NovelToon NovelToon

Hitam Putih Kehidupanku

Bab 1, Quinley

Hallo reader yang cantik ataupun yang tampan 😊.

Terima kasih banyak telah memilih novel yang berjudul Cintanya Julia untuk kamu baca. Semoga kamu menyukai novel keduaku ini, yang tentu saja masih belum sempurna. Mohon maaf bila ada kesalahan ketik, typo, EYD, dan lain - lain.

Tidak boleh lupa vote dan sarannya ya 🙂.

Silahkan tinggalkan jejak dengan mengklik like di bawah cerita setiap babnya 😊.

Kasih bintang lima ya 😊.

Kasih hadiah ya 😊.

Simpan di rak buku ya 😊.

Happy reading 🤗.

🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷

Di tengah keramaian kota London, terlihat sebuah bus yang terhenti di sebuah halte. Dari dalam bus itu, turunlah seorang wanita cantik kan menawan, dia adalah Quinley Aurora Brown. Dia berusia dua puluh dua tahun. Wanita dengan wajah cantik yang memiliki senyuman yang manis, bentuk tubuh yang sempurna dan sexy. Karena itu dia menjadi daya tarik jiwa setiap lelaki yang melihatnya. Selain mempunyai wajah yang cantik jelita, dia memiliki kepintaran. Dia salah satu lulusan teknik sipil Universitas Of Oxford dengan nilai yang sangat memuaskan.

Dia selama ini hidup dengan ibunya di wilayah Chelsea. Sejak dilahirkan, Quinley tidak pernah melihat ayahnya karena ayahnya meninggal dunia akibat sebuah tragedi kecelakaan ketika dia masih berada di dalam kandungan ibunya. Quinley dibesarkan oleh ibunya dengan rasa kasih sayang yang melimpah sampai dia beranjak dewasa dan tumbuh menjadi seorang wanita yang cantik, memiliki kepribadian yang baik, penyemangat dan cerdas. Meski dia tidak pernah merasakan kehadiran seorang ayah, dia tidak pernah merasa sedih bahkan putus asa dalam menjalankan kehidupannya.

Di usianya yang sudah dewasa, Quinley pun memutuskan untuk kuliah di University Of Oxford karena dia telah mendapatkan beasiswa full dari universitas tersebut. Sejak dia menempuh pendidikan di sekolah dasar, dia selalu mendapatkan beasiswa sehingga dia bisa menabung. Dari tabungannya, dia bisa menyewa sebuah kamar saat dia kuliah di Oxford. Setelah lulus dari University Of Oxford, Quinley meminta izin sama ibunya untuk bekerja di ibukota. Karena keteguhan hatinya yang kuat, ibunya tidak bisa menahan kehendak Quinley sehingga ibunya mengizinkan Quinley untuk mengadu nasib di ibukota.

Semenjak dia merantau ke ibukota, Quinley terus berusaha keras untuk membuat hidupnya lebih berarti. Tanpa rasa lelah dan jenuh, Quinley berusaha mencari pekerjaan yang sesuai dengan ijazah yang telah dia tempuh di University Of Oxford. Sejak dia berada di ibukota, dia ngekost. Dalam waktu yang cepat, Quinley mendapatkan pekerjaan sebagai drafter di staff bagian konstruksi di sebuah perusahaan kontraktor dan design yang terkenal. Sudah dua minggu lebih Quinley bekerja di perusahaan itu. Saat ini Quinley melangkahkan kaki mulusnya yang tanpa lemak menuju ke sebuah gedung perkantoran untuk bekerja.

Menyusuri pekarangan gedung PT. Glory Construction And Design. Melewati taman dan parkiran VVIP hingga melewati teras lobby tower itu. Masuk ke dalam lobby gedung pencakar langit itu melewati pintu yang berputar. Tersenyum sopan sambil menganggukan kepalanya ke orang yang berpas-pasan dengan dirinya. Berjalan menyusuri lobby sehingga menghentikan langkah kakinya di depan salah satu pintu lift. Selama perjalanannya dari kamar kos-kosannya yang dia sewa sampai di depan salah satu pintu lift, ada beberapa pria menatap takjub, menatap terpesona dan menatap nakal melihat dirinya yang memakai setelan blazer hitam dan rok pensil warna hitam di bawah lutut tanpa sepengetahuan dirinya.

