Pagi ini, Erga terlihat begitu sangat tampan. Ia duduk di kursi kebesarannya menunggu sang pujaan hati yang sebentar lagi pasti akan masuk ke ruangannya dengan membawakan laporan pekerjaan yang sudah diselesaikannya. Kekasihnya adalah sekretarisnya. Seorang janda bernama Nadine Alinka.
Pintu ruangan terbuka, terihat wanita berpostur tubuh sempurna, seksi dan setiap hari menambah gairah bagi Erga saat melihatnya.
“Pagi, Sayang?” sapa Nadin dengan mesra lalu meletakkan beberapa map yang berisi laporan di meja Erga.
“Pagi juga calon istriku, Sayang?” jawab Erga. “Sini aku ingin memelukmu, aku merindukanmu, Sayang.” Erga menarik tangan Nadin, lalu membawanya ke pelukannya, dan memangku Nadin. Ia mencumbunya dengan penuh gairah.
“Wangi sekali tubuhmu, Sayang,” ucap Erga.
“Erga ... please ... jangan begini, ini ditanda tangani dulu, Sayang?” ucap Nadin dengan menahan hasrat yang semakin tinggi karena sentuhan dari Erga.
“Aku tahu kamu juga ingin, Sayang? Kemarilah, pagi ini kita senang-senang seperti biasa,” pinta Erga yang sudah tidak tahan dengan nafsunya.
Mau bagaimana lagi, Nadin hanya bisa pasrah dengan perbuatan Erga, yang pasti setiap pagi selalu meminta jatah di kantor. Tidak perlu lama-lama, Erga langsung menyingkap rok Nadine hingga terlihat bongkahan seksi milik Nadine. Mereka melakukannya sampai selesai pelepasan, dan merasa puas.
“Kau hebat, Sayang. Aku semakin mencintaimu,” ucap Erga.
“Aku juga mencintaimu,” jawab Nadine.
“Kapan aku bisa menikahimu? Apa Maya sudah selesai kuliahnya?” tanya Erga.
“Maya sudah selesai, sebentar lagi dia Wisuda. Dia minta kamu juga datang ke Wisudanya, bagaimana? Sudah siap menjadi Daddy nya Maya?” jawaban Nadine membuat Erga merasa bahagia dan dihargai sebagai laki-laki, juga sebagai ayah, apalagi Maya yang terlihat cuek saat tahu dia menjadi kekasih Mommy nya, malah sekarang meminta dirinya untuk hadir di acara wisudanya.
Memang saat mengetahui Mommy nya menjalin hubungan dengan CEO kaya raya, Maya sempat kurang setuju. Maya takut Mommy kesayangannya itu disakiti oleh laki-laki yang kaya raya, yang hidupnya jauh dari kehidupannya yang sederhana. Karena, Maya merasakan sendiri saat memiliki hubungan dengan Panggih, laki-laki keturunan darah biru yang ternyata malah semua keluarga besar Panggih merendahkan dirinya, jadi Maya terpaksa menyudahi hubungannya dengan Panggih. Maya takut, Mommy nya akan sakit hati, jika keluarga besar calon suaminya tidak merestuinya.
Namun ternyata, keluarga besar Ergantara Wijaya malah sangat menyetujui hubungan Erga dengan Nadine, meskipun Nadine adalah seorang janda dan sudah memiliki anak gadis yang sedang kuliah semester empat saat itu. Maya yang mendengar turut bahagia, karena saat keluarga Erga datang ke rumah menemui Mommy nya terlihat mereka baik sekali, tapi Maya masih belum memberikan jawaban kalau dirinya setuju atau tidak mommy nya menikah lagi dengan Erga.
“Kok diam? Siap tidak menjadi Daddy nya Maya saat Maya Wisuda nanti?” Nadine mengulangi pertanyaannya pada Erga.
Erga memeluk Nadine, dia bahagia mendengar semua itu. Maya yang cuek dan bahkan terlihat tidak merespon baik hubungan dirinya dengan Nadine, sekarang malah meminta dirinya untuk menjadi wali dalam acara Wisudanya nanti.
“Iya, aku mau untuk jadi walinya Maya nanti saat wisuda. Benar Maya memintaku untuk ikut di Wisudanya?” ucap Erga merasa tidak percaya calon anak tirinya mau menerima dirinya.
