Air mata yang mengalir deras melintas di pipi mulus Metta seolah tak akan pernah surut, ketika baru saja Metta memejamkan mata, suster dengan tergesa memasuki ruangan rawatnya dan mengatakan jika mamanya kritis.
Tak mau mendengar kalimat lain lagi, Metta segera bangkit hingga terjatuh di lantai karena kakinya yang memang lemah. Suster itu membantunya bangkit dan duduk di kursi roda, dengan tidak sabar, Metta meminta suster itu mendorong kursi rodanya dengan cepat.
"Ini terlalu lambat, apa Suster tidak mengerti?" tanya Metta jengkel.
Ketika sampai di ruang ICU, Metta melihat dokter dan mamanya di sana. Renata yang terbaring di ranjang itu sudah sangat lemah, bahkan untuk berkedip pun sudah sangat kesulitan.
"Mama, ada apa? Mama kenapa? Katakan mana yang sakit, biar Dokter obati segera!" ucap Metta bergetar.
Disisa tenaga yang ada, wanita itu meraih tangan Metta, tak ada tenaga sama sekali, karena kenyataannya Metta yang menggenggam erat tangan lemah itu.
"Mama mau apa? Mau minum? Tolong ambilkan minum!" pinta Metta pada suster di sampingnya.
"Diamlah!" ucap Renata terbata.
"Kenapa? Ada apa?"
"Bawalah ini!"
Metta melihat satu tangan Renata yang lain yang memberinya selembar kertas kecil, setelah diraih, ternyata itu ada foto Metta sewaktu kecil.
"Lihatlah tulisan di belakangnya, setelah Mama tidak ada, kamu harus datangi tempat itu dan cari pemilik nama tersebut!"
Metta membalik fotonya, memang ada tulisan di sana, seperti alamat perusahaan yang pernah Metta ketahui sebelumnya. Tapi Metta tidak tahu pemilik nama yang tertulis, tapi masa bodoh dengan itu untuk saat ini.
"Metta, waktu Mama untuk menemani kamu sudah selesai sekarang."
"Jangan berbicara seperti itu!"
"Jadilah wanita kuat, doakan Mama agar bisa bertemu dengan Papa kamu di sana!"
"Nggak! Diamlah! Dokter akan menyembuhkan Mama!"
Tangis Metta semakin menjadi, bagaimana bisa mamanya berkata seperti itu. Benarkah wanita itu tega membiarkan Metta hidup sendirian, setelah papanya meninggal, hanya Renata yang dimiliki Metta. Akan seperti apa jika Metta kehilangan keduanya sekarang, Metta tidak akan bisa bertahan hidup tanpa orang tuanya itu.
"Jangan menangis! Dengar, orang yang akan kamu temui ini, dia akan menjaga dan menyayangimu persis seperti Mama dan Papa selama ini! Jaga dia, jangan pernah kecewakan dia! Kamu wanita baik, kamu hanya boleh menunjukan sikap dan sifat baikmu saja terhadapnya!"
Metta menggeleng, sesaat Metta menunduk dengan mata yang terpejam kuat. Tidak ada yang mau didengarnya lagi, bagaimana mungkin orang asing bisa menyayangi Metta persis orang tua kandungnya sendiri.
"Metta, terimakasih sudah jadi Anak yang baik, tetaplah seperti itu agar Tuhan selalu menjagamu setiap saat sepanjang hidupmu!"
"Apa Mama tidak bisa diam? Mama akan lelah jika terus berbicara, lebih baik Mama istirahat agar cepat pulih!"
Renata tersenyum, tangan yang bergetar itu perlahan menyentuh pipi Metta. Anak gadisnya sudah berusia 23 tahun sekarang, anak gadisnya sudah tahu perbedaan salah benar, baik dan buruk. Renata tidak bisa untuk tidak mempercayai anak gadisnya dalam hal apa pun, bahkan meski Renata harus pergi sekarang, Metta pasti akan baik-baik saja dengan hidupnya.
"Mama sayang Metta, setelah ini berikan kepercayaan Metta pada orang yang akan Metta temui, jangan ragu jika Metta percaya Mama dan Papa tidak akan membuat Anaknya terluka!"
