Sassy dengan wajah jenuh, menatap ke luar jendela kereta api. Ini adalah perjalanan pertamanya kembali pulang ke rumah, setelah hampir lima tahun bermukim di kota kelahiran sang Ibu. Bukan tanpa alasan dia mau kembali, tetapi karena permintaan Ayahnya yang mendesaknya untuk segera pulang. Titah sang Ayah, adalah hal yang harus ia utamakan.
Kembali berarti akan menjumpai lagi sesuatu yang telah ia lupakan, walaupun sebagian kecil kenangan masih bercokol di sudut hatinya. Bukan sesuatu yang mustahil dalam perjalanannya kembali, ia harus berhadapan dengan Aidan. Nama lelaki, yang kini masih setia menemani tidur- tidur malamnya yang selalu gelisah.
Hampir lima tahun Sassy mencoba mengenyahkan bayangan Aidan, yang memandangnya dengan binar kecewa. Andai waktu bisa di ulang kembali, ia akan menolak mengantarkan Cindy sepupu Aidan ke pesta ulangtahun temannya. Dimana malam itu menjadi petaka buat dirinya, dan sampai detik ini Sassy menyesali keputusannya pergi bersama Cindy.
Kereta yang di tumpanginya mulai bersiap hendak berangkat meninggalkan stasiun, membawanya ke tempat tujuan para penumpang. Sassy dari dulu selalu menyukai mode transportasi ini, selain nyaman juga bisa berlama-lama memandangi sekitarnya.
Saat tengah melamun dengan berbagai pikiran yang memasuki otaknya, seorang wanita cantik berpakaian modis mendatangi tempat duduknya. Si wanita bergaun merah itu tersenyum ramah pada Sassy, memperlihatkan lesung pipit di kedua pipinya, yang hanya di balasnya dengan anggukan kepala. Wanita dewasa dengan tampilan anggun itu, mendudukkan bokongnya di sebelah kursi Sassy, kemudian ia mengeluarkan ponsel pintarnya dari dalam tas selempangnya. Setelahnya ia sibuk dengan gawainya, melupakan Sassy yang masih menatapnya dengan kagum.
Mengalihkan pandangannya dari teman seperjalanannya, Sassy kembali menatap keluar lewat jendela kaca. Kereta berjalan pelan, membelah malam yang pekat. Sassy mencoba menutup matanya yang mulai terasa berat, berusaha mengenyahkan bayang-bayang gelap dalam dirinya.
Entah berapa lama ia tertidur, ketika sebuah suara memasuki gendang telinganya. Suara lembut yang keluar dari teman di sebelah kursinya, memesan dua cangkir kopi pada seorang pramugari yang menghampiri tempat mereka. "Hoam" tanpa sadar Sassy menguap lebar, lalu dengan pipi yang pastinya sudah memerah ia menutup mulutnya ketika dari sampingnya terdengar sapaan.
"Wah, nyenyak juga tidur kamu."
Reflek Sassy memutar kepalanya, dan menjumpai senyum jahil di wajahnya yang menawan.
"Maaf, ku pikir gak ada yang memperhatikan" Sassy terlihat kikuk dan salah tingkah.
"Sudah ku pesankan kopi, untuk menghilangkan kantuk" kembali wanita itu berucap, mengabaikan permintaan maaf Sassy.
"Oo makasih, tapi jangan repot-repot" tolaknya dengan malu.
"Hanya secangkir kopi, bukan sesuatu yang berarti" ia mengibaskan tangannya dengan anggun. "Anggap saja salam perkenalan, karena kita masih lama sampai tujuan" lanjutnya sembari memasukkan gawainya dalam tasnya. "Namaku Clara, rasanya akan sangat menjemukan bila kita gak saling kenal" senyumnya merekah, yang tak pernah lepas terukir di bibir berlipstik sewarna gaunnya.
Wanita yang lebih tua beberapa tahun di atasnya itu, mengulurkan tangan putih mulusnya.
"Sassy" ia membalas perkenalan dengan menyebutkan namanya, sambil menyambut uluran tangan Clara.
"Cantik sekali nama kamu, seperti orangnya" pujinya tulus. "Sassy berarti bulan, benarkan arti nama itu?" tanyanya menyelidik.
"Tepat sekali!"
Sassy mengacungkan jempolnya, tanpa sadar. Ia merasa Clara akan menjadi teman seperjalanannya yang menyenangkan, terbukti dengan cepat mereka bisa berkomunikasi tanpa sungkan lagi.
