NovelToon NovelToon

My Lovely SPG

Tagihan Sekolah

Di dalam ruang kesiswaan SMA Bakti Jaya Angkasa. Duduk seorang siswi berhadapan dengan wakil kepala sekolah bidang kesiswaan.

"Danisa, ibu minta maaf, tapi ibu harus menyampaikan ini," ujar wakepsek itu.

"Apakah kamu sudah menyampaikan pesan pada orang tuamu? Kamu sudah menunggak uang SPP selama enam bulan lamanya. Ini sudah di luar batas toleransi. Kamu mengerti kenapa ibu memanggilmu kemari, kan?" ujar seorang guru wanita berkaca mata besar.

"Apa tanggapan orang tuamu mengenai ini?" tanya guru itu lagi.

Danisa, gadis berkuncir kuda itu meremas jemarinya sendiri. Dia hanya bisa menunduk. Suatu saat, ini semua pasti akan terjadi lagi dimana dirinya akan dipanggil oleh pihak kesiswaan untuk yang kesekian kali.

Dan inilah bagian terburuk dari masa sekolahnya, mendapat teguran untuk membayar uang bulanan yang seringnya nunggak.

Dulunya tidak seperti itu, hanya saja saat ibunya jatuh sakit uang sekolah menjadi sangat sulit dibayarkan. Jangankan uang sekolah, untuk makan sehari-hari saja dia yang harus pontang-panting serabutan.

Di rumahnya sudah tidak ada yang bekerja mencari nafkah. Ayahnya sudah lama pergi meninggalkan keluarga tanpa kabar dan pesan, sedang kini ibunya tidak bisa lagi melakukan aktivitas pada umumnya.

"Orang tua saya sedang tidak punya uang, Ibu. Maaf, jadi belum bisa melunasi," kata Danisa walau sebenarnya dia tidak pernah menyampaikan pesan dari pihak sekolah kepada ibunya sejak beberapa bulan lalu sebab satu-satunya orang tuanya itu tengah sakit stroke dan sulit diajak berkomunikasi.

Tidak mungkin baginya membahas uang sekolah pada sang ibu.

"Baiklah, ini sudah di luar kebijaksanaan sekolah, Danisa. Jadi, tolong sampaikan pada orang tuamu, kami memberikan batas satu minggu untukmu bisa melunasi iuran SPP itu jika tidak, maka mohon maaf kamu harus dikeluarkan dari sekolah ini. Semoga kamu memahami aturan sekolah ini, Nak," ujar wakepsek itu yang tega tidak tega tetapi memang seperti itulah aturan sekolah, terlebih sekolah swasta, dan cukup prestige.

Danisa hanya bisa mengangguk.

"Baik, Bu, akan saya usahakan untuk melunasinya," ujar Danisa. Setidaknya masih ada kesempatan esok hari walau dia pun tidak tahu harus mencari uang kemana dalam waktu seminggu dan jumlah yang sebanyak itu.

Sekembalinya ke ruang kelas, saat itu saatnya jam istirahat. Berbeda dengan siswa-siswi yang lain, mereka berburu dan berebut jalan menuju ke kantin karena memang saatnya makan siang.

Namun, Danisa hanya duduk di kursinya seraya memikirkan bagaimana caranya mendapatkan uang untuk membayar tagihan sekolah.

Nadira teman sebangkunya menepuk bahu Danisa. Sontak gadis itu terkejut dan langsung melirik ke arah temannya.

"Nis, ke kantin, yuk?" ajak gadis bernama Nadira itu.

Danisa menggeleng dengan senyuman, dia sudah biasa menahan lapar jika tidak ada uang, hari ini dia tidak mendapat uang saku karena memang tidak ada uang di rumahnya. Namun, bukan Dira namanya jika tidak memaksa untuk mentraktirnya.

"Biasa, aku yang bayar. Ayolah, temani aku," pinta Nadira.

Gadis itu baik, sebisa mungkin dia akan membantu Danisa karena dia tahu kondisi keluarga Danisa sedang sulit dan bisa dikatakan keluarga yang tidak berpunya.

"Tapi, Nad," kata Danisa yang tidak enak hati saat Nadira menarik lengannya untuk bangkit dan ikut dia ke kantin.

