Kirana Larasati, seorang gadis dari luar kota yang menjadi karyawan di perusahaan terbesar di provinsi Y. Gadis yang biasa dipanggil Kirana atau Kiran tidak pernah mengajukan cuti kecuali hari raya. Namun kali ini, kakak perempuan satu-satunya akan menikah. Kiran mengajukan cuti selama 3 hari mengingat perjalanan ke luar kota sangat melelahkan. Satu hari untuk perjalanan pulang, sehari untuk perayaan pernikahan, dan satu hari untuk kembali ke kota tempat dia bekerja.
Malam hari sebelum hari H, Kirana mendatangi kamar kakaknya, Kharisma Larasati. Mereka berbincang dengan hangat dan melepas rindu karena Kirana memang sangat jarang pulang. Bahkan Kiran juga tidak mengikuti prosesi dari awal perkenalan Risma sampai lamaran hingga pernikahan saat ini. Kirana merasa lega karena melihat kakaknya begitu antusias dan terlihat bahagia. Kirana juga sangat penasaran seperti apa sosok kakak iparnya.
Hari berganti dan pesta pernikahan pun akan segera digelar. Keluarga kedua mempelai sudah ada sejak pukul 07.00 di gedung yang disewa. Kirana datang terlambat lantaran masih mempersiapkan kado yang lupa dibungkus karena keasikan mengobrol dengan Risma. Ketika hendak masuk ke gedung, Kirana tanpa sengaja bertemu dengan bos besarnya di perusahaan.
"Pak Bos" sapa Kirana. Bos besar itu menoleh dan mengangguk. Kirana membiarkan pak bosnya mendahuluinya dan dia mengekor di belakang. Kirana masuk ke ruangan yang khusus untuk keluarga mempelai bersama dengan bos besarnya. Namun keduanya berpisah dan bergabung dengan keluarga masing-masing. Kirana memandang keluarga bosnya yang ternyata adalah keluarga calon kakak iparnya.
"Kamu kenapa terus memandang ke sana?" tanya salah seorang tante Kirana.
"Nggak apa-apa kok. Cuma itu di sana ada bos aku di perusahaan, Tante," jawab Kirana dan yang lain hanya mengangguk-angguk.
"Kenapa keluarga kita nggak gabung dengan keluarga mereka?" tanya Kirana lagi yang memang tidak ikut briefing apapun.
"Itu permintaan hampir semuanya karena masih merasa canggung dan sebagai ajang reuni keluarga." Kirana hanya mengangguk dan mengerti walaupun masih merasa aneh.
Bukankah kalau merasa tidak kenal justru mengakrabkan diri ya? tanya Kirana dalam hati, namun Kirana memilih masa bodoh dan menikmati waktu bersama keluarga besarnya.
Setengah jam berlalu diselingi dengan canda dan tawa dari masing-masing keluarga. Prosesi ijab kabul akan dimulai sekitar satu jam ke depan. Orang tua dari masing-masing mempelai juga sudah bergabung setelah menunggu mempelai dirias.
Seorang pria dewasa yang notabennya adalah bos besar Kirana menghampiri keluarga Kirana.
"Permisi," sapanya sopan.
"Ya nak," jawab ayah dengan lembut.
"Bolehkah saya berbincang dengan dia?" Tunjuk bos besar itu pada Kirana. Kirana terkejut dirinya ditunjuk bos besar. Seingat Kirana dia sudah izin cuti dan sudah disetujui. Kirana menatap ayahnya dengan harap-harap cemas dan memikirkan apa kiranya kesalahan yang dia buat hingga bos besar menghampirinya.
"Kalau boleh tahu, anak ini siapa ya? Dan apa hubungannya dengan Kirana anak saya?" tanya ayah seolah mengerti kegundahan putrinya.
"Perkenalkan saya Devian. Saya hanya ingin berbincang dengan Kirana," jawab Devian tegas dan meyakinkan seraya menyebut nama Kirana. Padahal dia baru tahu nama gadis itu setelah sang ayah menyebutkannya.
Hah, pak bos tahu namaku? Jangan-jangan aku benar telah membuat kesalahan? monolog Kirana dalam hati.