"Ayahmu, pasti orang yang sangat romantis." Clara menyambung ucapannya yang terhenti, ketika sang waiter membawa pesanannya.
"Tebakkan mu tidak sepenuhnya benar, Ayah ku jauh dari sifat itu. Beliau berpendirian keras juga tegas, karena seorang abdi negara harus mempunyai mental baja."
"Ah, aku selalu mengagumi pria dengan seragam militer. Mereka tampaknya gagah dan berwibawa, saat bertugas. Ayahmu seorang tentara, bukan?!"
"Iya. Tapi kini beliau sudah pensiun, dan menghabiskan hari tuanya dengan berkebun."
"Hmm, hobi yang bagus" ucap Clara pelan. "Kita minum dulu, sebelum kopinya dingin" selanya, sambil mengangsurkan cangkir keramik putih pada tangan Sassy. "Kalo boleh tau, ke Jakarta untuk perjalanan bisnis kah? Atau hanya ingin berkunjung ke sanak saudara."
Sebelum menjawab pertanyaan yang di lontarkan Clara, Sassy meminum kopinya dengan perlahan. Merasakan cairan hitam pekat yang mengalir di kerongkongannya, pahit juga manis terasa di lidahnya. Dengan gerakan perlahan, ia menaruh cangkir kopinya sejenak.
"Aku di minta pulang oleh Ayah" sahut Sassy muram. "Lalu, bagaimana dengan diri mu?"
"Aku tinggal di Jakarta, sehabis melakukan seminar tentang kecantikan di Surabaya" terangnya lugas. "Kamu harus berkunjung ke salon ku, bila ada waktu."
Pantas saja wanita di sampingnya ini tampil anggun juga menawan, karena memiliki keahlian untuk mempercantik diri.
"Baiklah, aku akan ke sana. Tapi dengan harga teman, ya" seloroh Sassy bercanda.
"Jangan takut, aku pasti kasih diskon khusus buat kamu. Ini kartu nama ku juga alamatnya, bila berminat."
Sassy menerima kartu pemberian dari Clara, lalu menyimpannya dalam saku celana jeansnya.
"Ngomong-ngomong, kamu ada yang jemput gak?"tanya Clara melirik gadis di sampingnya." Kalo gak ada, lebih baik bareng aku aja " tawarnya. "Kebetulan tunangan ku ada waktu buat jemput, sekalian kalian berkenalan."
"Makasih untuk tawaran baiknya, tapi aku di jemput kakak ku" jawab Sassy agak rikuh. Bukannya menolak niat baik Clara, tetapi ia sudah diwanti-wanti oleh Ayahnya agar jangan cepat mempercayai mulut manis orang asing apalagi mereka baru berkenalan.
Sisa perjalanan panjang mereka, di habiskan dengan mengobrol tak tentu arah. Kemudian selebihnya, keduanya tertidur kelelahan.
Suara seorang pramugari memberikan pengumuman agar para penumpang bersiap-siap untuk turun, karena kereta sudah hampir tiba di tempat tujuan. Sassy mengambil tas ranselnya, dan beberapa kantong berisi oleh-oleh.
Di pintu keluar Sassy berpisah dengan Clara dengan saling melambaikan tangan. Mata bulatnya mencari-cari keberadaan Rian kakak lelakinya, ketika tanpa sengaja pandangannya menemukan Clara yang sudah tenggelam dalam pelukan penjemputnya. Seorang pria dengan tinggi menjulang, menyambut hangat dekapan kekasihnya.
Sassy menemukan dirinya menatap lekat pasangan yang berbahagia itu, hatinya terasa perih teringat betapa ia kini sendiri tanpa pasangan.
"Sassy!" teriakan nyaring itu, menyadarkannya dari keterpakuan. Di dekat pintu keluar peron, Rian melambaikan tangannya. Segera saja ia memalingkan pandangannya, dan menyeruak diantara para penumpang menyongsong pelukan dari sang kakak.
"Mas Rian!" pekiknya riang.
"Hai, gadis kecilnya Mas !" tak kalah senang sang kakak membalas teriakkan adiknya, lalu mereka berpelukan erat.
"Gimana kabar mu?" tanya Rian sambil melepaskan pelukannya.
"Aku baik-baik aja, Mas" sahut Sassy dengan senyum lebarnya.
"Tapi, kamu agak kurusan" Rian memandangi adiknya dari atas ke bawah secara berulang-ulang, dengan dahi mengeryit.
