"Kita sudah tiba Nona," Pardi membuyarkan lamunan Lisa. Sepanjang perjalanan gadis itu terus meratapi nasib malangnya semenjak ditinggal oleh mendiang ibunya.
Ya, hanya ibunya yang sayang dan begitu perduli padanya. Ayahnya? Pria itu hanya perduli pada isteri keduanya dan kartu-kartu judinya, membuat pria itu harus berhutang pada rentenir dan menjual putri semata wayangnya dari isteri pertama yang sudah berpulang karena tekanan batin rumah tangganya.
Lisa mengangguk pelan lalu menyeka air matanya dengan satu punggung tangannya hingga mengering. Perlahan ia bergeser mendekati pintu, dan menurunkan satu kakinya dengan hati-hati, sementara Pardi menutup pintu mobil dibelakangnya ketika dirinya sudah keluar dari sana.
Bangunan mewah nan megah bak istana berlantai empat dihadapannya, membuat Lisa merasa dirinya yang miskin begitu kecil. Bahkan menjadi seorang pelayan dirumah gedongan itu ia merasa tidak layak.
Lisa mengalihkan pandangannya pada dirinya sendiri. Ia menyentuh pelan rambut ikal bergelombangnya yang tidak pernah bisa rapi walau selama apapun ia menyisirnya.
Pernah suatu ketika mendiang ibunya membeli minyak rambut berbahan minyak Zaitun yang cukup mahal dengan menghabiskan satu celengan tabungan supaya rambutnya tidak mengembang sesuka hatinya kesana kemari. Hanya bertahan hingga dua jam saja, setelah itu kembali mengembang sehingga ia memutuskan untuk selalu mengepangnya setiap hari agar tidak mengganggu aktifitasnya.
Lisa menurunkan pandangannya, memperhatikan gaun yang ia kenakan. Ia tersenyum, walau terasa hambar.
Ini adalah gaun andalan peninggalan mendiang ibunya, warnanya memang sudah terlihat pudar karena dimakan usia dan selalu ia kenakan bila ada hajat penting tetangganya, karena gaun itu saja yang terbaik yang ia punya. Ada sedikit koyakan pada pundak kirinya dan ia menyembunyikannya dengan rambutnya. Ternyata rambut ikal bergelombangnya sangat berguna disaat-saat seperti ini selain sebagai mahkota pada kepalanya.
Dari gaun yang ia kenakan, kini pandangannya turun pada sepasang kakinya yang mengenakan sandal jepit swallow usang, dengan warna merah disebelah kanan dan hijau disebelah kiri.
Seketika pandangan Lisa berkunang-kunang, ia gegas berpegangan pada dinding mobil, tidak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi pada didirinya kemudian setelah ini. Ia bak seorang pengemis yang masuk istana raja minta dikasihani.
"Nona baik-baik saja?" tanya Pardi khawatir, ingin memegangi tapi sungkan.
"I-iya, saya baik-baik saja," Lisa mengatur napasnya yang mendadak sesak, entah kejutan apa yang akan ia dapatkan setelah ini.
Gadis itu hanya bisa pasrah diperlakukan apa saja, dan sadar dirinya berada disini sebagai pelunas hutang ayahnya yang hobi berjudi tapi malas berkerja, dan ibu tirinya yang bergaya hidup mewah.
"Nona yakin?" Pardi memastikan, menelisik perempuan yang ia bawa dari pemukiman kumuh dipinggiran kota.
"Iya Pak, saya yakin," sahut Lisa yang sudah bisa menguasai dirinya kembali. Ia berdiri, memandang sendu pada Pardi yang melihat iba padanya.
"Baiklah. Kalau begitu, mari ikutlah dengan saya Nona," Pardi berjalan lebih dulu menuju rumah mewah nan megah dihadapan mereka, sementara dua pria lainnya berjalan dibelakang Lisa yang melangkah sedikit menunduk, tidak berani menegakkan kepalanya.
...***...
"Siapa tuh?" Dirly menunjuk dengan isyarat wajahnya. Tampang pria blasteran itu nampak serius menatap pada satu arah.
Rocky, pria dewasa berpenampilan macho itu mengikuti arah pandangan sahabat sekaligus asisten pribadinya itu.
Tidak jauh dari mobil mereka diparkir, nampak beberapa orang suruhan maminya tengah mempersilahkan seorang wanita turun dari mobil mewah keluarga mereka dengan begitu hormatnya.
