"Ini tidak adil! Bagaimana bisa dia meninggalkan putri kita begitu saja, dan malah menikah dengan wanita lain. Ini sama sekali tidak adil. Bagaimana nasib Yasmin kita, Suamiku? Bagaimana nasib Yasmin kita tersayang. Dia pasti terpukul sekali sekarang. Dia pasti patah hati!"
"Hust, jangan keras-keras. Apa kau mau semua tetangga mendengar ocehanmu, hah!"
"Biar saja. Biar saja mereka dengar. Kasihan putri kita. Kasihan sekali dia."
"Biar saja mereka dengar katamu? Yasmin akan malu karena dikasihani oleh seluruh penduduk desa. Dia tidak suka dikasihani."
Yasmin menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya dengan kasar begitu ia mendengar perdebatan tidak penting yang terjadi di dalam kamar kedua orang tuanya. Parahnya lagi, ibu dan ayahnya bukan hanya sekadar berdebat, tetapi keduanya juga menangis. Yasmin dapat mendengar suara isakkan sang ibu yang tanpa henti, seolah sedang menangisi seseorang yang telah wafat.
Yasmin sama sekali tidak mengerti, kenapa orang tuanya harus repot-repot menangisi nasibnya yang akan ditinggal menikah. Padahal dirinya saja sudah tidak begitu sedih. Toh, pria sampah harus berakhir di tangan wanita sampah juga. Hal itu justru baik baginya.
Dengan enggan, Yasmin melangkah menuju dapur, membuka lemari pendingin dan meraih beberapa batang cokelat serta sebotol air mineral berukuran kecil. Ia memasukan cokelat dan air mineral ke dalam saku jaketnya, lalu ia mengendap-endap menuju pintu belakang, mendorong daun pintu hingga terbuka, dan segera melompat ke halaman belakang.
Hawa dingin yang mengigit menyambut kehadiran Yasmin, membuat tubuhnya seketika menggigil kedinginan.
"Jika di sini saja sedingin ini, bagaimana di bukit nanti. Aku bisa mati kedinginan di sana," gumamnya, sembari meraih selembar selimut tipis dan senter yang terdapat di lemari penyimpanan di teras belakang.
Setelah merasa persiapannya sudah lengkap, Yasmin pun melanjutkan langkah menuju jalan setapak yang akan membawanya ke salah satu bukit favoritnya, yaitu Bukit Bintang.
***
Bayangan kurus dan tinggi mengikuti setiap langkah Yasmin, menemani wanita itu di dalam kegelapan yang liar dan mencekam. Rambut Yasmin yang tergerai, berkibar ditiup angin. Membuat bayangan Yasmin terlihat menakutkan, seperti bayangan seorang penyihir yang sedang menjelajah di tengah hutan.
"Ah, rambut sialan. Membuat seram saja," gumam Yasmin, sembari merapikan rambutnya begitu ia melihat bayangannya sendiri.
Yasmin adalah wanita yang cantik, dan terbilang sukses. Usianya baru memasuki awal 30-an, tetapi ia telah memiliki jabatan penting di kantor tempatnya bekerja.
Tubuh Yasmin tinggi dan langsing, kakinya panjang dengan tungkai yang indah, kulitnya seputih susu, sangat kontras dengan rambutnya yang berwarna hitam legam.
Sedangkan wajah Yasmin jangan ditanya lagi, ia cantik. Matanya bulat dan besar, tulang pipinya tinggi, dan dagunya yang runcing memiliki belahan tepat ditengahnya. Alisnya tebal dan tertata rapi, bulu matanya lentik, dan saat menatap seseorang, tatapannya begitu tajam.
Bisa dikatakan bahwa Yasmin terlihat seperti boneka hidup. Setiap senti tubuhnya mengandung kesempurnaan yang tidak masuk akal. Namun, ternyata cantik saja tidak cukup untuk membuat seorang pria bertahan pada kesetiaan. Nyatanya kekasih Yasmin berselingkuh dengan sahabat Yasmin sendiri--Aurel--dan parahnya lagi Aurel sampai mengandung.
Yasmin tidak tahu kapan, dan di mana tepatnya Aurel dan Mico bertemu, lalu saling melucuti pakaian dan bercinta habis-habisan, karena selama ini Mico selalu berada di sisinya, begitu juga dengan Aurel, hingga rasanya mustahil sekali jika keduanya bertemu diam-diam dan mulai bermain cinta di belakangnya. Memikirkan hal itu membuat Yasmin sakit kepala, hingga ia berusaha setengah mati agar tidak lagi memikirkan bagaimana kisah cinta terlarang antara Mico dan Aurel.