"Bu, bakso komplit dua porsi, ya," kata Nadira di depan kantin nomor 2.

Tanpa menawarkan temannya itu mau makan apa, Nadira langsung memesankan apa yang sekiranya enak dimakan di waktu siang. Jika tidak seperti itu, maka temannya itu akan menolak memesan makan.

"Ra, makasih, ya," ujar Danisa saat dua mangkuk bakso tiba di meja mereka.

Walau mereka mengatakannya dengan senyuman di bibirnya, tetapi ai rmuka gadis itu tidak bisa ditutup-tutupi ada kesedihan di balik wajah sendunya.

"Iya, sama-sama. Tapi, kalau boleh tahu. Tadi ada apa sih, Nis? Kamu di panggil Bu Jani lagi," tanya Nadira.

Awalnya Danisa menggeleng, dia tidak ingin temannya itu tahu apa yang sedang menjadi kesedihannya. Namun, Nadira yang tetap memaksa ingin tahu masalahnya, Danisa pun menceritakan apa yang terjadi di ruang kesiswaan tadi.

"Oh, jadi soal uang bulanan? Berapa? Sebisa mungkin aku akan bantu," kata Nadira.

Cepat-cepat Danisa menggelengkan kepalanya.

"Tidak, jumlahnya terlalu banyak, Nad," ujar Danisa

"Berapa katakan," pungkas Nadira tetap ingin mengetahui jumlahnya.

"8 juta," jawab Danisa lesu.

"Yah ... kalau segitu, aku juga tidak punya, Nis. Coba aku bilang sama papaku, ya?" kata Nadira segera dia ingin menelepon sang papa.

Namun, saat itu juga Danisa merebut ponsel Nadira sebelum dia menghubungi ayahnya.

Memang temannya itu terlampau baik, tetapi semester lalu pun uang sekolah Danisa dia yang membayarkan uang bulanannya. Bagaimana Danisa tidak merasa merepotkan?

"Jangan, Nad, sudahlah. Aku akan mencoba bekerja saja dulu. Kamu sudah terlalu banyak membantuku," kata Danisa.

"Kamu mau bekerja apa dalam seminggu harus menghasilkan 8 juta, Nis?"

Danisa pun belum kepikiran kira-kira pekerjaan apa yang bisa menghasilkan uang 8 juta dalam waktu seminggu. Sepertinya mustahil, tetapi dia akan tetap mencoba.

Mereka sama-sama berpikir, kira-kira pekerjaan apa itu.

"Aha! Kerja di hotel papaku saja, bagaimana Nis?" usul Nadira.

"Pernah kudengar, katanya pekerja perempuan dibayar mahal di hotel papaku," lanjut Nadira.

"Oh ya? Kerja jadi apa itu, Nad?" tanya Danisa yang antusias.

Gaji 800 Ribu

Esok paginya, Nadira mengantarkan Danisa ke hotel bintang lima yang sangat terkenal di kotanya, tidak lain milik ayahnya. Mereka datang saat masih menggunakan seragam sekolah.

Di depan pintu lobby, Nadira sedikit mewanti Danisa atas kemungkinan yang terjadi supaya Danisa tidak berharap mendapatkan pekerjaan di luar ekspetasi.

"Nis, tapi palingan kamu diterima kerja jadi office girl atau cleaning service. Bagaimana?" tanya Nadira pada sahabatnya.

Mengingat mereka baru berusia 18 tahun, pun masih siswa kelas 11 dan belum ada title yang sesuai apalagi pengalaman kerja yang relevan untuk bisa bergabung bekerja menjadi staf di hotel itu.

"Gapapa, asal dibayar dengan upah sesuai, Nad." jawab Danisa bersemangat.

Diterima bekerja di hotel mewah itu sudah sepatutnya Danisa bersyukur. Sadar diri jika pendidikannya belum tinggi dan apa yang lebih diharapkan selain upah kerja yang bisa menghasilkan 8 juta untuk membayar biaya sekolahnya?

Danisa tidak berharap lebih apalagi soal posisi, itu bisa dipikirkan nanti.

Di sinilah kini Danisa berada.

Di depan sebuah ruangan, di depan seorang pria dengan name tag bertuliskan official manager yang menggantung di dada sebelah kirinya.

Pria itu menatap Danisa dari atas ke bawah.