Kalimat itu nyaris tak terdengar, kalimat terakhirnya yang dibarengi dengan tangan lemah itu terkulai begitu saja, dengan mata yang terpejam begitu saja, dan garis monitor detak jantung yang menunjukan garis lurus.
"Nggak! Mama! Mama bangun! Dokter, ada apa ini?" tanya Metta panik.
Sesaat Dokter memeriksa untuk memastikan semuanya, tapi memang sudah takdirnya, Renata tak lagi bisa diselamatkan. Jerit histeris Metta begitu menggema di ruangan tersebut, Metta berontak saat suster berusaha menenangkannya. Berulang kali Metta mengoyak tubuh Renata, berharap wanita itu terganggu dan kembali membuka matanya.
"Mama!" jeritnya hingga semua berubah gelap dan Metta ambruk seraya memeluk Renata.
"Bawa! Cepat bawa dia kembali ke kamar rawatnya!" ucap Dokter yang mengembalikan Metta ke kursi rodanya.
"Pastikan dia baik-baik saja!"
"Baik Dokter, permisi."
Dalam keadaan tak sadarkan diri, Metta kembali dibaringkan di ranjang rawatnya seperti biasa. Mereka membantu mengurusi jenazah Renata, karena mereka tahu jika pasiennya itu hanya hidup berdua saja selama ini.
Semalaman Metta tak henti menangis setelah sadar dari pingsan, semalaman juga Metta menemani jenazah Renata. Hingga pagi menjelang siang pemakaman telah siap, Metta bersama beberapa petugas Rumah sakit ikut mengantarkan jenazah Renata.
"Bagaimana bisa kalian tinggalkan aku sendiri seperti ini?"
Metta nyaris pingsan lagi ketika melihat jenazah mamanya terbaring diliang lahat sana, bisakah Metta ikut saja dengan Renata. Lemah sekali Metta saat ini, dadanya terasa sesak, ini lebih sakit dari sewaktu ditinggalkan papanya dulu.
"Mama," panggil Metta lemah.
Kedua tangannya mengepal tanpa kekuatan, apakah Tuhan jahat padanya? Atau ini justru salah satu kebaikan Tuhan untuknya?. Metta tidak mau kehilangan mama setelah kehilangan Papa, tapi kenapa hal seperti ini yang terjadi.
"Metta," panggil suster.
"Tidak, Mama tidak boleh pergi seperti ini!"
"Kamu harus kuat, ingat pesan Bu Renata!"
"Seharusnya Tuhan kembalikan Papa, bukan justru mengambil Mama juga!"
Suster mengusap kedua pundak Metta yang hanya bisa duduk di kursi roda itu, memang sedih dan pasti terluka dengan apa yang dialami Metta saat ini. Tapi sudah seharusnya seperti itu, takdir tidak bisa diubah meski seberapa keras manusia memaksa merubahnya juga.
"Mama," gumamnya seraya menunduk.
Kini galian tanah itu kembali padat, jenazah itu tak terlihat lagi, bahkan taburan bunga sudah memenuhi kuburan tersebut. Metta benar-benar tak bisa berfikir, Metta masih berharap jika keadaannya saat ini hanya mimpi, Metta akan segera terbangun dan kembali memeluk mamanya itu.
"Ini tidak adil, kenapa Tuhan jahat sekali!"
"Tidak boleh seperti itu, Metta. Hidup atau mati seseorang sudah ditentukan!"
Tak ada jawaban, Metta benar-benar hilang akal, bagaimana Metta melanjutkan hidup setelah pemakaman ini. Siapa yang membantu dan melindunginya ketika kesulitan, siapa yang akan mendengarkan keluh kesah Metta jika pendengar terbaik dalam hidupnya telah meninggalkannya untuk selamanya.
"Bisakah Dokter menghilangkan nyawaku juga?"
"Metta, hidupmu akan lebih berarti setelah ini!"
"Tidak! Aku hanya akan menderita setelah ini!"
Suster menggeleng, wajah pucat itu, kelopak mata sembab yang nyaris menutupi bola matanya itu, lemah tubuhnya ditambah dengan air mata yang tak kunjung surut, sangatlah menyakitkan. Hidup sebatang kara mungkin akan cukup menyulitkan, tapi Metta tidak bisa melawan takdir, Metta hanya perlu menerima dan terus menjalani kehidupannya dengan segala teka-teki yang telah Tuhan siapkan untuknya.