Setelah menghabiskan waktu lebih-kurang setengah jam, Yasmin akhirnya tiba di atas bukit. Ia tersenyum, dan berputar di tempat dengan kedua lengan yang terbuka lebar.
"Ah, akhirnya aku berada di sini lagi. Yuhuuu!" teriak Yasmin.
Berada di atas bukit merupakan hal yang paling menyenangkan bagi Yasmin. Ia merasa bebas, merasa lega, dan tenang. Seolah beban yang salama ini menghimpit dadanya menguap dan menghilang ditiup oleh angin.
Sejak kembali ke desa, Yasmin memang kerap menghabiskan waktu di atas bukit. Terkadang ia datang ke bukit di pagi hari untuk melihat matahari terbit, terkadang ia datang di sore hari untuk melihat matahari tenggelam, dan kali ini ia datang di malam hari untuk pertama kalinya. Ia datang untuk menangisi malam ini, karena malam ini adalah malam pernikahan Mico dan Aurel.
Yasmin duduk di atas rerumputan yang sedikit basah karena embun, kemudian ia mengeluarkan cokelat dan air mineral dari dalam saku jaketnya dan meletakkan semua perbekalannya itu tepat di sampingnya sebelum ia memutuskan untuk berbaring telentang dan menatap langit yang penuh bintang. Sesekali jemarinya yang lentik mengusap sudut matanya yang mulai basah karena air mata. Berpura-pura tegar memang mudah saat ia berada di sekitar ayah dan ibunya, tetapi saat ia sedang sendiri seperti sekarang, sulit sekali menahan air matanya agar tidak tumpah.
"Indahnya," gumam Yasmin. "Itu rasi bintang Orion. Yang itu ... sepertinya Sirius," gumamnya lagi, sembari menunjuk ke langit, menghubungkan garis antara satu bintang dengan bintang lain.
Yasmin suka melakukan hal itu. Menatap langit, mencari-cari rasi bintang sambil berbicara sendiri. Ia telah melakukan hal demikian sejak masih kecil, dan sekarang ia melakukannya lagi saat ia sedang sedih.
Saat sedang asyik menebak-nebak rasi bintang yang ada di langit, tiba-tiba saja sudut matanya menangkap sesuatu yang melesat dengan cepat dari langit menuju bumi.
Yasmin segera bangkit untuk duduk, dan kedua matanya memandang cahaya yang meluncur turun dengan gerakan yang begitu cepat.
"Wah, bintang jatuh!" serunya. "Bagus. Ini bagus sekali. Aku akan mengajukan permohonan." Yasmin menegakkan duduknya, menutup mata, lalu menyatukan kedua tangan dan berujar. "Wahai bintang jatuh. Kabulkan keinginanku. Aku ingin agar Mico dan Aurel gagal melakukan malam pertama mereka malam ini. Buatlah Mico tidak bisa membuka celananya, dan ... Apa lagi, ya? Ah, buat saja senjata Mico tidak dapat berdiri tegak! Pokoknya tidak bisa berdiri tegak!"
Dum!
Yasmin tersentak saat ia merasakan sesuatu yang berat mendarat di tanah di dekatnya, dan seketika itu juga udara yang dingin perlahan menjadi hangat, bahkan cenderung panas hingga mampu menimbulkan sensasi membakar di kulitnya.
Yasmin mengatupkan bibir, dan segera membuka kedua matanya, lalu bangkit berdiri sambil terbatuk-batuk, karena debu dan asap kini memenuhi udara di sekitarnya.
Tangan Yasmin mengibas, berusaha menyingkirkan debu dan asap yang menghalangi pandangannya, dan detik berikutnya ia pun memekik begitu pandangannya mulai jelas, dan ia bisa melihat apa yang ada di hadapannya.
"Aaaaah! Burung raksasa!"
Bersambung.
Jeritan Yasmin mengudara, tetapi tidak ada satu orang pun yang mendengar jeritan wanita itu. Lagi pula, manusia mana yang mau repot-repot menghabiskan waktu di atas bukit pada tengah malam yang dingin seperti saat ini selain dirinya sendiri. Maka tidak mengherankan jika tidak ada satu orang pun yang penasaran dan segera menghampiri Yasmin begitu teriakan Yasmin mengudara dan memecah keheningan malam.