Memencet tombol panah ke atas yang berada di sisi kanan pintu lift. Melihat jam tangan di pergelangan tangan kanannya yang menunjukkan pukul 07.35 pagi. Dia merasakan handphone miliknya bergetar. Membuka resleting tas jinjingnya. Mengambil ponsel miliknya. Tersenyum senang melihat tulisan Mommy di layar handphonenya. Memencet tombol hijau untuk menjawab panggilan telepon itu. Mendekatkan benda yang bentuknya seperti balok ke telinga kirinya.

"Hallo Mom!" sapa Quinley ceria.

"Hallo Sayangnya Mommy," ucap ibunya Quinley yang bernama Quinna dengan nada suara yang ceria.

"Ada apa Mom?"

"Mommy sangat merindukanmu Sayang."

"Baiklah, besok pagi aku pulang ke rumah."

"Ok, Mommy tunggu Sayang. Kebetulan sekali, besok pagi Paman Sam datang ke rumah."

"Wah asyik dong, besok Paman Sam mau datang ke rumah. Sudah lama sekali, aku tidak bertemu dengannya. Aku sangat merindukan Paman, Mom."

"Makanya kamu besok pagi harus pulang."

"Kalau begitu nanti malam aja, aku pulang ke rumah."

"Ok Sayang. Udah dulu ya, Mommy mau belanja. Selamat bekerja anak Mommy yang cantik dan pintar mmmuuaaahhh, semangat!" ucap Quinna semangat.

"Baik Mommy, mmmuuuaaahhh."

Tak lama kemudian sambungan telepon itu terputus. Quinley menjauhkan handphone itu dari telinga kirinya. Menaruh handphone itu di dalam tas jinjingnya. Menutup resleting tas jinjingnya. Quinley melihat beberapa tombol yang berada di atas pintu lift. Dia menelisik tombol-tombol itu sambil memicingkan matanya. Tiba-tiba Quinley merasakan tepukan pelan di bahu kirinya. Dia menoleh ke orang yang yang telah menepuknya. Dia melihat sosok teman kerjanya yang satu divisi. Seorang pria yang rupawan dan memiliki tubuh yang atletis.

"Hai Quin!" sapa orang itu dengan ramah.

"Hai juga Bertand," ucap Quinley dengan ramah.

"Ini untuk kamu," ucap Bertand sambil memberikan sebuah tumbler ke Quinley.

"Terima kasih, ini apa?" ucap Quinley senang sambil mengambil tumbler dari Bertand.

"Kopi," jawab Bertand senang.

"Wah ... aku senang sekali bisa minum kopi pagi ini tanpa harus membuatnya, makasih banyak ya," ucap Quinley senang. "Kok kamu tahu aku suka minum kopi?" tanya Quinley sambil menoleh ke Bertand.

"Aku kan suka memperhatikan kamu sering bikin kopi dipantry. Oh ya, cupcake yang kemarin, kamu beli di mana? Rasanya enak sekali."

"Aku bikin sendiri."

"Wah, kamu keren sekali bisa bikin kue yang enak banget. Boleh dong aku pesan kue ke kamu?"

"Tentu boleh dong," ucap Quinley sambil membuka tutup tumbler.

"Sepertinya liftnya rusak," ujar Bertand sambil memperhatikan tombol-tombol yang berada di atas pintu lift.

"Iya, kayaknya rusak," samber Quinley setelah menyesap kopinya.

Ting!

Lift berbunyi dan pintu lift di sebelah kebuka. Bertand dan Quinley berjalan ke lift yang pintunya sudah kebuka. Ketika mereka akan masuk ke dalam lift, Bertand menarik pergelangan tangan kirinya Quinley. Quinley menoleh ke Bertand yang sedang menatap ke dua orang yang berada di dalam lift. Quinley mengikuti arah pandang Bertand. Quinley melihat ada dua orang lelaki yang belum dia kenal. Masih belum banyak yang Quinley kenal, hanya orang-orang yang satu divisi di bagian konstruksi karena baru dua minggu dia bekerja di PT. Glory Construction And Design.

