Kringgggg ......
Suara alarm panjang pagi itu membangunkan Dara. Gadis cantik berkulit putih, berwajah oval ke barat-baratan itu terpaksa membuka matanya yang masih terasa berat. Semalam dia pulang dari rumah sakit pukul dua dini hari, dan pagi ini dia harus kembali bertugas menggantikan temanya yang berhalangan masuk karena anaknya sedang sakit.
Dalam waktu tiga puluh menit, kini gadis itu sudah rapih dengan rok span hitam hingga memperlihatkan betisnya yang putih mulus dan atasan kemeja sifon berwarna coklat muda.
"Dar, kamu tugas pagi?" tanya Denisa pada putri sulungnya yang menuruni anak tangga dengan terburu-buru itu.
"Iya, Mi. Gantiin temen aku yang gak bisa masuk."
"Sarapan dulu." Perintahnya.
"Aku sarapan dirumah sakit aja, Mi. Udah kesiangan. Nanti keburu macet," jawabnya menghampiri Denisa dan Daniel di meja makan untuk mencium pipi kedua orangtuanya. "Aku duluan ya, Mi, Pi. Daaaa."
"Sibuk banget anak kita sekarang," lirih Daniel menatap Denisa yang duduk didepanya dengan mata berkaca-kaca. "Nggak terasa anak-anak kita udah besar, kita sudah semakin tua."
"Ya mau gimana lagi?" Denisa mengangkat bahunya. Lalu memasukkan sepotong roti kedalam mulutnya.
"Kamu kelihatan santai aja." Daniel meneliti wajah istrinya yang terlihat awet muda dibanding dirinya. "Kayaknya kamu seneng kalau aku mati duluan, terus nanti kamu nikah lagi dapet yang brondong."
Denisa menghela nafas, semakin tua suaminya semakin sensitif. "Jangan ngajak ribut deh pagi-pagi."
"Siapa yang ngajak ribut? Aku nanya, kalo seumpama nanti aku mati dulu, kamu mau nikah lagi apa enggak?"
"Ya nikah lagi lah."
Daniel membelalakkan matanya. "Denisa!" Sentaknya dengan intonasi tinggi.
"Sayang ... Jangan membahas sesuatu yang belum tentu terjadi," Denisa menjawab dengan suara lembut agar pembahasan ini tidak memanjang. "Kamu harus banyak-banyak berdoa biar kita bisa sama-sama sampai tua, bisa lihat anak cucu kita nikah juga kalau bisa."
Raut muka Daniel yang tadi sempat kesal, seketika berubah mesem-mesem. "Jadi kamu mau hidup sama aku sampai tua?"
"Iya sayang, sampai kakek nenek, sampai maut memisahkan kita."
"Tapi aku maunya kita mati sama-sama. Kalau kamu yang duluan, aku akan minta suntik mati sama anak kita. Tapi kalau aku yang duluan kamu nggak boleh nikah lagi."
"Iya," jawab Denisa cari aman. "Yuk kota berangkat sekarang. Katanya kamu hari ini mau nemenin aku ke klinik."
Di rumah sakit 'Tiara Medika' tempat Dara bekerja.
Pagi-pagi Dara sudah mengecek pasien rawat inap satu persatu. Lima menit yang lalu ia mendapat kabar jika kepala rumah sakit yang lama akan segera pensiun, dan akan digantikan dengan yang baru. Dara sudah menebak jika yang menggantikan direktur yang lama adalah anaknya sendiri, yang mana direktur tersebut memiliki seorang putri tunggal.
"Dok, kita disuruh siap-siap karena direktur yang baru akan segera datang." Bisik seorang staff menghampiri Dara.
"Ya, tapi aku harus meriksa satu pasien lagi," jawab Dara. Kemudian ia beralih pada pasien berikutnya untuk memberikan laporan pada direktur yang baru jika di perlukan nanti.
Selesai dengan pekerjaannya, Dara pun ikut berbaris dengan yang lainnya untuk menyambut kedatangan direktur mereka yang baru. Tak lama kemudian, sebuah mobil sedang mewah berhenti tepat di lobby, Dara sempat mengernyit karena seakan mengenali mobil tersebut yang tidak asing, tapi ia lupa. Hingga terlihat seorang supir buru-buru membukakan pintu penumpang.
