Sudah lebih dari seminggu Vira dan Panji pindah ke rumah ibu mertuanya, di sebuah desa di kaki Gunung Salak. Namun, suaminya itu tidak berinisiatif mengajaknya jalan-jalan meskipun hanya berkeliling desa, membuatnya merasa jenuh.
Vira membuka pintu rumah dengan perasaan senangnya. Dia menghirup udara pagi dalam-dalam, rasanya sangat berbeda dengan udara di kota, dimana setiap harinya yang dia hirup adalah polusi. Sedangkan di desa itu dia benar-benar bisa merasakan udara yang begitu segar.
Karena merasa kesepian Vira pun memutuskan untuk berkeliling, mengamati keadaan sekitar. Namun, saat melewati pintu yang Vira rasa ini adalah gudang tiba-tiba ia mendengar suara tangisan bayi.
Vira terperanjat. Mematung sejenak lalu mulai mencari darimana suara itu berasal.
"Vira! kamu ngapain disitu?" tanya Sinta mengagetkannya.
Dengan segera Vira berjalan mendekati ibu mertuanya itu.
"Lain kali kamu jangan main di area belakang rumah ya, dan jangan coba-coba masuk ke dalam gudang," tegas Sinta.
Dapat dikatakan wajah sang ibu mertua terlihat amat cantik. Meskipun umurnya sudah lebih dari empat puluh tahun tapi Sinta masih terlihat bugar dan sehat, terlihat sekali kalau dia pandai merawat diri dengan baik.
"Berkeliling saja Bu, tadi Vira bosan di kamar. Memangnya di belakang ada apa, Bu?" tanya Vira.
"Takut ada ular, udah kamu jangan banyak tanya!" ucap Sinta lalu pergi meninggalkannya, padahal dari dalam gudang itu sangat jelas jika Vira mendengar suara tangisan bayi.
Rasa penasaran yang membuncah, Vira pun akhirnya kembali memastikan keadaan. Beruntung sekali ia tak melihat ada Sinta di rumah ini, Panji dan Jodi yang merupakan Kakak ipar Vira pun belum pulang dari perkebunan milik Sinta.
Sekarang Vira sudah sampai di depan pintu gudang, tetapi sayang sekali pintunya dikunci dengan gembok. Merasa kecewa akhirnya Vira pun keluar melalui pintu dapur, tampaklah sebuah kebun di belakang rumah Sinta yang lumayan luas dan dikelilingi tembok yang menjulang tinggi.
"Aneh sekali, Ibu bilang aku tak boleh menginjakkan kaki di area ini, karena takut ada ular. Tapi disini tak ada pohon besar ataupun semak-semak belukar. Apakah mungkin disini ada ular?" batin Vira.
Angin berhembus kencang sehingga membuat wajah dan tubuhku merasa segar, aku pun berjalan-jalan santai di area yang ditumbuhi rerumputan liar.
"Aaaak,"
Sampai tak lama, langkah kaki Vira terhenti sebab ia tersandung sebuah batu di tengah-tengah rerumputan. Vira pun merasakan sesuatu yang cukup janggal dengan gundukan tanah yang ia timpa. Pasalnya tanah itu terasa cukup lunak seolah di dalamnya ada sebuah rongga serta tercium bau busuk yang menyengat.
Vira tampak sangat kesulitan saat ingin berdiri karena perutnya yang sudah membesar diusia kehamilan menginjak sembilan bulan itu.
Tatapan Vira menyusuri lingkungan sekitar tempat ia berdiri. Bukan hanya aneh, tapi ditengah-tengah hamparan rerumputan seperti ini ada sebuah lahan yang tampak baru digali, masih merah dan gembur bentuknya memanjang seperti sebuah kuburan.
"Apakah mungkin ini makam manusia? Hsss, kenapa aku bisa berpikir sampai ke sana? Tapi bau ini..."
Dengan perasaan panik, Vira pun masuk kedalam rumah danmembersihkan diri sebelum ibu mertuanya itu melihatnya berada disini.