"Bagaimana, Nak?" tanya ayah seraya memandang Kirana lekat. Kirana hanya menganggukkan kepala dan berdiri menghampiri Devian. Kirana merapalkan doa dalam hati agar dia tidak tersandung masalah di perusahaan. Kirana sudah merasa nyaman bekerja di perusahaan milik Devian.
Kirana mengikuti langkah Devian yang ternyata keluar dari ruang yang dikhususkan untuk keluarga. Kirana tertatih-tatih mengikuti langkah Devian yang lebar. Ternyata langkah Devian menuju balkon gedung tersebut.
Devian memperhatikan Kirana yang terlihat ngos-ngosan. Devian mengerutkan keningnya menatap aneh pada Kirana. Dia tidak tahu bahwa Kirana sedikit berlari karena mengimbangi langkah kakinya yang lebar.
"Kamu kenapa?"
"Tidak apa-apa bos," jawab Kirana tidak mau berterus tangan.
Kirana menatap ke arah Devian dan memberanikan diri bertanya.
"Ada apa pak bos memanggil saya ke sini?" Devian menatap Kirana dengan seksama dan meneliti penampilannya. Gadis di hadapannya terlihat cantik meskipun tidak terlihat seksi seperti kebanyakan wanita yang ada di sekitarnya, bahkan di kantor sekalipun. Devian juga merasa tidak pernah bertemu dengan Kirana di kantor. Namum Devian sadar bahwa karyawannya sangat banyak sehingga dia tidak bisa mengingat satu persatu wajah mereka.
"Sejak pertama kita bertemu, kau selalu memanggilku pak bos. Apa kau bekerja di perusahaan ku?" Kirana mengangguk menjawab pertanyaan bos besarnya.
"Kenapa aku tidak pernah bertemu denganmu?" Devian mencoba membuka kembali memori dan tidak menemukan wajah Kirana sama sekali.
"Kita memang tidak pernah bertemu, pak bos. Tapi saya tahu andalah bos saya," jawab Kirana lugas. Devian mengangguk dan termenung sesaat.
"Kau bekerja di bagian apa?" tanya Devian lagi.
"Saya di bagian arsip, Bos."
"Pantas tidak pernah bertemu," guman Devian yang masih bisa didengar oleh Kirana. Kirana masih menunggu lanjutan apa yang akan dibicarakan oleh bosnya. Namum hampir lima menit berlalu, bosnya itu masih diam saja.
"Maaf Bos, menginstruksi. sebenarnya apa yang ingin Bos bicarakan dengan saya sehingga harus keluar dari ruang yang telah disediakan untuk kita para keluarga?"
Devian menatap lekat wajah Kirana sebelum akhirnya dia menjawab. Dia menghela nafasnya hingga tiga kali dan membuka suara.
"Apa kamu mengenal calon kakak iparmu?" Kirana menatap lekat wajah bosnya sebelum menjawab pertanyaan. Kirana merasa agak aneh dengan pertanyaan bosnya, seolah mengandung misteri.
"Sebenarnya saya hanya tahu namanya. Bahkan rupanya saja saya tidak tahu." Kirana memilih jujur karena memang dia tidak tahu apapun soal calon iparnya itu. Apalagi dia yang berada di luar kota untuk bekerja dan jarang sekali pulang.
"Jadi, apa yang kau tahu?" tanya Devian sembari menatap heran pada Kirana. Bagaimana bisa dia tidak mengenal sama sekali calon kakak iparnya itu. Begitulah pemikiran Devian pada Kirana saat ini.
Pemikiran itu terbukti setelah mendapat jawaban berupa gelengan kepala dari Kirana. Kirana menatap bingung bosnya dan mencoba memberanikan diri untuk bertanya.
"Apa ada sesuatu Bos?" tanya Kirana dengan nada khawatir. Entah kenapa perasaannya tiba-tiba menjadi tidak enak setelah mendengar pertanyaan dari bosnya.
"Entahlah. Aku hanya merasa akan terjadi sesuatu yang besar di antara kita," jawab Devian semakin membuat Kirana bingung.
"Bagaimana bisa?" tanya Kirana setengah linglung. Devian hanya mengangkat bahunya seolah enggan menceritakan dengan rinci tentang firasatnya.