"Siapa yang mau melamar kerja?" tanya pria berambut hitam klimis itu.

"Saya, Pak," jawab Danisa tanpa keraguan.

"Masuklah, tapi hanya yang berkepentingan," titah orang itu. Danisa masuk ke dalam ruangan seorang diri, meninggalkan Nadira yang menunggu di tempat duduknya.

Pria itu duduk di kursinya dan mengetuk-ketukkan pulpen di atas meja berbahan kaca.

Dia menyangga dagunya, memperhatikan Danisa yang sejak tadi menjelaskan sekilas CV dan riwayat hidupnya.

"Sebenarnya postur tubuhmu mendukung untuk bekerja di sini, tetapi lulus SMA saja belum. Mau melamar kerja di bagian apa?" tanya pria itu.

"Apa saja, Pak. Saya benar-benar sedang membutuhkan pekerjaan, saya akan mengerjakan pekerjaan dengan baik. Membersikan ruangan, tukang pel, pencuci piring, laundry, atau apapun itu," ujar Danisa yang tidak segan dalam mempromosikan diri.

"Terlalu buruk untukmu bekerja di dapur. Punya pengalaman atau magang apa sebelumnya?" tanya pria itu lagi.

Danisa kelimpungan saat manager menanyakan tentang pengalaman dirinya. Dia sama sekali tidak punya pengalaman kerja apapun di kantor atau instansi resmi. Kecuali, "Saya hanya pernah bekerja menjadi buruh cuci dan seterika, Pak. Hampir setiap hari saya menjual nasi keliling, titipan orang yang saya jajakan ke warga sekitar."

Benar, dia pernah bekerja serabutan menjadi buruh cuci dan setrika di rumah tetangganya demi sesuap nasi keluarganya.

Pria itu mengangguk-angguk. "Public speaking-mu bagus. Apa daganganmu itu laku keras?" tanya pria itu lagi.

Danisa mengangguk mantap, dagangan nasi rames yang dia jajakan setiap sore hari sepulang sekolah selalu ludes terjual ke orang-orang di sekitar tempat tinggalnya.

"Baguslah, saya tahu pekerjaan apa yang cocok untuk kamu," ujar si manager.

"Apa itu, Pak?" tanya Danisa.

"LO (Liaison Officer) di bagian bar dan spa. Apa kamu mau? Dengan upah 800k per shift dan tambahan 50 persen total tips yang kamu dapatkan dari pelanggan," terang pria itu.

Sempat Danisa berpikir, dibayangkannya pekerjaan itu. Bekerja shift tidaklah sulit jika hanya menjadi LO yang kurang lebih jobdecs-nya mengarahkan mereka yang akan ke bar atau spa.

Dengan pertimbangan gaji 800 ribu per hari ditambah tip yang didapatkan, itu upah yang lumayan besar. Untuk kekurangannya, bisa dipikirkan lagi dan cari kerjaan di tempat lain.

"Apa kamu mau?"

Danisa pun mengangguk.

"Kalau setuju, besok datanglah sore hari dan melakukan masa training selama seminggu. Akan ada yang memandumu selama bekerja," ujar pria itu.

Danisa membuka pintu ruangan itu. Dia langsung disambut Nadira, tanpa meminta penjelasan pun, Nadira sudah tahu jika Danisa mendapat pekerjaan di sini terlihat dari senyumannya yang pertama kali muncul saat membuka pintu ruangan itu.

"Selamat, ya, Nis!" ujar temannya itu memeluk Danisa dengan erat.

Mereka cekikikan di sepanjang jalan, tidak disangka ternyata semudah itu mendapatkan pekerjaan. Walau pun tidak tahu pasti pekerjaan apa yang akan didapatkannya esok hari, asalkan hari ini ia sudah mendapat pekerjaan dengan upah yang cukup menjanjikan.

"Jangan lupa nanti traktir aku, ya?" kata Nadira senggol menyenggol dengan Danisa di anak tangga.

"Siap, bosku! Bakso paket komplit di kantin 2, bagaimana?" tawar Danisa.

"Nggak, belikan aku caramel choco cream iced dan cromboloni lava yang ada di kafe seberang sekolah," ujar Nadira.