Quinley terpesona dengan orang yang berada di pojok kanan lift, seorang pria yang memiliki wajah paripurna, sepasang bola mata berwarna biru, rahang yang tegas dan bulu-bulu halus di rahang mukanya. Gelayar lembut menelusup ke rongga relung hatinya Quinley. Detak jantungnya Quinley tak beraturan. Baru kali ini dia merasakan seperti itu. Sepasang mata biru pria itu telah mengunci tatapan matanya Quinley yang berbinar-binar.

"Silakan masuk, dua lift sedang di service dan diperbaiki. Ayo masuk, kita sama-sama naik," ucap pria yang telah mengambil hatinya Quinley dengan suara yang berat dan dalam.

Dari suara barito pria itu menguar aroma kekuasaan. Tiba-tiba Bertand menarik pergelangan tangan kirinya Quinley. Mereka masuk ke dalam lift bersama para pegawai yang lain. Desakan orang yang masuk ke dalam lift telah mendorong Quinley ke hadapan pria bermata biru itu dan melepaskan pegangan Bertand yang berada di pergelangan tangan kirinya Quinley. Seketika Quinley mencium aroma sandalwood yang maskulin dari tubuh pria bermata biru itu sehingga membuat Quinley terlena dan menumpahkan minuman kopi yang dia pegang ke telapak tangan dan jas kerja pria itu.

"Auwww!" pekik pria itu spontan karena kepanasan sambil menghempaskan telapak tangannya yang terkena kopi.

"Oppss, maaf. Saya tidak sengaja," ucap Quinley sambil mengambil telapak tangan pria itu, lalu meniupnya supaya rasa panasnya hilang.

"Makanya jadi orang harus hati - hati!" umpat pria itu dengan nada suara yang mengeluarkan aura kekuasaan sambil menangkap pergelangan tangan kirinya Quinley, lalu mencengkeram kuat pergelangan tangan kirinya Quinley sehingga Quinley menoleh kepadanya. "Siapa nama kamu?" lanjut pria itu sambil menatap tajam ke matanya Quinley yang memancarkan ketakutan.

"Quin — ley," jawab Quinley takut.

......🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷......

Bab 2, Albern

Lelaki yang sedang berdiri di hadapan Quinley sambil memegang erat pergelangan tangannya kiri Quinley dan menatap tajam ke bola mata Quinley yang berwarna hijau. Menelisik wajah cantiknya Quinley yang memiliki hidung yang mancung, bibir yang merekah dan dagu yang lancip. Lelaki itu bernama Albern Cedric Smith. Al, nama panggilannya. Hanya dari nama marga keluarganya sebagian orang - orang di negara Inggris pasti mengenalnya. Smith adalah sebuah nama marga keluarga yang sangat terpandang di United Kingdom. Smith merupakan nama marga keluarga dari papinya.

Pria yang sudah berusia tiga puluh tiga tahun itu tumbuh menjadi seorang pria tampan yang hebat dan digilai semua kaum hawa. Bahkan dia merupakan seorang casanova yang tampan karena banyak sekali para wanita yang ingin berhubungan intim dengannya sehingga membuat ayahnya khawatir dengan kehidupan free seks dirinya. Seorang pria yang memiliki wajah yang paripurna, memiliki sepasang mata berwarna biru, bibir yang tipis, garis rahang muka yang tegas, memiliki postur tubuh yang proporsional dan tinggi badan 180 sentimeter.

Selain mempunyai wajah yang tampan, dia juga memiliki kecerdasan dan bakat alami dalam dunia bisnis sehingga dia lulus dengan predikat suma cumlaude dari Universitas Cambridge jurusan manajemen bisnis dan arsitektur di usia muda. Kemampuannya dalam berbisnis tentu saja menurun dari papinya. Dia adalah pendiri, pemilik dan seorang CEO dari sebuah perusahaan yang bernama PT. Glory Construction And Design. Kekuasaan, kejayaan, kekayaan dan bahkan wibawa seorang pemimpin melekat di dalam dirinya.