Kemeja putih, jas biru, celana biru, dilengkapi sepatu hitam dan dasi berwarna navy yang tergantung lurus di dada bidang seorang Levin Anugrah. Pemimpin Perusahaan besar itu terlihat berkelas dengan segala style yang dipakainya, banyak orang penting yang ditemuinya setiap hari, sehingga Levin harus selalu siap dengan penampilan berkelasnya itu.
"Levin," panggil Monica.
"Ya, Mami."
"Hey, ada apa ini? Wajahmu terlihat berseri pagi ini, kamu dapat tender besar lagi?"
Levin tersenyum seraya menggeleng, benarkah Levin terlihat berseri hanya ketika menang tender saja? Dan diluar itu, Levin tidak pernah terlihat berseri, buruk sekali kehidupan Levin kalau seperti itu.
"Ada apa? Kamu tidak mau berbagi dengan Mami?"
"Tidak ada apa-apa, aku merasa semangatku berbeda untuk pagi ini."
"Alasannya?"
"Entahlah! Seperti seakan-akan akan ada sesuatu yang besar menghampiriku."
Monica mengernyit, hal besar apa itu? Kerjasama dengan perusahaan baru? Atau mungkin memang perihal tender besar lagi. Levin tersenyum senang, sejak membuka mata Levin merasa senang, tapi entah untuk apa alasannya.
"Levin, Mami punya kabar baik buat kamu."
"Apa?"
"Minggu depan, Sandrina akan datang ke rumah!"
Levin mengangkat kedua alisnya, Monica melontarkan kalimatnya dengan ekspresi bahagia, tapi Levin tidak suka itu. Sudah dua bulan belakangan Monica terus saja menyebutkan nama itu, apa sepenting itu arti Sandrina bagi Monica.
"Levin."
"Aku harus berangkat sekarang, aku akan sarapan di Kantor nanti!"
"Ya sudah, hati-hati di jalan!"
Levin mengangguk dan berlalu pergi setelah pamitan, meneruskan pembahasan Sandrina sepertinya hanya akan membuat Levin malas. Lebih baik Levin pergi saja, lagi pula memang sudah jamnya untuk pergi ke kantor.
"Sandrina," gumam Levin ditengah menyetirnya.
Tunggulah dia sampai kau berusia 30 tahun, jika selama itu dia tidak menemuimu, maka kau bebas memilih pasangan hidup sesuai keinginan dirimu!
"30 tahun hanya tinggal beberapa bulan lagi, Papi bahkan sampai sekarang aku belum sedikit pun mendapatkan petunjuk tentang dia."
Levin memejamkan matanya sesaat, lantas membuka laci dashboardnya dan mengambil foto di sana. Foto seorang gadis cilik berusia 4 tahun, dengan rambut yang dikepang dua, memakai pakaian serba merah, dan tersenyum manis dengan telunjuk di kedua pipinya.
Orang tuanya tidak akan gagal mendidik Anaknya, Papi pastikan dia akan jadi yang terbaik buatmu suatu saat di masa depanmu nanti!
"Dimana Anak ini sekarang? Aku tidak juga bertemu dengannya. Dan lagi, bagaimana caraku mencarinya, jika tidak alamat yang bisa ku datangi?"
Perasaan Levin mendadak haru, kalimat demi kalimat yang diucapkan papinya kembali terngiang di kepalanya. Anggara, lelaki yang amat sangat dicintai Levin, lelaki yang tak lain adalah papinya Levin sendiri.
Anggara telah meninggal sejak Levin usia 11 tahun, sebelum meninggal, Anggara berpesan padanya agar Levin mau menikahi putri dari sahabatnya. Levin yang nyaris kehilangan Anggara diusia 9 tahun itu, dengan senang hati menerima dan mau memenuhi permintaan Anggara.
Tidak akan ada wanita lain yang bisa kamu percaya selain dia! Percaya sama Papi, dia satu-satunya wanita yang akan mampu membahagiakan dirimu!
Levin sekilas tersenyum, gadis 4 tahun difoto itu sangatlah lugu, dia lucu dan menggemaskan. Benarkah wanita itu yang akan jadi sumber bahagianya sepanjang hidup, lalu akan seperti apa jadinya jika Levin tak berhasil bertemu dan bersama wanita itu untuk sepanjang hidupnya?.
