru Mega yang mana membuat Aluna tertawa kecil.
.
.
.
Di ruang kerjanya, terlihat seorang pria yang tak lain adalah Arvian tengah sibuk dengan tumpukan berkasnya. Sedari tadi dia berdecak kesal, lantaran pekerjaannya yang tak kunjung selesai. Sejenak, dia melirik ke arah jam tangannya. Ternyata waktu sudah menunjukkan pukul sebelas siang, yang dimana dirinya harus segera menyelesaikan pekerjaannya agar bisa istirahat sejenak.
Cklek!
Arvian terkejut lantaran mendengar suara pintu ruangannya yang terbuka tanpa di ketuk. Pria itu pun mengangkat pandangannya dan menatap pada seorang wanita berpakaian ketat dengan sebuah berkas yang ada di pelukannya. Kening Arvian mengerut dalam, sebelumnya dia tak pernah melihat wanita itu ada di dalam kantornya.
"Maaf Tuan, saya karyawan magang baru. Asisten anda menitipkan dokumen ini pada saya dan meminta saya untuk memberikannya pada anda." Ujar wanita itu sembari berjalan mendekati Arvian.
Mata Arvian menajam, dia mengisyaratkan agar wanita itu tak mendekatinya lewat tatapan tajamnya. Namun, seakan tak takut. Dia jutsru berdiri di sebelah Arvian dan menaruh berkas itu di hadapannya. Arvian segera menutup mulut dan hidungnya, dia sudah menahan mual sejak wanita itu berjarak satu meter di dekatnya.
"Tuan, saya ...." Wanita itu dengan berani menyentuh bahu Arvian, membuat pria itu murka dan beranjak berdiri dengan menepis kuat tangan wanita yang berusaha mendekatinya.
"MENYINGKIRLAH WANITA TAK TAHU MALU! SIAPA KAMU SEENAKNYA SAJA MEMASUKI RUANGANKU DAN MENYENTUH KU! KAMU SANGAT MEMBUATKU MUAL!" Sentak Arvian dengan wajahnya yang merah padam.
"Mual?" Wanita itu bingung, dia mencoba m3ng3ndus aroma tubuhnya. Tetapi, dia tak merasakan aroma yang tidak sedap dari tubuhnya. Kenapa Arvian merasa mual?
Arvian mengambil telpon genggam yang ada di atas meja kerjanya, dia lalu menelpon satpam untuk mengusir wanita itu. Tak lama, dua orang satpam pun datang beserta seorang pria yang menjabat sebagai Asisten Arvian.
"Usir wanita ini dari kantor ku! Jangan biarkan dia menginjakkan kakinya kembali di kantor ini." Sentak Arvian dengan tatapan tajam.
"Baik Tuan!" Dua satpam itu bergegas menarik wanita itu keluar. Tentu saja, wanita itu meronta-ronta.
"TIDAK! TUAN! MAAFKAN SAYA! MAAFKAN SAYA!" Seru wanita itu tanpa Arvian Hiraukan.
Sementara Arvian, dia sudah merasakan gatal pada tubuhnya. Wajahnya memerah menahan gatal, tubuhnya pun terasa panas. Melihat respon bosnya yang seperti itu, bergegas Asisten Arvian mengambil sebuah obat dari lemari dan memberikannya pada bosnya yang sedang menahan sakit.
Arvian menerimanya, dia segera memakan obatnya dan meminum segelas air yang dirinya ambil dari meja. Pria itu mengambil nafas sebanyak-banyaknya, rasanya d4d4nya sangat sesak. Dia sejenak menumpu tubuhnya dengan kedua telapak tangannya yang menyanggah pada meja kerjanya. Kepalanya tertunduk sembari menormalkan degupan jantungnya.
"Tuan, maaf. Saya tel3d0r, wanita tadi mengambil berkas yang saya taruh di sebuah meja sebelum saya masuk ke dalam toilet. Saya tidak tahu jika wanita itu mengambilnya dan memberikannya pada anda." Ujar Asisten Arvian dengan penuh penyesalan.
"Reza, kamu hampir membuat nyawaku terancam!" Sentak Arvian dengan menatap tajam ke arah Asistennya yang bernama Reza itu.