Rasa penasaran Vira belum juga hilang. Dengan berbagai kejanggalan yang ia rasakan selama beberapa hari tinggal di rumah ibu mertuanya. Vira semakin yakin bahwa ada yang tidak beres dan ada sesuatu yang disembunyikan oleh suami dan mertuanya itu dari dirinya.
Jauh di dalam pikiran Vira sebenarnya ia sudah melanglang buana menebak berbagai kemungkinan yang suaminya tutup-tutupi, termasuk makam manusia yang ada di halaman belakang rumah ini.
"Mas Panji?" sapa Vira pada suaminya.
"Iya, sayang?"
"Tadi saat aku berkeliling terus lewat depan pintu gudang aku gak sengaja dengar suara tangisan bayi? Itu suara bayi siapa ya, Mas?" tanya Vira.
Panji yang hendak terpejam pun membuka matanya kembali.
"Mungkin itu suara bayi tetangga," jawab Panji santai.
"Loh, bukannya rumah ini jauh dari tetangga ya, Mas?" Panji terkesiap dan membulatkan matanya, tetapi tak lama kemudian wajahnya kembali tenang.
"Emm, mungkin tadi ada orang yang lewat sama anaknya. Oh ya, lain kali kamu jangan main-main di area belakang apalagi sampai masuk kedalam gudang itu ya, sayang."
"Loh, memangnya kenapa Mas?" tanya Vira.
"Ya pokoknya jangan! Kamu kan alergi debu. Kalau nanti bersin berkepanjangan gimana? Kan kamu sendiri yang repot," jelas Panji sambil tersenyum.
Entah kenapa Vira merasa senyum itu seakan memberi isyarat bahwa ada yang tengah Panji sembunyikan dari dirinya. Aneh sekali, semakin Vira dilarang semakin juga ia dilanda penasaran.
"Sepertinya aku harus mencari tahu sendiri, sebenarnya apa yang Mas Panji sembunyikan di dalam gudang itu. Aku sangat yakin, suara bayi itu berasal dari dalam gudang bukan dari luar," batin Vira.
"Memangnya kenapa sih Mas aku gak boleh masuk ke dalam gudang? Aku cuma ingin tahu seluk beluk rumah ini. Lagian aku bosan, semenjak kita pindah kesini kamu belum pernah ajak aku jalan-jalan keluar," ucap Vira cemberut.
Vira memang baru satu minggu tinggal di desa ini, awalnya mereka tinggal di kota, tetapi karena permintaan Sinta yang menginginkan Vira melahirkan di desa ini akhirnya mereka pun pindah ke desa ini.
"Sudahlah, kamu jangan banyak tanya! Kamu itu lagi hamil, di desa ini kalau ada orang hamil banyak pantangannya. Jadi kamu nurut aja apa kata Mas ya!" ucap Panji panik sembari memejamkan matanya kembali.
"Terus tadi aku di halaman belakang nemuin gundukan tanah mirip kuburan, tanahnya juga masih merah. Itu kuburan atau bukan sih, Mas?" Kali ini Panji tampak terkejut seperti ketakutan.
"Bukan sayang, bukan. Disini mana ada kuburan? Mungkin itu kerjaannya Heri yang mengubur bangkai hewan disitu," ucap Panji.
Ia menyebut nama salah satu pegawai di rumah ini, tetapi rasanya semua pertanyaan Vira dijawab dengan asal-asalan oleh Panji, terlihat dari gelagatnya.
Malam ini Vira benar-benar tak bisa tidur, memikirkan dua hal aneh tadi siang. Akhirnya Vira menyibak selimut dan berjalan menuju dapur untuk mengambil air minum.
Di dapur ternyata ada Heri yang sedang menyeduh kopi.
"Eh, Pak Heri!" sapaku. Ia pun menoleh.
"Iya Non. Ada yang bisa saya bantu?" tanya lelaki itu dengan sopan.
"Emm, tidak Pak. Apa boleh saya bertanya?" Vira sangat penasaran apa yang sebenarnya disembunyikan suami dan keluarganya itu, mengingat tingkah laku mereka yang begitu aneh.