Mata Dara ikut menyoroti pada sepatu panthopel harga ratusan juta turun dari sana, bukan sebuah highhelss seperti yang ia duga sebelumnya. Kemudian mata Dara naik keatas untuk melihat wajah pemilik sepatu tersebut. Seketika mata Dara membulat seperti ingin lepas dari tempatnya melihat wajah tampan laki-laki yang berdiri didepan pintu mobil sambil membenarkan jas hitam miliknya. Kemudian disambut oleh Dokter Ridwan yang merupakan direktur rumah sakit Intan Medika.
"Zyan?" Gumam Dara yang hanya bisa di dengar oleh dirinya sendiri mengenali laki-laki tersebut meski laki-laki itu mengenakan kaca mata hitam yang menutupi matanya.
Dara masih tertegun dengan sosok yang membuatnya terkejut setengah mati itu. Jantung Dara seolah berhenti berdetak, dan semuanya terhenti di dirinya sampai-sampai Dara tidak sempat membungkukkan badanya ketika laki-laki dengan tinggi 185cm itu melewatinya.
"Siapa nama kamu?" tanya seseorang membuyarkan lamunan Dara.
"Me?" Dara meletakkan telunjuk di dadanya. Laki-laki itu menatapnya dengan wajah datar mengintimidasi. "Dara Danuarta. Why?"
"Jika Pak Zyan lewat di depan mu. Lain kali kamu harus menunjuk rasa hormat padanya," dengus laki-laki itu mecibirkan bibirnya. Kemudian laki-laki tersebut berlalu meninggalkan Dara yang menganga karena ucapannya.
"Liat aja, ya. Yang ada nanti kamu bakal menunduk hormat kalau tahu siapa aku sebenarnya." Gerutu Dara menatap punggung laki-laki tersebut yang menjauh.
Ketika melewati meja perawat, telinga Dara terlihat memanjang menangkap obrolan para gadis-gadis yang ada disana terus memuji ketampanan direktur baru mereka.
"Gue kira Dokter Ridwan (kepala rumah sakit yang lama) kita bakal diganti sama Mbak Tiara, nggak taunya cowok ganteng."
"Gue kira juga awalnya begitu. Tapi kalo yang ini nggak papa sih, malah bersyukur banget. Bikin betah buat jaga." Mereka cekikikan, kemudian memanggil Dara yang melintas didepan mereka. "Eh Dokter Dara!" Dara menghentikan langkahnya mendengar namanya dipanggil, menoleh pada para perawat yang sedang bergosip tersebut. "Sini deh," ujar salah satu dari mereka tanpa suara.
Dara pun mendekat. "Ada apa nih? Ada bagi-bagi makanan?" Dara melongokkan kepalanya pada laci meja mereka pura-pura tidak tahu niat mereka memanggilnya.
"Bukan Dok," tepis perawat bername tag Puji. "Dokter Dara juga pasti sama kan kayak kita, ngiranya yang gantiin Dokter Ridwan anaknya, tapi gak taunya orang lain. Dara hanya menganggukkan kepala dengan mengangkat kedua alisnya, tanganya mencomot keripik pisang yang tergeletak disana. "Ganteng ya Dok?"
Dara kembali hanya mengangguk. Tak ingin menampik kalau memang Zyan kini jauh lebih tampan dari saat mereka SMA dulu. Dulu juga tampan, tapi kini lebih matang dan ... HOT.
Dara mengulum senyum, membayangkan dada bidang itu memeluknya.
Jam istirahat Dokter Ridwan mengajak para dokter dan staff senior berkumpul di ruang meeting sambil menyantap makan siang bersama sebagai tanda perpisahan yang terletak di lantai lima rumah sakit tersebut, lantai tertinggi yang ada disana. Memasuki ruangan tersebut, mata Dara langsung menangkap Zyan yang nampak sibuk berbincang dengan Dokter Ridwan entah membahas tentang apa.