"Maaf." Sesal Reza. Arvian menghela nafas pelan, dia beralih mendudukkan dirinya kembali di bangku kebesarannya dan menyandarkan tubuhnya
Matanya terpejam, menormalkan nafasnya yang terdengar memburu. Arvian, pria tampan yang mengidap Gynophobia. Dia akan merasakan gatal-gatal pada tubuhnya, bisa juga mual. Bahkan, sesak. Seperti seseorang yang alergi terhadap makanan, cuaca atau produk tertentu. Tapi Arvian, dia Alergi dengan wanita. Setiap kali ada wanita yang mendekat padanya, dia merasakan tubuhnya langsung gatal dan terasa panas.
Maka dari itu, sampai di usianya yang ke tiga puluh tiga ini, Arvian belum kunjung menikah. Banyak rumor yang mengatakan jika Arvian tak menyukai wanita dan justru menyukai pria. Arvian ingin membantah itu semua, tetapi dirinya tak memiliki istri yang dapat mematahkan perkataan orang yang memfitnahnya.
"Tuan, saya lupa memberikan surat ini pada anda. " Arvian kembali membuka matanya, dia menatap Reza yang memberikan sebuah amplop coklat berisikan surat padanya. Dia pun mengambilnya dan membaca tulisan tertera dalam amplop coklat itu.
"Pengadilan?" Heran Arvian.
karena penasaran, Arvian pun membukanya. Betapa terkejutnya dirinya saat melihat isinya. Pria itu menegakkan tubuhnya, dia memegang kertas itu dengan tangan gemetar menahan amarah yang bergejolak dalam dirinya.
"Pengadilan menyampaikan, jika keluarga mendiang Nyonya Divya ingin mengajukan banding hak asuh Tuan Arega. Mereka menggunakan rumor tentang anda yang sedang beredar untuk memperkuat perebutan hak asuh Tuan Arega dalam persidangan tersebut. Agar nantinya, permintaan mereka lebih mudah di kabulkan oleh hakim." Terang Reza.
"Tidak bisa! Adikku masih hidup! Walaupun dia koma, tapi dia punya hak penuh atas putranya! Aku tidak mau, keponakanku di urus oleh keluarga l1c1k itu. Putrinya meninggal saja, keluarga itu menuntut harta adikku. Apalagi jika keponakanku berada di keluarga lic1k itu?!" Desis Arvian.
Empat tahun lalu, adik Arvian yang bernama Nalendra Sagara mengalami kecelakaan. Di saat itu, istri Nalendra sedang mengandung anak pertama mereka dengan usia kandungan tujuh bulan. Namun, karena sebuah kecelakan Nalendra mengalami koma. Istri Nalendra, Divya Baskara harus melahirkan putranya secara prematur karena terjadi masalah dengan kandungannya. Sayangnya, Divya tak bisa bertahan. Dia meninggal pasca operasi caesar di lakukan.
Arvian, harus merawat keponakannya yang baru saja lahir. Dia tak membiarkan keponakannya di asuh oleh keluarga mendiang adik iparnya lantaran sifat buruk keluarga mereka yang tidak Arvian sukai. Dia merawat keponakannya dengan bantuan baby sitter. Arvian masih berharap adiknya kembali sadar, sebab hanya adik nya lah keluarga satu-satunya yang dia miliki setelah orang tua mereka meninggal karena kecelakaan pesawat.
"Tidak bisa di biarkan! Jika Arega ikut dengan mereka, bisa-bisa keponakanku itu mengikuti lic1knya mereka. Tidak bisa di biarkan! Tujuannya merebut Arega biar mudah mengambil kesempatan dalam keluarga Sagara. Ini tidak bisa di biarkan! Aku harus bertemu dengan pengacaraku." Gumam Arvian dengan mata menatap tajam ke depan.
..
..
Sedangkan di sebuah mansion, tepatnya di sebuah kamar yang di terangi dengan lampu warna warni. Tampak, seorang bocah berusia empat tahun sedang memegang mic. Ruangan itu terasa bergetar lantaran suara speaker besar di dua tempat yang suaranya terdengar sangat keras. Bocah menggemaskan itu sedari tadi meloncat-loncat hingga membuat pipi gembul nya bergerak naik turun.
"DALI PELTAMA AKU, MEMANG CUDAH CULIGAAA! KAU CELING BELCAMA DILINAAA! KAMU DU ...,"
"DEN! UDAH DEN D4NGDUTANNYA ADUUUHHH!" Bocah menggemaskan itu mengakhiri kegiatannya, dia menolehkan kepalanya dan menatap seorang wanita paruh baya yang berjalan cepat ke arahnya.
"Nda maaauu! Cebental bibi, catu jam lagi." Bocah menggemaskan itu berlari menjauh sembari membawa mic nya, dia tak ingin menyudahi kegiatan asiknya.