"Iya Non, boleh. Tanya saja!"
"Apa bapak habis mengubur sesuatu di halaman belakang?"
"Tidak Non. Saya tidak mengubur apa-apa, memangnya ada apa ya?"
Itu artinya ucapan Panji tadi tidak benar, lalu jika Heri tidak mengubur apa-apa, lantas apa yang terkubur di dalam sana? Kalau bangkai hewan, masa iya sebesar itu? Mirip seperti kuburan manusia?
"Tapi tadi kata Mas Panji, bapak loh yang mengubur bangkai hewan disitu? Tapi kok mirip kuburan ya, Pak?" tanya Vira menatap matanya.
Heri pun terkesiap, seperti ketakutan.
"Ii-iya, kemarin saya mengubur... Mengubur bangkai kucing Non, di halaman belakang," ujar Heri gelagapan.
"Bangkai kucing?" ucap Vira dengan tatapan menelisik.
"Iya, iya bangkai kucing. Saya ke depan dulu ya Non, permisi!" Heri pun keluar dengan terburu-buru. Entahlah, sepertinya ia berusaha menghindar dari tatapan Vira
Vira mungkin bodoh dalam hal pelajaran, tapi ia memiliki insting yang kuat. Sebab itulah Vira memilih berpura-pura tidak tahu saja, karena jika ia bertanya pun pasti semua orang di rumah ini tidak akan mau menjawabnya dengan jujur.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan Vira cari sendiri jawabannya secara diam-diam!
--
Vira duduk tercenung di kursi meja makan sembari memikirkan ucapan Panji dan Heri tadi malam yang hampir bertolak belakang. Tak berselang lama Sinta turun dari lantai atas lalu duduk di seberangnya.
"Anisa...," teriak Sinta memanggil Anisa yang merupakan asisten rumah tangga di rumah ini.
"Iya Nyonya, ada apa?" tanya Anisa yang baru saja datang.
"Buatkan saya teh manis hangat ya!"
"Baik Nyonya."
"Vira, kamu harus banyak gerak ya, untuk melancarkan persalinan. Kalau ibu dulu sering ngepel sambil jongkok, kamu juga harus gitu, jangan diam saja ya!" ucap Sinta.
Semenjak Vira dan Panji pindah kesini. Sinta memang terlihat begitu perhatian, terutama pada calon bayi mereka.
"Tehnya, Nyonya," ucap Anisa sembari meletakkan secangkir teh di hadapan Sinta.
Sinta mengangguk, lalu Anisa kembali ke belakang untuk melanjutkan pekerjaannya.
"Iya Bu, Vira juga sering ikut senam hamil kok."
"Nah, bagus itu. Hari ini Ibu ada urusan, kalau mau makan siang nanti bilang saja sama Anisa mau makan apa ya, biar dibuatkan, sepertinya nanti ibu pulang malam sama Jodi."
"Apa Mas Panji ikut, Bu?" tanya Vira.
"Iya nanti dia akan menyusul, katanya dia juga ada urusan bisnis yang nggak bisa ditunda."
"Oh iya Bu. Kalau gitu hati-hati ya."
"Sayang, aku ada urusan mendesak dan sepertinya aku akan pulang sangat larut jadi malam ini kamu tidak usah menungguku ya, kamu istirahat dulu saja," ucap Panji sambil mengecup kening Vira.
"Iya tidak apa-apa Mas, selesaikan saja dulu pekerjaanmu."
Vira mengantarkan kepergian Panji sampai ke depan pintu dengan senyuman. Setelah dirasa mereka semua telah luput dari jangkauan pandangannya ia pun berjalan masuk mencari Anisa.
"Mbak, aku ingin berkeliling sebentar menghirup udara segar di luar," ucap Vira.
"Iya, tapi jangan jauh-jauh ya, Non."