"Kenapa tertawa? Apanya yang lucu?" tanya Dirly menatap Rocky dengan raut bingung, ketika sang bos-nya itu terkekeh dengan raut begitu geli tanpa dibuat-buat.
"Itu calon pembantu Mami yang baru, Dir," Rocky kembali tertawa, kali ini tawanya sedikit lebih lebar dan kencang, namun Dirly masih tidak mengerti maksud ucapan bos-nya itu, pria itu menampakan raut bingungnya.
"Apa ada pembantu diperlakukan sebegitu hormatnya dirumah sang majikan bagai seorang putri?" Dirly masih menatap bingung pada perempuan yang berjalan sedikit menunduk, mungkin takut tersandung pikirnya.
"Mami memang paling jago cari pembantu. Seleranya tidak ada duanya," Rocky masih tertawa, dan berusaha menjelaskan apa yang telah membuatnya tertawa dan merasa geli seperti itu.
"Perhatikan alas kakinya," Rocky menunjuk perempuan yang tengah menjadi pembahasan mereka.
Dirly ikut memperhatikan, pandangannya tertuju pada kaki sang perempuan yang mengenakan sandal jepit merek swallow dengan warna tali berbeda.
Entahlah, mungkin saja pasangan sandal jepitnya hilang, lalu memasangkan dengan pasangan warna yang berbeda, Dirly membatin, dan terus memperhatikan dengan perasaan iba, sangat berbeda dengan Rocky yang terus saja tertawa geli disampingnya.
"Tidak perlu dilepas sandalnya Nona, bawa saja masuk," ucap Pardi, orang kepercayaan Marta -- mami Rocky -- kala Lisa melepas sandal bututnya dibawah teras yang bersih, licin, dan mengkilat.
"Kamu tau Dir, saking piawainya Mami memilih pembantu rumah ini, aku pernah diajak temanin kesuatu tempat yang mirip runway, disana ada puluhan wanita cantik, anggun, dan juga gemulai yang berjalan diatas catwalk."
"Aku pikir Mami akan memilih salah satu dari mereka. Ternyata diluar dugaan, Mami memilih seorang perempuan yang terakhir keluar dari tirai dengan gaya cupu. dan kulit yang tidak terawat. Perempuan itu yang Mami pilih," sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, dengan sisa-sisa tawanya yang masih mengudara.
"Kamu tau apa alasannya?"
Dirly ikut menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan Rocky yang dilontarkan padanya.
"Supaya Papi tidak selingkuh sama pembantu. Mamikan suka tuh nonton-nonton sinetron yang berkisah majikan pria dan pembantu seksi selingkuh dibelakang," tawa Rocky kembali mengudara membuat Dirly ikut tertawa mendengar alasan sang Mami Rocky yang memang cukup masuk akal.
"Yuk masuk," ajak Rocky setelah keluar dari mobil.
"Lain kali saja, aku lelah. Mau istirahat," sahut Dirly beralasan, padahal dirinya sudah ada janji kencan dengan pacar barunya malam ini.
"Nggak terima penolakan. Kamu makan malam disini saja, sekalian aku mau buktikan tebakanku tadi benar kalau perempuan itu adalah pembantu baru dirumah ini. Biasanya Mami akan mengenalkannya saat makan malam," paksa Rocky.
"Tapi Bos, aku lelah sangat," dengan menampilkan wajah memelasnya.
"Besok pagi-pagi kita ada rapat penting. Jadi aku perlu menyiapkan energiku malam ini dengan tidur yang cukup, please ya bos gantengku," rayu Dirly masih dengan raut memelasnya, berharap bisa meluluhkan hati sang bos.
"Nggak ada tapi-tapian. Ayo masuk," perintah Rocky memaksa.
"Kalau tidak, aku laporin Mami kalau kamu tidak mau makan malam disini. Kamu tau kan gimana Mami kalau sudah marah?" imbuhnya dibumbui ancaman.
"Heuh," Dirly mendesah pelan. Bukan rahasia lagi, kalau si nyonya besar rumah mengomel, semua telinga tidak akan tahan mendengarnya.
"Baiklah," setujunya kemudian dengan nada terpaksa.
"Nah, gitu dong. Kamu memang cocok jadi anak Mamiku," Rocky tersenyum menang, lalu bergegas masuk diikuti Dirly.
Bersambung...👉
Hai Pembaca terhormat, jumpa lagi dengan novel baru Dewi Payang. Mohon dukungannya untuk karya baru ini. Bila berkenan, berikan like, komentar, hadiah, bintang 5, vote untuk penyemangat Author.