"Eh, Tuan kecil! Tadi Bibi liat di depan rumah, ada penjual leker. Keburu abangnya pergi loh!" Seru wanita itu, membujuk majikan kecilnya agar berhenti membuat ulah.
Mendengar makanan kesukaannya, bocah menggemaskan itu menoleh. Arega Geofrey Sagara, keponakannya Arvian yang sangat menyukai d4ngdut. Tiada hari tanpa menyetelnya, membuat orang-orang yang di sekitarnya merasa sakit kepala di buatnya.
"LEKEL? HIII ADA LEKEL LUPANYAAA!" bocah itu melempar mic nya sembarang arah. Lalu, mengambil uangnya dan berlari cepat keluar dari kamarnya.
"Huh, akhirnya." Wanita paruh baya itu bernafas lega, akhirnya dia bisa menghentikan suara yang membuat kepalanya berdenyut sakit.
Aluna menghentikan motornya di parkiran, dirinya bergegas membuka helmnya dan menaruhnya di spion motornya. Sejenak, wanita itu melihat ponsel nya dan menatap bangunan yang ada di hadapannya. Dia seakan tengah menunggu balasan chat dari seseorang.
"Kok Papa belum bales juga yah, apa lagi rapat sama kliennya." Gumam Aluna.
Aluna turun dari motornya sembari mengambil paper bag yang yang dia bawa. Perlahan, dirinya berjalan menuju tangga. Namun, Matanya tak lepas dari ponselnya. Dia tak sadar, jika ada dua orang yang baru saja keluar dari dalam gedung dan mengarah padanya.
"Aluna?"
Aluna menghentikan langkahnya, dia tertegun sejenak saat telinganya mendengar suara yang tak asing baginya. Waktu terasa berhenti berputar, mendadak suasana menjadi sunyi. Perlahan, Aluna mengangkat wajahnya. Matanya bertatapan dengan mata seseorang yang pernah menyakitinya. Kini, mata itu tak lagi menatap tajam padanya, justru menatapnya dengan tatapan terkejut.
"Mas Efendi." Lirih Aluna hampir tak mengeluarkan suaranya.
Aluna mengalihkan pandangannya, tatapannya terhenti pada seorang wanita yang menggandeng lengan mantan suaminya. Tatapan Aluna turun menatap perut besar wanita itu, jantungnya terasa berhenti berdetak. Seketika, dia sadar jika wanita itu sedang hamil.
"Aku tidak menyangka kita bertemu lagi," ujar Efendi yang mana membuat Aluna tersenyum hambar.
"Ya, dan apa kabar mu Mas? Tak di sangka kamu sudah menikah dan istrimu sudah hamil besar." Ujar Aluna dengan menunjukkan ekspresi bahwa dia baik-baik saja.
"Kabarku sangat baik, bagaimana denganmu?" Balas Efendi.
Alina mengangguk, sedari tadi dia mengerjapkan matanya yang terasa mengembun. "Baik, sangat baik. Kehidupanku jauh lebih bahagia setelah bercerai denganmu." Terang Aluna.
Tatapan ALuna beralih ke arah wanita yang kini menjadi istri Efendi. Dia tersenyum pada wanita yang menurutnya cantik itu. Sudah enam bulan, Aluna tetap merasakan luka yang Efendi torehkan. Lalu, sekarang pria itu terlihat bahagia bersama istrinya. Bukankah itu tidak adil baginya?
"Kandungan mu terlihat besar, sudah berapa bulan usianya?" Tanya Aluna dengan ramah.
Wanita itu menunduk, dia mengelus perutnya dengan gerakan lembut. "Masuk sembilan bulan." Jawab Wanita itu dengan suara lirih.
Aluna tertegun sejenak, dia beralih menatap Efendi yang sengaja mengalihkan pandangannya agar Aluna tak menatapnya. Usia kandungan wanita itu jelas lebih tua dari usia perceraian mereka. Aluna jadi tahu satu hal, suaminya menceraikannya karena ada seorang wanita yang harus dia berikan status yang jelas.
"Oh waw! Sembilan bulan, bukankah kita bercerai baru enam bulan lamanya? Oh aku tahu, kamu menceraikanku karena ingin memperjelas status wanita ini dan anak yang dia kandung di status pengadilan kan? Kenapa tidak bilang sejak awal Mas jika kamu selingkuh? Kenapa kamu harus menyalahkan ku yang tidak becus menjaga bayi kita, agar kamu bisa bercerai denganku kan? Hebat kalian!" Aluna bertepuk tangan, dia merasa kagum dengan Efendi yang berhasil rahasianya.
