Biru tengah berjalan-jalan di sebuah mall seorang diri. Ia lebih suka menikmati kesendiriannya dibandingkan harus pergi bersama seseorang. Tak sedikit mata yang terus menatapnya dengan kagum. Biru merawat dirinya dengan baik dan sekarang ia terlihat sangat cantik. Kini usia biru menginjak 27 tahun, selama sepuluh tahun terakhir tak ada satupun pria yang mampu menarik hatinya.
"Hai Kak, boleh kenalan?" Tanya seorang pemuda.
"Maaf, saya sudah menikah" jawab Biru sembari menunjukkan cincin ditangannya. Itu hanyalah cincin yang ia beli sendiri agar tak ada pemuda yang mendekati nya secara tiba-tiba.
"Oh maaf Kak"
Setelah pemuda itu pergi, Biru duduk di depan pintu masuk teater. Ia tengah melakukan panggilan telepon dengan seseorang.
"Iya Anya apa? Gue nonton sendiri, beli dua tiket dan seperti biasanya oke" jelas Biru sebelum ditanya. Ia sudah mengerti kemana arah pembicaraan yang akan Anya lakukan.
"Permisi Kak, Kakak cantik sekali, boleh kenalan?" Ucap seorang pemuda mendekati Biru sambil mengulurkan tangannya.
"Maaf, saya sudah menikah" jawab Biru dengan ramah.
"Oh gitu, maaf Kak"
Biru kembali berbincang dengan Anya yang memarahinya sebab menolak perkenalan dengan para wanita. Gadis itu menatap sekitar, ia melihat ada beberapa pemuda yang menatapnya dari berbagai sisi. Biru merasa tak nyaman karenanya, ia pun menggeser duduk agar lebih dekat ke arah gerombolan pemuda yang sedang berbincang-bincang. Bersembunyi diantara pemuda itu mungkin akan menghindari pemuda lain untuk mendekati dirinya.
"Harus berapa kali gue bilang, gue masih cinta sama Langit" pungkas Biru. Ia sukses menarik para pemuda yang ada didekatnya. Gadis itu menoleh lalu tersenyum canggung ke arah mereka.
"Gue yakin Nya, gue yakin Langit juga nungguin gue. Gue udah janji sama dia, kalau nanti kami dipertemukan lagi, gue yang akan kejar-kejar dia. Berapa kali gue harus jelasin ke loe kalau cinta gue udah habis. Gue gak bisa menerima laki-laki lain dalam hidup gue" lanjut Biru. Ia menghela napasnya lalu berdehem mendengarkan setiap ocehan Anya.
Usai beberapa saat kemudian, barulah Biru menutup teleponnya dan menatap ke pintu yang masih tertutup.
"Loe Biru temannya Anya?" Celetuk seorang pemuda mendekati Biru.
"Iya, loe kenal gue?
"Gue Falah, sahabatnya Langit. Kita pernah ketemu beberapa kali waktu ada acara" jawab Falah.
Biru mengerutkan keningnya, ia meminta maaf karena tidak mengingatnya dengan jelas. Pemuda itu mengangguk tak masalah, ia benar-benar tak mengenali Biru yang sekarang.
"Kalau loe sahabatnya Langit, loe tau kabar dia?" Tanya Biru.
"Tau, dia ada .... Maksud gue dia baik-baik aja. Mungkin sebentar lagi dia akan balik. Sorry sebelumnya, gue gak sengaja dengar pembicaraan loe ditelepon, kenapa loe nungguin Langit? Langit udah punya pacar"
Gadis itu membuka matanya lebar karena terkejut, ia tak bisa menyembunyikan keterkejutannya mendengar informasi tersebut. Biru tersenyum canggung dan menatap ke segala arah dengan bingung. Untungnya pintu teater dibuka, gadis itu berpamitan lalu masuk kedalam bioskop. Biru hampir saja terjatuh saat menaiki tangga karena tak fokus. Falah berada di belakang untuk membantunya berjalan menuju tempat duduk gadis itu. Rupanya mereka duduk bersebelahan, Falah dan teman-temannya pun duduk berdampingan dengan Biru.