"Ealah, gileeee. Mahal banget itu, Nad," kata Danisa menggeleng-gelengan kepalanya. Bisa langsung ludes uang gajian hari pertamanya.

Skutt. Nadira menyikut lengan Danisa.

"Nggaklah, becanda aku mah, Nis."

"Aduh! Ish .... " Terdengar suara desisan wanita yang tidak sengaja tersenggol lengan Danisa.

"Oh, maaf, Tante," ujar Danisa seraya membungkukkan badan pada wanita cantik berkharisma tante-tante yang  sedang berwajah kesal.

"Kalau mau main jangan di sini, ganggu jalan orang saja," hardik wanita cantik itu.

"Iya, maaf, Tante. Saya tidak sengaja," kata Danisa dengan rasa bersalah.

"Tante-tante, dipikir aku tantemu!" sentak wanita itu pada Danisa.

"Lagi pula ini di tangga, kalau saya jatuh bagaimana? Kalau tubuh saya lecet, kalian mau mengganti rugi, hah?! Nggak tahu aturan banget sih, kayak baru pertama kali ke hotel aja, kampungan!" lanjutnya mencibir pada dua remaja di depannya.

"Lho, apa yang Anda bilang, Nyonya?! Kampungan? Kur–" Nadira yang tidak terima segera memprotes, tetapi segera Danisa membekap mulut temannya itu daripada membuat kekacauan yang berujung menjadi masalah panjang.

"Ini lagi, apaan 'Nyonya'?! Aku masih lajang, tahu! Tak punya sopan santun! Makanya, kalau jalan pakai mata!" ucap wanita itu dengan nada bengis.

"Jalan ya pakai kaki dong! Kok dia makin nyolot sih, Nis? Kan, kamu sudah minta maaf," ucap Nadira merasa emosi. Sejauh ini, baru kali ini dia merasa direndahkan karena dibentak-bentak di depan umum.

"Gila, nih bocah marah-marah sama gue. Gak tahu kali ya siapa gue? Calon menantu pemilik hotel ini. Lo pikir ini hotel milik bapak kamu?!" serbu wanita asing itu di depan wajah Nadira, sebelum dia melangkah pergi meninggalkan kedua bocah SMA itu.

"Lha? Apa dia bilang? Calon menantu pemilik hotel ini? Maksudnya apa? Perasaan kakak gue gak punya pacar modelan nenek lampir macam dia," ucap Nadira menimpali.

"Ngaku-ngaku, gua aja yang anak si pemilik hotel 'b' aja kali. Ogah gue punya calon kakak ipar kayak dia. Udah gue tandain tuh muka," geremeng Nadira yang tak kunjung usai.

"Kamu kayaknya harus banyak sabar selama bekerja di sini deh, Nis. Akan banyak orang-orang berduit yang nggak ngotak dan rese seperti dia, sok ngartis ketimbang bisa booking kamar di hotel ini meski semalam," kata Nadira.

Jauh di dalam hatinya, Danisa merasa ketakutan. Dia tidak seberani Nadira dalam bersikap, ia takut jika menemui pengunjung yang setipe dengan wanita tadi.

Risiko Pekerjaan

Sore hari sepulang sekolah, Danisa sudah berpakaian rapi bersiap datang kembali ke hotel yang sama. Kali ini dia akan pergi sendiri tanpa Nadira karena memang hanya dia yang berkepentingan untuk bekerja.

"Ibu, Danisa pergi dulu ya. Tolong doakan Danisa kemana pun Danisa pergi," pamitnya berbisik pada sang ibu yang hanya bisa berbaring di atas ranjangnya.

"Dek, tolong jaga ibu, ya. Mbak mau berangkat kerja dulu," ucap Danisa menitipkan ibunda pada adiknya.

"Da .. dan .. isa," panggil ibunya yang terbata-bata mencoba mengatakan sesuatu.

"Iya, Bu?"

"ha .. ti, ti, ya. Kerja yang ba ... ik ... ya," ujar ibunya yang masih sulit berucap. Danisa mengangguk, mencium kening ibunya, lalu mengecup punggung tangan wanita tersayang yang telah melahirkannya ke dunia.

Menggunakan celana bahan berwarna hitam dan kemeja putih layaknya anak magang yang pernah dia lihat. Tenyata pakaian itu kurang tepat, kata staf yang lainnya.