Namun dibalik kesuksesannya, Albern mengalami kesedihan yang amat terdalam sehingga timbul rasa benci dan rasa ingin membalas dendam. Dari cerita pamannya, dulu Albern pernah merasakan memiliki keluarga yang sempurna nan harmonis. Ayahnya yang sangat mencintai dan menyayangi ibunya, begitu juga sebaliknya. Mereka saling menyayangi satu sama yang lainnya. Tapi itu hanya berlangsung sebentar. Saat usia dirinya menginjak dua belas tahun, ayahnya selingkuh dengan mantan kekasihnya. Mantan kekasih ayahnya merupakan seorang penjual kue di wilayah Chelsea.

Kenyataan yang sangat pahit membuat kehidupan keluarganya maupun dirinya berubah drastis. Ayahnya tidak pernah memperhatikan keluarganya dan jarang pulang ke rumah untuk melanjutkan kisah asmara terlarang mereka dan tinggal bersama kekasihnya. Namun sungguh naas kisah asmara terselubung antara ayahnya dengan kekasih ayahnya. Hubungan mereka ketahuan publik sehingga ibunya melabrak kekasih ayahnya. Setelah melabrak kekasih ayahnya, ibunya mengalami kecelakaan tunggal di jalan raya sehingga mengakibatkan ibunya meninggal dunia di tempat kejadian.

Berita buruk itu tersebar luas seantero dunia dengan cepat, secara ibunya merupakan seorang artis terkenal di London dan seorang istri dari seorang pengusaha yang sukses. Berita itu telah membuat keluarganya hancur berkeping - keping bagaikan pecahan kaca. Sejak itu ayahnya Albern jadi semakin menggila. Ayahnya jarang pulang ke rumah karena menyibukkan dirinya dengan pekerjaan di perusahaan kakeknya dan semakin cuek dengan kehidupan dia dan adiknya. Ayahnya malah sering pergi ke kota Chelsea untuk menemui kekasih gelapnya.

Semua itu membuat Albern muak dan benci sehingga dia tidak mempercayai arti dari sebuah cinta dan membenci kekasih ayahnya yang bernama Quinza Patricia Johnson. Baginya cinta adalah kebohongan. Bilang cinta namun dibalik kata cinta itu ada sebuah pengkhianatan yang menusuk dari belakang. Sungguh jijik dengan arti kata cinta. Dari dampak kata sebuah cinta itu meleburkan kekacauan yang telah terjadi kepada keluarganya. Karena itulah dia tidak pernah jatuh cinta dan suka gonta-ganti wanita.

Kringgg ... Kringgg ... Kringgg .... Bunyi dering dari smartphone milik Albern yang telah melepaskan genggaman Albern dari pergelangan tangan kirinya Quinley. Albern membuka kancing jas kerjanya. Mengambil smartphone miliknya yang berada di dalam saku jas kerjanya. Tersenyum kecut melihat nomor ayahnya di layar smartphone miliknya. Mau tak mau, dia menggeser ikon hijau untuk menjawab panggilan telepon itu. Mendekatkan benda persegi panjang itu ke telinga kirinya.

"Hallo, ada apa Dad?" tanya Albern datar.

"Besok pagi ikut Daddy ke Chelsea," jawab ayahnya Albern yang bernama Samuel Cedric Smith.

"Ngapain aku ke sana?"

"Untuk bersilaturahmi dengan Tante Quinza."

"Aku nggak mau menemui wanita itu Dad!" ucap Albern kesal.

"Sudah Daddy bilang berkali-kali, bahwa Tante Quinza bukan selingkuhan Daddy! Daddy tidak pernah menyelingkuhi Mommy kamu!!!" bentak Samuel.

Tanpa basa-basi lagi, Albern menjauhkan benda pipih itu dari telinga kirinya. Menggeser ikon merah untuk memutuskan sambungan telepon itu. Menaruhnya di tempat semula. Albern menoleh ke Quinley yang sedang menundukkan kepalanya. Albern menarik sudut bibirnya melihat Quinley yang sedang salah tingkah. Albern berniat menjadikan Quinley sebagai mainannya.

Ting!