Sadar jika dirinya hanya sendirian di atas bukit, Yasmin pun mengatur napas sembari memegangi dada, berusaha menetralisir keterkejutannya dan mengabaikan rasa takut yang mulai menggelayuti dada. Sesekali ia mengucek kedua mata untuk memastikan bahwa ia tidak salah lihat, bahwa apa yang sekarang ini berada di hadapannya adalah sesuatu yang nyata, objek nyata, bukan hanya sekadar halusinasi semata.
Setelah rasa terkejutnya berkurang, Yasmin memberanikan diri untuk maju selangkah demi selangkah mendekati makhluk asing bersayap yang tergeletak anggun di atas tanah.
Yasmin tahu jika tindakannya termasuk tindakan yang bodoh, seharusnya ia lari, dan pergi menjauh dari sesuatu yang asing yang mungkin saja berbahaya, dan dapat membunuhnya. Namun, nalurinya mengatakan ia harus mencari tahu. Rasa penasarannya begitu tinggi, hingga rasa takutnya terabaikan. Lagi pula, ia tidak takut mati saat ini. Ya, setelah merasakan sakitnya dikhianati, jujur saja ia tidak takut merasakan hal apa pun lagi, salah satunya adalah merasakan yang namanya mati.
"Wah, mahkluk apa ini?" tanya Yasmin, pada udara kosong di sekitarnya begitu jaraknya dengan jarak si makhluk asing semakin dekat.
"Apa dia burung? Bird Man!" tebak Yasmin asal-asalan. "Apa ada burung sebesar ini? Ck, aku rasa tidak ada." Yasmin masih bergumam seorang diri, berusaha menebak-nebak jenis makhluk apa yang saat ini sedang ia pandangi.
Makhluk asing itu sangat besar. Dengan kedua sayap berwarna abu-abu yang terbuka lebar. Terdapat lidah api di setiap helai sayap yang terbuka itu, yang membuat udara di sekitarnya menjadi lebih hangat. Bahkan rerumputan tepat di bawah tubuh si makhluk asing pun sampai terbakar.
Posisi si makhluk asing yang menghadap tanah membuat Yasmin tidak dapat melihat dengan jelas wajah dan bentuk tubuh yang tersembunyi di balik kedua sayap. Namun, ia berani taruhan bahwa sebagian tubuh makhluk asing itu berwujud manusia, karena ia dapat melihat sepasang lengan yang kekar, dan juga rambut panjang berwarna kecokelatan yang menutupi bagian kepala.
"Dia wanita atau pria? Rambutnya panjang, tapi lengannya berotot sekali," gumam Yasmin lagi. Kali ini ia telah berdiri tepat di hadapan si makhluk asing.
Yasmin berlutut, dan perlahan mengulurkan tangan untuk menyingkirkan rambut panjang makhluk itu yang berhamburan menutupi wajah.
"Aah," desis Yasmin, ia merintih saat tangannya berhasil menyentuh rambut makhluk di hadapannya. Sungguh di luar perkiraannya, ternyata helai rambut makhluk asing itu sangat panas saat disentuh. Menyentuhnya sama saja seperti menyentuh bara api.
"Kenapa panas sekali," gumam Yasmin, sambil mengibaskan tangannya yang mulai melepuh.
Belum lagi Yasmin mengeksplor lebih jauh, makhluk asing di hadapan Yasmin tiba-tiba mulai bergerak. Pertama sayap bagian kirinya terangkat perlahan, disusul sayap bagian kanannya. Begitu kedua sayap mulai terangkat, lidah api yang tadinya redup, kini menyala terang.
Yasmin terkesiap. Ia dengan sigap bangkit berdiri dan berlari menjauh, menjaga agar jaraknya tetap aman. Ia takut jika lidah-lidah api itu mulai menyerang dan membakarnya. Padahal sebelumnya ia tidak takut sama sekali.
Pusaran debu dan asap pun tercipta saat si makhluk asing mulai bangkit dan melayang beberapa senti dari tanah. Rambutnya yang panjang berkibar ditiup angin, begitu pula dengan jubah berwarna gading yang membungkus sebagian tubuhnya. Walaupun sekarang jubah itu terlihat rusak di beberapa bagian, tetapi sama sekali tidak merusak penampilan sempurna dari si makhluk asing.
"Ya, Tuhan!" gumam Yasmin, dengan kedua mata membelalak dan mulut yang terbuka lebar.