"Masa sih?!"
"Iya, tapi kamu jadi tambah cantik kok. Ayok pulang, Ayah dan Ibu pasti udah gak sabatan ingin ketemu" saran Rian yang segera di angguki adiknya.
"Ayok, aku juga kangen mereka."
Mereka berdua berjalan menuju ke parkiran, sambil bergandengan tangan. Rian membuka bagasi, dan menaruh bawaan milik adiknya. Sementara itu sambil bersandar di badan mobil, Sassy memandangi area seputar tempat parkir. Dari kejauhan matanya menangkap sepasang kekasih, yang berjalan sambil saling berpandangan mesra. Bukankah itu Clara? Dan lelaki yang merangkul bahunya, sepertinya ia kenal.
Ternyata dunia begitu sempit sekali, orang yang ingin ia hindari hanya berjarak beberapa langkah darinya.
'Aidan' bisiknya dalam hati.
*****
"Sassy, cepat masuk!" suara Rian yang tidak sabaran, menyentaknya dari keterpakuan.
"Iya...ini juga mau" buru-buru Sassy masuk ke dalam dan duduk di kursi penumpang, dengan agak membungkuk menyembunyikan tubuhnya.
Ketika mobil sudah keluar dari parkiran, barulah ia berani menegakkan tubuhnya kembali. Sambil mengusap dadanya yang berdebar tak karuan, Sassy mengucap syukur dalam hati. 'Hampir saja ketahuan. Bagaimana, seandainya mereka bersua? Masihkah Aidan membencinya?
Tapi di pikir-pikir lagi, kenapa Sassy harus takut? Bukankah, mereka sudah bukan apa-apa lagi? Kadang Sassy menyesali dirinya, yang tidak bisa membela dirinya sendiri. Tetapi apalah artinya Sassy bagi seorang Aidan, yang banyak di kelilingi wanita cantik. Ia hanyalah butiran debu, yang menempel di tubuh pria setampan dan semenawan Aidan.
Kelakuan Sassy ternyata, tak luput dari penglihatan sang kakak. Rian hanya bisa menggelengkan kepalanya lemah, melihat tingkah laku adiknya. Sebenarnya ia ingin memberitahu Sassy, mengenai Aidan mantan suaminya. Tetapi rupanya semesta memperlihatkan kebusukan Aidan, dengan cepat di depan mata Sassy. Andai dulu ia tidak mengijinkan Aidan memiliki hati adiknya, tentunya Sassy tidak akan menderita.
"Kamu liat siapa lelaki berkaos biru itu, bukan?" tanya Rian, memecah kebisuan malam.
"Iya" jawab Sassy, dengan suara tercekat.
"Lupakan Aidan, dia bukan yang terbaik buat mu." Ada kilat kemarahan, di mata sehitam malam itu. Wajarlah apabila Rian membenci Aidan, karena telah menghancurkan kebahagiaan Sassy. Selain itu mereka dulu bersahabat erat, sebelum Aidan melakukan tuduhan yang tak ada buktinya pada sang adik. Lalu dengan teganya menjatuhkan talak pada Sassy, tanpa mau mendengar pembelaannya.
Sassy hanya mengangguk pasrah, lima tahun tak cukup baginya melupakan lelaki yang jadi cinta pertamanya. Namun juga, menorehkan luka yang teramat dalam di hatinya. Di pejamkan matanya rapat-rapat, menghalau semua kesakitan.
Sementara itu, lelaki yang menjadi topik pembicaraan mereka juga merasa mendengar nama yang sudah terkubur lama di hatinya. Ia agak tersentak dan mendongak cepat, mencari-cari sumber suara yang begitu familiar. Terlihat Rian, sahabat yang sudah lama putus hubungan dengannya sedang membuka pintu mobil. Di bagian samping kursi penumpang, ia mendapati seorang wanita duduk agak membungkuk. 'Siapa gerangan wanita itu? Istri Rian, kah?'
"Ada apa, Mas Aidan?" tanya wanita dalam rengkuhannya itu penasaran, karena lelaki yang tengah memeluk bahunya tidak mendengarkan ia berceloteh. Sepertinya ia sedang melamun, dan matanya tidak fokus menatapnya.
"Ah enggak, aku seperti mendengar suara yang gak asing. Tapi ternyata, aku salah dengar" ucapnya menutupi kekagetannya sesaat tadi.
"Oo, kukira ada apa?" balasnya lembut.