Ketika film dimulai, Biru menitihkan air matanya. Padahal mereka sedang menonton film Avengers namun Biru malah menangis. Gadis itu mengepalkan tangannya dengan kuat, ia tak bisa menahan air matanya yang tumpah.
"Loe gak apa-apa?" Bisik Falah khawatir.
"Gak apa-apa kok, filmnya sedih ya" lirih Biru ditengah isak tangisnya.
Falah menoleh menatap teman-temannya, ia tak tega melihat Biru seperti ini.
"Falah, apa Langit bahagia?" Imbuh Biru.
"Se... sepertinya begitu, tapi bukankah tadi loe bilang loe bakal deketin dia kalau ketemu? Mereka masih pacaran kok belum nikah, jadi loe punya kesempatan"
"Mana bisa seperti itu, gue gak mau merebut Langit dari siapapun. Gue gak mau menjauhkan Langit dari orang yang dia cintai, gue sedih banget sekarang. Gue mau pulang aja, makasih ya informasinya, jangan bilang Langit kalau loe ketemu gue" pungkas Biru kemudian berjalan pergi meninggalkan bioskop.
Biru bersandar di dinding di area pintu keluar bioskop. Kakinya terasa sangat lemas dan tak tau harus bagaimana. Falah dan teman-temannya yang khawatir mengikuti Biru di belakang. Mereka memandangi gadis itu yang terduduk di lantai.
"Ide loe buruk" pungkas Falah pada seorang temannya tang memakai masker.
"Dia percaya banget ya sama Langit" sahut Rafi.
Pemuda yang memakai masker itu meminta Falah mengantarkan Biru pulang ke rumah. Akan bahaya jika ada pria yang mendekati Biru dalam keadaan seperti ini. Falah mendekati Biru dan mengatakan jika ia akan mengantarkan Biru pulang ke rumah. Gadis itu menolak, ia mengatakan akan pulang sendiri, ia tak butuh bantuan siapapun. Ia merasa bisa melakukan semuanya sendiri.
Seorang pemuda berdiri di depan Biru sambil berjongkok, pemuda yang mengenakan kemeja berwarna biru langit sama dengan yang Biru kenakan. Pemuda bermasker itu meminta Falah dan Rafi agar membuat Biru berada diatas punggungnya. Mereka memakaikan topi pada Biru lalu membawa gadis itu pergi menuju parkiran. Tak sedikit mata yang melihat mereka semua dengan aneh.
"Langit, maaf, maafkan aku Langit, maaf" gumam Biru.
Ketika berada di parkiran, mereka mendudukkan Biru di kursi depan lalu masuk kedalam mobil. Mereka jadi khawatir dan membawa Biru menuju rumah sakit terdekat.
"Langit, kenapa? Kamu marah ya sama aku?" Tutur Biru yang berbicara sendiri. Ia kembali menangis, isak tangisnya membuat para pemuda itu merasa bersalah.
"Biru gue cuma bercanda, Biru hei tenang" ucap Falah mencoba mengubah situasinya.
"Langit benci banget ya sama gue, sampai-sampai dia suruh kalian bicara seperti itu kalau ketemu gue? Gue sayang banget sama Langit, gue cinta sama dia. Gue benci diri gue sendiri, gue benci diri gue sendiri. Gue benci, gue jahat, gue pembohong, gue nyakitin Langit ya"
"Bukan gitu, Biru hei Biru.. Pingsan njir, ah gimana dong? Gue telepon Anya ya" gerutu Falah yang panik.
Sampai di rumah sakit mereka membawa Biru untuk di periksa. Falah dan Rafi menemani Biru hingga Anya datang menjemputnya. Anya datang bersama dengan Justin dan Nando, mereka terlihat sangat khawatir.
"Biru kenapa?" Tanya Anya.
Falah menjelaskan situasinya, ia mengatakan hal bodoh yang membuat Biru tak bisa menerimanya. Mendengar cerita konyol itu, Anya langsung mencengkram baju Falah dan memakinya dengan kasar.
"Dasar gila, ah sialll" umpat Anya kesal. Ia memperingatkan kedua pria itu agar tak mendekati Biru lagi.
Nando berdiri di samping Biru dan mengelus kepalanya. Gadis itu terbangun lalu menepis tangan Nando, ia beranjak dari posisinya dan turun dari atas ranjang. Biru menatap semua orang yang memandangi dirinya dengan khawatir.