Jika sebelumnya Yasmin sudah sangat terkejut, kali ini ia lebih terkejut lagi saat kedua matanya berhasil melihat makhluk asing itu secara keseluruhan.
Menurut Yasmin, makhluk asing bersayap itu memiliki wajah yang sangat rupawan, serta bentuk tubuh yang sempurna. Makhluk itu terlihat seperti manusia pada umumnya, hanya saja memiliki sepasang sayap di bagian kanan dan kiri tubuhnya.
Wajahnya memancarkan kharisma yang luar biasa, hidungnya tinggi dan runcing, rahangnya terlihat keras, matanya bak mata seekor elang dengan iris berwarna biru cerah, bentuk bibirnya sensual; tebal dan berwarna merah alami. Rambutnya yang sepanjang bahu bergelombang dengan warna cokelat berkilau.
"Apa dia malaikat," gumam Yasmin.
Mendengar suara Yasmin, makhluk asing itu mengerjap. Ia memandang Yasmin yang berdiri tidak terlalu jauh darinya. Tatapannya tajam, hingga membuat Yasmin merasa seperti ditelanjangi saat itu juga.
Yasmin menelan ludah, lalu mundur menjauh, menjaga jarak dari si makhluk asing yang mulai mendekat.
"Jangan mendekat. Berhenti di sana!" teriak Yasmin. Namun, percuma saja, makhluk asing yang rupawan itu tetap saja mendekat, ia seolah tidak peduli pada teriakan Yasmin yang memintanya untuk berhenti.
"Astaga, bagaimana ini. Seharusnya aku lari sejak tadi." Yasmin mulai gemetar ketakutan, karena mendadak saja kedua kakinya tidak dapat digerakkan.
Kini jarak antara Yasmin dan si makhluk asing semakin terkikis. Makhluk asing itu bahkan tidak lagi melayang di udara seperti sebelumnya. Ia berjalan menggunakan kedua kakinya untuk menghampiri Yasmin, meninggalkan jejak kehitaman di permukaan rerumputan yang terbakar saat rumput-rumput yang malang itu tersentuh oleh telapak kaki si makhluk asing.
Di titik ini Yasmin sudah menyerah. Ia pasrah pada takdirnya, jika ia memang harus mati di tangan makhluk dari dunia lain, sama sekali tidak masalah baginya. Justru hal itu lebih baik, karena ia dapat menjumpai ajal lebih cepat.
Udara panas kini mulai terasa membakar permukaan kulit Yasmin saat tidak ada lagi jarak antara dirinya dan si makhluk asing.
Yasmin menatap wajah rupawan di hadapannya sejenak, yang balas menatapnya dengan tatapan bingung dan penasaran.
Setelah beradu pandang selama beberapa saat, Yasmin pun berujar, "Lakukan dengan cepat." Setelah mengatakan itu, Yasmin menutup kedua mata. Ia tidak ingin melihat malaikan kematian datang untuk menjemput rohnya.
Sedetik berlalu. Dua detik. Tiga detik ... satu menit.
Yasmin yakin satu menit telah berlalu, tetapi ia tidak merasakan tindakan apa pun yang dapat membahayakan nyawanya, misalnya ia dicekik, dipukul, ditusuk, atau diangkat dan dilemparkan ke udara. Alih-alih merasakan semua itu, ia justru merasa sesuatu yang berat dan hangat tiba-tiba menempel di pundaknya.
Yasmin membuka mata, dan ia terkejut saat melihat si makhluk asing bersandar di pundaknya dalam keadaan tidak sadarkan diri.
"Astaga, dia pingsan atau mati!"
Bersambung.
Yasmin terhuyung-huyung menahan beban tubuh makhluk asing yang tiba-tiba saja tidak sadarkan diri di hadapannya.
Sambil mengeluh, ia melangkah menuju sebuah pohon yang letaknya hanya beberapa meter dari tempatnya berdiri. Pohon tersebut berdaun rindang, dengan akar sebesar lengan yang mencuat di sekitarnya.
"Nah, sudah sampai," desis Yasmin, perlahan membaringkan si makhluk asing di bawah pohon, tepat di sela-sela akar yang berukuran lumayan besar, lalu menutupi tubuh makhluk asing itu dengan selimut yang ia bawa dari rumah.
"Apa yang aku harus aku lakukan sekarang? Haruskah aku tinggalkan saja dia di sini," gumam Yasmin, sembari mengusap peluh di dahinya.