Aluna beralih menatap wanita yang kini tertunduk, tampaknya wanita itu tahu permasalahan Efendi dan Aluna. Tak mungkin wanita itu tidak tahu jika saat itu Aluna dan Efendi masihlah suami istri yang sah.
"Kamu dengan sadar telah merebut suami orang Nona. Hukum alam berlaku, kalian pasti akan mendapatkan balasan yang setimpal!" Desis Aluna.
"Jangan salahkan istriku Aluna! Dia lebih baik darimu! Lihat sekarang, apa kamu sudah menikah? Ck, aku yakin tak ada pria yang mau menikah dengan wanita seperti mu. Menjadi seorang janda bukankah tidak mudah?" Ujar Efendi dengan mudahnya yang mana membuat Aluna membulatkan matanya.
"Dengar yah bapak Efendi yang terhormat! Anda pikir gak ada yang mau sama saya hah?! Kabari jika anak kalian lahir, saya akan membawa suami saya yang lebih segalanya dari anda! Dasar pria ot4k ikan!" Setelah mengatakan itu, Aluna beranjak pergi masuk ke dalam gedung. Meninggalkan Efendi yang terkejut karena perkataan Aluna padanya.
"Apa benar mantan istrimu sudah menikah?" Tanya Istri Efendi dengan raut wajah bingungnya.
"Tidak mungkin, siapa yang mau menikah dengan janda sepertinya?" Balas Fendi dengan lirih.
Sedangkan Aluna, dia menghapus air matanya yang sempat mengalir dengan punggung tangannya. Wanita itu juga tak ingin menangis, tapi rasanya air matanya sulit di hentikan. Karena tak berhenti juga, dia menghentikan langkahnya dan mengipas wajahnya agar air matanya tak lagi turun.
"Ngapain kamu nangisin dia siiihh! Udah, berhenti oke. Datangkan segera suamiku yang sebenarnya, gak papa ganteng yang penting kaya." Gumam Aluna menghibur dirinya sendiri.
Aluna melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda, hingga dirinya kembali berhenti tepat di depan sebuah pintu coklat yang sedikit terbuka. Niatnya Aluna ingin langsung masuk saja, tetapi dirinya justru mendengar beberapa orang sedang berbincang. Perlahan, Aluna mengintip untuk melihat siapa saja yang ada di dalam.
"Oh, Papa lagi kedatangan tamu. Pantas saja dia tidak membalas chat ku." Gumam Aluna.
Terlihat, seorang pria setengah baya tampak menatap berkas di tangannya. Di hadapannya sudah terdapat dua orang pria yang sedang menunggu jawabannya. Perlahan, pria setengah baya itu mengangkat wajahnya dan menatap pria tampan berwajah tegas itu.
"Tuan Arvian, kasus anda ini sangat sulit. Rumor yang beredar membuat anda akan kesulitan menang di pengadilan. Uang memang segalanya, tapi jejak media juga sangat kuat. Keluarga mendiang adik ipar anda akan menang di Pengadilan jika kasus anda seperti ini." Ujar pria setengah baya itu pada pria yang tak lain adalah Arvian.
"Tuan Rafli, anda sudah menjadi pengacara saya selama hampir sepuluh tahun. Selama ini kasus yang anda tangani tidak pernah kalah. Namun kali ini, apa tidak ada solusi untuk masalah ini? Adik saya masih terbaring koma, sedangkan keluarga mendiang istrinya menuntut hak asuh putranya. Saya sebagai om nya dari pihak ayah bukankah sangat berhak mendapatkan hak asuh keponakan saya dari keluarga ibunya? Saya tidak mau keponakan saya menjadi rusak jika di rawat oleh keluarga mereka yang begitu licik!" Sentak Arvian dengan amarah yang terpendam.
"Tuan, sabar." Reza berusaha menahan emosi bosnya itu, dia khawatir suasana yang mencekam ini akan semakin memanas.
Rafli Aditya, dia merupakan pengacara yang paling baik di kota itu. Bahkan, Arvian menjadikan Rafli sebagai pengacara pribadinya di segala kasus yang ada. Termasuk saat ini, Arvian meminta Rafli untuk memenangkan hak asuh keponakannya di pengadilan. Namun, rumor tentang Arvian yang beredar mampu membuat Rafli merasa kesulitan.