Terima kasih sebelumnya atas segala dukungannya🙏🙏
"Mam! Aku pulang!" teriak Rocky heboh begitu memasuki rumah seperti kebiasaannya, diikuti oleh Dirly yang mengekorinya dari belakang.
"Kebetulan kamu juga ada disini Dirly. Mami punya kejutan untuk kalian berdua diacara makan malam kita. Ayo, cepat ikut Mami," ajak Marta bergegas.
Rocky menyenggol Dirly dengan sedikit menyikut, sembari menaik-turunkan kedua alisnya.
"Apa aku bilang Dir. Mami mau pamerin pembantu barunya yang kampungan itu," Rocky tersenyum kecil dengan raut mengejek dibelakang ibunya, tentu saja dengan suara pelannya, takut didengar kanjeng mami, bisa tamat dirinya, sekalipun ia adalah putra satu-satunya.
"Selamat malam Bapak, nyonya kanjeng Mami, mas Rocky, dan mas Dirly," serempak para asisten rumah tangga laki-laki dan perempuan berdiri berderet pada ruang makan, saat para majikan mereka tiba disana.
"Malam juga semuanya! Ayo, kembali duduk dikursi kalian masing-masing," Marta mewakili keluarganya, sebagai nyonya rumah. Oleh sang suami, ia memang diratukan dalam rumahnya sendiri.
"Terima kasih Nyonya," para asisten itu lalu mengambil tempat duduknya masing-masing dengan tertib tanpa kegaduhan.
Rocky dan Dirly saling bertukar pandangan, saat gadis yang sebelumnya menjadi objek pembahasan keduanya ada diantara para asisten rumah tangga, masih berpakaian seperti saat ia tiba dirumah itu.
Acara makan malam berjalan khidmat dan santai setelah nyonya rumah kembali bersuara dengan ramah untuk mempersilahkan semuanya makan.
"Mohon perhatian semuanya sejenak," gema Marta menginterupsi, setelah dilihatnya semua orang sudah menyelesaikan makan malamnya.
Rocky sengaja menginjak punggung kaki Dirly disebelahnya, hingga membuat pemuda itu meringis kesakitan.
"Kamu dengar Dir, pengumuman pembantu baru segera dimulai," oceh Rocky berbisik, sambil melirik dengan ekor matanya kearah gadis baru yang tertunduk disisi kiri Marta dengan sepasang tangannya yang terlipat diatas meja.
Dirly memandang kesal pada Rocky yang tersenyum puas karena telah menyakitinya.
"Perkenalkan, gadis manis yang berada disebelahku ini bernama Lisa Mariani. Benar begitu, Sayang?"
Lisa sedikit mendongak dengan wajah takut dan malu-malunya, karena dirinya memang seorang gadis pemalu.
"Iya Nyonya," mengangguk pelan dan buru-buru menundukan wajahnya kembali.
Sementara semua asisten rumah tangga terkaget mendengar Marta mengatakan 'sayang' pada gadis kumal itu, termasuk Rocky dan Dirly, hanya Gusman saja -- suami Marta -- yang terlihat datar tanpa ekspresi.
"Kalian semua boleh memanggilnya nona Lisa, karena sebentar lagi Lisa akan menjadi menantu dirumah ini. Menjadi isteri dari Rocky."
JEDAR!
Kata-kata yang begitu jelas terlontar keluar dari mulut Marta sang nyonya rumah tentu saja kembali mengejutkan semua orang, terkecuali Gusman.
Semua mata membola, dengan mulut sedikit terbuka, berusaha mencerna apa yang mereka dengar. Dan tanpa komando, semua pasang mata memandang kearah Lisa yang kian menunduk dalam dengan sepasang tangannya yang masih terlipat diatas meja, terlihat gemetar.
"Ha-ha-ha-ha! Selera humor Mami memang tinggi, Mami pasti bercanda kan?" tawa Rocky membahana ditengah ketegangan yang masih menguasai semua orang dimeja makan itu.
Dirly yang duduk disebelah Rocky masih membeku ditempatnya, loading-nya belum finish.
"Mami serius. Kamu akan menikahi Lisa dalam waktu dekat," tegas Marta, dan Rocky bisa melihat aura keseriusan diwajah sang maminya. Seketika tawa Rocky terhenti, pria itu mendadak ikut gemetar seperti halnya Lisa.