"Pakaianmu salah. Belum tahu ya ketentuannya?" tanya wanita yang berdiri di belakang meja resepsionis.

"Belum, Mbak," jawab Danisa.

"Oh kamu anak baru itu, Danisa, ya? Aku Santi, seniormu. Ikut aku," ujar dia wanita berparas ayu, make up tebal, agak gemuk, tetapi badannya masih bisa dibilang proporsional.

Danisa diminta menggunakan pakaian yang sama seperti yang dikenakan Santi; rok span warna biru tua sebatas lututnya dan kemeja ketat berwarna putih dengan tambahan scarf di leher bermotif batik berwarna navy.

Danisa pikir, pakaian itu begitu melekat di tubuhnya atau memang ukurannya yang tak sebanding dengan besar tubuhnya sehingga terlalu membentuk lekuk tubuhnya.

"Bagaimana?" tanya Santi saat Danisa tengah bercermin di depan kaca lebar yang ada di kloset.

"Honestly, aku kurang nyaman sih, mbak. Ini terlalu ketat," ucap jujur Danisa.

"Ya, memang seperti itu seharusnya cara berpakaianmu. Lihatlah aku, kita harus terlihat sexy dan menantang," ujar Santi yang membusungkan dadanya hingga dapat dibandingkan seberapa besar dada dirinya dengan milik seniornya itu.

Danisa langsung kicep saat Santi membenarkan postur tubuh Danisa sebagaimana semestinya. Santi mengarahkan posisi dagu Danisa supaya lebih terangkat. Meluruskan punggungnya supaya berdiri tegak, kaki agak menyilang, jangan menunduk, dan sedikit membusungkan dada.

"Sudah, jaga posisi tubuhmu tetap seperti ini selama bekerja," kata Santi.

Danisa yang merasa tidak nyaman menggunakan busana itu, terlebih dia dituntut untuk terus menjaga posisi tubuhnya yang jelas-jelas menyiksa karena harus tegak berdiri sampai malam hari.

Sebenarnya tidak hanya ada dirinya atau Santi di sana, ada beberapa karyawan wanita yang berdiri di sepanjang meja resepsionis. Hanya saja, mereka terlihat lebih senior daripada dirinya, itu yang terlihat di mata Danisa.

Saat pengunjung datang ingin spa atau ke bar, maka salah satu dari mereka akan ditunjuk untuk menemani tamu tersebut menuju ruangannya.

Namun, ada yang janggal Danisa rasakan saat beberapa waktu berlalu, staf wanita yang tadi masuk bersama dengan seorang pria, lalu dia keluar dengan air mata.

"Mbak, dia itu kenapa?" tanya Danisa dengan polosnya.

Jawaban Santi sekadar gumaman atau dengan kalimat, 'biasa, itu menjadi risiko pekerjaan ini'. Tentu jawaban itu tidak dimengerti oleh logika Danisa yang baru bekerja hari ini, tetapi dia mencoba mengesampingkan feeling buruknya.

"Mungkin dia habis mendapat teguran dari tamunya," pikir Danisa.

Saat datang lagi tamu pria tanpa pasangan, maka dia akan memilih satu staf yang berdiri di sana.

Pria itu mengerlingkan matanya pada Danisa, tentu mbak Santi lantas meminta Danisa mengikuti pria itu untuk masuk bersamaanya ke ruangan spa.

Entah mengapa, sejak tadi dia mempunya firasat tidak enak.

"Aku cuma mengantarkannya masuk kan, Mbak?" tanya Danisa berbisik pada Santi.

Santi pun mengangguk. "Dan turuti semua kemauannya," pesan Santi.

Danisa mengantarkan pria itu ke ruangan spa yang dipesan. Private spa dengan paket pelayanan premium.

"Silakan, Tuan. Ini ruangan Anda, ada lagi yang bisa saya bantu?" tanya Danisa pada tamunya.

"Ambilkan saya handuk," kata pria itu yang telah bertelanjang dada. Danisa mengambilkan handuk untuknya.

"Baiklah, ada lagi yang Anda butuhkan?" tanya Danisa seramah yang dia bisa layaknya seorang staf hotel pada umumnya.