Sempat terlintas di benak Yasmin untuk meninggalkan makhluk asing itu, tetapi niatan itu pergi secepat datangnya. Mana tega ia meninggalkan seseorang atau makhluk hidup jenis apa pun yang tengah pingsan di atas bukit seorang diri, dan di tengah malam seperti ini. Bagaimana kalau ada ular yang datang untuk mengigit atau binatang buas lainnya. Jika sampai hal itu terjadi, ia pasti akan merasa sangat bersalah.
Alih-alih beranjak dari bukit dan kembali ke rumah untuk mengamankan diri, Yasmin justru memilih untuk duduk tepat di samping si makhluk asing. Ia memutuskan untuk pergi besok saja, pagi-pagi sekali sebelum makhluk itu sadarkan diri.
***
Kicauan burung kenari yang hinggap di dahan-dahan pohon terendah membangunkan Yasmin. Memaksanya untuk membuka mata dan mengakhiri mimpi indah yang berlangsung di bawah alam sadarnya.
Terbiasa hidup di perkotaan membuat Yasmin tidak terbiasa dengan suara kicau burung, hingga suara kicau yang sekarang saling bersahutan memenuhi udara di sekitarnya mampu membuat tidurnya terganggu.
Yasmin menggeliat, menguap sambil merentangkan kedua tangan dan membuka matanya perlahan.
Begitu kedua matanya terbuka, ia dikejutkan oleh sepasang iris biru yang menatapnya dari jarak yang begitu dekat.
"Astaga! Apa yang kau lakukan?!" seru Yasmin, refleks mendorong pria di hadapannya dengan cukup keras.
Pria itu terjatuh, kedua sayapnya yang tadinya terlipat anggun di punggung, mendadak terbuka lebar dan mengeluarkan lidah api yang redup. Begitu sepasang sayap itu terbuka, udara dingin di sekitar Yasmin tiba-tiba saja menjadi hangat.
"Ah, sial. Seharusnya tidak kusentuh," gumam Yasmin, sembari sibuk mengibaskan tangannya yang melepuh karena bersentuhan dengan tubuh si makhluk asing.
Melihat telapak tangan Yasmin yang kemerahan, si makhluk asing segera meraih pergelangan tangan Yasmin. "Pasti sakit sekali," ucapnya.
Yasmin terkesima. "Kau bisa bicara? Dan kau bicara dengan bahasa yang sama denganku."
"Ya, aku memahaminya dengan cepat. Semua ucapanmu itu dapat diterima dengan baik oleh otakku sejak semalam."
Yasmin berdecak kagum sambil menggelengkan kepala. "Jadi kau punya otak juga? Aku pikir tidak," ujarnya, asal.
"Tentu aku punya," jawab si makhluk asing yang terlihat sedikit tersinggung atas pernyataan Yasmin. Memangnya ia terlihat begitu bodoh, sampai-sampai Yasmin mengira jika dirinya tidak punya otak.
Setelah beberapa saat memperhatikan luka bakar di telapak tangan Yasmin, si makhluk asing pun memutuskan untuk menyembuhkan luka itu. Apalagi, luka di tangan Yasmin disebabkan oleh dirinya, ia merasa bertanggung jawab untuk menyembuhkan luka itu. Ia pun menutup mata, dan mulai merapal mantra dalam kalimat-kalimat asing yang tidak pernah didengar oleh Yasmin sebelumnya. Dan detik berikutnya, luka itu menghilang begitu saja.
"Wah, ini keren." Yasmin memekik begitu melihat luka di tangannya tiba-tiba menghilang. Ia bahkan tidak merasakan sakit seperti sebelumnya.
"Keren?" Si makhluk asing terlihat bingung.
Yasmin mengangguk, dan segera bangkit berdiri. "Keren, berarti hebat," jelasnya singkat, lalu ia sibuk mengedarkan pandangan ke segala arah, mencari-cari sesuatu yang bisa ia gunakan sebagai senjata jika pria di hadapannya tiba-tiba saja menjadi berbahaya dan menyerangnya.
"Ngomong-ngomong siapa namamu?" tanya Yasmin.
"Aku ... Aku Eridanus."
Dahi Yasmin mengernyit. "Eridanus. Terdengar keren, tapi sedikit aneh. Aku bisa memanggilmu Anus," komentarnya, sambil meraih ranting yang berukuran lumayan besar dari sela-sela tanaman rambat.
"Kau berasal dari mana, Anus?" tanya Yasmin lagi, kali ini ia mengarahkan ujung ranting tepat ke wajah Eridanus.