"Selamat siang semuanya," sapa Dokter Ridwan setelah makan siang selesai. "Pasti kalian semua bertanya-tanya siapa laki-laki muda, tampan yang ada disamping saya sekarang." Dokter Ridwan menatap satu persatu karyawanya. Kemudian memperkenalkan Zyan. "Ya, dia adalah Zyan Cameron Xavier. Putra tunggal pemilik Mahardika corp." Dokter Ridwan mengambil jeda sejenak.
Dara memusatkan pandanganya pada Zyan, tapi laki-laki itu sama sekali tak melihatnya. Dara melongok tidak percaya, dari awal bertemu sampai sekarang Zyan tak ada menyapanya atau sekedar memberinya senyum. Padahal Zyan dulu sangat menggilainya sampai membuatnya malu karena di cintai oleh brondong sepertinya.
"Kenapa saya memilih Pak Zyan sebagai pengganti saya?" Dara jadi mengalihkan matanya lagi pada Dokter Ridwan yang berdiri di atas podium. "Bukan anak saya sendiri? Karena saya yakin, Pak Zyan bisa memimpin rumah sakit kita dan bisa lebih memajukan lagi dengan adanya alat-alat canggih yang di dukung teknologi lebih canggih lagi yang diusulkan oleh Pak Zyan." Terang Dokter Ridwan menjawab segala pertanyaan-pertanyaan yang ada dikepala semua karyawanya.
* * *
"Oh ya, Dara. Setelah ini kamu ganti jam tugas dengan Dokter Malik kan?" tanya Dokter Ridwan pada Dara yang akan keluar dari sana. Dara mengangguk. "Saya minta tolong sama kamu, setelah ini jangan langsung pulang. Kamu ke ruangan Pak Zyan yang ada disebelah ruangan saya." Mata Dara melirik Zyan yang terlihat dingin padanya. "Kasih tahu pak Zyan apa-apa yang dibutuhkan rumah sakit kita, biar nanti Pak Zyan persiapkan, sebelum beliau benar-benar menggantikan saya."
Dara mengangguk, dan setelah jam tugasnya berakhir. Dara mengikuti perintah Dokter Ridwan menuju ruang Zyan berada.
Tok ... Tok ... Tok ...
Setelah tiga kali mengetuk, pintu ruangan itu terbuka. Dara langsung disambut wajah laki-laki yang menegurnya tadi. Dara melengos, langsung menuju meja Zyan.
"Wanita sombong" Dengus Emilio, asisten pribadi Zyan.
"Selamat siang Pak Zyan," sapa Dara mengabaikan Emilio, memilih beramah tamah dengan Zyan lengkap dengan senyuman pemikatnya berharap apa yang ia lakukan ini dapat mengalihkan pandangan Zyan dari layar komputer jadi menatapnya. Namun apa yang Dara dapat? Laki-laki itu sama sekali tak menatapnya sedikitpun, membuat genderang perang menyala dalam dada Dara.
Sadar Zyan mengabaikanya, Darapun mulai menjelaskan apa-apa yang dibutuhkan di Tiara Medika dengan wajah masam. Bendera perang yang ia kibarkan sendiri itu ia turunkan lagi. Baru beberapa menit, Dara mulai bete karena Zyan hanya fokus pada apa yang dijelaskanya bukan padanya.
"Ehemm, kamu apa kabar?" tanya Dara disela pembahasan mereka. Bibirnya tak kuat untuk tidak menyapa duluan dan ingin Zyan melihatnya. Apa rencana Dara berhasil? Tentu saja, karena kini Zyan beralih menatapnya membuat Dara ber-yes ria dalam hati.
"Apa pembahasan ini bisa dilanjutkan?" tanya Zyan menggunakan bahasa formal menaikkan alis dengan tatapan dinginnya tanpa menjawab basa-basi Dara.
"Nggak usah kaku-kaku banget kali. Kayak sama siapa aja." Sungut Dara.
Zyan mengangkat tubuhnya agar dapat melihat Emilio yang duduk di sofa. "Em, bilang sama Pak Ridwan. Bisa minta dokter lain yang lebih kompeten nggak? Karena aku nggak mau buang-buang waktu buat sesuatu hal yang nggak penting."
Emilio sempat mengernyit atas permintaan atasanya, namun sejurus kemudian dia paham kenapa Zyan melakukan itu. Pasti keberadaan Dara membuatnya tidak nyaman. Sementara mata Dara membundar atas ucapan Zyan.
