Terlahir dari keluarga pembisnis membuat Rico Aditama, putra kedua Aditama berhasil meraih kesuksesan di usia muda.
Bersama dengan kembarannya, Rena putri Aditama, keduanya sukses menjalankan bisnis dibidang kuliner. Terbukti, restoran The Twins mengalami kemajuan pesat dan mempunyai beberapa cabang yang tersebar di beberapa kota besar.
Tak hanya itu, Rena sang kembaran juga memiliki usaha lain di bidang fashion yang meneruskan usaha milik sang mama. Sedangkan Rico sendiri, setelah sukses dengan restoran nya lelaki yang tahun ini genap berusia 28 tahun tersebut merambah dunia pariwisata mengikuti jejak sang kakak yang lebih dulu terjun di dunia itu.
Cottages di kota B merupakan cikal bakal seorang Rico meniti karirnya. Berbekal dari hadiah yang diberikan kakaknya Rico berhasil membuat usaha tersebut menjadi sorotan karena berbagai terobosan yang telah dia pilih.
Kesuksesan yang diraihnya tak lantas membuat kehidupan Rico benar-benar sempurna. Tak banyak yang tahu tentang trauma yang pernah dialami oleh lelaki itu hingga membuat hatinya seolah mati dan tak lagi tersentuh oleh apa yang disebut cinta. Baginya cinta hanyalah sebuah bualan yang dibalut dengan kemunafikan belaka.
Kasih sayang dan kebersamaan yang selama ini di dapatkan dari orang-orang terdekatnya membuat seorang Rico tak lagi membutuhkan seorang wanita dalam hidupnya.
Namun semuanya berubah setelah sang mama memintanya untuk datang ke rumah sakit terbesar yang berada di kota B.
Dengan jantung yang berdetak kencang Rico melajukan kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Rasa khawatir menyergap hatinya manakala mendengar jika orang tua satu satunya yang tersisa setelah kematian sang papa setahun yang kalu itu mengalami kecelakaan.
Sesampainya di rumah sakit, Rico segera berlari. Di depan ruang operasi nampak olehnya sang mama tengah duduk dengan raut cemas nya. Wajah wanita baya itu nampak masih memucat sementara sopir yang senantiasa mendampingi sang mama nampak tak jauh dari sana, sebuah perban telah tertempel di dahi lelaki paru baya itu.
"Ma."
"Ric.." Mama Yenni menghambur kedalam pelukan sang putra.
Rasa lega menyeruak dalam hati Rico manakala mendapati sang mama dalam keadaan baik baik saja.
"Mama nggak papa?" Rico mengurai pelukan dan memindai tubuh sang mama dari atas ke bawah.
Wanita baya dengan beberapa kerutan yang telah menghiasi wajahnya itu nampak mengangguk lemah. Namun air mata nya masih terus menetes membuat Rico mengernyit penuh tanya.
"Mama duduk lagi sebentar untuk menenangkan diri." Rico membimbing mama Yenni untuk kembali duduk.
"Pak, bagimana kondisi bapak?" Rico beralih pada sopir sang mama yang sesekali masih nampak meringis menahan sakit.
"Saya tidak apa apa, Den. Hanya luka ringan, sudah diobati oleh dokter tapi masih nyeri mungkin karena masih baru." Jawab lelaki yang biasa dipanggil mang Diman itu berusaha tersenyum.
"Syukurlah kalau begitu, bapak harus banyak istirahat setelah ini."
"Iya, terimakasih Den. Tapi.."
"Tapi apa pak?"
"Ma.. masih ada dua koban lagi Den." Jawab mang Diman berujar lirih.
Ha
Korban lainnya? dua orang lagi? tapi siapa?
Rico terdiam, tatapannya beralih pada sang mama yang masih terisak di tempat duduknya.
Huuuft
Baiklah, sepertinya Rico mengerti sekarang kenapa kondisi sang mama masih nampak syok meski tak mengalami luka apapun di tubuhnya. Rico tak lagi banyak bertanya, nanti saja ketika suasana sudah mulai kondusif.
************
Satu jam berlalu, seorang dokter datang dan menemui Mama Yenni yang sudah terlihat sedikit tenang meski wajah pucat nya masih terlihat.
"Selamat siang, dengan keluarga korban?"
"Ah iya dokter, bagaimana keadaannya?"
"Kondisi sang kakak sudah membaik hanya mengalami sedikit benturan di bagian kepalanya namun tak berakibat fatal. Namun terjadi hal serius dengan adiknya. Ehm bagaimana kalau kita bicara diruangan saya saja untuk lebih jelasnya?"
"Baik, dok."
Mama Yenni segera menarik lengan Rico untuk mengikuti langkah dokter. Ketiganya melangkah masuk ke sebuah ruangan.
"Silakan tuan, nyonya."
"Terimakasih dok, kalau boleh tahu apa yang sebenarnya terjadi pada mereka?"
"Begini bu. Putra ibu mengalami patah di kedua kakinya dan juga mengalami benturan yang cukup keras di daerah bahunya. Untuk sementara ini dia masih dalam keadaan kritis. Kemungkinan akan dilakukan operasi lanjutan nanti setelah kondisi pasien memungkinkan."
"Tapi masih bisa disembuhkan kan dok?"
"Kami akan mengupayakan yang terbaik bu, mohon dukungan dan do'a nya dari keluarga agar semuanya berjalan lancar."
"Baik dokter."