Vira pun kembali melangkahkan kakinya dengan perlahan. Ya kali ini tujuannya adalah tempat ia tersungkur sebelumnya, sebab rasa penasaran yang telah menguasai diri Vira, sudah tidak bisa ditahan lagi.
Kini Vira sudah sampai di gundukan tanah itu. Ia mencari ranting untuk menoreh tipis-tipis gundukan tanah tersebut.
"Hmm, busuk sekali, aku tidak kuat...uueek!"
Semakin dalam Vira menoreh semakin kuat pula bau tersebut menusuk hidungnya. Vira sampai menggunakan pakaiannya yang dilipat-lipat untuk menutupi hidung dari bau tersebut.
Mata Vira membulat sempurna, saat yang ia toreh bukan lagi tanah tetapi daging yang telah membusuk dan mudah terpisah dari tulangnya. Bahkan belatung-belatung juga menggunung tengah menggerogoti bangkai tersebut. Namun Vira masih belum yakin jika itu adalah mayat manusia.
"Aaarghh!"
Vira menjerit ketakutan, saat semakin memperluas torehannya menemukan bahwa yang ia gali adalah kepala manusia. Keringat dingin mulai bercucuran membasahi pakaiannya, gigi dan tangannya mulai bergetar hebat.
Sembari tersungkur ia menutup mulutnya yang menganga sambil terus berusaha menoreh hal yang ada dihadapannya.
Jadi gundukan tanah ini memang berisi mayat manusia? Tapi kenapa bisa berada disini? Sebenarnya apa yang terjadi pada mayat ini?
Monolog-monolog itu membuat Vira semakin terjerumus dalam ratusan pertanyaan dan teka-teki yang mengungkung benaknya. Perasaan takut dan gelisah pun mulai merasuki hati Vira.
"Apakah semua ini ada hubungannya dengan Mas Panji?" batin Vira.
Kini Vira kembali menutup bangkai tersebut menggunakan tanah dan cepat-cepat masuk ke dalam rumah sebelum anak buah Sinta melihat aksi nekatnya.
Saat Vira masuk ke dalam, rumah ini masih terlihat sepi belum ada tanda-tanda Sinta dan kedua anaknya pulang ke rumah.
Vira berusaha bersikap tenang seperti tidak terjadi apa-apa. Perlahan tapi pasti, ia bertekad akan menguak semua teka-teki yang ada dalam keluarga itu.
Di rumah memang ada Anisa, asisten rumah tangga di rumah itu. Tetapi wanita itu sangat gila hormat pada majikannya sehingga sangat kaku saat Vira ajak mengobrol.
Sore hari, langit tampak mendung gelap. Tetiba hujan pun turun dengan lebat disertai petir yang menyambar-nyambar. Suara gemuruh yang menggelegar membuat suasana sore menjelang malam menjadi mencekam. Ditambah angin yang berhembus sangat kencang menambah kesan ngeri.
Vira sedang mencari kunci pintu dapur diantara deretan laci kayu, karena angin bertiup sangat kencang membuat pintu dapur terbuka dan tertutup dengan sendirinya sehingga menimbulkan suara yang sangat mengganggu.
Mata Vira tertuju pada sebuah kunci yang menurutnya itu kunci gembok, sedangkan di rumah ini pintu yang menggunakan gembok hanya pintu gudang.
"Apa kuncinya sudah ketemu, Non?" tanya Anisa.
"Sudah Mbak, aku kunci dulu ya pintunya. Oh iya, Mbak Nisa bisa minta tolong beresin kamarku?" ucap Vira mengalihkan perhatian.
"Bisa Non, tapi hati-hati ya lantainya licin, jangan sampai terpeleset."
Vira menganggukkan kepala lalu berjalan ke arah belakang.
Dengan segera Vira mengunci pintu dapur, lalu berdiri di depan pintu gudang. Vira sangat penasaran, sebenarnya apa yang Panji sembunyikan di dalam ruangan ini? Kenapa bisa, di dalam sana ada suara tangisan bayi?