“Iya, Sayang? Dia mau, dia juga merestui kita kok, Maya bilang kalau dia sudah selesai kuliah, kamu boleh menikahi aku,” jawab Nadine dengan bahagia.
“Akhirnya Maya terbuka hatinya dan merestui kita,” ucap Erga bahagia dan langsung mendaratkan ciumannya di bibir manis Nadine.
Meskipun umur Erga lebih muda dari Nadine, Nadine masih sangat terlihat cantik, dan tubuhnya masih terawat. Erga bahagia sekali mendengar penuturan Maya, dia segera menghubungi keluarga besarnya kalau sebentar lagi akan menikahi Nadine, dan Maya sudah merestuinya.
Setelah Erga memberikan kabar pada keluarga besarnya, keluarga besarnya pun turut bahagia, akhirnya Erga akan menikah dengan Nadine, karena Maya sudah merestuinya.
Ponsel Nadine berdering, dia langsung melihat siapa yang menelefonnya. Ternyata Maya menelefonnya. Nadine langsung mnyentuh layar ponselnya, dan segera menerima panggilan video call dari Maya.
“Hai, Honey ...,” sapa Nadine yang sudah selesai merapikan bajunya yang baru saja dibuat berantakan oleh Erga.
“Mom ... cerah sekali wajah Mommy hari ini? Pasti lagi pacaran sama Om Erga, ya?” ucap Maya.
“Kamu sok tahu, May. Bagaimana sayang? Ada apa?” tanya Nadine.
“Mom ... lusa ke Jogja, ya? Kan aku wisuda,” ucap Maya.
“Itu pasti, Sayang,” jawab Nadine.
“Ajak Om Erga, ya?” ucap Maya.
“Nih bilang sendiri sama Om Erga nya.” Nadine mengarahkan ponselnya ke depan Erga yang juga baru selesai merapikan bajunya.
“Hai, May. Bagaimana? Ada apa ini? Apa ada kabar baik?” tanya Erga.
“Hai, Om. May lusa Wisuda, Om ke sini dong? Bisa, kan?” pinta Maya.
“Oke, siap! Om akan datang, bersama Mommy mu,” jawab Erga.
“Terima kasih, Om Erga,” ucap Maya.
Setelah berbincang dengan Mommy dan calon Daddy nya, Maya mengakhiri panggilannya. Erga langsung memeluk Nadine dengan penuh bahagia. Akhirnya hati Maya terbuka, mau menerima hubungannya dengan Mommy nya. Akhirnya penantian Erga yang cukup lama sekali, Erga akan segera menikahi Nadine.
Maya sudah ikhlas jika Mommy nya menikah lagi dengan Erga. Apalagi Maya tahu kalau Erga begitu mencintai Mommy nya. Sudah saatnya Mommy nya bahagia bersama pasangan hidupnya lagi. Setelah sepuluh tahun Daddy nya meninggal, Mommy Nadine tidak mengenal laki-laki. Dia fokus dengan Maya saja.
“Kenapa? Bahagia sekali nih?” tanya Nungki, teman akrab Maya.
“Gak boleh ya aku bahagia? Kan lusa kita wisuda?” jawab Maya.
“Boleh sih, tapi beda nih bahagianya? Ada apa? Cerita dong? Sudah punya kekasih baru kah? Atau bahagia karena apa nih?” tanya Nungki penasaran.
“Mommy, aku udah ikhlas mommy nikah lagi sama Om Erga,” jawab Maya dengan mengulas senyumannya.
“Yakin?”
“Ya, yakin lah! Mommy udah banyak menderita untuk mengurus aku sendiri, sekarang Mommy harus bahagia, aku tahu mommy butuh teman hidup yang baik, dan mungkin Om Erga yang terbaik untuk mommy,” ucap Maya.
“Gitu dong? Kasihan Mommy, kan sudah menjada sepuluh tahunan? Cie mau punya Daddy baru? Keren lagi masih muda sekali. Awas nanti naksir kamu,” gurau Nungki.
“Ih apaan sih, Nung! Gak jelas banget kamu!” tukas Maya.
Maya masih terbayang wajah Mommy nya dan Erga tadi lewat layar ponselnya. Mereka terlihat begitu bahagia sekali karena sebentar lagi mereka akan menikah.