"Waktunya hampir habis, kau tidak mau menemuiku?" tanya Levin pada foto tersebut.
"Kau takut denganku? Kita orang asing, pantas saja jika kau takut denganku, dan mungkin itu alasannya sampai saat ini aku tidak bisa menemukanmu!" tambah Levin yang kembali tersenyum.
Foto itu kembali disimpan, Levin memilih fokus menyetir tanpa foto itu lagi. Biarkan saja akan seperti apa akhirnya, Levin tidak bisa memaksakan apa pun atas apa yang menjadi keinginan mendiang papinya itu.
"Pak Levin," panggil seseorang di sana.
Levin menoleh dan melambaikan tangan ketika baru saja keluar dari mobilnya, itu adalah Lidya sekretarisnya di kantor. Sepertinya Levin datang terlambat karena Lidya sudah lebih dulu sampai, keduanya berjabatan, sudah 4 tahun Lidya bekerja untuk Levin di Perusahaan tersebut.
"Bagaimana, semua beres?" tanya Levin seraya melangkahkan kakinya.
"Semua beres, Pak. Dokumen kerjasama sudah ada di meja ruangan Pak Levin."
"Akan saya periksa secepatnya."
Lidya mengangguk, keduanya memasuki ruangan yang sama. Levin memang menempatkan Lidya di ruangannya juga, Levin bukan orang yang mau repot, segala sesuatu harus simple baginya.
"Kamu sudah sarapan?" tanya Levin.
"Sudah, Pak. Pak Levin perlu sarapan?"
"Saya belum sempat sarapan di rumah, sepertinya sarapan itu dibutuhkan sekarang!"
"Baik, saya akan kembali."
Levin tersenyum seraya mengangguk, Lidya kembali ke luar untuk membawakan sarapan. Memilih menu makan Levin buka hal yang sulit, lelaki itu tidak pilih-pilih makanan, apa pun dilahapnya selagi bumbunya memang enak.
"Bu Lidya."
"Pimpinan perlu sarapan."
"Saya akan buatkan susu hangat."
Lidya mengangguk saja, semua tersedia di sana, Lidya tinggal mengambil apa yang dibutuhkan untuk Levin. Cukup singkat dan semua sudah tersaji di meja Levin, keduanya sama-sama tersenyum, itu poin plus untuk Lidya karena mau direpotkan Levin perihal sarapan.
"Silahkan, Pak. Katakan saja kalau ada yang kurang!"
"Kamu tidak membawa apa pun?"
"Saya sudah selesaikan semuanya di rumah, sampai ke sini saya tinggal bekerja saja."
"Kenapa kamu serius sekali? Apa kamu tidak bosan terus seperti itu?"
Lidya menggeleng dan kembali ke meja kerjanya, Levin terdengar menghela nafas. Entah siapa sebenarnya atasan diantara mereka, karena terkadang Levin justru merasa ada dalam pengawasan dan perintah Lidya ketika di kantor.
"Pak Levin, saya mendapatkan pertanyaan penting dari karyawan lain."
"Tentang apa?"
"Ulang tahu Pak Levin hanya tinggal 2 bulan lagi, mereka bertanya apakah akan ada bonus gaji atau liburan bersama?"
Levin mendadak diam, kegiatan makannya terhenti setelah kalimat Lidya tersampaikan dengan sempurna. Ketika diperjalanan pun Levin ingat dengan usia ke 30nya itu, tapi bukan pesta, melainkan gadis 4 tahun itu yang mengusik pikirannya.
"Tidak masalah, mereka tidak begitu serius tentang itu."
"Kalau dia datang, keduanya akan kalian dapatkan!"
"Keduanya?"
"Bonus gaji dan liburan!"
Lidya terkejut dengan itu, sejak kapan Levin memberikan hadiah berlipat seperti itu. Setiap tahun memang selalu ada hadiah, tapi satu saja, jika bukan bonus gaji maka karyawan mendapatkan jatah liburan bersama. Levin meneguk susu hangatnya dengan tenang, satu tahun kinerja karyawannya sangat bagus, sepertinya Levin pantas memberikan itu.
"Pak Levin...."
"Ada hal yang begitu ingin saya dapatkan diusia 30, jika itu terwujud, saya akan sangat senang," seka Levin.