"Lebay banget sih. Oke oke, aku bakal fokus sama kerjaan aja pas jam kerja. Tapi di luar jam kerja boleh kan ngobrol santai?" tanya wanita itu menaik turunkan alisnya. "Kerja kalau terlalu fokus bikin kita cepat tua." Oceh Dara lagi yang mana hal itu membuat Emilio berdiri untuk menyeretnya keluar karena Dara bersikap tidak sopan pada atasanya, namun Zyan mengangkat tanganya melarang Emilio.
"Pilih keluar apa lanjut?" Ancam Zyan penuh penekanan. Dara memanyunkan bibirnya, kemudian melanjutkan pembahasan mereka lagi dan kali ini Dara benar-benar fokus.
Satu jam yang begitu menyiksa bagi Dara akhirnya selesai juga. Dia menutup ipad-nya dan beralih pada Zyan lagi. Zyan sama sekali tidak terganggu diperhatikan Dara, dia tetap memfokuskan pandanganya pada layar laptop didepanya.
"Sebaiknya jika tidak ada keperluan lagi anda keluar, Dokter." Emilio yang begitu peka mengusir Dara. Dara melirik Zyan, tapi laki-laki itu tak membelanya sama sekali, membuat Dara memilih keluar dengan perasaan kesal. Ia sempat memberikan tatapan bombastisnya pada Emilio.
"Belagu banget sih. Dulu aja ngejar-ngejar, sekarang sok nggak kenal." Gerutu Dara. Wajah masamnya seketika berubah senyuman melihat dokter Ridwan keluar dari ruanganya.
"Dokter Dara, kebetulan sekali."
"Ada apa Dok?" tanya Dara menghampiri dokter Ridwan.
"Bagaimana dengan pak Zyan? Dia pintar kan?"
"Iya Dok. Dokter memang tidak salah memilih orang untuk dijadikan Direktur di Tiara Medika," jawab Dara mengakui jika Zyan memanglah sangat pintar.
Dia tahu hal itu sejak dulu, karena Zyan beberapa kali lompat kelas (akselerasi) hingga mereka bisa satu angkatan padahal usia Zyan lima tahun dibawahnya.
"Anak saya itu tidak bisa diandalkan, Dara. Makanya saya tidak berani menyerahkan Tiara Medika begitu saja, harus ada orang kuat yang bisa meneruskan Tiara Medika. Dan secara kebetulan Zyan mau menjadi penanam saham terbesar disini." Dokter Ridwan bercerita pada Dara sambil berjalan menuju lift. "Karena pak Zyan tidak memiliki pengalaman di dunia medis, saya berharap kedepannya kamu mau untuk selalu menemaninya setelah saya pensiun."
"Kenapa saya, Dok?" tanya Dara. Dia bukan orang lama, tapi bukan orang baru-baru amat di Tiara Medika. Tapi kenapa dokter Ridwan mempercayakan mandat ini padanya?
Dokter Ridwan menunda jawabanya ketika pintu lift terbuka, dan melanjutkan ketika sudah berada didalam lift. "Karena saya kenal dengan kedua orangtua kamu," jawabnya. "Selama yang saya kenal, orang tua kamu merupakan salah satu pebisnis yang jujur. Bukanya buah jatuh tidak jauh dari pohonya?"
"Tapi masalahnya apa Zyan, eh maaf. Pak Zyan mau didampingi saya?" Dara langsung meralat panggilanya pada Zyan karena keceplosan.
"Saya yang akan mengatakan padanya kalau kamu bersedia."
"Sudah pasti saya bersedia, Dok. Ini tugas yang mulia." Ya mulia versi Dara berbeda dengan mulia yang dipikiran dokter Ridwan. Mulia versi Dara karena dia berpikir hal ini bisa membuatnya dekat lagi dengan Zyan.
Pulang dari rumah sakit, Dara menghubungi nomor sepupunya, Aira. Untuk curhat.
"Ai, Lo tau nggak apa yang mau gue ceritain sama lo hari ini?" ujar Dara setelah Aira menerima telepon darinya.