"Bersiap-siaplah dengan hati dan mentalmu. Biasanya firasatku tidak pernah meleset." Kirana menatap Devian tidak percaya. Terlebih sekarang bosnya meninggalkan balkon dan membiarkan Kirana yang masih mencerna setiap ucapan Bos besarnya itu sendirian.
"Memangnya hal besar apa sehingga aku harus menyiapkan hati dan mentalku?" tanya Kirana pada dirinya sendiri. Kirana memilih masa bodoh dan kembali kepada keluarganya. Namun saat dia kembali, dia melihat kedua keluarga terlihat gelisah dan panik.
Apa yang terjadi sebenarnya? temukan jawabannya di episode selanjutnya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Devian Cahya Anggara, bos besar dari perusahaan ternama di provinsi X. Memiliki paras yang tampan dan tubuh yang ideal. Meskipun wajahnya sedikit dingin dan irit bicara, namun Devian tergolong Bos yang ramah. Hari ini dia berangkat ke luar kota guna menghadiri pernikahan sepupunya. Dia tiba di gedung bertepatan dengan datangnya Kirana . Devian terlihat terkejut ketika menatap wajah Kirana . Perasaan resah tiba-tiba muncul di hatinya dan jantungnya berdebar-debar seolah akan terjadi sesuatu pada keduanya.
Devian memiliki keistimewaan dengan firasatnya. Devian berfikir ini adalah firasat yang dia dapat seperti biasanya. Devian belum tahu apa yang akan terjadi pada mereka. Devian sadar bahwa firasatnya ini bukan firasat biasa. Dia ingin mengacuhkan perasaannya, namun saat berada di ruang yang sama dengan Kirana, perasaannya bertambah tidak karuan. Apa yang dia rasakan seolah-olah menjelaskan bahwa firasat yang dia rasakan benar-benar akan terjadi. Entah apa namun Devian merasa akan menjungkir balikkan kehidupannya.
Devian tidak bisa menahan dirinya lagi sehingga dia memutuskan menghampiri keluarga Kirana. Dengan berani dan terlihat gentle, Devian meminta izin kepada pria paruh baya yang menjadi ayahnya Kirana. Beruntung keluarga Kirana sudah tahu identitas Devian sebelumnya. Berakhirlah mereka dengan perbincangan di balkon gedung tersebut. Tujuan Devian adalah ingin memberitahukan kepada Kirana agar perempuan itu tidak terlalu terkejut. Devian tahu Kirana merasa bingung dengan apa yang dia katakan. Namun pria tampan itu memilih untuk tidak peduli dan meminta Kirana untuk menyiapkan mental dan hatinya. Itulah juga yang sedang disiapkan Devian meskipun dia sudah memiliki firasat sebelumnya.
...----------------...
Devian kembali ke ruang keluarga dan melihat suasana sudah berbeda. Jika tadi kedua keluarga berpisah, ini kedua keluarga sudah berkumpul. Canda tawa dan obrolan mengalir hangat. Devian ikut bergabung meskipun hanya memperhatikan dan sesekali menimpali ketika ditanya. Cukup lama Devian bergabung namun belum ada tanda-tanda Kirana akan kembali. Devian sedikit resah memikirkan Kirana yang mungkin masih merenung atas perkataannya. Devian akan bangkit dan menyusul Kirana untuk memastikan keadaannya. Namun kedua orang tua Kirana dan orang tua Dimas masuk dengan wajah cemas dan terlihat khawatir.
Ya, kedua orang tua mempelai tadinya mengunjungi pengantin mengingat acara ijab qabul sebentar lagi akan dimulai. Namun mereka terkejut bahwa anak-anak mereka tidak ada di kamar yang telah disediakan. Mereka beserta orang-orang yang telah mencari keseluruhan gedung bahkan hingga ke gudang dan ke toilet. Namun baik Risma ataupun Dimas tidak ditemukan. Proses ijab qabul akan mulai limabelas menit lagi dan para tamu undangan sudah mulai berdatangan. Mereka bahkan sudah menghubungi ponsel Risma dan Dimas. Namun ponsel keduanya tidak dapat dihubungi atau memang sengaja dinonaktifkan. Orang tua Risma dan Dimas tidak punya pilihan lain kecuali kembali ke ruang keluarga.