"Saya tidak mau menggunakan cara kotor. Jika anda ingin jalan keluarnya, hanya ada satu jalan yang membuat keluarga mendiang ipar anda tak bisa berkutik." Ujar Rafli yang mana membuat Arvian menegakkan tubuhnya.
"Apa? Beritahukan padaku, aku akan melakukan apapun demi keponakanku." Seru Arvian dengan semangat.
"Anda harus menikah Tuan."
"Apa?! Itu tidak mungkin!" Sentak Arvian dengan kesal.
Rafli menghela nafas pelan, dia membenarkan letak duduknya dan menatap Arvian yang menatap tajam padanya. Dia tahu apa yang terjadi pada Arvian. Apa yang Arvian alami memang tersembunyi dari media. Rafli tidak tahu, siapa yang pertama kali menyebar rumor jika Arvian tak menyukai wanita dan justru menyukai pria.
"Saya tahu tentang Gynophobia yang anda derita, tetapi orang lain hanya akan menerima rumor jelek tentang anda. Apabila anda menikah, rumor itu akan terbantahkan dengan kehadiran istri anda. Masalah anda terpecahkan bukan?"
Arvian terdiam, menurutnya menikah adalah sesuatu yang menakutkan. Dia akan selalu dekat dengan seorang wanita. Padahal, apa yang dia alami mengharuskannya menjauhi wanita. Bagaimana bisa Arvian menikah jika dirinya mengidap Gynophobia?
Karena tak menemukan solusi, akhirnya Arvian dan Reza memutuskan untuk kembali saja. Kepala Arvian rasanya ingin pecah, masalahnya tak kunjung selesai. Sesaat, setelah mereka keluar dari ruangan Rafli. Reza berpapasan dengan Aluna yang sejak tadi menguping. Ia seakan tak asing dengan wajah Aluna yang menurutnya sangat familiar.
"Aluna yah?" Tanya Reza.
"Eh? Reza!" Aluna tersadar, dia menatap tak percaya ke arah Reza yang tersenyum padanya.
"Kamu ngapain disini? Mega mana?" Tanya Reza dengan akrab. Sementara Arvian, dia menatap bingung ke arah wanita cantik yang mengenal asistennya
"Mega di rumah, aku kesini ingin mengantar makan siang untuk Papa. Kalau gitu, aku masuk dulu." Reza mengangguk, dia melambaikan tangannya ramah pada Aluna yang beranjak memasuki ruangan Rafli.
Karena penasaran, Arvian menepuk bahu asistennya untuk bertanya tentang Aluna. "Dia temanmu?" Tanya Arvian.
Reza mengangguk semangat, dia dan Arvian kembali melanjutkan langkah mereka sembari menjawab pertamanya Arvian. "Ya, dia temanku. Cantik, primadona kampus. Tapi sayang, sekarang jadi janda karena dapat suami yang salah."
Langkah Arvian terhenti, dia terpikirkan sesuatu. Melihat bosnya yang berhenti, Reza pun turut berhenti. Dia pastinya heran dengan raut wajah bosnya yang seakan tengah memikirkan sesuatu. Sejenak, Arvian menoleh menatap ke arah Reza sembari memegangi dagunya.
"Kamu bilang dia seorang janda?" Tanya Arvian.
"Iya Tuan." Jawab Reza dengan tatapan polosnya.
Mendengar itu, Arvian berbalik dan kembali menuju ruangan Rafli. Hal itu, tentu saja membuat Reza langsung mengejar Arvian. Dia tak mengerti dengan apa yang bosnya pikirkan, dia hanya sekedar bawahan dan mengikuti kemana bosnya itu pergi.
Sementara di dalam ruangan Rafli, tampak pria itu tengah membuka kotak makan siangnya. Dia tersenyum melihat makanan yang putri angkatnya bawakan. Tatapannya beralih menatap ke arah Aluna yang duduk di hadapannya.
"Tumben sekali kamu memasak dan membawakannya ke kantor Papa. Kemana Mega?" Tanya Rafli dan menyuapkan sesendok nasi dan lauk ke dalam mulutnya.
"Mama Maya cantik yang masak, aku dan Mega papa tahu sendiri kami tidak suka memasak." Ujar Aluna dengan terkekeh pelan. Rafli menggeleng kan kepalanya, masakan istrinya bernama Maya itu selalu menjadi juara di lidahnya.
Brak!