^^^
Setelah Maya wisuda, Maya menepati janjinya pada Mommy nya kalau dirinya akan merestui hubungan Mommy nya dengan Erga. Dengan segera, setelah dua hari Maya wisuda, Erga melamar Nadine, dan malam ini di rumah Maya, sedang ada pesta sederhana. Pesta pernikahan Mommy Nadine dan Erga. Benar-benar bahagia sekali wajah Mommy Nadine, karena putrinya mau menerima Erga menjadi ayah sambungnya. Pernikahan Nadine dan Erga digelar dengan sederhana. Tamu yang diundang hanya keluarga, kerabat dekat, dan orang-orang kantor saja.
“Mommy, selamat ya? Mommy harus bahagia, ya?” ucap Maya.
“Mommy sangat bahagia sayang, kamu juga harus bahagia,” ucap Mommy Nadine.
“Om, titip Mommy, ya? Jangan sakiti Mommy,” ucap Maya.
“May ... kok manggil Om terus?” protes Mommy Nadine.
“Maaf, Daddy. Titip Mommy, Dad. Jangan sakiti Mommy, ya?” ucap Maya.
“Itu pasti, May. Daddy sangat mencintai Mommy, tidak akan pernah Daddy menyakiti Mommy. Pegang ucapan Daddy,” ucap Erga.
“Aku pegang, Dad,” ucap Maya.
“Kamu sudah menjadi bagian dari keluarga kami, May. Dan, mulai sekarang kamu bisa bekerja di Perusahaan Daddy,” ucap Laras, Mama dari Erga.
“Terima kasih, Oma. Terima kasih juga sudah mau menerima Maya untuk bekerja di Perusahaan Daddy. Maya merasa punya keluarga yang lengkap dan sayang dengan Maya,” ucap Maya.
“Kamu ini cucu Oma, May. Sudah sekarang biarkan Mommy dan Daddy mu ini berbulan madu, kamu tidak masalah, kan?” ucap Oma Laras.
“Tidak masalah dong, Oma?” ucap Maya.
Setelah acara selesai, Erga membawa Nadine untuk berbulan madu. Sepasang suami istri yang sedang bahagia itu setelah mendapat status barunya, kini langsung pergi ke suatu tempat untuk berbulan madu.
^^^
“May, bisa ke rumah sakit sekarang?”
“Ada apa, Dad? Kenapa?”
“Mommy, May!”
“Ada apa dengan Mommy?”
Malam ini Maya masih ditemani Opa dan Omanya. Mereka tidak mau Maya sendirian, apalagi Maya anak tunggal. Meskipun Opa dan Oma sambung, akan tetapi mereka sudah menyayangi Maya seperti cucunya sendiri. Maya juga ditemani Nungki, teman akrabnya saat kuliah di Jogja. Sejak kuliah, Maya semakin akrab dengan Nungki, sudah seperti saudaranya sendiri, karena mereka sama-sama dari luar kota. Hidup di Jogja untuk mencari ilmu tanpa keluarga, menjadikan mereka semakin akrab.
“May kamu belum tidur?” tanya Nungki.
“Gak tahu, Nung, kok gak enak banget ya perasaanku,” jawab Maya.
“Kenapa, May? Kamu masih memikirkan Mommy? Kan udah bahagia sekarang? Ya sudah sih jangan sedih, Om Erga baik kok orangnya? Aku baru kenal saja sudah bisa menilai kalau Om Erga baik? Kalau gak baik juga kedua orang tua Om Erga gak akan di sini menemani kamu?” tutur Nungki.
“Iya, aku tahu Daddy baik,” ucap Maya.
“Cie ... Daddy?” ledek Nungki.
“Ish apaan sih, ya masa aku panggil Om terus? Gak enak dong? Kan udah nikah sama Mommy, mau gak mau aku manggil Daddy dong? Meskipun di hatiku belum bisa lupa ayah kandungku, beliau tetap yang terbaik, Nung, meskipun Daddy baik banget,” ucap Maya.