"Ada apa?" tanya Cahyo, ayah Devian.
"Para pengantin tidak ada," jawab Adi, ayah Dimas, dengan lesu.
"Apa maksudmu dengan tidak ada?" Cahyo membentak adiknya.
"Mereka berdua tidak ada di kamarnya. Kami sudah mencarinya bahkan hingga ke gudang dan toilet. Namun tidak menemukan hilal mereka," jawab ayah Kirana. Sedangkan para ibu sudah menangis sesenggukan karena cemas memikirkan anak-anaknya.
Belum sempat ada yang menanggapi, Kirana sudah masuk dan terkejut melihat ibunya yang menangis sesenggukan di pelukan tantenya. Dengan langkah terburu-buru Kirana menghampiri ibunya dan bertanya pada tantenya lewat sorot matanya.
"Mbakmu dan calon suaminya melarikan diri," jawab tantenya dengan pandangan yang sulit diartikan.
"Tidak mungkin" jawab Kirana tidak percaya. Semalam saja kakaknya sangat antusias akan menikah dengan Dimas. Jadi tidak mungkin baginya jika kakaknya akan melarikan diri di pesta pernikahannya sendiri.
"Tapi itulah yang terjadi, Nduk." Kirana masih memasang wajah tidak percaya.
"Lalu bagaimana dengan pestanya?" Semuanya hanya menggeleng menanggapi pertanyaan Kirana. Yang jelas Sudah dapat dipastikan bahwa keluarga Dimas dan Risma akan menanggung malu jika pestanya dibatalkan. Tidak ada yang bisa berpikir jernih kali ini sampai akhirnya Devian membuka suara.
"Aku akan lihat cctv-nya." Semua orang menoleh dan fokus pada Devian.
"Saya ikut," seru Kirana dan dibalas anggukan oleh Devian. Kirana mengekor Devian dan berharap dapat mendapatkan petunjuk dari rekaman CCTV. Dengan harap-harap cemas, baik Devian ataupun Kirana menonton rekaman CCTV yang ada di hadapan mereka. Devian dan Kirana saling pandang dengan tatapan tak percaya melihat Dimas dan Risma bergandengan tangan mengendap-endap meninggalkan gedung.
"Apa yang mereka lakukan?" tanya Kirana heran dan tak percaya dengan tingkah laku keduanya. Melihat dari kedekatan mereka, seharusnya tidak ada masalah tentang pernikahan ini. Atau ada sesuatu yang tidak diketahui oleh keluarganya.
"Mereka berdua tak waras," kesal Devian yang pasti keluarganya juga akan ikut menanggung malu atas ulah mereka. Dua-duanya memilih kembali dan mengabarkan apa yang mereka lihat di rekaman yang ada.
Sementara di ruang keluarga, mereka semua berkumpul dan membahas masalah yang telah diciptakan oleh Risma dan Dimas.
"Saya tidak mau menanggung malu karena pestanya terancam batal," keluh Adi dan disetujui oleh semuanya. Tidak ada yang mau jika harus menanggung malu. Namun sepertinya rasa malu itu akan segera menghampiri dua keluarga besar tersebut.
"Andai saja ada yang mau menggantikan Dimas menikah hari ini," guman Marisa yang masih bisa didengar oleh semua orang. Andaikan Dimas memiliki saudara, sudah pasti dia akan meminta dia untuk menggantikan Dimas. Toh dari pihak Kharisma ada Kirana. Sayangnya Dimas adalah anak tunggal dari pasangan Supriyadi dan Anita. Walaupun Marissa bukan orang tua Dimas, namun Marissa tetap akan menanggung rasa malu itu karena Marissa masuk dalam keluarga besar Anggara.
"Apa maksudmu Kita harus mencari pengantin pengganti?" tanya Anita, Ibu Dimas antusias seolah menemukan ide untuk mencegah rasa malu itu menghampiri keluarga mereka.
"Ya itu bisa terjadi seandainya Dimas memiliki saudara," jawab Marisa lesu.
"Mbak bisa menikahkan Devian dengan Kirana, adik Kharisma itu," usul Anita masih dengan antusias.