Setelah dirasa aman, Vira mulai memasukkan kunci ke dalam gembok. Dua kali memutar gembok itu akhirnya terbuka. Vira celingukan ke kanan dan kiri, takut saja jika ada anak buah Sinta yang melihatnya, Vira masuk kedalam gudang dan menutup pintu itu kembali.
Banyak lemari besar dan tinggi berjejer, serta ranjang dan kasur bekas memenuhi ruangan ini. Hawa dingin dan debu-debu beterbangan pun dapat kurasakan.
Bugh!... Bugh!... Bugh!...
"Tolong...!"
"Tolong...!"
"Tolong keluarkan aku dari sini!"
Jantung Vira berdebar sangat kencang, mencari sumber suara itu. Vira sudah memeriksa semua isi lemari tetapi tak ditemukannya perempuan yang menjerit tadi.
Vira bisa saja berteriak mencari keberadaan wanita itu tapi yang ia takutkan Anisa masuk kemari dan menemukan keberadaannya.
Bugh!... Bugh!... Bugh!...
Suara itu terdengar lagi tapi Vira tidak tahu dari mana sumber suara itu. Ia terus melangkah hingga merasakan sedikit getaran dari lantai yang dipijaknya.
Bugh!... Bugh!...
Suara pukulan itu terdengar lagi, dan Vira merasa suara itu berasal dari lantai yang dipijaknya. Saat tangan Vira meraba lantai semen itu tiba-tiba ia mendengar suara langkah kaki yang mendekat.
"Hei, siapa yang berani membuka pintu gudang ini, hah?!"
"Itu suara ibu mertua! Gawat, ibu bisa marah besar kalau dia tahu aku ada di dalam. Bagaimana pun juga aku tak ingin ada masalah dengannya," gumamnya.
Vira segera berjinjit dan masuk kedalam lemari besar untuk bersembunyi.
"Ayo, kalian cari siapa yang berani masuk ke dalam gudang ini!" seru Sinta dengan tegas.
Suara bising dan bunyi langkah kaki pun terdengar, orang-orang suruhan Sinta sedang menggeledah isi lemari. Jantung Vira berdegup sangat kencang, sebentar lagi cepat atau lambat ia pasti ketahuan.
"Bu, sepertinya kita harus memindahkan dia dari sini. Lihatlah dia terus memukul-mukul pintu, bikin orang-orang curiga saja!" ujar Jodi membuat Vira berpikir keras apa maksud dari perkataannya.
"Ya, kamu benar! Malam ini kita bawa dia dari sini," ucap Sinta.
Sebenarnya apa yang mereka sembunyikan?
Tiba-tiba pintu lemari terbuka. Nampaklah wajah Heri di depan mata Vira, nafasnya tertahan dengan mata melotot menatap wajah pria di depannya.
"Oh tuhan, aku sudah ketahuan."
Apa yang harus Vira lakukan sekarang? Badan Vira rasanya gemetar, sebentar lagi Heri pasti akan melapor pada Sinta jika Vira lah yang masuk ke dalam gudang ini secara diam-diam.
--
"Heri, bagaimana? Apa kamu menemukan seseorang yang masuk kesini?!" tanya Sinta dengan nada tegas.
Vira terpaku di tempatnya berdiri, sementara matanya tak berkedip menatap Heri. Untuk beberapa saat ia hanya berdiri mematung masih dengan ekspresi terkejut.
"Tidak ada, nyonya!" jawab Heri sembari menutup pintu lemari.
"Lalu siapa yang berani membuka pintu gudang ini tanpa perintahku, hah?"
"Maaf nyonya, ta-tadi saya yang buka," ucap Anisa terbata.
Akhirnya Vira bisa bernafas lega, Heri dan Anisa sudah menjadi penyelamat Vira kali ini. Tetapi, mengapa mereka melakukan itu?
"Apaa? Kamu ngapain masuk kedalam gudang!? Apa aku menyuruhmu, hah!?" bentak Sinta.
Sinta berteriak sangat lantang membuat tubuh Vira gemetar dan keringat bercucuran. Vira tak menyangka wanita yang selalu berlaku baik dan lemah lembut kepadanya itu memiliki kepribadian yang tegas dan pemarah.