Pria itu memosisikan diri telungkup di atas kasur busa, lalu dia menepuk bahunya.

"Pijat aku," kata pria itu.

"Baik, nanti akan ada staf yang datang untuk memijat Anda," kata Danisa karena dia pikir pekerjaannya hanya sebatas mengantarkan saja.

"Tidak, kamu saja. Cepat!" titahnya tak ingin dibantah.

Danisa pun mau tidak mau mulai memijat bahu pria itu walau seharusnya itu bukan tugasnya. Dia memijat dengan kemampuan ala kadarnya. Sedikit bingung karena sebagai LO trainee tidak ada ketentuan memijat tamu saat acara briefing oleh mbak Santi tadi.

"Kurang berasa," komentarnya.

Danisa menambah tekanan pada gerakan pijatannya.

"Ya, itu lebih baik. Hm ... nikmat. Gerakanmu halus sekali, membuatku nyaman. Siapa namamu?" tanya pria itu.

"Sa .. saya Danisa," jawab Danisa.

"Nama yang cantik, secantik wajahmu," puji pria itu yang kini mendongak ke samping dan menatap Danisa.

"Mau jadi pacarku?" katanya tiba-tiba yang sontak membuat Danisa membeliakkan mata.

Danisa tak mengira akan ditanya seperti itu oleh orang yang bahkan sekilas usianya akan sepantaran dengan ayahnya.

"Sudah, Tuan? Saya harus kembali ke depan," kata Danisa.

Namun, Danisa yang bersiap untuk cepat-cepat pergi dari sana tertahan sebab pergelangan tangannya berhasil dicekal.

Pria itu bangkit dari posisinya, dengan lilitan handuk sebatas pinggangnya yang kini telah terlepas hingga menyisakan celana pendeknya. Dia menarik tubuh Danisa supaya tidak menjauh darinya.

"Hai, kenapa buru-buru sekali, Cantik? Kamu belum memijat bagian tubuhku yang lainnya," ujarnya seraya menatap ke bagian inti dirinya.

Tatapan itu menuntun Danisa melihat ke arah yang sama. Danisa membeliak, dapat dia melihat sesuatu yang membuat jantungnya berdegup begitu kencang. "Apa-apaan ini? Kenapa pekerjaannya seperti ini?" ujarnya dalam hati.

"Temani aku hingga satu jam ke depan. Kemarilah, akan kubayar kau dengan mahal," ujar pria itu lagi.

"Tidak, Tuan. Lepaskan," kata Danisa yang mencoba mengempaskan tangan pria itu yang terus menariknya mundur dan mulai berani memegang bagian kaki hingga langkah Danisa terhenti.

"Tuan, lepaskan. Saya mohon atau saya akan berteriak dan melaporkan Anda ke atasan saya," ancam Danisa.

Akan tetapi, tanggapannya hanya kekehan tawa dan semakin gemas untuk terus membuat Danisa terlihat cemas ketakutan.

"Akh!! Tolong! Tolong saya, Mbak Santi!!! Mbak Santi, tolong!" teriak Danisa yang kemudian pria itu mencoba membekapnya dengan menggunakan mulutnya.

Danisa mencoba melawan dan dia berusaha sekuat tenaga untuk tidak tersentuh meski saat ini dirinya telah duduk di pangkuan pria hidung belang tersebut.

Tak ingin kehilangan kesempatan yang ada, di saat kakinya terbebas, Danisa berhasil menendang sekuat tenaga yang tidak tahu kemana arah sasaran tendangannya itu.

"Apa yang tadi kutendang? Mungkin kaki," pikirnya.

Namun, setelah Danisa berhasil terlepas dari kekangan yang menjeratnya dan dia segera berlari keluar dari ruangan mengerikan itu, di saat itu juga terdengar suara jeritan pria itu.

Danisa berhasil lolos, tapi para penjaga dan staf bergantian masuk dan mendatangi ruangan itu.

"Mbak, Mbak Santi. Di sana, pria itu mencoba melecehkan aku, tolong Mbak," kata Danisa yang segera melaporkan pada seniornya yang ikut cemas sejak tadi berlarian ke sana kemari setelah mendengar suara kegaduhan yang sempat terjadi.

Akan tetapi, respons yang didapat Danisa tidak seindah yang diharapkan. Danisa dibawanya ke sebuah ruangan.