"Jangan Gila kamu! Aku tidak mau mengorbankan kebahagiaan anakku," jawab Marisa dengan ketus dan melirik sinis adik iparnya itu.
"Anita benar Mbak. Paling tidak kita bisa terselamatkan dari rasa malu. Aku mohon!" ucap Adi dengan tatapan memohon. Cahyo menghela nafas melihat perdebatan adik dan istri. Cahyo melirik keluarga Kirana yang hanya diam memperhatikan keluarganya.
Mereka masih terus berdebat dan seketika berhenti ketika pintu terbuka dengan keras. Tampak Devian masuk dengan wajah kesal diikuti Kirana yang memasang wajah rumit.
"Bagaimana hasilnya?" tanya Cahyo yang masih mempertahankan kewarasannya. Sedangkan Marisa masih melirik sinis adik iparnya itu.
"Iya nak, bagaimana hasilnya?" kali ini Lukman, ayah Kirana yang bertanya. Dirinya juga sama khawatirnya dan entah, apa bisa menanggung malu apa tidak.
"Mereka pergi berdua," jawab Kirana singkat. Lukman menatap anak bungsunya dengan rumit. Gadisnya ini memang sulit mengungkapkan apa yang dia rasakan. Sangat berbeda dengan kakaknya Kharisma.
Devian menatap Kirana tak percaya setelah mendengar jawaban yang dilontarkannya.
"Mereka melarikan diri bersama dengan sadar dan terencana," ungkap Devian membuat semuanya terperangah tak percaya.
" Apa masalahnya? Bukankah keduanya telah setuju?" ucap keluarga yang lainnya seolah tidak percaya dengan apa yang mereka lakukan.
"Apakah mereka dijodohkan?" tanya Devian yang sedari tadi bertanya-tanya dalam hatinya.
"Ya, keduanya dijodohkan dan setuju. Kami tidak ada yang memaksa," jawab Khadijah lesu dan masih terlihat sembab.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Catatan : Ruang keluarga yang dimaksud adalah ruang yang ada di gedung tersebut yang disediakan khusus untuk para keluarga pengantin.
Acra ijab kabul dan pestanya berjalan lancar. Akhirnya Devian dan Kiranalah yang menjadi tumbal agar keluarga Anggara dan keluarga Lukman tidak menanggung malu. Deviana dan Kirana yang kini sudah sah menjadi istrinya.
Apakah ini firasat yang yang aku rasakan tadi bahwa kejadian besar akan menimpa kami berdua. Aku sungguh tidak menyangka bahwa kejadian besar itu adalah sebuah pernikahan, monolog Devian dalam hati.
Merasa dirinya diperhatikan, Kirana menoleh dan tatapannya bertabrakan dengan bos besarnya yang kini telah berubah status menjadi suami. Tidak ada perasaan apa-apa yang dirasakan Kirana kecuali perasaan rumit yang masih belum bisa dia mengerti. Tak berbeda halnya dengan yang dirasakan Devian. Mungkin setelah ini mereka perlu berbincang dari hati untuk menentukan masa depan rumah tangga mereka.
Tamu mulai surut karena hari juga sudah menjelang siang. Waktunya istirahat dan makan siang. Devian dan Kirana memilih mengistirahatkan tubuh mereka dengan duduk di pelaminan. Mereka akan kembali berdiri ketika ada orang yang hendak bersalaman dan pasti mengucapkan selamat. Entah ucapan itu tulus atau tidak.
Semua tamu sudah pulang dan mereka semua juga usai makan. Sekarang mereka telah Istirahat di ruang keluarga. Devian menghampiri Kirana dan duduk di sampingnya. Devian kemudian menoleh ke arah istrinya dan menatap wajahnya yang terlihat lelah.
"Kita akan menginap di sini atau pulang?" tanya Devian dan berhasil menarik atensi Kirana. Kirana memandang wajah Devian yang kini telah resmi menjadi suaminya. sebelum menjawab Kirana menghela nafas panjang. Namun bukan jawaban yang keluar dari mulutnya melainkan sebuah pertanyaan.
"Apa masih ada acara setelah ini?"