"Apa?" tanya Aira dari saluran telepon karena sekarang gadis itu tinggal di sebuah pulau terpencil.
"Lo masih inget gak sama Zyan? Ituloh, mantan brondong gue dulu."
"Kenapa dia?"
"Sekarang dia jadi direktur di rumah sakit gue."
"Yang bener? Bete donk lo ada dia?" Komen Aira karena setahunya Dara begitu membenci Zyan yang tergila-gila pada Dara.
"Ya nggak bete sih. Sekarang dia jauh lebih dewasa, Aiiiii. Ganteng bangettt." Cerita Dara dengan ekpresi berlebihanya seperti abg yang lagi kasmaran.
"Dia masih bucin kayak dulu?" tanya Aira yang langsung membuat Dara yang tadinya semangat menceritakan tentang Zyan kini jadi melemah.
"Nah, itu masalahnya." Dara menghembuskan nafas lemas. "Dia malah kayak nggak kenal gue. Heran kan?"
"Nggak heran sih, kan kalian udah mantan," sahut Aira apa adanya.
"Ish, Ai. Lo ngeselin kayak dia."
Aira cekikikan. "Tapi sadar nggak sih, Dar? Emang menurut lo ini cuma kebetulan yang KEBETULAN? Soalnya yang gue tahu dia nggak ada basic medis, dan kenapa harus rumah sakit tempat lo kerja? Bukanya nyokap dia juga punya rumah sakit sendiri?"
"Maksudnya, Ai?" Tapi tak ada sahutan lagi dari Aira. "Halo ... Ai." Dara melihat ponselya. 'Menghubungi Ulang' tulisan yang ada dilayar ponselya. "Ishhh kebiasaan banget ilang sinyal."
* * *
Dara baru saja kembali dari kantin setelah makan siang sambil membawa minuman cup ditanganya. Saat tubuhnya akan berbelok masuk keruanganya, matanya tak sengaja menangkap Zyan berjalan bersama seorang wanita cantik masuk kedalam lift. Darah Dara serasa mendidih, karena dalam jarak yang tidak terlalu jauh ini Zyan seharusnya juga melihatnya.
"Siapa cewek itu?" gumam Dara penasaran. Dara menggigit bibirnya, memutar otak mencari alasan supaya bisa masuk ke ruangan Zyan. Dokter Ridwan menugaskanya untuk mendampingi Zyan jika Zyan mengalami kesulitan, tapi seharian ini Zyan belum ada memanggilnya.
"Anda mau kemana?" tanya Emilio pada Dara yang baru saja keluar dari lift.
"Mau menemui pak Zyan, Pak Zyan tadi nelepon. Ada yang perlu di bahas katanya," jawab Dara berbohong.
Emilio tidak langsung percaya, dia menatap Dara beberapa detik sebelum akhirnya mengetuk pintu ruang Zyan dan membukakan untuk Dara. Dan wanita itu langsung menerobos masuk.
"Maaf jika saya kelamaan, Pak. Asisten Anda menahan saya di luar." Cetus Dara membalikkan badan memberikan senyum culas yang kontan membuat mata Emilio membundar, terkejut karena seumur hidupnya baru kali ini dia difitnah seseorang.
Setelah Emilio menutup pintu, Dara berjalan menuju meja Zyan. "Ini dokumen yang Anda minta barusan, Pak." Dara meletakkan map yang dibawanya diatas meja Zyan membuat Zyan mengernyit bingung. Dara melirik wanita yang tadi bersama Zyan. "Nomor saya masih nomor yang lama, saya harap anda masih menyimpannya," ujarnya sambil tersenyum puas.
"Oke, kita lanjutkan besok lagi," ucap Zyan pada tamunya. Wanita itupun beranjak pergi meninggalkan Zyan dan Dara berdua di ruangan itu. Bibir Dara yang tadi sempat membentuk senyum tipis karena Zyan lebih memilih dia daripada wanita itu lantas merapat lagi ketika Zyan menatapnya dengan ekpresi dingin.