“Iyalah, laki-laki terbaik adalah ayah kita, May. Bapakku, orang yang paling hebat. Sebetulnya aku gak tega juga ninggalin Bapak ke kota ini, tapi aku kan pengin kerja, dikasih kerjaan di kantor Om Erga dengan mudah siapa sih yang mau menolaknya? Gajinya gede, meski jabatannya tidak tinggi?” ucap Nungki.
“Hmmm ... Daddy ku ya cinta pertamaku, Nung. Kamu senang, sampai umur segini masih merasakan kasih sayang Bapakmu, aku dari SD Nung, mau masuk SMP Daddy meninggal karena kecelakaan, hancur banget saat itu,” ucap Maya mengingat kejadian sepuluh tahun yang lalu saat Daddy nya meninggal karena kecelakaan.
“Sudah, jangan diingat, kamu masih ada Mommy, Mommy Nadine sayang banget sama kamu, sekarang jug udah ada Daddy Erga, dia pasti juga sayang kamu, May. Lihat saja, orang tua Om Erga saja masih di sini menemani kamu, pasti mereka juga sayang sama kamu, May. Jangan sedih lagi dong? Semua akan baik-baik saja. Sudah ya, kan lusa kita sudah kerja, impian kita kan kerja di perusahaan besar, May? Sekarang mimpi kita akan terwujud, senyum dong?” hibur Nungki pada sahabatnya itu.
“Iya, aku senang sih bisa bekerja di kantor Daddy, tahu sendiri Perusahaan Daddy Perusahaan terbesar, aku juga tahu Oma dan Opa baik, tapi gak tahu kenapa perasaanku begini, Nung? Rasanya aneh banget, gak enak banget,” ucap Maya.
“Sudah, mungkin kamu baru melepas Mommy kamu pada laki-laki lain selain Daddymu, jadi perasaan takut, was-was, itu pasti ada. Sudah yuk tidur, sudah malam tuh, katanya besok mau ke Salon? Diajakin ke Salon kan besok sama Oma?” bujuk Nungki.
“Hmmm ... ya sudah kita tidur, seneng banget mau diajak ke salon?”
“Iya dong, perawatan gratis lho?” ucap Nungki.
Maya merebahkan tubuhnya, tapi tetap saja hatinya tidak bisa tenang. Entah kenapa Maya merasakan seperti itu, padahal biasanya tidak seperti itu. Dari kemarin tidak merasakan apa-apa, tapi malam ini Maya benar-benar gelisah sekali.
“Mungkin benar kata Nungki, kalau ini Cuma perasaan khawatir aku melepaskan Mommy pergi dengan Daddy untuk beberapa hari, untuk bulan madu, sudahlah, semoga Mommy dan Daddy baik-baik saja,” ucap Maya dalam hati.
^^^
Erga dan Nadine sedang menikmati Malam Pengantinnya. Pasangan itu sangat bahagia sekali. Namun sayangnya, Nadine malah tidak enak badan. Nadine dari tadi mengeluh kepalanya sakit, hingga Erga tidak berani melakukan ritual malam pertamanya dengan istrinya.
“Maafkan aku, malam ini aku tidak bisa melayanimu, Mas,” ucap Nadine.
“Sudah, yang terpenting kamu sehat dulu. Besok kita ke dokter, ya?” ucap Erga.
“Paling bentar lagi sembuh, sudah biasa begini kok?” ucap Nadine.
“Sudah biasa? Memang kamu sering sakit kepala?” tanya Erga.
“Ya ... enggak sering, sih?” jawabnya gugup.
“Yakin gak sering?” tanya Erga.
“Enggak, Sayang? Ayo kita istirahat. Kamu pasti pengin, ya? Ya sudah lakukanlah, Sayang,” ucap Nadine yang melihat suaminya sudah tidak bisa menahan hasratnya.
“Aku bukan suami yang kejam, aku bisa menahannya, yang penting kamu sembuh, tidak sakit lagi,” ucap Erga.
“Ya sudah, kita istirahat. Peluk aku, Sayang,” pinta Nadine.
Erga memeluk istrinya. Malam ini Erga hanya bisa menahan hasratnya. Ia tidak tega dengan Nadine yang masih kesakitan. Dari tadi mendesis merasakan sakit di kepalanya, sampai Erga tidak bisa tidur dan sedikit panik. Tidak biasanya Nadine sakit begitu, setiap hari yang Erga lihat Nadine baik-baik saja, sehat, dan selalu membuat harinya ceria tanpa ada rasa sakit dan tanpa ada beban.