"M-m-ma-mi pasti bercanda. Iya kan?" Rocky mendadak kalut dengan suaranya yang ikut bergetar.
Marta menarik napas dalam, lalu melepaskannya perlahan dengan penuh perasaan.
"Rocky, Mami yakin kamu bisa membedakan antara Mami sedang bercanda ataupun serius," memandangi putranya dengan tatapan yang tak terbaca.
"Nggak Mam, Rocky nggak mau. Ini petaka buat Rocky," masih dengan intonasi suaranya yang gemetar, menahan segala rasa kalut dan kacau dalam dadanya pasca ucapan sang mami.
Seketika semua yang hadir disana serempak menahan nafas, termasuk Marta, kala ucapan itu terlontar dari mulut Rocky.
"Hush! Jangan asal bicara Rocky," sergah Marta cepat.
"Dapat menikah, itu adalah anugerah, Sayang," dengan tatapan melembut menatap putranya yang terlihat hancur.
Rocky tak sadar berdiri dari duduknya dengan wajah kusut.
"Anugerah buat dia!" menunjuk tajam pada Lisa yang kian memperdalam menyembunyikan wajahnya.
"Dan petaka buatku Mam!" sentak Rocky lagi penuh emosi.
"Kenapa tidak sekalian saja Mami menikahkanku dengan mbok Inem yang sudah puluhan tahun mengabdi dengan setia pada keluarga kita!" imbuhnya lagi, masih dengan emosi yang menggebu.
"Ja-jangan toh, mas Rocky!" kaget mbok Inem diujung meja saat namanya tiba-tiba disebut sang majikan muda.
"Ada hati yang harus saya jaga, dan saya tidak akan sanggup menghianati my sweety m'beb-ku loh Mas," imbuh wanita paruh baya itu cemas, membuat semua orang yang ada disana hampir meledakan tawa namun buru-buru menahannya saat melihat wajah Marta dan Rocky yang masih sama-sama menegang.
"Lah Mbok, percaya diri sekali toh. Mas Rocky loh, nggak doyan sama si Mbok," seorang asisten rumah tangga laki-laki nyeletuk, biasa beradu canda pada wanita paruh baya itu.
"Nah Mas-e, mosok ra percoyo neng pesonaku."
Gusman yang terbiasa berwajah dingin turut menahan senyumnya, bagaimana tidak? Asisten rumah tangganya yang paling senior itu begitu percaya dirinya mengungkapkan itu dihadapan semua orang.
Bersambung...👉
Tok! Tok! Tok!
Lisa masih menyandarkan punggungnya dibelakang pintu kamar pribadinya buru-buru menghapus air matanya dengan kedua punggung tangannya.
Drama acara makan malam yang telah usai 1 jam yang lalu masih terus terbayang dalam benaknya, betapa malunya dirinya berada ditempat yang salah, tapi ia tidak tahu bagaimana caranya melarikan diri dari kerumitan hidupnya saat ini.
Ceklek.
"Nyonya," Lisa sedikit membungkukan tubuhnya, meniru apa yang dilakukan semua asisten rumah tangga dirumah itu pada sang nyonya rumah, saat dilihatnya Marta berdiri tepat didepan pintu kamarnya.
"Sayang, panggil Mami. Bukankah sudah berkali-kali Mami mengingatkanmu akan hal itu?" lembut Marta.
"T-tapi Nyonya, saya tidak pantas memanggil seperti itu. S-saya hanya gadis pelunas hutang ayah," lirih Lisa pelan, berusaha menyembunyikan suara paraunya yang baru selesai menangis sambil sedikit menundukan wajahnya.
"Jangan pernah berkata seperti itu lagi Lisa, Mami tidak pernah menganggapmu sebagai gadis pelunas hutang ayahmu," sambil menyentuh lembut pundak gadis yang menunduk dihadapannya.
"Boleh Mami masuk?"
"T-tentu saja Nyo--"
"Panggil Mami," potong Marta.
"I-iya Ma-mi," canggung Lisa.
"Mami tidak perlu meminta izin. Ini rumah Mami," imbuhnya masih terdengar canggung memanggil nyonya rumah dengan sebutan demikian, lalu menepikan tubuhnya untuk memberi ruang pada Marta memasuki kamarnya.
Marta tersenyum mendengarnya, ia menepuk lembut punggung Lisa sambil berlalu masuk melewati calon menantunya itu.