"Maaf, gue bisa pulang sendiri kok, gue mau sendiri" ujar Biru lalu berjalan pergi keluar ruangan. Ia meminta agar teman-temannya tidak mengikuti dirinya terutama Anya dan Nando.
Gadis itu berjalan seorang diri, ketika sampai di area depan rumah sakit Biru berpapasan dengan ketiga teman Falah yang lainnya.
"Biru, apa loe sudah baik-baik saja?" Tanya salah seorang pemuda.
"Iya, terimakasih. Apakah kalian tadi berbicara dengan Langit? Gue samar dengar suaranya" kata Biru penuh harap.
"Tidak, mungkin loe terlalu memikirkannya. Tapi Biru, kenapa loe tidak melupakan Langit saja? Loe bisa jalani hidup loe bahagia tanpanya"
Biru mengepalkan tangannya dan menatap pemuda itu dengan marah. Ia tak mengatakan apapun kemudian pergi meninggalkan ketiganya.
Semenjak kejadian hari itu, Biru tampak murung dan hanya berdiam diri di rumah. Ia terlihat beberapa kali melamun karena tak bisa menerima kenyataan itu. Beberapa teman Biru mampir ke rumah untuk menjenguknya.
"Biru, kangen deh sama loe" celetuk Sakti kegirangan.
"Hm..." dehem Biru yang tak bersemangat.
"Hadeh nih anak y, kita kesini mau kasih loe kabar baik. Radio Maple Blue lagi cari pembawa radio tuh, kita mau nawarin loe. Kalau gak mau ya kita pergi nih" sahut Nadin.
"Serius? Maple Blue yang itu? Itu kan saluran radio favorit gue tauuu. Oke gue kesana, kapan ya?" Cerocos Biru antusias.
Semua orang yang ada disana hanya tersenyum setipis, mereka berharap ini bisa membuat Biru melupakan Langit sepenuhnya. Sakti dan Nadin meminta Biru mengirimkan CV ke alamat email yang tertera di poster loker tersebut. Mereka berdua bekerja disana cukup lama karena memang mendapatkan surat undangan secara langsung dari CEO. Bahkan Sakti maupun Nadin tidak pernah melihat siapa owner ataupun CEO radio tersebut. Sedangkan Biru, ia sudah mengikuti radio itu sejak pertama kali radio tersebut didirikan beberapa tahun lalu.
Biru aktif sekali mengirim surat kesana, ia senang ketika tulisannya dibaca oleh kedua sahabatnya saat mendengarkan radio. Singkat cerita, Biru akhirnya mendapatkan panggilan dari HRD Maple Blue. Gadis itu berangkat ke perusahaan diantar oleh Kenzo yang memang sedang tidak bekerja hari itu.
"Kak, nanti kalau mau pulang telepon gue ya" ucap Kenzo.
"Gak perlu, gue bisa naik bus. Lagipula gue kan gak bisa ngerepotin loe terus. Mendingan loe jagain Jingga dan anak kalian, loe kan udah janji sama Papa"
"Janji gue ke Papa juga kan jagain Kak Biru. Kalau Kak Biru kenapa-napa bisa di amuk gue sama Jingga. Semoga berhasil Kak, semangat"
"Iya, hati-hati pulangnya" jawab Biru lalu masuk kedalam perusahaan tersebut. Ia bisa merasakan detak jantungnya berdebar sangat kencang.
Gadis itu melangkahkan kakinya menuju ke ruangan yang ditunjukkan oleh security. Tak sedikit para pria yang menatap Biru dengan terpesona. Penampilan Biru memang berubah drastis, ia bukan lagi gadis lugu yang polos. Namun gadis modern yang sangat fashionable, meski begitu Biru tak pernah memposting fotonya di sosmed selama ini. Bisa dibilang itu semua karena Langit, ia yang membuat Biru berubah menjadi Cinderella dan menutup diri agar hanya Langit yang boleh menatapnya.
Biru mengetuk pintu kemudian masuk kedalam ruangan. Seorang pemuda duduk di meja sambil memandangi berkas CV yang Biru bawa. Gadis itu tersenyum senang dan menjawab setiap pertanyaan dengan lancar.