Erga semakin khawatir, Nadine makin mengerang merasakan sakit di kepalanya, hingga meremas-remas kepalanya.
“Arrrgghhtt ... sakit sekali, Erga!” pekik Nadine sambil meremas kepalanya.
“Kamu kenapa, Sayang? Apa sakit sekali?” tanya Erga panik.
“Sakit, Sayang. Ini sakit sekali,” jawab Nadine.
“Ya Tuhan, jangan sekarang, aku belum bisa membahagiakan suamiku, dan Maya masih membutuhkan aku. Jangan sekarang Tuhan,” ucap Nadine dalam hatinya.
“Kita ke rumah sakit, ya?” ucap Erga dengan segera ia akan menggendong Nadine.
“Ambilkan tasku, Sayang,” pinta Nadine saat akan digendong Erga.
“Tas? Kenapa malah urusin tas sih? Kamu sedang kesakitan begini, Sayang?” ucap Erga.
“Ambilkan segera, Sayang!” pinta Nadine.
Erga segera mengambil tas milik istrinya. Nadine membuka tasnya, dia mengambil amplop cokelat yang bertuliskan sebuah nama rumah sakit. Mata Erga membelalak melihat amplop tersebut, ia yakin ada sesuatu yang Nadine sembunyikan dari dirinya.
“Baca ini, Sayang,” ucap Nadine.
“Ini apa?” tanya Erga.
“Baca saja, Sayang. Aku minta maaf ya, Sayang,” jawab Nadine.
Erga langsung membuka amplop tersebut, mengambil selembar kertas di dalamnya lalu membanya. Kanker Otak stadium akhir, yang Erga baca dan membuatnya tidak percaya.
“Maksudnya apa, Sayang?” tanya Erga dengan mata berkaca-kaca.
“Aku sakit sudah lama, Er. Sudah dua tahun ini, aku tidak mau membebani kamu atau Maya. Aku sembunyikan sakitku sendiri, aku disuruh kemoterapi, tapi aku tolak, karena akan berpengaruh pada tubuhku, aku masih ingin bekerja untuk sekolah Maya, aku juga masih ingin bersamamu lebih lama, tapi sekarang aku sadar, aku sudah tidak bisa lama dengan kamu, Er. Aku sudah tidak bisa menahan sakit ini. Aku titip Maya, jika ada apa-apa denganku. Hanya dia yang aku punya, jika aku pergi, bagaimana dia? Dengan siapa dia? Terima dia dengan baik, menjadi anakmu, sayangi dia seperti anakmu sendiri, Er. Aku tidak tahu Tuhan akan mengambil nyawaku kapan karena sakit ini,” ucap Nadine dengan menahan rasa sakitnya.
“Sayang ... jangan bicara seperti itu, aku yakin kamu pasti sembuh, sudah ya kita ke rumah sakit sekarang, kamu pasti sembuh sayang,” ucap Erga.
“Aku tidak janji untuk sembuh, Sayang. Dokter memvonisku tidak lama lagi,” ucap Nadine dengan mengusap air matanya.
“Dokter bukan Tuhan, kamu jangan percaya dengan Dokter, kamu harus sembuh, dan kamu pasti sembuh!” ucapnya dengan rasa yang tidak keruan di hati Erga.
“Aku tidak janji, Sayang. Tapi aku minta kamu janji denganku, kalau aku pergi, berjanjilah untuk menjaga Maya, dan aku minta ada sebuah kotak di lemariku, nanti kamu sampaikan pada Maya, ada sesuatu yang belum aku sampaikan pada Maya, aku mohon jaga Maya saat aku tidak ada,” ucap Nadine.
“Stop bicara seperti itu, Nadine Alinka! Kamu pasti akan sembuh!” erang Erga.
“Aku mohon berjanjilah, Ergantara,” ucap Nadine.
“Iya aku janji, aku akan jaga Maya, tapi kamu harus sembuh ya, Sayang?” ucap Erga lembut. “Ayo kita ke rumah sakit,” ajak Erga.
Namun, saat Erga akan menggendong Nadine, Nadine pingsan, dan membuat Erga semakin panik. Erga segera membawa Nadine ke rumah sakit.