"Pak Levin akan menikah?"
Suster itu berjalan mendekati kursi di halaman belakang Rumah Sakit, Suster Tiara yang difokuskan untuk merawat Metta di tempat tersebut.
"Metta, ayo makan!" ucapnya lembut.
Untuk kesekian kalinya, Metta menjatuhkan nampan berisikan makanan itu. Empat hari setelah kepergian Monica, Metta tak sekali pun makan atau sekedar minum. Kondisinya semakin memburuk karena depresi kehilangan tersebut, Metta sudah 3 minggu di Rumah Sakit yang berawal karena kecelakaan mobil yang dialami bersama Renata.
"Metta, sampai kapan kamu seperti ini? Mama kamu tidak akan senang jika kamu seperti ini!"
"Aku juga tidak senang dengan Mama yang pergi begitu saja!"
"Jika takdirmu masih untuk di dunia maka itu yang harus kamu jalani! Jangan menyerah karena keadaan, semakin kamu menyerah akan semakin berat juga dunia mengujimu, Metta!"
"Lalu kenapa aku tidak mati saja?"
Tatapan kosong Metta tidak pernah berubah selama 4 hari terakhir, Metta memang bisa diajak bicara, tetapi tidak lantas bisa bertatapan dengannya. Penampilannya sangat menyedihkan, Metta bahkan menolak untuk membersihkan diri selama 4 hari, Metta hanya menangis saja sepanjang harinya.
"Metta, bagaimana kalau kita temui orang itu?"
"Temui Mama?"
"Tidak! Temui orang yang menjadi pesan terakhir Mama."
Metta tak menjawab, apa guna semua itu, Metta tidak mengenalnya sama sekali. Metta tidak membutuhkannya dan mungkin begitu juga dengan orang tersebut, siapa mereka? bukan siapa-siapa untuk satu sama lain.
"Metta, jika kamu terus terpuruk seperti ini, keadaan tidak akan pernah berubah!"
"Lalu kalau aku kembali bangkit, apa Mama bisa kembali padaku juga?"
"Metta, kamu pintar untuk mengerti semuanya. Tidak ada kuasa Tuhan yang bisa kamu tentang, kesempatan hidup setiap orang berbeda, keadaan, nasib dan takdir setiap orang berbeda, kamu paham itu."
Tak ada jawaban, Metta hanya mau mamanya kembali dan kalau bisa papanya pun ikut kembali. Metta tidak menginginkan orang lain, Metta hanya inginkan mereka berdua dalam hidupnya dan diselama hidupnya. Tiara menggeleng dan memutar kursi rodanya, mendorong perlahan untuk membawa Metta kembali ke ruang rawatnya.
"Dia mau makan?" tanya dokter yang berpapasan.
"Tidak! Dia kembali membuang makanannya."
Dokter mengangguk dan sempat menatap Metta, tapi saat ini ia harus menangani pasien lainnya, hingga akhirnya ia pergi dan membiarkan suster merawat Metta.
"Foto ini sudah jadi awal untuk kelanjutan hidupmu, Metta."
Metta menoleh dan melihat foto yang diberikan Renata kala itu, foto yang di belakangnya terdapat tulisan yang menjadi PR untuk Metta. Tiara tersenyum, ia teringat jika ia menikah juga atas perjodohan orang tuanya, dan hasilnya sungguh manis, pilihan orang tuanya adalah kebahagiaan untuk Tiara sampai detik ini.
"Metta, keputusan Mama adalah keputusan Tuhan. Kalau kamu tidak percaya itu, lalu kamu akan percaya pada apa dan siapa?"
"Orang asing tidak menjamin apa pun!"
"Kamu tidak akan tahu jika tidak mencoba, Metta kamu terpuruk karena merasa tidak memiliki teman lagi. Dan orang yang dimaksud Mama kamu adalah pilihan untuk temanmu, bagaimana bisa kamu tidak percaya itu?"
Kalimat demi kalimat panjang itu disampaikan Tiara dengan penuh kesabaran, Metta terlalu putus asa untuk hidupnya sendiri sehingga tidak bisa melihat apa yang masih mungkin terjadi suatu hari ini. Hal baik akan selalu berdampingan dengan hal buruk, dan begitu juga sebaliknya, Tiara hanya ingin pasiennya itu tidak menyia-nyiakan kesempatan hidupnya yang masih ada.