"Boleh saya tau, kenapa kamu sempat putus sekolah?" Tanya pemuda tersebut.
"Iya Pak, itu karena saya mengalami kecelakaan kecil dan harus dirawat karena penyakit saya" jawab Biru.
Pemuda tersebut mengangguk dan mengulurkan tangannya, beliau menerima Biru untuk bekerja di perusahaan radio tersebut.
"Yesss, terimakasih banyak Pak" ucap Biru dengan senyuman lebar.
HRD tersebut mengatakan jika Biru sudah bisa bekerja hari ini dan ia akan berada di tim yang sama dengan Sakti serta Nadin. Biru semakin kegirangan, rasanya seperti kembali lagi ke masa SMA mereka.
"Senang banget, jadi ingat masa SMA. Sekarang kalian harus ajarin gue" cerocos Biru bersemangat.
"Gitu dong move on, cewek cantik kok gamon" goda Nadin.
Biru berdehem dengan wajah murungnya, ia duduk di mejanya dan mengambil buku catatan untuk mencatat semua tugasnya. Ponsel Biru tiba-tiba berdering, ia menerima panggilan video dari Jingga.
"Bundaaa" teriak seorang bocah kecil.
"Halo anak Bunda, kenapa nangis? Jelek loh kalau nangis, nanti kalau Bunda pulang kerja, Bunda belikan es krim ya sayang" ucap Biru.
"Aku kangen Bundaa, cepat pulangg"
"Iya sayang, nanti Bunda pulang. Jangan nakal ya di rumah"
Bocah kecil itu mengangguk, Jingga mengambil alih ponselnya dan mengatakan pada Biru agar menelepon Kenzo sebelum pulang nanti. Biru tertawa kecil kemudian mematikan teleponnya. Ia kembali mencatat semua yang Sakti katakan padanya.
"Perhatian semuanya, saya akan mengenalkan CEO Maple Blue. Tolong perhatiannya!!" ucap HRD sekaligus wakil CEO.
Semua orang berdiri dan berbaris mendekati HRD tersebut. Seorang pemuda tampan tampak begitu berwibawa berjalan mendekati kerumunan. Biru menatap pemuda itu dengan terkejut, ia sampai menjatuhkan ponselnya. Sakti dan Nadin saling bersenggolan, CEO itu berjalan mendekati mereka bertiga lalu mengambil kan ponsel Biru yang jatuh.
"Apa kabar Biru?" Tanya sang CEO.
"La...Langit" gumam Biru.
Tubuh gadis itu mulai gemetar, ia melangkah mundur dengan mata yang berkaca-kaca. Biru menggelengkan kepalanya tak percaya, ia mengedipkan matanya beberapa kali untuk memastikan pengelihatannya.
"Nama saya Langit Adichandra, kalian bisa memanggil saya Langit. CEO sekaligus owner Maple Blue" ucap Langit seraya menahan tangan Biru agar tak semakin melangkah mundur.
"Maaf Pak, saya ijin ke kamar mandi" ujar Biru lalu berlari menjauh. Ia menyandarkan tubuhnya di dinding kamar mandi dan mencoba mengatur napasnya.
Setelah beberapa saat berada di kamar mandi, Biru keluar dan berusaha baik-baik saja. Ia kembali terkejut saat melihat Langit berada di depan kamar mandi.
"Kaget banget lihat aku, kamu banyak berubah ya Biru. Ah tidak, kamu tidak berubah sama sekali" pungkas Langit seraya menyodorkan ponsel Biru.
"Langit, kamu apa kabar? Kamu juga tidak berubah, ah tidak, kamu semakin tampan dan hebat. Maksudku bukan begitu, Pak Langit benar-benar hebat. Maaf dan terimakasih Pak" ucap Biru menerima kembali ponsel miliknya.
Langit berdehem kemudian pergi meninggalkan Biru. Gadis itu berusaha mengikhlaskan semuanya, tapi takdir kembali mempertemukannya dengan Langit. Kini apa yang harus Biru lakukan, ia baru saja bekerja di perusahaan impiannya namun Langit adalah bagian dari impian itu. Biru kembali ke tempat duduknya dan melanjutkan tugasnya.