"Kamu benar, Sayang. Ini memang rumah Mami, tapi kamar ini sekarang milikmu. Jadi, Mami--, dan siapapun yang akan masuk wajib meminta izin pada pemiliknya," pandangan Marta mengitari seluruh sudut kamar.
"Kamu suka kamar ini, Sayang?" Marta berbalik, menatap Lisa yang membuntutinya dari belakang.
"Suka," singkat Lisa, ikut mengedarkan pandangannya pada kamar mewah nan luas yang menjadi hunian barunya saat ini.
"Syukurlah," Marta kembali tersenyum lembut. Lalu melangkah menuju deretan lemari pakaian.
"Kemarilah Lisa," panggil Marta.
Gadis itu gegas mendekat.
"Ini lemari khusus pakaian tidur," sambil mendorong pintu lemari kearah kanan hingga terbuka lebar, memperlihatkan isi didalamnya yang tertata rapi. Semerbak wangi pakaian seketika menabrak indera penciuman, membuat Lisa memejamkan matanya sesaat menikmati wangi yang berhembus keluar dari dalam lemari.
"Mami tau ini adalah gaun kesayanganmu, peninggalan dari ibundamu," sambil menyentuh gaun yang dikenakan Lisa pada bagian pinggang gadis itu.
"Setelah ini, Mami tidak memperkenankanmu mengenakannya lagi, simpanlah di lemari itu," menunjuk satu lemari etalase yang berdiri kokoh disudut ruang kamar.
"Kamu bisa melihatnya bila merindukan ibundamu. Bila kamu mengenakannya lagi, Mami khawatir kamu akan merusak peninggalan ibumu ini. Lihat, bagian pundak kirinya saja sudah koyak seperti ini," sambil memperhatikan gaun Lisa yang bolong lumayan lebar didaerah pundaknya.
Lisa hanya mengangguk pelan, merasa malu karena sang nyonya rumah melihat gaun tuanya yang robek, dan ia tidak punya kain yang sama untuk menambalnya, sehingga membiarkannya menganga seperti itu.
"Nah, ini gaun pesta. Kamu bisa memilihnya saat menghadiri pesta keluarga, kolega, atau semacamnya," Marta mendorong satu pintu lemari disebelahnya lagi.
Lisa berdecak kagum didalam hati, gaun-gaun pesta yang indah dan mewah itu pasti sangat mahal harganya, batinnya.
Setelah puas memperlihatkan gaun-gaun pesta pada calon menantunya, Marta beralih pada etalase yang memamerkan beragam sepatu, dan sesekali meraihnya dan mencocokannya pada kaki Lisa.
Gadis belia itu hanya menurut, tanpa banyak bicara melihat betapa bersemangatnya sang nyonya rumah menjelaskan ini dan itu padanya. Baginya , ini seperti mimpi. Tidak pernah ia membayangkan dirinya ada diposisi seperti ini. Diperlakukan begitu istimewa oleh seorang wanita sekelas Marta.
"Sudah larut, kamu pasti lelah. Beristirahatlah, Lisa. Besok Mami akan mengajarimu lagi beberapa hal sedikit demi sedikit," Marta melirik jam dinding yang sudah menunjukan pukul 10 lewat 5 menit.
"Ma-mi," panggil Lisa lirih dan sedikit sungkan, saat Marta melangkah didepannya menuju pintu keluar.
"Ada apa, Sayang," Marta berbalik, menampilkan senyum lembutnya menatap Lisa yang masih canggung berhadapan dengannya.
"Saya gadis berparas jelek, dan hanya lulusan SMU. Keluarga sayapun orang miskin, sehingga saya harus berada disini sebagai pelunas hutang Ayah," Lisa merundukan kepalanya sambil meremas tangannya sendiri.
Walau ia tahu Marta tidak menyukai bila ia mengulang perkataan itu lagi, tapi ia harus melakukannya untuk menegaskan tujuannya berada dirumah itu.
Marta yang melihatnya sengaja memberi kesempatan gadis itu mengatakan apa yang ada dalam benaknya.
"Jadi, tidak ada yang bisa saya banggakan tentang diri saya. Saya bersedia berkerja apa saja dirumah ini, seperti memasak, mencuci pakaian, mencuci peralatan dapur, bersih-bersih rumah, bersih-bersih taman, pekarangan, menyabit rumput liar dan semacamnya. Asal jangan--" Lisa menjeda ucapannya sebentar, dan Marta tetap menanti kelanjutannya dengan sabar.