"Sepertinya tidak, kalaupun ada akan aku buat tidak ada," jawab Devian sekaligus pernyataan mutlak yang keluar dari mulutnya. Kirana hanya diam tanpa ada niat untuk menanggapinya. Devian menoleh ke istrinya saat tidak mendengar jawaban. Dilihatnya istri dadakannya itu sedang memperhatikan orang-orang yang sedang bercengkrama dan bercanda seolah-olah merayakan suksesnya acara hari ini. Dia tahu bukan itu yang diperhatikan oleh Kirana. Namun keempat orang dewasa yang sedang berbicara dan terlihat membahas sesuatu yang serius.
"Apa kau cemas tentang orang tua kita?" Devian bertanya dan dia mencoba untuk lebih dekat dengan istrinya. Apa lagi dia dan istrinya adalah sepasang pengantin pengganti yang tentu saja belum mengenal satu sama lain, baik dari sikap, sifat dan kebiasaan.
"Sedikit. Semoga keputusan kita adalah yang terbaik," balas Kirana dan lagi-lagi helaan panjang keluar dari mulutnya. Ada perasaan yang entah apa yang dirasakan oleh Kirana dan Devian. Menjadikan diri sebagai sepasang pengantin pengganti adalah keputusan mereka sendiri.
"Apa kau menyesal?" Devian menatap Kirana seksama. Kirana menoleh dan tatapannya bertabrakan dengan tatapan suaminya. Pandangan mereka terkunci untuk beberapa saat hingga Kirana memutus pandangannya terlebih dahulu.
"Terlalu dini untuk memutuskan apakah menyesal atau tidak." Kirana menjawab diplomatis pertanyaan Devian. Devian masih menatap Kirana lekat dan sama sekali tidak menduga bahwa akan mendapatkan jawaban seperti itu. Senyum terukir dari bibirnya dan mencoba memberanikan diri untuk menggenggam jemari istrinya. Kirana merasa terkejut atas keberanian Bos besarnya itu yang kini telah resmi menjadi suami dadakannya. Kirana seolah masih belum percaya dan masih merasa bahwa semua yang dia alami hari ini adalah mimpi.
"Aku akan membuatmu tidak menyesal atas keputusan kita hari ini," tekad Devian dan berhasil menarik kembali kesadaran Kirana sekaligus menegaskan bahwa dia tidak bermimpi. Kirana mencoba menyelami mata suaminya untuk mencari celah kebohongan. Dia takut terbuai dan endingnya hanya dipermainkan. Namun hanya kesungguhan dan kejujuran yang dia temui di mata suaminya. Kirana tersenyum dan mengangguk.
"Kita lakukan sama-sama," jawab Kirana dengan lembut namun tegas. Devian mengangguk dan membalas senyum istrinya dengan tulus. Dia mencoba memberanikan diri menarik tangan istrinya dan memeluknya. Kirana hanya diam dan membiarkan suaminya itu memeluknya.
Interaksi sepasang pengantin pengganti itu dilihat oleh empat orang yang tadi diperhatikan oleh Devian dan Kirana. Di bibir mereka terukir sebuah senyum kebahagiaan dan kelegaan. Mereka saling pandang dan mengangguk untuk membiarkan anak-anak mereka menjalani apa yang telah menjadi keputusan mereka.
...----------------...
Devian bersama istrinya dan keluarganya telah tiba di kediaman mertuanya. Yaitu yang tak lain dan bukan adalah rumah orang tua Kirana. Devian benar-benar melakukan apa yang dia ucapkan pada Kirana. Kirana memilih untuk pulang dari pada menginap di hotel. Ya, gedung yang mereka gunakan untuk pernikahan adalah sebuah hotel yang cukup terkenal di kota Y. Kota tempat orang tua Kirana tinggal.
"Nak, ajak suamimu istirahat di kamarmu," perintah Lukman.
"Iya, Yah." Kirana mengangguk dan melihat suaminya yang juga menatapnya.
"Ayo." Devian mengikuti langkah Kirana hingga sejajar dan menyelipkan jarinya di jari istrinya. Kirana berhenti sejenak menatap jarinya yang sudah berpaut dengan jari Devian. Lalu dia melihat suaminya yang sudah tersenyum manis. Kirana membalas senyum itu tak kalah manis dan mengangguk. Mereka melanjutkan jalan hingga tiba di kamar Kirana.