“Kamu harus bertahan, Sayang. Kamu harus sembuh, aku sangat mencintaimu!” ucap Erga.
Sesampainya di Rumah Sakit, betapa terpukulnya Erga, mendengar kabar istrinya kritis. Nadine terbaring di atas pembaringan ruang ICU, dengan tubuhnya dipasang alat penunjang hidup. Erga tidak menyangka malam pengantinnya berubah drastis, di dalam ruang ICU dan melihat sang istri terbaring lemah di atas pembaringan tersebut.
Erga masih menangis, dia belum sempat mengabari siapa pun sampai pagi menjelang ia pandangi istrinya yang masih memejamkan matanya.
“Bangun, Sayang?” ucap Erga dengan suara serak khas orang menangis.
Erga baru ingat, ia harus memberikan kabar pada keluarganya dan Maya juga. Erga langsung menghubungi Maya juga kedua orang tuanya.
^^^
Pagi harinya, Maya sudah bersiap untuk pergi dengan Omanya. Laras mengajak Maya untuk ke Salon langganannya, untuk melakukan perawatan. Apalagi besok Maya dan Nungki sudah mulai bekerja di Perusahaannya, yang sekarang dipimpin Erga. Laras sangat bahagia bertemu dengan Maya, karena Maya ternyata tidak seperti yang Laras duga. Tidak secuek dulu saat pertama Laras bertemu dengan Maya.
Saat mereka akan pergi ke Salon, ponsel Maya berbunyi. Maya melihat siapa yang meneleponnya. Nomor yang belum Maya kenal, entah nomor siapa, Maya segera menerima telefon tersebut.
“Hallo, ini dengan siapa?” tanya Maya.
“Ini Daddy, May,” jawab Erga.
“Ada apa, Daddy? Mana Mommy?” tanya Maya.
“May, bisa ke rumah sakit sekarang?”
“Ada apa, Dad? Kenapa?”
“Mommy, May!”
“Ada apa dengan Mommy?”
“Nanti Daddy jelaskan di rumah sakit, kamu ke rumah sakit dengan Opa dan Oma juga, ya?” ucap Erga.
“Baik, Dad, kami akan segera ke sana,” jawab Maya.
Maya dan lainnya segera ke rumah sakit. Maya masih merasa khawatir dengan keadaan Mommy nya. Ternyata perasaan khawatir dari semalam akan terjadi di pagi ini. Mommy nya masuk rumah sakit, dan Maya tidak tahu Mommy nya sakit apa, karena selama ini Mommy nya terlihat sangat sehat, tidak ada tanda-tanda sakit atau apa pun.
Maya sudah sampai di rumah sakit yang diberitahukan Erga. Dia langsung mencari di mana Mommy nya ditangani. ICU, tempat yang pertama kali dituju Maya setelah Erga memberitahukannya kalau Mommy nya masuk ke ICU. Maya tidak tahu, apa sakit Mommy nya separah itu sampai masuk ruang ICU.
“Dad?” panggil Maya.
“May,” jawab Erga dengan mata berkaca-kaca.
“Mommy kenapa?” tanya Maya.
“Ayo ke ruangan Dokter, kamu dari tadi sudah ditunggu Dokter yang menangani Mommy kamu,” ajak Erga dengan lembut.
Erga merangkul Maya yang sekarang statusnya menjadi anak tiri itu ke ruang Dokter. Dengan langkah yang lemas Maya menuruti Daddy nya masuk ke ruang Dokter. Maya tidak tahu sakit apa yang diderita Mommy nya sekarang. Cukup serius, bahkan sangat serius yang ada di pikiran Maya. Maya melihat nama Dokter di depan pintu ruangan Dokter, melihat Titel Dokter tersebut.
“Dokter Spesialis Kanker? Oh Tuhan ada apa dengan Mommy? Apa Mommy separah itu sakitnya? Apa Mommy mengindap sakit yang menakutkan ini?” gumam Maya dengan tubuh bergetar, tidak tahu harus bagaimana dia menghadapi semua ini. Padahal seharusnya Mommy nya masih menikmati masa-masa bahagia di awal pernikahannya.
“May, ayo masuk?” ajak Erga.