"Asal jangan menikah dengan pak Rocky. K-kami tidak setara, Mami. Saya tidak pantas, saya pantasnya menjadi pelayan saja. Bahkan--, menjadi pelayan rumah ini saja sebenarnya saya merasa tidak pantas pula," ungkapnya sadar diri.
Marta memajukan langkahnya mendekati Lisa yang masih merunduk. Kedua tangannya menyentuh lembut pundak gadis belia yang baru menginjak 18 tahun itu setelah kelulusannya tahun ini.
"Mami yang merasa kamu pantas untuk Rocky, Sayang," memandang Lisa yang tengah menunduk.
"Tentang dirimu, Mami sudah tau semua. Bagaimana ibundamu meninggal, ayahmu--maaf--yang seorang penjudi dan pemabuk itu, ibu tirimu yang memaksamu berkerja keras membanting tulang untuk menghidupi mereka," Marta mendesah pelan diujung kalimatnya, lalu kembali menyunggingkan senyum terbaiknya untuk menghibur gadis belia yang merasa rendah diri itu.
"Lihat Mami, Sayang."
Lisa mendongak pelan, menemukan senyum hangat wanita berwajah keibuan itu.
"Kamu itu cantik, hanya kamu tidak menyadarinya. Ikut Mami," Marta menarik pergelangan tangan Lisa, membawanya menuju meja rias yang tidak jauh dari mereka berdiri dan mendudukan gadis itu pada kursi.
"Perhatikan wajahmu dipantulan cermin ini, Sayang."
Lisa menurut, ia melihat pantulan wajahnya dan dan wajah Marta yang berdiri dibelakangnya.
"Perhatikan matamu, Sayang. Bola matamu yang besar ini sangat indah, bersih dan bening seperti bayi, dihiasi bulu-bulu mata lentik yang keriting secara alami. Dan alismu tertata rapi tanpa harus dirapikan penata rias."
Lisa mengedip-ngedipkan matanya beberapa kali.
Ia tidak mengerti, kalau matanya yang sering jadi bahan ejekan gadis bermata belo, karena memiliki ukuran yang lebih lebar dan memanjang tidak seperti orang kebanyakan pada umumnya mendapat pujian dari Marta.
"Hidungmu ini sangat mancung," lanjut Marta sambil menyentuh pucuk hidung Lisa yang mencuat tinggi.
"Serasi dengan bibir mungilmu," menatap bibir kecil Lisa lalu tersenyum tipis kala gadis itu merundukan wajahnya, berusaha menyembunyikan semburat merah diwajahnya.
"Dan rambutmu ini--, Mami suka melihatnya," sambil membelai lembut rambut ikal bergelombang yang hitam legam itu.
"Apakah kamu pernah menonton Film Brave?" tanya Marta masih membelai lembut rambut Lisa, gadis itu kembali mendongak, menatap wajah Marta dari pantulan cermin.
"Eum--, yang ibunya berubah jadi beruang itu?" Lisa balik bertanya untuk memastikan, karena ia pernah menontonnya dilayar televisi.
"Iya, benar," sahut Marta, dan disambut anggukan oleh Lisa yang mengingat Film animasi itu.
"Bila diperhatikan, kamu mirip dengan pemeran gadis berambut merah yang bernama Merida itu. Gadis srikandi, pemberani, dan menjadi pahlawan bagi kerajaan yang dipimpin ayahnya," ungkap Marta, kembali tersenyum lembut.
Lisa hanya termenung, ia yakin itu hanya kata-kata penghiburan dari sang nyonya rumah yang begitu baik sejak awal mereka bertemu dua tahun lalu. Ia tidak menyangka bila wanita kaya itu yang menebusnya dari para dept collector yang selalu mendatangi keluarganya dengan gaya mereka yang beringas.
"Baiklah, tidurlah sekarang. Besok kita lanjutkan lagi," Marta mencium lembut pucuk rambut Lisa lalu beranjak dari belakang gadis itu.
"Terima kasih banyak atas kebaikan Ma-mi," Lisa buru-buru menyusul untuk mengantar hingga didepan pintu.
Marta tersenyum mendengarnya seraya mengangguk.
"Sama-sama, Sayang. Tidurlah yang nyenyak," Marta melambai lalu menarik handle pintu dan keluar.
"Rocky?!" kaget Marta begitu pula Lisa dibelakangnya, kala melihat putranya itu menyandarkan pundaknya didinding, didekat pintu kamar Lisa.
Bersambung...👉
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!