"Ehemm." Dara berdehem merasa tatapan Zyan mengikatnya. "Dokter Ridwan memberi mandat pada saya untuk menemani dan membantu Anda selama Anda disini." Dalih Dara. "Jadi Anda harus selalu menghubungi saya jika Anda butuh informasi apapun. Dilarang meminta bantuan orang lain." Zyan menaikkan alisnya, menanyakan maksud ucapan Dara. "Anda jangan geer, Pak Zyan. Saya hanya menjalankan tugas," ucap Dara mempertegas.
Zyan mengangguk-angguk saja membuat Dara merasa mati kutu atas respon Zyan yang masif.
Dara mendekatkan wajahnya ke telinga Zyan. "Termasuk mengurusi hal pribadi Anda. Apa Anda masih mengalami sering buang air kecil, Pak?" Bisik Dara begitu pelan, ia memutar kepalanya untuk menghadap Zyan, dan saat yang bersamaan Zyan juga menatap kearahnya hingga hidung mereka nyaris bersentuhan. Dara menahan nafas, tapi degup jantungnya berdebar tak karuan.
Dugg ... Dugg ... Dugg ... Dugg
Dara meneguk ludah menyadari jika Zyan sangatlah tampan. Matanya yang satu tapi tajam, wajah bersih tanpa ada flek atau bekas jerawat, bibir tipis merah jambu. Kenapa dia baru menyadari sekarang jika cowok itu begitu hot? Kenapa dulu saat laki-laki itu mengejar-ngejarnya ia terlihat culun dengan kapasitas otaknya yang melebihi anak normal pada umumnya sehingga membuat Dara malu di cintai brondong culun.
"Untuk itu aku sudah punya dokter pribadi, jadi tidak membutuhkan dokter umum yang bukan kapasitasnya menangani yang bukan tanggung jawabnya, bukan kah itu melanggar kode etik, Bu Dokter?"
Dara menegakkan lagi badanya. "Saya cuma memastikan, yasudah kalau sudah ada dokter pribadinya," sahut Dara mencoba menenangkan perasaanya karena di tolak Zyan. Tapi Dara masih ada pertanyaan yang tiba-tiba melintas dikepalanya. "Dokter itu laki-laki apa perempuan?"
Dara melipat bibirnya, pertanyaan itu meluncur begitu saja tanpa bisa ia kontrol. Tapi apa Dara menyesal? Tidak! Meski Dara sadar pertanyaannya sudah sangat membuat Zyan tidak nyaman.
Zyan menatap mata Dara dengan tatapan yang tidak bisa diartikan oleh Dara. "Bukannya kamu hanya di tugaskan untuk membantu urusan pekerjaan saja? Aku rasa Dokter sudah melebihi batas."
Ucapan Zyan sebenarnya sangat menohok Dara. Tapi bukan Dara namanya jika tidak ada bahan untuk nenyanggah, dia tidak boleh terlihat kalah dimata Zyan. "Saya kan hanya bertanya, Pak. Tugas saya melayani sepenuh hati."
Zyan menghela nafas. "Lakukan tugas mu sebagai seorang dokter. Layani pasien dengan sepenuh hati, jangan jadi wanita penggoda."
"Eh, eh. Siapa yang jadi wanita penggoda?" Dara tidak menyadari jika sedari tadi Zyan memperhatikan penampilanya yang mengenakan rok span ketat dua senti diatas lutut. Memang terlihat seksi dan enak dipandang karena betis Dara yang jenjang, tapi itu mengganggu penglihatan Zyan.
"Keluarlah, kamu akan aku hubungi jika kamu sedang tidak jaga praktek di bangsal. Aku masih menyimpan nomor mu." Zyan berucap dengan suara rendah. Daripada dia terus menerus meladeni Dara yang tidak ada habisnya, Zyan memilih mengalah. Dan itu berhasil, Dara keluar dengan lubang hidung yang mengembang.
Dara dulu memang tidak menyukai Zyan, tapi sikap Zyan yang cuek setelah lama mereka tidak bertemu membuat Dara tidak suka. Maka sebisa mungkin perhatian Zyan hanya tertuju padanya. Dara belum bisa mengartikan perasaanya saat ini, namun dia hanya melakukan apa yang dia rasakan.