"Maaf nyonya, tadi perempuan itu berteriak sangat kencang. Saya terpaksa masuk dan menenangkannya, tetapi tiba-tiba Non Vira memanggil, karena saya takut dia datang kemari jadi saya buru-buru menemuinya dan lupa mengunci pintu kembali. Maafkan saya, nyonya," jelas Anisa panjang lebar.
"Benar begitu? Apa kamu tidak berbohong?" tanya Sinta lagi.
Vira mengira jika Sinta adalah ibu mertua yang baik dan lemah lembut pada semua orang termasuk para pekerjanya, tapi ternyata ia hanya baik kepada orang-orang tertentu saja.
"Benar nyonya, saya tidak berbohong!" ucap Anisa menyakinkan.
Hawa lemari yang begitu sesak serta perutnya yang membuncit membuatnya sudah tidak tahan berlama-lama didalam lemari itu, apalagi betis Vira sudah terasa pegal saat ini.
"Baik, saya maafkan! Tapi lain kali kamu jangan ceroboh seperti ini! Saya tidak ingin ada orang luar tahu mengenai rahasia ini, termasuk menantu saya!"
"Baik, nyonya."
Akhirnya Vira bisa bernafas lega. Sinta sudah percaya, itu artinya sudah tak ada lagi orang yang menggeledah ruangan ini. Akhirnya Vira sudah aman. Tetapi apa maksud dari perkataan Sinta? Sebenarnya rahasia apa yang disembunyikan Sinta dari Vira?
"Lalu, dimana menantuku sekarang?" tanya Sinta lagi.
"Di kamar nyonya, sepertinya Non Vira sedang mandi," jawab Anisa.
Kenapa Anisa rela berbohong demi melindungi Vira? Ada apa ini sebenarnya?
"Hem, baiklah. Sekarang kita keluar dari sini dan jangan lupa kunci pintunya. Apapun yang terjadi jangan masuk ke gudang ini lagi tanpa seizinku," titah Sinta.
Kali ini Vira kembali menegang. Mereka semua akan keluar, lalu bagaimana dengannya? Bagaimana cara Vira keluar dari ruangan itu?
Terdengar suara langkah kaki kian menjauh serta suara pintu yang ditutup. Setelah itu, hening tak ada lagi suara yang terdengar.
Vira membuka pintu lemari untuk mengintip keadaan sekitar. Benar saja, Sinta dan yang lainnya sudah keluar. Vira hanya bisa berjalan mondar-mandir didepan pintu memikirkan bagaimana caranya ia bisa keluar dari ruangan itu.
Beruntung nasib baik masih berpihak padanya, diluar terdengar seseorang yang sedang membuka kunci gembok. Tak lama kemudian pintu pun terbuka secara perlahan dan nampaklah wajah Anisa dengan tatapan datar.
"Ayo cepat keluar, non!" titah Anisa pelan.
Vira hanya mengangguk lalu keluar dengan cepat tanpa banyak bertanya. Setelah itu ia segera masuk kedalam kamar, untuk berganti pakaian. Jangan sampai Sinta tahu atau bertanya, kenapa baju Vira penuh debu dan sarang laba-laba.
"Vira!"
Terdengar suara Sinta memanggil dibarengi dengan ketukan pintu.
"Iya, bu. Ada apa?" tanya Vira sembari membuka pintu.
"Sudah makan?" tanya Sinta.
"Belum bu. Ibu kapan pulang?"
"Baru saja, oh iya ibu bawakan makanan buat kamu. Itu ada di dapur, lagi disiapin sama Anisa. Nanti dihabiskan ya," ucap Sinta tersenyum ramah.
"Oh iya bu, terimakasih. Kita makan sama-sama saja gimana, bu?" ajak Vira.
"Tidak Vira, ibu sudah makan. Lagian banyak yang harus ibu kerjakan. Kamu makan sendiri saja ya!" jelas Sinta.
"Emm.... baiklah, bu."