"Eh Tuan!" Aluna dan Rafli sontak terkejut mendengar teriakan dan juga suara pintu yang terpukul kencang. Keduanya segera berdiri dan menatap ke arah Arvian yang berjalan mendekati mereka dengan tatapan datarnya. Sementara Reza, dia sudah panik saat Arvian melebarkan pintu yang sudah terbuka dengan kekuatan penuh. Hingga menabrak lemari yang ada di belakangnya.
"Tuan Arvian, apa ada barang anda yang tertinggal?" Tanya Rafli dengan tatapan herannya.
"Apa dia putrimu?" Tanya Arvian sembari melirik ke arah Aluna.
Rafli mengangguk kaku, "Ya, tapi dia putri angkat saya. Ada apa? Apa putri saya membuat masalah?" Tanya Rafli dengan panik.
Aluna yang di tuduh seperti itu segera menggeleng sembari melambaikan tangannya. Kenal dengan Arvian saja tidak, kenapa dirinya yang di salahkan. Ya, dia memang salah. Menguping pembicaraan mereka. Tapi, tak sepenuhnya dia mendengarnya.
"Tadi anda bilang, saya harus menikah agar mudah memenangkan kasus ini bukan?" Tanya Arvian dan di balas anggukan oleh Rafli.
Tatapan Arvian beralih pada Aluna. Melihat tatapan pria itu, jelas saja Aluna merasa merinding. Pria itu sangat tinggi, membuat Aluna harus mendongak untuk menatap wajah pria tersebut.
"Ke-kenapa yah?" Tanya Aluna dengan gugup.
"Menikahlah denganku."
"APA?!" Pekik ketiga orang itu dengan mata membulat sempurna.
"Aku butuh buku pernikahan untuk menguatkan hak asuh keponakanku di pengadilan. Berapapun uang yang kamu minta, aku akan memberikannya."
Aluna meneguk kasar ludahnya, dia melirik ke arah Rafli yang melongo tak percaya. Rafli pun menutup mulutnya yang sempat terbuka, dia beralih menatap Aluna yang masih melirik ke arahnya. Perlahan, Aluna mendekati Rafli. Dia berbisik para pria paruh baya itu dengan lirih.
"Pa, gajinya apa sangat besar?" Bisik Aluna.
"Ya, dia punya banyak perusahaan." Balas Rafli.
"Tolak saja, jangan sampai kamu mengulang kesalahan yang sama." Bisik Rafli.
"Baiklah." Gumam Aluna dan kembali menatap Arvian yang sedang menunggu jawaban darinya.
"Tuan, saya ... Mau menikah dengan anda!"
"EH?!"
.
.
.
"Saya terima Nikah dan kawinnya Aluna Sagita dengan mas kawin uang seratus juta rupiah di bayar tu-nai!"
"Bagaimana para saksi? Sah?!"
"Sah."
Aluna dan Arvian benar-benar menikah, keduanya hanya menikah di KUA tanpa mengadakan pesta. Arvian hanya butuh buku pernikahan untuk membantah apa yang nantinya akan keluarga mendiang adik iparnya lakukan sebagai senjata melawannya. Sementara Aluna, dia menerima Arvian untuk membuktikan pada mantan suaminya jika dia bisa mendapatkan pria yang lebih segalanya dari mantan suaminya itu. Kerja sama yang baik bukan?
"Kalian sudah sah menjadi pasangan suami istri dan ini buku nikah kalian. Semoga pernikahan kalian langgeng sampai maut memisahkan." Ujar seorang pria sembari menyerahkan dua buku berbeda warna di hadapan pasangan yang baru saja menikah itu.
Perlahan, Aluna mengambil buku nikah miliknya. Dengan tangan bergetar, dia membuka buku tersebut dan melihat fotonya. Tak menyangka, jika dia akan kembali mendapatkan buku nikah setelah enam bulan menjanda. Tatapan Aluna beralih pada Mega, sahabat nya itu duduk di apit oleh kedua orang tuanya. Wajah ketiga orang itu sama-sama menatap Aluna dengan tatapan tak percaya.
"Mega, aku sudah gak janda lagi!" Seru Aluna dan segera beranjak memeluk Mega dengan erat.
Arvian mengerjapkan matanya, dia menoleh menatap Reza yang sedang memijat keningnya. Bosnya terlalu cepat mengambil keputusan untuk hal yang sakral. Entahlah, setelah ini apa ada masalah baru lagi? Tatapan Arvian beralih menatap Aluna yang sudah melepas pelukannya bersama Mega.
"Aluna." Panggilan Arvian membuat Aluna menoleh.
"Pulanglah bersamaku."
"Ha?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!