Hasil akhirnya, Tiara membawa Metta meninggalkan rumah sakit untuk mendatangi alamat yang tertulis difoto. Sepanjang perjalanan keduanya hanya terdiam, berulang kali Tiara mengajak Metta berbicara akan tetapi tidak mendapatkan jawaban.
"Anugerah Grup," ucap sopir taxi.
"Benar, Pak," sahut Metta.
"Silahkan, ini tempatnya."
Tiara melihat bangunan di sana, benar sekali, tingga dan benar-benar menggambarkan Perusahaan sukses. Dengan bantuan sopir, Tiara biasa memindahkan Metta ke kursi roda dan membawa memasuki Perusahaan tersebut.
"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" sambut resepsionis di sana.
"Kami mau bertemu dengan Levin Anugerah."
"Sudah ada janji sebelumnya?"
"Tidak, tapi ini sangat penting, tolong sampaikan saja padanya."
"Atas nama siapa?"
"Metta."
Resepsionis itu mengangguk dan meraih teleponnya, berulang kali ia melirik Metta yang duduk di kursi roda. Ingin sekali ia bertanya tentang siapa wanita itu, kenapa menyedihkan sekali dalam pandangnya. Dan lagi ada urusan apa mereka dengan pimpinan Perusahaannya, apakah mungkin jika pimpinannya itu melakukan kesalahan fatal atas wanita tersebut.
"Baik, Pak," ucapnya kembali menutup telepon.
"Bagaimana?" tanya Tiara.
"Tunggu saja, Beliau akan turun sebentar lagi karena ada urusan di luar Kantor."
"Baik, terimakasih!"
Tiara melihat sekitar, apakah bekerja di kantoran seperti itu lebih menyenangkan dari pada di Rumah Sakit. Tiara melihat mereka yang tampak menikmati kesibukannya itu, terlihat lebih santai sepertinya pekerjaan mereka.
"Itu Pak Levin," ucap resepsionis memecah fokus Tiara.
Sesosok lelaki di sana terlihat begitu rupawan, dengan tubuh tinggi tegap, dan langkah kaki yang begitu berwibawa.
"Metta, itu orang yang harus kamu temui," ucap Tiara.
Metta menoleh bersamaan dengan resepsionis itu yang melirik Metta, Levin terlihat berbincang dengan seorang wanita ditengah langkahnya. Hingga akhirnya keduanya terhenti sebelum sampai di hadapan Metta, Levin menunjuk salah satu arah di ruangan luas tersebut, dan si wanita itu mengangguk saja mendengarkan kata demi kata yang dilontarkan Levin.
"Menurut saya, itu tidak terlalu buruk."
Metta hanya diam memperhatikan Levin di sana, memang asing, Metta tidak pernah melihatnya sama sekali sebelum hari ini.
"Pak Levin," panggil resepsionis itu.
Levin menoleh dengan tangan yang masih terangkat menunjuk tempat yang sama, sekilas Levin melirik Metta dan suster itu, kemudian berbicara lagi dengan wanita di sampingnya hingga memintanya pergi lebih dulu. Levin kembali melirik dua orang itu, siapa mereka, Levin tidak memiliki janji dengan orang baru untuk hari ini.
"Ini tamunya, Pak," ucap resepsionis setelah Levin menghampiri.
"Untuk urusan apa?" tanya Levin.
Tiara justru melirik Metta tanpa berkata apa pun, begitu juga dengan dua orang itu. Metta mengangkat tangannya yang bergetar tak bertenaga, memberikan foto yang didapatkannya dari Renata pada Levin.
Tanpa ragu Levin menerimanya, Levin sedikit terkejut ketika tangan itu terkulai lemah dan Metta yang memejamkan matanya kuat. Setelah melihat foto yang diterimanya, raut wajah Levin berubah, entah reaksi apa yang ditunjukkannya itu. Dengan cepat Levin membuka dompetnya da mengambil foto yang ukurannya lebih kecil, foto yang sama seperti yang Levin simpan di dashboard mobilnya, dan foto yang sama seperti yang diberikan Metta.
"Kamu datang hari ini," ucap Levin bergetar.
Metta hanya diam, kenapa mata lelaki itu terlihat memerah, genangan air mata jelas terlihat di sana.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!