Sinta bergegas pergi menuju kamarnya di lantai atas, sementara Vira ke dapur mencoba mendekati Anisa. Vira merasa jika wanita itu mengetahui apa rahasia yang disembunyikan keluarga itu darinya.
"Ini makanannya, non," ucap Anisa, seperti biasa ia sangat hormat dan kaku.
"Terimakasih, mbak."
Vira menatap ayam goreng madu kesukaannya dengan sambal tomat yang sudah tersaji di atas meja. Sementara Anisa berjalan menjauh.
"Tunggu, disini saja mbak. Temani saya makan ya!?"
"Iya, non." Anisa pun berbalik dan berdiri di sampingnya.
Vira menyuapkan ayam goreng itu kedalam mulutnya.
"Saya ingin bicara sesuatu denganmu, mbak!" ucap Vira dengan suara pelan.
Anisa tak menjawab hanya menatap Vira sekilas.
"Sebenarnya siapa wanita yang berteriak meminta pertolongan dari dalam gudang itu, mbak?" tanya Vira dengan suara pelan, sambil celingukan kearah dalam.
Namun, Anisa hanya diam. Dari ekspresi wajahnya, ia ingin menjawab tetapi dilanda keraguan. Berarti jelas sekali jika keluarga suami Vira memang menyembunyikan rahasia besar.
"Jawab saja singkat, mbak! Tidak perlu dijelaskan secara rinci!" bisik Vira lagi.
Anisa menggeser posisi agar lebih dekat dengan Vira.
"Kalau nona ingin tahu, malam ini nona jangan sampai tertidur! Tetapi semua orang harus mengira jika nona tertidur lelap. Dan jangan makan sampai habis ayam ini," bisik Anisa membuat Vira urung untuk menyuapkan makanan pemberian Sinta.
Vira terdiam memikirkan ucapan Anisa, bagaimanapun juga Vira harus faham tanpa harus dijelaskan secara rinci.
Anisa pasti dalam keadaan terdesak dan tidak bisa banyak bicara. Bisa juga ini menyangkut pekerjaan atau juga nyawanya. Sehingga ia terlihat sangat ketakutan dengan Sinta.
Apa yang harus Vira lakukan? Setelah ini pasti Sinta akan bertanya makanan yang ia bawa habis atau tidak. Harus Vira buang kemana makanan itu agar Sinta tak melihatnya?
"Jika nona ingin, saya bisa bantu membuang makanan ini dengan aman," bisik Anisa.
Vira kembali celingukan ke arah dalam, takut saja ada orang lain atau Sinta yang sedang memperhatikan. Dan saat keadaan aman, Vira pun menganggukkan kepala.
Segera Anisa mengambil sebuah kantong kresek berwarna hitam, menumpahkan daging ayam dan setengah porsi nasi itu kedalamnya. Lalu ia pergi keluar lewat pintu belakang.
Kini di hadapan Vira hanya ada setengah porsi nasi yang tersisa dan segelas teh hangat. Dan kali ini ia pun sama sekali tak berani meminum teh hangat itu.
"Wahh, ayamnya sudah habis. Kok nasinya nggak dihabisin?"
Vira tersentak kaget mendengar suara Sinta yang datang secara tiba-tiba dari belakangnya. Ia pun berusaha mengatur ekspresi agar terlihat biasa saja.
"Iya bu, abisnya ayamnya enak bumbunya juga meresap. Kalau aku habisin nasinya takutnya nanti ayamnya malah nggak habis jadi nasinya aku sisain setengah deh."
Sinta terkekeh sambil duduk dihadapan Vira.
"Iya juga sih, Ra. Hamil tua emang bawaannya pengen makan terus tetapi belum tentu juga kitanya kuat makan banyak."
Vira merasa akan menjadi menantu paling bahagia jika tak menemukan hal-hal aneh di rumah itu. Namun, sekarang ia malah merasa was-was atas semua kebaikan Sinta padanya, apalagi setelah melihat ada makam manusia di belakang rumah itu.
--
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!