"Maaf kamarnya kecil. Buatlah diri Bos senyaman mungkin," ujar Kirana. Setelahnya, Kirana membuka lemari untuk mengambil pakaian ganti. Mendengar panggilan Kirana padanya, Devian melangkah mendekati istrinya itu. Kirana yang tak menyadari pergerakan suaminya sehingga tidak tahu kalau Devian kini telah berdiri di belakangnya.
Kirana berbalik dan terkejut melihat suaminya telah berdiri di hadapannya.
"A— a — ada apa Bos?" tanya Kirana gugup.
"Bos?" ulang Devian dan semakin memajukan langkahnya. Otomatis Kirana semakin mundur hingga tubuhnya mentok pada lemari.
"Bos mau nga-pa-in?" tanya Kirana semakin gugup.
"Coba ulangi bagaimana kamu tadi memanggilku," perintah Devian dengan suara yang sengaja ditekan.
"B– bos" ulang Kirana yang belum mengerti maksud Devian. Devian semakin menatap tajam Kirana. Nyali Kirana semakin ciut kala melihat wajah bos besarnya terlihat serius sedikit seram.
"Siapa aku bagimu?"
"Bos Kiran," jawab Kirana takut-takut.
"Statusku?" tanya Devian lagi masih mempertahankan wajah seramnya.
"Suami," cicit Kirana yang kini sudah tahu apa kesalahannya. Devian menghela nafas dan mengendurkan wajah tegangnya. Dia tidak tega melihat istrinya yang ketakutan. Apalagi dia melihat istrinya telah menyadari kesalahannya. Devian mundur dan mendaratkan tubuhnya di ranjang.
"Sini," perintah Devian seraya menepuk kasur samping kanannya. Dengan wajah menunduk, Kirana melangkah dan berlahan duduk di samping suaminya.
"Aku tahu ini adalah hal yang baru bagi kita. Bagaimana pun juga, kita adalah suami istri. Jadi, bisakah kita awali dengan sebuah panggilan?" tanya Devian lembut dan Kirana hanya mengangguk.
"Kau takut padaku?" tanya Devian dan lagi-lagi diangguki oleh Kirana. Devian menghela nafas pasrah. Sulit memang menghilangkan image yang sudah terpatri dalam otak. Namun Devian sadar bahwa dirinya harus lebih vokal pada istrinya. Dia tidak bisa menyamakan saat dia bekerja dan saat di rumah. Devian sangat paham betul tentang hal itu.
Devian juga sedikit menyimpulkan bahwa istrinya adalah orang yang tidak banyak bicara. Kesimpulan itu Devian dapatkan kala dia berbincang dengan istrinya saat di balkon. Belum lagi saat menjawab pertanyaan ayahnya usai melihat rekaman CCTV. Dan banyak diam kala keluarga meminta istrinya untuk menikah dengannya.
"Jangan takut. Di kantor mungkin aku adalah bos kamu. Namun sekarang, aku adalah suamimu. Orang yang bertanggung jawab penuh atas kamu." Kirana mulai memberanikan diri mengangkat wajah dan menatap suaminya. Kesungguhan yang diucapkan suaminya mampu membuat Kirana menghilangkan rasa takut itu.
"Panggil aku selain dengan panggilan Bos. Bisa?" tanya Devian lembut dan Kirana mengangguk.
"Mas," lirih Kirana seraya menundukkan wajahnya dan berhasil mencetak senyum di wajah tampan Devian.
"Aku suka," bisik Devian di telinga Kirana membuat wajah dan telinga istrinya merah. Antara gugup dan malu menjadi satu. Tanpa menoleh pada suaminya. Kirana berlari ke kamar mandi dan tak menghiraukan teriakan Devian yang memanggilnya dengan sebutan mesra menurutnya.
"Hei dek, kau mau kemana?" Devian tergelak dan sengaja menggoda istrinya. Dia tahu istrinya tidak akan menanggapinya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Happy wedding to Devian dan Kirana. Samawa dan rukun terus. Bahagia selalu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!