Bunyi detingan lift yang menandakan pintu lift kebuka. Beberapa karyawan keluar dari dalam lift. Bertand melihat tombol angka 5 menyala, lalu dia menyenggol pinggangnya Quinley untuk memberitahu bahwa Quinley dan dirinya harus keluar dari dalam lift. Spontan Quinley membalikkan badannya. Bertand menarik pergelangan tangan kirinya Quinley, lalu mengajaknya keluar dari dalam lift melalui pintu lift yang kebuka.

"Kenapa Bos marah kepadamu? " tanya Bertand kepo setelah mereka keluar dari dalam lift.

"Aku nggak sengaja menumpahkan kopi ke jasnya, memangnya dia bos kita?" ucap Quinley sambil menyusuri sebuah ruangan yang luas.

"Iya, dia itu pendiri, pemilik dan CEO dari perusahaan ini. Semoga dia tidak memperpanjang masalah ini. Kamu sudah minta maaf ke dia?"

"Udah, tadi aku langsung minta maaf," ucap Quinley lesu.

"Selamat pagi Bu," sapa Bertand ramah ketika melihat atasnya sedang berjalan menghampiri mereka.

"Selamat pagi Bu Beatrix," sapa Quinley sopan.

"Selamat pagi semuanya," ucap Beatrix ramah sambil menghentikan langkah kakinya. "Perincian logistik dan konstruksi untuk proyek di Sunderland sudah jadi?"

"Sudah Bu," jawab Bertand dan Quinley kompak.

"Bagus, tolong berkasnya taruh di meja kerja saya, mau saya pelajari dulu,"

"Baik Bu," ucap Bertand dan Quinley serempak.

Tak lama kemudian Beatrix melanjutkan langkah kakinya ke pantry. Sedangkan Quinley dan Bertand melanjutkan langkah kakinya menuju ke meja kerja mereka masing-masing. Quinley menaruh tumbler di atas meja kerja dan tas jinjingnya di atas kursi kerjanya. Mengambil berkas proyek di Sunderland. Membalikkan tubuhnya, lalu melangkahkan kakinya menuju ke ruang kerjanya Bu Beatrix yang merupakan seorang proyek manajer di Sunderland. Menghentikan langkah kakinya di depan ruangan Beatrix.

"Ayo masuk!" ajak Bu Beatrix ramah sambil berjalan melewati dirinya.

Tak lama kemudian Quinley masuk ke dalam ruang kerjanya Beatrix. Mengikuti langkah kakinya Beatrix. Quinley menghentikan langkah kakinya ketika Beatrix menaruh cangkir kopinya di atas meja kerjanya. Beatrix membalikkan tubuhnya. Quinley memberikan berkas yang tadi dia bawa ke Beatrix. Beatrix menerimanya, lalu membuka map berkas itu. Menelisik isi dari lembar pertama berkas itu.

Kringgg ... kringgg ... kringgg .... Bunyi dering dari pesawat telepon yang menandakan ada panggilan interkom. Beatrix menutup map berkas itu, lalu menaruh berkas itu di atas meja kerjanya. Mengerutkan keningnya ketika melihat nomor interkom dari asisten pribadi CEO perusahaan. Mengambil gagang pesawat telepon itu. Mendekatkan benda itu ke telinga kirinya.

"Hallo selamat pagi Tuan Noah, ada yang bisa saya bantu?" ucap Beatrix sopan.

"Suruh Quinley menghadap ke Tuan Albern!" titah Noah yang tak bisa dibantah.

"Baik Tuan Noah."

Tak lama kemudian sambungan interkom itu terputus. Beatrix menjauhkan benda itu dari telinga kirinya, menaruh benda itu di tempat semula. Beatrix menoleh ke Quinley. Beatrix mengerutkan keningnya ketika melihat wajah innocentnya Quinley. Beatrix nggak habis pikir kenapa Quinley harus menemui Albern pada pagi ini. Beatrix menepuk bahu kanannya Quinley dengan pelan.

"Kamu disuruh menghadap ke Tuan Albern," ucap Beatrix ramah.

"Memangnya kenapa Bu, saya disuruh menghadap ke Tuan Albern?" tanya Quinley polos.