Plak!

Satu tamparan mengenai wajahnya dengan sangat panas.

"Bodoh! Kau bodoh sekali, Danisa. Lihatlah apa yang akan terjadi atas perbuatanmu!"

Danisa meringis nyeri memegang pipi. "Mbak, kenapa aku yang disalahkan? Aku korban pelecehan tadi, kenapa Mbak–"

"Diam kau! Kalau kau keberatan dengan pekerjaan ini, seharusnya tidak usah menerimanya sejak awal. Sebab bukan kau saja yang terancam dipecat, tapi aku juga! Sudah kukatakan, turuti semua kemauan pelanggan karena mereka adalah raja yang akan memberikan tip besar atas pelayanan kita," kata Santi memaki.

"Termasuk saat mereka akan menghinakan harga diri kita, Mbak?" sungut Danisa tak habis pikir. Setelah dirinya bersusah payah mencoba terlepas, dirinya malah yang disalahkan.

"Ya! Memang apa yang kamu harapkan dari dirimu yang tidak mempunyai kualitas diri berpendidikan tinggi? Kalau mau mendapat uang yang besar, maka harus ada yang dikorbankan. Ada harga ada rupa, Danisa!"

Semudah itukah mereka mempertaruhkan harga diri demi mendapatkan banyak uang?

Danisa menggeleng, dia menangis saat itu juga. Jika dia tahu sejak awal pekerjaan yang didapatkan akan seperti ini, ia sudah pasti akan menolaknya.

"Mungkin kali ini kamu masih dimaklumi, lain kali jangan lagi melakukan hal yang sama, apalagi membahayakan keselamatan pelanggan yang datang," ujar Santi dengan amarah yang mereda.

Seharusnya Danisa paham sejak awal apa maksud dari kata 'pelanggan' yang sering Santi sebut.

"Nggak, Mbak. Aku nggak bisa bekerja seperti ini. Aku mau keluar saja," ujar Danisa yang kembali ke ruang ganti dan kembali menggunakan pakaiannya semula.

"Sok suci kamu, Danisa!" cibir Santi saat Danisa keluar dari kamar ganti dan melewati Santi begitu saja.

Terserah apa kata mereka, Danisa tetap pergi sebelum dia terikat kontrak atau lebih jauh berada di lingkungan kerja yang tidak sesuai menurut kata hatinya.

Lupakan upah 800 ribu per hari itu, tidak peduli dia akan dikeluarkan dari sekolah karena tak mampu bayar. Itu tidak berarti apa-apa daripada harus menjual harga dirinya demi nominal uang yang tak seberapa.

"Maafkan Danisa, Bu. Hari ini Danisa telah salah memilih pekerjaan," ucap Danisa dalam hatinya.

Karena yang membuatnya semangat bekerja ialah ibu dan adik-adiknya yang menunggu di rumah untuk sesuap nasi yang dia bawa sehingga sebisa mungkin Danisa usahakan untuk mendapatkan uang dengan cara yang benar dan halal.

Brak!

Saat sedang tidak fokus pada langkahnya, Danisa malah tak sengaja menabrak seseorang begitu keluar dari lift.

Dirinya terjatuh duduk di lantai dan pada saat itu sekeliling sedang ramai. Tentu ia menjadi pusat perhatian.

"Oh, Sorry. Kamu baik-baik saja?" tanya dia, seorang pria yang ditabraknya.

"Tidak papa, Tuan," jawab Danisa.

Danisa tak memedulikan uluran tangan pria itu yang ingin membantunya bangkit, lalu tiba-tiba terdengar suara seorang wanita.

"Sayang, ada apa ini?" tanya wanita itu.

Danisa yang telah berdiri sempurna.

"Oh, kamu lagi?! Kenapa suka sekali membuat keributan di sini? Kemarin dia juga sempat hampir membuatku jatuh di tangga," ucap wanita itu pada Danisa.

"Dia tadi terjatuh sebab menabrakku. Kamu baik-baik saja?" tanya pria itu. Danisa yang menunduk hanya mengangguk.

"Memang jadi sial saat bertemu dengan gadis ini. Sudahlah. Ayolah, Sayang, biarkan saja," ujar wanita itu dan mereka memasuki lift.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!