"Kita langsung pulang, atau makan malam dulu" tawar Aidan, sembari menjalankan kendaraanya keluar dari parkiran.
"Langsung ke rumah aja, aku capek. Rasanya, pengen cepet-cepet meluk guling" keluhnya, memejamkan kedua mata indahnya.
"Kan udah di bilangin naik plane aja, kenapa malah pake kereta api?"
"Naik kereta itu, asyik lho. Sambil cuci mata, juga kenalan dengan teman seperjalanan."
"Tapi lama kan, Clara."
"Susah deh, ngomong sana kamu. Enggak asyik, maunya cepet terus" rajuk Clara manja. "Coba, kalo aku ajak kamu nikah. Pasti, nanti lagi jawabnya."
"Menikah itu butuh waktu, gak sesederhana yang kita pikirkan" elak Aidan diplomatis. "Banyak yang harus di urus, dan di rundingkan."
"Kamu ngomong gitu, bukan karena ingin memundurkan tanggal yang udah di sepakati bersama kan?!" tuduh Clara, dengan bibir mengerucut. "Apa kamu masih memikirkan, mantan mu yang kabur itu?"
"Clara, please jangan bawa-bawa dia. Kalo kamu masih memikirkan yang bukan-bukan, lebih baik kita putus aja" sentak Aidan kesal. Ia menatap lurus ke jalanan, mengacuhkan keberadaan kekasihnya yang terlihat pucat pasi.
Clara tak menduga, Aidan bisa semarah itu bila sudah menyangkut mantan istrinya. Ia jadi berpikir, bila tunangannya masih menyimpan rasa. Di liriknya wajah keruh pujaan hatinya, bibirnya baru akan meminta maaf saat Aidan berhenti tepat di depan rumahnya.
"Sudah sampai, turunlah!" perintahnya tegas.
"Aidan, maafkan aku" cicit Clara pelan.
"Lupakan saja, tapi jangan kau ulangi lagi" ucapnya dengan intonasi tegas.
"Bye Aidan! Sekali lagi, maaf" ujar Clara, sambil keluar dari mobil Aidan.
Aidan hanya diam, melirik sekilas ke arah wajah cantik tunangannya. Bukannya ia membenci Clara, tetapi setiap pembicaraan yang menyinggung nama mantannya dirinya akan menjadi kesal. Entah apa, yang ia kesalkan dari sang mantan?
****
Entah sudah berapa lama, Sassy tertidur di kasur empuknya. Ketika ia terbangun matahari telah bersinar terang, memasuki jendela kamarnya yang terbuka lebar. Setelah tadi subuh Sassy menunaikan ibadah sholat, ia tertidur kembali karena kecapean. Ia memandangi seisi kamarnya, yang tidak berubah semenjak masih belum menikah. Ibunya memang membiarkan setiap barang pada tempatnya, tidak merubah tata letak maupun isinya.
Hari ini Sassy memang ingin bermalas-malasan, setelah melakukan perjalanan panjang dari Surabaya menuju tempat orangtuanya berada. Sedih hatinya mengingat sudah lima tahun ia bermukim di kota yang di juluki kota pahlawan itu, meninggalkan semua pencapaiannya di sana beserta teman-temannya yang sudah dianggapnya seperti saudara.
Hatinya yang semula rapuh, sedikit demi sedikit mulai dapat tertata kembali. Namun saat melihat Aidan bersama wanita lain, kembali luka itu berdarah. Pernikahan yang di jalani Sassy, hanya mampu bertahan satu tahun lamanya. Ketika badai itu menghempaskan bahtera rumah tangganya, seketika kapal oleng hingga karam di lautan. Sebagai nakhoda yang memimpin kapal, Aidan tidak mampu menjalankan tugasnya dengan baik.
Memang pada awalnya Sassy ragu, untuk meneruskan hubungan mereka ke jenjang pernikahan. Perbedaan sosial yang teramat tinggi, membuat keadaan menjadi timpang. Sassy hanya karyawan biasa dibagian administrasi ringan, harus bersanding dengan Aidan yang seorang manager keuangan di perusahaan mereka kerja kala itu.
Namun Aidan mampu meyakinkannya, untuk meneruskan kisah cinta mereka. Hingga akhirnya Sassy luluh dan mengiyakan ajakan itu. Namun tidak semudah membalikkan telapak tangan, ternyata semesta belum berpihak. Terlalu banyak orang, yang ikut campur dalam perjalanan asmara dua insan berbeda strata sosial tersebut. Ibu mertuanya, juga keluarga besar Aidan.