Nadin dan Sakti tak mengatakan apapun pada Biru, mereka bisa mengerti jika Biru akan sangat canggung dengan keadaan ini. Bahkan beberapa karyawan juga terus menatap Biru dengan sinis.
Ketika jam istirahat tiba, Biru tak ikut pergi ke kantin sebab ia harus pergi menemui putra nya yang sudah menunggu di lobby. Ketika turun ke lantai bawah, Biru kebetulan satu lift dengan Langit yang juga hendak turun.
"Mau ke Kantin?" Tanya Langit.
"Tidak Pak, saya mau ke lobby menemui seseorang"
"Hm..." dehem Langit.
Sampai di lantai lobby, Langit juga keluar dari lift mengikuti Biru. Namun gadis itu tak menyadarinya, Biru terlalu fokus mencari seseorang.
"Papa, itu Bunda. Bundaaa" teriak seorang bocah kecil.
"Sayaang, anaak Bunda" sahut Biru berlari menghampiri Kenzo dan bocah kecil itu. Ia memeluk putranya dan menciumi pipinya.
Langit terdiam tak jauh dari mereka, ia menatap Kenzo dengan dahi berkerut.
"Kak Langit? Kapan kembali kesini Kak? Waaahh, apa kabar?" Cecar Kenzo.
"Baik, satu Minggu yang lalu" jawab Langit singkat.
"Papa, ayo kita makan siang dengan Bunda" ajak bocah kecil itu.
Biru mendekati kedua pria yang menatapnya dengan senyuman. Ia memperkenalkan putranya Felix pada Langit. Pemuda itu menatap cincin yang ada ditangan Biru dan cincin yang ada di tangan Kenzo. Ia mulai berpikir jika keduanya memiliki hubungan, tapi kemarin Langit jelas mendengar jika Biru masih mencintainya.
Kenzo mengajak mereka semua untuk pergi makan siang bersama seperti permintaan Felix. Langit tak menolak, ia ikut bersama dengan Kenzo dan Biru untuk makan siang bersama.
Di restoran....
"Bunda, apa kita akan pulang bersama?" Tanya Felix.
"Bunda pulang sore sayang, apakah Mama tidak madah karena kamu datang kesini?"
"Mama marah, sangaattt marah tapi aku rindu Bunda"
Langit berdehem dan menatap Biru yang tampak menyayangi Felix. Ia semakin tak mengerti situasinya, siapa kah Mama yang di maksud.
"Jadi kapan kalian akan menyusul kami menikah?" Celetuk Kenzo tiba-tiba.
"Kami siapa maksudmu?" Timpal Langit.
"Kak Biru tidak cerita? Hm... Dia juga tidak cerita saat bertemu Kak Langit. Gue adik ipar Kak Biru, suami Jingga, kami menikah sejak kami lulus SMA. Ini putra kami, oh iya kalau Kak Langit tidak segera mengajak Kak Biru menikah, Kak Nando yang akan menikahinya nanti"
"Kenzo jangan mengatakan hal yang tidak benar seperti itu. Lagipula Langit kan sudah memiliki kekasih, jika sudah selesai makan gue harus balik nih. Nanti dimarahin kalau kelamaan makan siangnya" sela Biru mencegah obrolan mereka semakin jauh.
Kenzo hanya tertawa dan mengikuti permintaan Kakak iparnya. Ia mengantarkan Langit dan Biru kembali ke kantor mereka lalu berpamitan pulang bersama putranya. Biru berdiri diam di depan lift dan membiarkan Langit pergi lebih dulu. Namun pemuda itu menaruh kakinya di pintu lift dan menunggu hingga Biru masuk kedalam.
"Pak Langit duluan saja, saya..."
"Masuk" pinta Langit dengan nada dinginnya.
Biru menelan ludah lalu bergegas masuk kedalam lift. Ia berdiri di sudut yang begitu jauh dari Langit, Biru tak bisa menyembunyikan wajah tersipu nya. Ketika sampai di lantai mereka, Biru segera berpamitan dan berjalan menuju kursi nya. Ia tak mau ada yang salah mengira mengenai hubungan mereka dan berujung melukai Langit nantinya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Seminggu sudah Biru bekerja disana, ia akhirnya memutuskan untuk tetap bekerja dengan profesional. Padahal para sahabatnya sudah minta Biru untuk resign dari sana. Tempat itu hanya akan menambah luka Biru dan membuatnya gagal move on. Bahkan berita mengenai Biru dan Langit di masalalu mulai menyebar di kantornya.