"Saya tidak tahu, saya juga bingung kenapa kamu disuruh menemui Tuan Albern, kamu ada masalah apa dengan Tuan Albern?"

"Tadi pagi aku nggak sengaja menumpahkan kopi ke jasnya. Tapi, tadi aku langsung meminta maaf ke dia, Bu," ucap Quinley lemas.

"Ya udah sebaiknya kamu datang ke sana, semoga Tuan Albern tidak mempermasalahkan itu ke kamu," ucap Beatrix bijak sambil mengelus bahu kanannya Quinley.

"Baik Bu. Di lantai berapa, ruang kerjanya Tuan Albern?"

"Di lantai 10, letaknya di ujung lorong lantai 10."

 Saya permisi dulu."

"Iya."

Tak lama kemudian kemudian Quinley membalikkan tubuhnya. Melangkahkan kakinya menuju ke pintu ruang kerjanya Beatrix. Berjalan melewati pintu yang masih kebuka, lalu mengarahkan langkah kakinya ke lift. Quinley menghentikan langkah kakinya di hadapan Bertand yang sedang tersenyum manis ke dirinya. Quinley membalasnya dengan senyuman yang sopan.

"Kamu mau ke mana?" tanya Bertand penasaran karena Quinley berjalan ke arah lift.

"Aku mau ke ruangan Tuan Albern."

Bab 3, Mainan seksku

"Mainan seksku yang baru akan segera tiba," gumam Albern bermonolog yang sedang memperhatikan Quinley dari laptopnya yang tersambung dengan kamera CCTV.

Saat ini Albern melihat Quinley yang sedang menyusuri lorong di lantai 10. Lorong yang berlantaikan marmer. Sisi kanan kiri lorong dihiasi dengan beberapa lukisan yang indah. Quinley terpana melihat lukisan-lukisan itu. Quinley menghentikan langkah kakinya di depan sebuah ruangan yang berada di ujung lorong lantai 10. Celingak-celinguk melihat sekitarnya yang masih sangat sepi.

Dia beberapa kali mengetuk pintu yang terbuat dari kayu jati. Dia membungkukan badannya, lalu mendekatkan daun telinga kanannya ke daun pintu. Samar-samar dia mendengar langkah orang. Dia menjauhkan telinganya, lalu berdiri tegak. Tak lama kemudian pintu ke buka. Quinley terpesona melihat sosok yang telah memporak-porandakan dirinya pagi ini.

"Silakan masuk!" ucap Albern datar.

"Iya Tuan."

Sedetik kemudian Quinley masuk ke dalam. Pintu itu ditutup oleh Albern. Albern mengikuti langkah kakinya Quinley. Melihat benda sintal yang bulat milik Quinley bergerak dengan indahnya di mata Albern sehingga membuat Albern membayangkan benda itu bergerak di atas tubuhnya. Seketika Albern tersenyum smirk memikirkan itu. Albern menarik pergelangan tangan kanannya Quinley, lalu menariknya untuk membalikkan tubuhnya Quinley.

Saat ini tubuh mereka berdempetan. Quinley merasakan hembusan nafasnya Albern. Detak jantungnya Quinley bertambah cepat. Gelayar lembut itu kembali menelusuri rongga hatinya Quinley. Albern menatap bola mata berwarna hijau milik Quinley yang berbinar-binar dengan intens. Tak sengaja jemari tangan kirinya Quinley menyentuh benda pusaka milik Albern sehingga membuat benda itu menegang.

Albern merasakan sesak di bawah sana. Albern menghembuskan nafasnya dengan berat karena sedang menahan hawa nafsunya. Albern memiringkan wajahnya sambil memeluk pinggang rampingnya Quinley. Quinley tahu bahasa tubuhnya Albern yang hendak ingin mencium dirinya. Quinley juga merasakan detakan jantungnya bertambah cepat dan merasakan gelayar lembut itu membuncah.