“Dad ... apa Mommy sakit separah ini? Ini Dokter Spesialis Kanker, bukan?” tanya Maya.
“Nanti biar Dokter yang menjelaskan saja ya, May? Jujur Daddy juga gak tahu soal Sakitnya Mommy kamu,” jawab Erga.
“Kenapa Daddy sampai gak tahu?!” tanya Maya penuh penekanan.
“Bicara sama Dokter dulu ya, May? Nanti kita bicara lagi setelah menemui Dokter,” ucap Erga dengan menenangkan Maya.
Maya tidak tahu kenapa Mommy nya menyembunyikan sakitnya itu. Tidak pernah sedikit pun Maya melihat Mommy nya mengeluh di depannya. Yang Maya tahu, Mommy nya adalah perempuan yang kuat, energik, sehat, cerdas, cantik, tidak pernah terlihat seperti orang sakit pada umumnya. Selalu terlihat fresh, cantik, penuh dengan semangat. Maya dan Erga masuk ke dalam ruangan Dokter Regan.
“Selamat Pagi, Dok,” ucap Erga.
“Selamat Pagi, Pak Erga,” jawab Dokter. “Apa ini putrinya Nyonya Nadine?” tanya Dokter Regan.
“Iya, benar, Dok,” jawab Maya dan Erga bersamaan.
“Silakan duduk di sini, ada yang harus saya jelaskan pada kalian berdua,” uca Dokter Regan.
Maya dan Erga mendengarkan Dokter Regan menjelaskan secara detail apa yang terjadi pada Nadine. Maya terkejut ternyata Mommy nya sakit parah sudah lama. Padahal selama ini yang Maya lihat Mommy nya baik-baik saja, seperti orang sehat pada umumnya. Bagai tersambar petir di siang hari, mendengar keadaan Mommy nya sekarang, yang kata Dokter umur Mommy nya sudah tidak lama lagi, karena sel Kanker sudah menjalar ke seluruh pembuluh darah.
“Sembuhkan Mommy, Dok. Saya mohon,” ucap Maya dengan penuh permohonan.
“Berdoa saja, semoga ada keajaiban untuk Nyonya Nadine. Saya sudah lama mengingatkan beliau, supaya mau menjalani Kemoterapi saat masih belum parah, tapi Bu Nadine tidak mau, beliau hanya berobat biasa. Sekarang, banyak berdoa untuk kesembuhan Bu Nadine. Saya sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi tetap saja, finish nya tergantung yang di atas,” jelas Dokter Regan.
Maya dan Erga sama-sama bingung harus bagaimana, apalagi keadaan Nadine saat ini sedang kritis. Sakitnya sudah sangat parah, diobati pun harapannya sangat kecil, apalagi keadaan Nadine sudah lemah, tentu untuk melakukan kemoterapi tidak bisa, karena keadaannya harus cukup fit saat akan melakukan kemoterapi.
Maya dan Erga masuk ke dalam ruangan Nadine. Maya melihat Mommy nya sudah tidak berdaya lagi. Tubuhnya penuh dengan alat-alat yang ada di dalam ICU, yang menunjang hidupnya. Maya tidak tahu kapan Mommy nya sakit. Yang Maya tahu, selama ini Mommy nya sehat, tidak pernah mengeluh apa pun pada dirinya. Nadine selalu menampakkan kebahagiaan di depan putri semata wayangnya itu. Tidak pernah ia menampakkan sakitnya di depan Maya. Meskipun dia sudah tidak bisa menahan sakitnya sendiri. Jangankan dengan Maya, dengan Erga pun Nadine tidak menampakkannya sama sekali.
“Mom ... kenapa Mommy sakit gak bilang sama Maya? Kenapa Mommy tutupi semuanya sendiri?” ucap Maya dengan terisak, sambil menciumi tangan Nadine.
“Dua tahun Mommy menyembunyikan sakitnya, May. Daddy pun tidak tahu kalau Mommy sakit separah ini. Kalau Daddy tahu, Daddy akan bawa Mommy ke Luar Negeri untuk berobat di sana. Daddy gak akan biarkan orang yang Daddy cintai menderita sakit seperti ini,” ucap Erga.