Pada akhirnya, Sassy menyerah sebelum sampai ke tujuan. Pernikahan mereka, hanya bertahan satu tahun lamanya. Ia menyerah kalah pada keadaan, menangis pasrah dalam rengkuhan sang Ibu.
"Tok...tok...tok!" ketukan di pintu kamarnya terdengar, lalu perlahan terbuka lebar. Wajah teduh sang Ibu, terlihat memasuki kamar. "Sudah bangun, nak" sapanya lembut.
"Udah Bu, tapi masih mager" balas Sassy, sambil merentangkan kedua tangannya.
"Jangan malas-malasan, ini udah siang lho" Bu Wina menasehati putrinya, sembari duduk di sisi pembaringan.
"Lima menit lagi ya, Bu" rajuk Sassy, sembari menaruh kepalanya di pangkuan Ibunya.
"Hadeuh, gak berubah juga kelakuan kamu" ucap Wina, mengelus sayang surai hitam Sassy. "Gimana kabar keluarga di Surabaya? Apa mereka sehat semua?" tanyanya menatap mata terpejam sang putri.
"Alhamdulillah, semua sehat Bu. Mereka juga titip pesan, kapan Ayah dan Ibu pulang kampung?"
"Insyaallah lebaran tahun ini, kita sekeluarga bisa mudik."
"Oo ya Bu, kemaren aku liat Aidan di stasiun kedatangan. Tapi, dia gak sendirian." ucap Sassy, dengan nada getir. Ia mengangkat kepalanya dari pangkuan Ibunya, lalu duduk di head board.
"Apa kamu masih mencintai, Aidan?" tanya Wina menelisik raut wajah Sassy.
"Lima tahun aku mencoba melupakannya bu, tetapi kemarin saat melihat wajahnya..." Sassy menjeda kalimatnya. "Entahlah..." lanjutnya lesu.
"Berarti, kamu masih mencintainya" tebak Wina tersenyum penuh arti.
"Aku pikir jarak dan waktu yang memisahkan kami berdua, bisa mengikis rasa cinta itu. Ah, tapi rasanya aku lancang sekali bu" keluh Sassy frustrasi. "Aidan sudah melupakan diriku, dan mendapatkan gantinya. Cinta yang dulu menggebu, tersapu angin dalam sekejap waktu. Tapi memang bukan salah Aidan, aku yang terlalu besar mencintainya sehingga semesta merenggutnya paksa dari ku."
"Kenapa waktu itu, gak kamu katakan apa yang sebenarnya terjadi?"
"Aku sudah berusaha, Bu. Tetapi Aidan mempercayai semua ucapan Cindy, sepupunya."
"Jadi apa yang akan kamu lakukan, seandainya bertemu Aidan? Kalian tinggal di kota yang sama, satu waktu pasti akan bertemu."
Sassy menghela nafas panjang, menatap jari manisnya yang kini tanpa ada cincin belah rotan tersemat di sana. "Enggak tau, Bu. Mungkin aku akan menyingkir menjauh. Apalagi, Aidan sudah bahagia dengan pasangan barunya!? Sementara aku masih diam di tempat, tanpa tau apa yang harus di lakukan."
"Ya udah kalo gitu, kamu mandi dulu. Ayah mu, ingin berbicara dengan mu."
"Ada apa sih, Bu? Aku jadi takut, Ayah akan menjodohkan ku dengan anak temannya."
"Hust! Jangan suudzon, mungkin beliau punya nasehat untuk bisa melupakan mantan mu. Cepetan, nanti Ayahmu keburu pergi ke rumah kakak mu."
"Ih Ibu kok gitu, sih!" rajuk Sassy manja, namun ia menuruti perintah Ibunya untuk segera membersihkan diri dan segera menemui ayahnya.
****
Benar apa yang menjadi prediksi Sassy, ia sudah khatam dengan kelakuan Ayahnya. Karena sudah beberapa kali, beliau selalu mendekatkan dia pada putra dari teman-temannya. Bukan hanya Ayahnya, tetapi kakaknya pun ikut andil di dalamnya. Dengan harapan Sassy bisa memilih satu diantaranya, dan melupakan bajingan seperti Aidan. Sebagai anak yang berbakti, ia hanya mengiyakan saja.
Setelah mendapat wejangan dari sang Ayah, ia pamit ingin menegok huniannya yang dulu. Sassy ingin melihat-lihat rumah, yang di berikan mantannya. Rumah impiannya, yang sudah sekian lama ia tinggalkan.