Kringgg ... kringgg ... kringgg .... Smartphone milik Albern berbunyi yang membuat Albern berdecak lidah karena dia tidak bisa menyicipin tubuhnya Quinley. Albern menegakkan kepalanya sambil melepaskan pelukannya. Menjauh dari tubuhnya Quinley. Quinley membuka matanya. Melangkahkan kakinya menuju ke meja kerjanya. Quinley membalikkan tubuhnya, lalu melihat Albern yang sedang mengambil smartphone milik Albern di atas meja kerja. Albern mendekatkan benda pipih itu ke telinga kirinya.

"Hallo Max, ada apa?" ucap Albern datar.

"Hallo Dud, besok malam ikut rapat di tempat biasa."

"Rapat tentang apa?"

"Pembangunan markas baru."

"Jam berapa?"

"Jam 10 malam."

"Ok."

Tak lama kemudian sambungan telepon itu terputus. Albern menjauhkan benda pipih itu dari telinga kirinya. Meletakkan smartphone miliknya di atas meja kerja. Albern melangkahkan kakinya ke sebuah lemari. Membuka salah satu pintu lemari itu, lalu mengambil sebuah jas berwarna hitam. Menutup pintu lemari itu. Melanjutkan langkah kakinya menghampiri Quinley yang masih terpana dengan sosoknya Albern. Albern menghentikan langkah kakinya di hadapan Quinley.

"Kamu harus memakaikan saya jas ini, karena kamu telah mengotori jas saya yang tadi kena tumpahan kopimu," ucap Albern sambil memberikan jas itu ke Quinley.

"Baik Tuan, " ucap Quinley senang.

Sedetik kemudian Quinley memakaikan jas itu keb tubuh atletisnya Albern. Merapikan jas yang kelihatan sangat pas di badan kekarnya Albern. Mengancingkan jas yang sudah dipakai oleh Albern. Albern menggenggam telapak tangan kanannya Quinley sehingga membuat Quinley salah tingkah. Quinley menundukkan kepalanya karena malu. Albern menarik dagunya Quinley dengan lembut.

"Besok malam kita pergi ke club yuk!" ajak Albern.

"Maaf Tuan, aku nggak bisa ikut."

"Kenapa?"

"Aku mau pergi ke luar kota."

Tok ... tok ... tok ...

"Masuk!"

Sedetik kemudian pintu ruang kerjanya Albern terbuka. Noah, sang asisten pribadinya Albern masuk ke dalam ruangan itu. Berjalan menghampiri Albern dan juga Quinley. Memberikan sebuah map berkas ke Albern. Albern menerimanya, lalu membukanya. Membaca dengan seksama. Quinley memundurkan langkah kakinya.

"Tuan, saya permisi dulu," ucap Quinley sopan.

Sontak Albern menoleh ke Quinley, lalu berujar, "Iya, terima kasih sudah memakaikan jas."

"Sama-sama Tuan."

Tak lama kemudian Quinley membalikkan tubuhnya. Melangkahkan kakinya menuju ke pintu yang masih terbuka. Berjalan melewati pintu, lalu menutup pintu itu. Menyusuri lorong di lantai 10. Melangkah menuju ke lift. Menghentikan langkah kakinya di depan salah satu lift. Memencet tombol panah ke atas yang berada di sisi kanan pintu lift.

Ting!

"Hah, ada Ber?" ucap Quinley sedikit kikuk ketika pintu lift kebuka dan melihat Bertand ada di dalam lift. Quinley masuk ke dalam lift, lalu berucap, "Kamu mau ke mana?"

"Aku mau ke lantai satu, aku salah masuk lift. Seharus masuk lift yang ke bawah, bukan yang ke atas. Kamu habis diapain sama Tuan Albern? Apakah dia masih marah?" tanya Bertand sambil menoleh ke Quinley.

"Dia hanya menyuruhku untuk memakaikan jas," jawab Quinley sambil menekan tombol angka 4.

"Kamu harus hati-hati sama dia."

"Memangnya kenapa dia?"

"Dia itu penjahat kelamin, kamu jangan sampai menjadi budak seksnya," ujar Bertand serius.

"Ah masa sich?" tanya Quinley antara percaya dan tidak percaya.

"Iya, itu memang faktanya."

Benar juga apa yang telah diucapkan oleh Bertand, tadi aja Tuan Albern mau menciumku padahal kami bukan sepasang kekasih.

Batin Quinley.