Biru datang ke kantor menggunakan bus seperti biasanya. Ia memakai melepaskan headset nya ketika hendak memasuki lift. Di dalam sana sedikit sempit karena memang penuh dengan karyawan.
"Gue dengar anak baru di tim dua punya hubungan sama CEO kita. Dia memang terlihat seperti cewek murahan gak sih?" Celetuk salah seorang karyawan.
"Iya gue juga mikir gitu, gayanya begitu bebas. Gue dengar dia dulu pelakor, merebut suami orang gitu. Rame banget dulu di sosmed" timpal yang lainnya.
"Terus dia kerja disini pasti ingin menggoda Pak Langit lagi. Entah sudah berapa banyak pria yang tidur dengannya" sahut yang lainnya.
Meski pelan, Biru bisa mendengar apa yang mereka bicarakan dengan begitu jelas. Ia mencengkram erat ponselnya lalu berjalan keluar begitu lift terbuka meski bukan lantai tujuannya. Ketika pintu lift tertutup, terdengar suara deheman seorang pria.
"Menyedihkan, pecat siapapun yang menyebarkan rumor palsu itu. Pastikan saya tidak mendengar rumor menjijikan seperti ini lagi" tutur Langit yang sukses membuat semu karyawannya tertunduk malu.
Saat sampai di lantai ruangannya, Langit turun lalu berbalik menatap semua orang yang masih tertunduk hingga lift kembali tertutup. Pemuda itu hendak berjalan menjauh, ia mendengar suara pintu darurat terbuka. Dilihatnya Biru yang terengah-engah karena berlari naik ke atas menggunakan tangga. Gadis itu segera absen dan untung nya ia tidak terlambat.
Langit memperhatikan kaki Biru yang berjalan dengan aneh. Ia yakin Biru kelelahan sebab berlari menggunakan high heels.
"Biru, keruangan saya sekarang" panggil Langit.
"Ba..baik Pak" jawab Biru. Ia menaruh tasnya kemudian pergi menuju ruangan Langit.
Biru mengetuk pintu kemudian masuk kedalam ruangan Langit. Ia menatap Langit yang duduk di kursinya dengan serius. Jantung Biru tiba-tiba berdetak dengan amat sangat kencang.
"Buatkan saya kopi, mulai hari ini tugas kamu membuatkan saya kopi setiap pagi. Tidak ada bantahan, cepat buatkan" perintah Langit tanpa menatap ke arah Biru.
Gadis itu langsung pergi keluar ruangan dan menuju dapur. Ia kembali menjadi perhatian para karyawan ketika kembali dengan membawa segelas kopi. Biru mengetuk pintu Langit lalu menyajikan kopi tersebut diatas meja Langit yang tak berada di ruangannya. Ketika kembali ke mejanya, Biru melihat ada sebuah sandal jepit di mejanya.
"Eh, sandal siapa ini? Pinjam ya, kaki gue sakit banget nih pakai high heels" seru Biru senang.
"Pakai aja, punya kantor kok" jawab Nadin yang terkekeh kecil.
"Kenapa ketawa? Langit aneh banget tau gak, massa mulai sekarang tugas gue bikinin kopi buat dia setiap pagi. Emangnya disini gak ada OB? Kenapa harus gue coba? Dia sebenci itu ya sama gue? cerocos Biru tak mengerti dengan keadaan ini.
"Kopi sudah di ruangan saya?" Celetuk Langit yang melintas.
"Sudah pak" sahut Biru sambil berdiri. Ia menatap Langit hingga pemuda itu masuk kedalam ruangannya sebelum ia kembali duduk.
"Parah loe, julid sama bos nya sendiri. Pak Langit baik tau gak, gue yakin dia yang undang kami berdua masuk kesini karena dulu lihat kamu di club radio" cetus Sakti membela.