Dengan mengendarai sepeda motor, ia melaju membelah jalanan yang lengang. Tiba di tempat yang di tuju, rumah dalam keadaan rapih juga bersih. Mungkin Ayahnya, yang meminta orang untuk membersihkannya. Sassy mengeluarkan kunci, dan segera membuka pintu rumah. Begitu pintu terbuka lebar, bau apek bertebaran dimana-mana. Di bukanya semua jendela kaca, juga kamar-kamar yang pintunya tertutup rapat. Begitu pun dengan lantai dua, debu-debu menempel di susuran tangganya.
Rumah pemberian Aidan ketika mereka bercerai, adalah sebuah hunian yang cukup nyaman dan asri. Rumah minimalis berlantai dua yang elegan, lokasinya berada di sebuah perumahan elite. Dengan keamanan yang terjamin, dan penghuninya kebanyakan adalah pasangan muda. Hadiah cukup mahal buat Sassy, yang hanya seorang wanita dari kalangan menengah. Buat Aidan mungkin tidak seberapa, tetapi sangat berharga baginya. Awalnya ia enggan menerima pemberian mantannya, tetapi Aidan bersikeras memaksa.
Sassy berniat menempatinya, dan keluar dari rumah orangtuanya. Karena bila ia masih di sana, bukan tidaknya mungkin Ayahnya akan memaksanya menerima lelaki yang di sodorkan beliau. 'Huh! Hidup sungguh rumit.' Untuk saat ini, Sassy hanya ingin hidup sendiri. Esok atau lusa, seandainya ia masih memiliki kesempatan untuk mendapatkan jodoh kembali. Sassy hanya ingin, berjalan sesuai alur yang sudah Tuhan takdirkan.
Rumah masih dalam keadaan kosong melompong, tanpa ada perabotan. Ia berniat membeli barang-barang, untuk melengkapi isi rumahnya. Sambil bersandar di tembok depan rumah, Sassy menghubungi sang kakak. Tetapi panggilannya tidak terjawab, barangkali Rian masih sibuk di restoran miliknya. Saking asyiknya mengutak-atik gawainya, ia tidak menyadari seorang pria gagah keluar dari mobil sportnya. Ketika pria itu berdehem, barulah ia menyadari keberadaannya yang tidak sendiri.
"Eghm!"
"Kamu !" pekik Sassy tertahan. "Apa yang kamu lakukan di sini, Aidan?" tanyanya setelah tersadar dari keterkejutannya. Ia tak menyangka, akan begitu cepat bertemu dengan sang mantan.
"Jangan ge-er, babe!" seringai Aidan dengan senyum jenaka, memindai Sassy dari atas ke bawah berulang-ulang. "Kamu agak kurusan, tapi masih tetap cantik sekaligus menawan seperti yang terakhir ku ingat dulu" tambahnya merayu.
"Huh!" dengus Sassy jengkel. "Simpan saja rayuan mu, aku gak butuh" sentak Sassy galak.
"Tapi dulu, kamu seneng aku gombalin."
"Berisik! Kamu belum jawab pertanyaan ku" ucap Sassy, sembari bersedekap.
"Pertanyaan yang mana?" Aidan berlagak lupa.
"Ah, lupakan saja!"
Aidan memasuki rumah pemberiannya dulu, ia memindai sekelilingnya dengan mata tajamnya. "Hmm, bagaimana kamu suka dengan rumahnya?" tanya Aidan, melirik Sassy yang mengikutinya dari belakang.
"Lumayan lah, sebagai kompensasi dari tuduhan mu yang gak berdasar" sindir Sassy telak.
"Kenapa kamu ngomongnya begitu?" tanya Aidan, sembari menyipitkan matanya. Ia membalikkan badannya, berhadapan dengan perempuan yang pernah menjungkirbalikkan dunianya.
Sassy mengangkat bahunya lelah, harus kembali mengingat kejadian yang sudah berlalu. "Lebih baik kamu pulang, Aidan. Keberadaan mu di sini, hanya menggali luka lama" ucapnya lirih.
"Oke, aku pulang. Tapi aku masih menunggu, keterangan dari mu" Aidan berbalik pergi, meninggalkan mantan istrinya yang masih ia cintai itu. Lima tahun lalu, mungkin ia terbawa emosi. Lebih mendengarkan satu pihak saja, tanpa mau berkompromi lagi.
****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!