Maya hanya diam, pikirannya bercabang tidak keruan. Maya mengulang lagi momen bersama Mommy nya dua tahun lalu. Benar, Mommy nya terlihat sehat sekali, tidak ada tanda-tanda sakit keras. Bahkan saat berlibur dengannya, juga tidak ada tanda Mommy nya sakit parah.
“Mommy bilang, dirinya bertahan untuk kamu, supaya melihat kamu selesai kuliah, Mommy bertahan untuk biaya sekolahmu, dan untuk Daddy juga. Kalau tahu Mommy kamu menanggung sakit, Daddy bakal tanggung semua bebannya. Daddy menyesal, tidak pernah tahu kondisi Mommy, Daddy egois sekali menjadi laki-laki, May. Maafkan Daddy, mungkin Mommy juga kadang menahan sakit kalau Daddy kasih dia pekerjaan berat. Maafkan Daddy,” ucap Erga dengan menangis.
Erga menyesal, kadang dia meminta jatah pada Nadine di saat yang tidak tepat, mungkin saat Nadine capek, dan merasa kesakitan. Tapi karena hasratnya yang sudah menggebu, Erga tidak pernah kontrol dengan situasi, atau keadaan kesehatan Nadine.
Maya tidak peduli Erga mau berkata apa. Ia masih fokus memandangi Mommy nya yang masih belum membuka matanya.
“Mom ... bangun, ya? Sembuh, ya? Mommy kan sedang bahagia sama Daddy? Kok malah begini?” ucap Maya dengan mengusap kepala Mommynya, lalu mengecup pipinya.
“Maya sayang sama Mommy. Bangun, Mom. Masih banyak hari yang indah dan membahagiakan untuk Mommy jalani bersama Daddy. Mommy sayang Maya, kan? Mommy sayang juga sama Daddy? Ayo, Mom, bangun! Mommy harus sembuh!” Maya semakin terisak, melihat Mommy nya masih dalam keadaan yang sama, tidak ada perubahan sama sekali, belum mau membuka matanya dan menyambut Maya dengan senyuman yang menenangkan Maya.
Erga mendekatkan dirinya pada Maya. Mengusap punggung Maya yang sedang menangis hingga sesegukkan.
“Dad ... lakukan yang terbaik untuk Mommy, bawa Mommy untuk berobat ke mana pun, asal Mommy sembuh, Dad,” pinta Maya.
“Akan Daddy lakukan demi orang yang Daddy cintai, May. Kalau saat ini Mommy bisa Daddy bawa ke Luar Negeri, sudah Daddy berangkatkan sekarang juga, tapi Dokter bilang kondisi Mommy tidak mungkin dibawa ke sana. Bukan karena transportasi atau alat ini, tapi Dokter mengatakan menunggu perkembangan Mommy selanjutnya dulu,” tutur Erga.
Masih belum ada perkembangan Nadine sampai malam hari. Maya masih saja menunggu Mommy nya sadar, sampai dia melupakan makan. Nungki pun setia menemani sahabatnya itu, dan berkali-kali membujuk Maya untuk makan, akan tetapi Maya masih saja belum mau makan.
“Bagaimana, apa Maya mau keluar makan dulu?” tanya Laras pada Nungki.
“Belum, Oma. Om Erga juga belum mau keluar untuk makan,” jawab Nungki.
Laras masuk ke ruangan Nadine, untuk memanggil Erga dan Maya karena belum makan sama sekali.
“Bagaimana Nadine mau bangun, kalian saja masih begitu! Mama tahu kamu begitu sedih istrimu begini, tapi jangan siksa dirimu, Er! Kamu juga harus sehat, biar jadi penguat Nadine! Kamu juga, May. Mommy gak mau lihat kamu terus begini? Ayo lebih baik kalian makan dulu, biar Oma dan Nungki di sini menunggu Nadine,” tutur Laras.
“Aku belum lapar, Ma,” ucap Erga.
“Aku belum lapar, Oma,” ucap Maya.
Ucapan mereka terdengar bersamaan. Bagaimana mau makan, orang yang mereka sayangi dan mereka cintai sedang berjuang antara hidup dan mati? Dari pagi Nadine masih belum sadarkan diri, membuat Erga dan Maya tidak mau meninggalkannya. Jangankan untuk makan, meninggalkan sedetik saja tidak ingin.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!