Eridanus yang terkejut segera mundur beberapa langkah. "Kau ingin menyerangku?"
Yasmin berdecak. "Tidak. Aku hanya jaga-jaga. Jawab saja pertanyaanku, kau itu berasal dari mana, dan kau itu apa?" Yasmin mendesak, sembari menggerak-gerakkan ranting di tangannya hingga ranting itu menyentuh sayap Eridanus.
"Dari sana," jawab Eridanus, mengarahkan telunjuknya ke langit. "Ouranós," lanjutnya.
Yasmin mengikuti arah yang ditunjukan oleh Eridanus. "Langit?" tanyanya, memastikan.
Eridanus menggeleng. "Bukan, tapi Ouranós."
"Jika bukan langit lalu ... udara?"
Eridanus terlihat kesal, ia menggeleng dengan cepat, membuat rambut panjangnya yang kusut bergerak liar ke sana-kemari.
"Ouranós. Kan sudah aku katakan berulang kali. Kenapa kau tidak mengerti. Aku berasal dari Ouranós, bukan dari langit ataupun udara. Lagi pula, apa itu langit dan udara?" tanyanya, penasaran.
Yasmin menghela napas panjang. Ia mengerti sekarang, pastilah ada perbedaan nama objek antara dunianya dan juga dunia Eridanus. Jika memang Eridanus bukan makhluk yang berasal dari dunianya hal seperti perbedaan bahasa, nama benda, dan lain sebagainya merupakan hal yang lazim.
"Langit adalah itu, yang ada di atas sana. Di mana saat siang hari akan menjadi tempat matahari untuk menampakkan wujudnya, membuat kita semua merasa hangat, dan saat malam hari menjadi tempat bagi bulan juga bintang untuk berparade, memamerkan kilau mereka masing-masing. Itulah yang disebut langit." Yasmin menjelaskan sesingkat yang ia bisa.
Akan tetapi, Eridanus tampak tidak mengerti. Ia masih terlihat bingung dan tidak menangkap apa pun yang diucapkan oleh Yasmin.
Melihat gelagat Eridanus yang seperti akan melontarkan seribu pertanyaan, Yasmin pun mencari aman. Ia mengibaskan tangan dan segera beranjak dari hadapan Eridanus sebelum pria itu mulai bertanya macam-macam.
"Kau akan ke mana?" tanya Eridanus, sembari menatap punggung Yasmin yang bergerak menjauh.
"Aku akan pergi sekarang. Ibu dan ayahku pasti mencariku ke mana-mana. Kau kembalilah ke rumahmu. Ke langit atau ke osos yang kau sebut tadi."
"Ouranós, bukan Osos," gumam Eridanus.
Yasmin mengibaskan tangan. "Terserah saja apa katamu." Setelah mengatakan itu, Yasmin segera mempercepat langkahnya menuruni bukit. Ia menyingkirkan tanaman-tanaman rambat dan berduri menggunakan ranting yang ia pegang sejak tadi.
Sebenarnya Yasmin merasa tidak tega jika harus meninggalkan Eridanus seorang diri seperti ini. Setidaknya ia harus menunggu dan memastikan apakah Eridanus bisa kembali ke langit dengan selamat. lagi pula, masih banyak hal yang ingin ia tanyakan pada Eridanus; tentang siapa Eridanus sebenarnya, dan apakah memang benar Eridanus berasal dari langit. Namun, ia tidak punya pilihan lain selain pergi dari bukit secepat mungkin sebelum ayah dan ibunya mengumpulkan warga desa dan mulai mencari keberadaannya dengan cara yang berlebihan.
Akan tetapi, baru beberapa langkah ia meninggalkan puncak bukit, kedua kakinya tiba-tiba saja mengeras dan tidak dapat digerakkan. Kedua kakinya seperti berubah menjadi batu
"Apa yang terjadi? Apa ibu mengutukku karena aku pergi diam-diam dari rumah," gumam Yasmin yang mulai panik, dan berusaha menggerakkan kakinya dengan susah payah.
Namun, tidak lama kemudian ia menyadari bahwa keanehan yang terjadi padanya bisa saja ulah Eridanus. Bukankah pria itu tadi dapat dengan mudah menyembuhkan luka di tangannya, seolah pria itu memiliki ilmu sihir yang tidak dimiliki manusia biasa. Jadi tidak menutup kemungkinan jika Eridanuslah yang membuat kakinya tidak dapat bergerak.
"Sial. Seharusnya aku melarikan diri sejak semalam!"
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!