Ting!

Bunyi detingan lift telah membuyarkan keheningan di antara mereka. Seketika pintu lift kebuka. Quinley mengarahkan kepalanya untuk melihat tombol mana yang menyala. Sekilas dia melihat tombol angka 4 menyala. Quinley keluar dari dalam lift. Berjalan menyusuri ruangan divisi sipil. Sekilas dia mendengar keributan di dalam ruang kerjanya Beatrix. Dia mempercepat langkah kakinya menuju ke sumber suara. Quinley menghentikan langkah kakinya diambang pintu.

"Dasar nggak becus!" bentak seorang wanita muda sambil melemparkan sebuah berkas ke wajahnya Beatrix.

"Hey! Anda harus sopan dong!" ucap Quinley marah sambil berjalan menghampiri Beatrix.

Wanita itu langsung menoleh ke Quinley, lalu berucap dengan kemarahan, "Kamu siapa!? Lancang sekali kamu!! Dasar wanita nggak punya etika!!"

Plak

Sebuah tamparan mendarat di pipi kanannya Quinley. Sontak Quinley mengelus pipinya. Wanita itu tersenyum remeh ke Quinley sambil berkacak pinggang. Sedetik kemudian, wanita itu melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu. Tak lama kemudian, Quinley menjongkokan tubuhnya untuk membantu Beatrix membereskan berkas yang berhamburan si atas lantai, lalu memberikannya ke Beatrix.

"Terima kasih," lirih Beatrix sambil menerima beberapa kertas dari Quinley.

"Bu, nona tadi siapa?" tanya Quinley sambil menoleh ke Beatrix.

"Nona Queen, dia direktur konstruksi sekaligus kekasihnya Tuan Albern," jawab Beatrix sambil beranjak berdiri.

Quinley kecewa mendengar ucapan Beatrix tadi. Quinley beranjak berdiri ketika Beatrix melangkahkan kakinya menghampiri meja kerjanya. Quinley membalikkan tubuhnya, lalu melangkahkan kakinya menuju ke meja kerjanya. Keluar dari ruangan itu melalui pintu yang masih terbuka, lalu menutup pintu itu. Melanjutkan langkah kakinya melewati beberapa kubikel para karyawan. Gerak-gerik Quinley diperhatikan oleh Albern melalui laptopnya yang tersambung oleh rekaman CCTV di ruang kerjanya Quinley. Albern menaikan salah satu sudut bibirnya ketika memperhatikan Quinley.

"Noah, kamu selidiki Quinley!" titah Albern.

"Baik Tuan."

"Usahakan tiga hari dari sekarang, sudah ada laporan yang lengkap tentang gadis itu."

"Baik Tuan."

"Hallo Sayang!" sapa Queen ceria sambil berjalan masuk ke dalam ruang kerjanya Albern.

Sontak Albern menoleh ke Queen, lalu berujar datar, "Biasakan ketuk pintu dulu sebelum masuk ke sini."

"Maaf Sayang," ucap Queen sambil berjalan menghampiri Albern.

"Untuk apa kamu ke sini?" tanya Albern datar ketika Queen menghentikan langkah kakinya di samping Albern.

"Untuk menemui kekasih pujaan hatiku," ucap Queen manja sambil menduduki tubuhnya di atas pangkuan Albern.

"Aku bukan kekasihmu."

"Tapi kamu sangat menikmati diriku," bisik Queen sensual.

"Saya permisi dulu Tuan," ucap Noah sopan.

"Jam berapa Tuan Felix datang ke sini?"

"Jam sepuluh pagi Tuan."

"Panggil Chelia ke sini!" perintah Albern.

"Baik Tuan," ucap Noah, lalu dia membalikkan badannya dan melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu.

"Mau ngapain dia ke sini?" tanya Queen sedikit kecewa sambil menggoyangkan pinggulnya.

"Jangan bergerak seperti itu, aku mau kerja dulu," ucap Albern tegas sambil mendorong dadanya Queen.

"Sayang, nanti malam aku ke rumah kamu ya?"

"Jangan panggil aku Sayang, aku bukan kekasihmu, kamu hanya mainan seksku!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!