Di pintu Dara berhadapan dengan Emilio, keduanya sama-sama memberikan tatapan permusuhan, tapi Dara memilih melengos karena malas meladeni orang yang tidak penting menurutnya. Emilio sempat ingin menyelengkat kaki Dara, tapi wanita itu bisa mengelak.
"Nggak kena, wekkk." Dara menjulurkan lidahnya.
Ketika Dara turun keruanganya, dia terkejut melihat di bangsal UGD ramai pasien berdatangan.
"Ada apa ini?" tanya Dara pada Monic. Rekan kerjanya.
"Kecelakaan Bis wisata anak paud."
"Astagfirullahaladzim." Dara bergegas mengambil alat-alatnya lalu bergabung dengan rekan kerjanya yang lain, segeran membantu menangani anak-anak yang terluka, jangan sampai terlambat.
Kabar kecelakaan itu sudah sampai ke telinga Zyan, ia ikut turun kebawah memantau para korban kecelakaan. Karena tak tahu harus melakukan apa? Zyan hanya memperhatikan dari jauh bersama Emilio. Pandangan Zyan tertuju pada Dara yang kini sibuk menggendong siswa paud bertubuh gemuk yang menangis dalam gendongan gadis itu. Dengan sabar, Dara mengusap rambut anak laki-laki itu, meniup ubun-ubunya, sampai anak itu tenang dan Dara menidurkanya di brangkar. Ketika kedapatan Dara melihat kearahnya, Zyan segera membuang muka.
Jadwal pulang Dara yang seharusnya pukul lima sore, tapi ia baru bisa pulang saat jam menunjukkan pukul tujuh malam. Tidak mungkin Dara meninggalkan rumah sakit dalam keadaan darurat. Dara yang jarang membawa kendaraan sendiri sedang menunggu taksi online di lobby.
"Iya Mom. Nanti Zyan datang keacara itu."
Dara menoleh mendengar suara Zyan yang berdiri disebelahnya, laki-laki itu juga baru pulang. Dara memberikan senyum pada Zyan ketika laki-laki itu menoleh padanya. Namun lagi-lagi Zyan hanya menaggapi dengan wajah datar. Sebagai manusia normal, dan menjadi wanita yang pernah di cintai Zyan, Dara tentu berharap Zyan menawarinya tumpangan lalu memuji kinerjanya, 'Kamu cantik saat melayani pasien'. Namun apa yang terjadi? Dara harus menelan harapannya itu karena jangankan menawarkan tumpangan, menegurnya pun tidak. Itu menyulut Dara untuk membuat Zyan bertekuk lutut padanya.
Tiba dirumah, Dara mendapati kedua orangtuanya yang bersiap akan pergi.
"Mami sama Papi mau kemana?"
"Mau ke acara rekan kerja Papi," jawab Daniel.
"Aku ikut, Pi," balas Dara. "Tunggu sebentar. Aku mandi sama ganti baju dulu," seru Dara berlari menaiki anak tangga menuju kamarnya.
Denisa dan Daniel saling lirik, pasalnya setelah memasuki sekolah menengah pertama Dara tidak mau lagi ikut acara kantor orangtuanya dengan alasan membosankan.
Beberapa puluh menit kemudian gadis itu turun dengan sudah mengenakan gaun hitam yang memiliki belahan sampai paha, dan mengekpos pundak mulusnya.
Tiba di hotel acara tersebut, Dara menyusuri setiap tamu yang datang.
"Kamu cari siapa sih?" tegur Denisa memperhatikan gerak-gerik putrinya yang sejak awal membuatnya curiga.
"Nggak cari siapa-siapa, Mi." Dalih Dara.
"Yakin?"
"Mami kenapa jadi curigain aku sih? Orang lagi kangen aja sama acara kayak gini." Cetusnya tapi matanya tetap mencari sosok yang ia duga pasti juga datang ke acara ini.
"Yaudah, kamu jangan buat masalah. Mami mau menemin Papi kamu menemui koleganya."
Setelah ditinggalkan maminya menemui papinya. Dara merasa menyesal sudah ikut, karena sosok yang ia cari tidak ia temukan. Dara malah merasa menjadi alien di tengah-tengah manusia.
Visual Zyan Cameron Xavier
Versi Culun
Versi Sekarang
Visual Dara Danuarta
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!