Biru mendengus dan berdehem, ia mengerti sampai kapanpun Sakti akan selalu membela Langit. Saat jam istirahat, mereka bertiga pergi menuju kantin bersama-sama. Ketika masuk kedalam lift, mereka melihat Langit dan Dewa sudah berada di dalam lift. Biru melirik Langit sejenak lalu menundukkan kepalanya menatap lantai.
"Gimana Biru? Betah kerja disini?" Tanya Dewa.
"Iya Pak, saya suka sekali. Saya penggemar Maple Blue sejak perusahaan ini muncul di radio. Saya selalu mendengarkan nya setiap lagi, terutama saat Malam Berkisah Pak. Saya harap saya bisa membawakan radio di segmen itu. Maksud saya, semoga nanti kesampaian hehehe" jawab Biru dengan tawanya.
"Hm... Udah request aja tuh, tapi kalau segmen itu kan pulangnya bisa malem banget. Ntar loe kenapa-napa lagi pulangnya" sela Sakti.
"Gak mungkin lah, telepon aja tuh si Nando pasti langsung jemput loe jam berapa pun. Masih ada cowok sebaik Nando, padahal udah ditolak berkali-kali tapi masih aja baik sama loe. Gue yakin kalau Nando punya pacar, pasti pacarnya cemburu sama loe. Karena loe kan belahan jiwanya" sindir Nadin dengan tawanya.
Ponsel Biru berdering ketika gadis itu hendak mengatakan sesuatu. Tertera nama Nando dilayar ponselnya.
"Tuh kan, baru juga diomongin" cetus Nadin kemudian keluar ketika pintu lift terbuka.
Biru menerim panggilan itu dan berbincang sejenak dengan Nando. Ia benar-benar terganggu dengan sikap Nando saat ini. Usai menutup panggilan teleponnya, Biru pun mengantri di belakang Langit untuk mengambil makanan. Beberapa pemuda terlihat berdiri di belakang Biru, mereka terlalu dekat hingga menyentuh tubuh Biru. Bukannya meminta maaf, para pemuda itu justru tertawa sambil berbisik-bisik.
"Maaf Kak, bisa mundur sedikit, jaraknya terlalu dekat" ucap Biru.
Meski sudah di peringatkan, para pemuda itu masih saja main dorong-dorongan hingga menyentuh tubuh Biru.
"Kak, boleh kenalan tidak?" Tanya salah seorang pemuda tersebut.
"Saya sudah punya pacar" ketus Biru.
"Massa sih Kak? Saya lihat kalau berangkat atau pulang selalu sendirian naik bus. Yakin sudah punya pacar?"
Gadis itu berdehem lalu menunjukkan cincin di jarinya. Para pemuda itu ber- Oh ria menanggapi hal tersebut. Biru benar-benar risih dibuatnya, ia pun keluar barisan dan pergi meninggalkan kantin. Langit berbalik menatap para pemuda yang tertawa melihat Biru marah. Mereka semua terdiam dan menunduk padahal Langit hanya menatap mereka. Langit ikut pergi meninggalkan barisan sebab ponselnya berdering.
Langit tengah berbincang di telepon sambil berjalan menuju ke ruangannya. Ia melihat Biru yang sedang duduk di mejanya sambil mengerjakan tugas nya. Pemuda itu mencolek bahu Biru, memintanya pergi ke ruangannya sekarang juga. Biru beranjak dari duduknya dan mengikuti kemana Langit pergi.
"Saya minta kamu antarkan ini, alamatnya ada di amplop. Minta tanda tangannya sekarang juga ya" pinta Langit.
Biru memperhatikan amplop tersebut, ia lalu melirik ke arah Langit yang masih sibuk menelepon.
"Pak Langit maaf, saya tidak bisa" ucap Biru.
"Kenapa? Karena kamu belum makan siang?"
"Bukan Pak, dulu saya pernah bekerja disini. Saya tidak ...."
"Itu lebih bagus, jadi kamu bisa cepat kan? Saya butuh tandatangan nya hari ini. Ini sangat penting sekali, saya minta tolong ya"
Bagaimana bisa Biru menolak saat Langit meminta bantuannya. Terlebih ia adalah atasan Biru dan ini adalah tugas Biru.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!