*************
"Ma, sebenarnya apa yang terjadi pada kalian? dan siapa yang dokter maksud tadi?"
Mama Yenni menatap putranya dalam, bingung harus menceritakan dari mana karena memang kejadian tersebut terjadi begitu cepat.
"Saat mama keluar dari supermarket dibantu mang Diman. Ada sebuah mobil yang melintas cepat. Sebenarnya mobil tersebut tak mengarah ke arah mama." Mama Yenni nampak kembali menyeka air matanya.
"Mang Diman yang posisinya paling dekat jaraknya dengan mobil itu terserempet dan jatuh. Saat itulah mama melihat seorang anak perempuan yang turut menjadi korban sama dengan mang Diman. Dan tak jauh dari sana, anak laki-laki sekitar 10 tahunan sudah tergeletak dengan banyak darah."
Mama Yenni tersedu, wanita baya itu bahkan nampak bergetar saat kembali mengingat kejadian yang terjadi tepat di hadapannya.
Rico mengerutkan keningnya manakala kedua kakinya membawanya masuk ke dalam sebuah ruang perawatan. Diatas brangkar nampak seorang gadis tengah terlelap dengan selang infus masih tertancap di lengannya.
Wajah gadis itu sepertinya sangat familiar. Rico seperti pernah melihatnya entah dimana. Kedua matanya membulat sempurna saat sekelebat bayangan seseorang hadir dalam ingatannya.
Rico kembali bergerak, sedikit mengikis jarak untuk membuktikannya. Menatap gadis yang terlelap dengan tenang itu semakin dalam.
"Aku rasa hanya mirip, bukankah gadis aneh itu memiliki tompel di pipinya juga rambutnya bergelombang sedang kan dia rambutnya lurus dan tak memiliki tompel." monolog Rico pada diri sendiri.
Mengingat gadis aneh yang ditemuinya sebulan yang lalu itu membuat Rico kembali kesal. Bagaimana tidak, gadis yang entah datang dari mana itu tiba-tiba memeluknya dan mengaku sebagai kekasihnya. Rico yang kala itu baru datang tentu saja terkejut.
Yang membuatnya lebih kesal lagi saat gadis aneh itu melenggang pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun setelah membuat kekacauan.
"Ckck bisa bisanya aku mengingatnya. Bikin kesal saja."
Rico mendesah kemudian melangkah keluar ruangan kembali ke tempat dimana sang mama kini menunggu.
"Ma, bagaimana keadaannya?"
"Dokter mengatakan jika operasi nya akan dilakukan dalam waktu dekat. Kemungkinan besar anak itu akan mengalami cacat nantinya. Tapi itu lebih baik daripada membahayakan jiwanya."
"Kamu tidak keberatan kan jika mama mengurus mereka?" Mama Yenni berujar pelan sambil menatap ke arah anak keduanya itu.
Rico menganggukkan kepalanya, dia yang sangat mengenal bagaimana sang mama yang memang memiliki jiwa sosial yang tinggi tentu tak akan melarang. Mama nya akan bersedih sepanjang waktu jika apa yang menjadi kesenangannya tak bisa terwujud. Lagipula menolong orang lain tak akan merugikan mereka. Apalagi mengingat tak ada kerabat atau keluarga yang bisa dihubungi dari kedua korban tersebut.
Tak ada identitas atau petunjuk apapun membuat mereka sedikit kesulitan untuk mencari keluarga mereka. Hingga sampai hari ke 3 belum juga menemukan hasil.
Rico juga telah meminta bantuan pihak berwajib untuk membantunya. Bagaimanapun dia tak ingin ada hal yang tak diinginkan dikemudian hari.
"Tapi ma, mama harus memperhatikan kesehatan mama sendiri. Rico nggak mau sesuatu terjadi pada mama nantinya."
Mama Yenni mengangguk dengan antusias, entah mengapa melihat kedua anak itu membuatnya terenyuh. Keduanya mengingatkannya pada kejadian saat Rico dan Rena masih kecil. Kedua anaknya itu harus tumbuh dengan kekurangan kasih sayang mengingat kala itu sang papa tega mendua dan memilih untuk meninggalkan mereka.
***********
"Kau kenapa? ada masalah?" Roy menepuk pelan lengan Rico membuat pemuda itu menoleh.
"Sedikit."
"Masalah kantor?" Rico menggeleng membuat Roy mengernyit.
"Soal cewek lagi? kali ini perempuan mana lagi yang kau buat kecewa?" Ledeknya sambil mendudukkan diri di kursi yang berada di depan meja Rico yang hanya terhalang oleh meja kerja adik dari Raka itu.
"Ckck." Rico mendengus namun juga tak menampiknya.
Apa yang dikatakan Roy memang benar adanya dan semua orang tahu itu. Bagaimana sosok Rico yang terkenal hangat dan juga baik memiliki satu kekurangan yakni anti terhadap perempuan.
Lelaki tampan itu hanya baik pada wanita-wanita yang memang dekat dengannya. Selebihnya Rico seolah memiliki antipati pada makhluk yang disebut perempuan.
"Soal gadis itu lagi?"
"Hem, entah mengapa saat melihat gadis yang pada waktu itu mama tolong, aku seperti melihat gadis itu tapi dalam versi berbeda."
"Wajah mereka mirip hanya saja tahi lalat yang menjadi pembeda juga bentuk rambut mereka. Selebihnya nyaris sama."
"Kau hanya sedang merindukannya saja mungkin, hingga membuatmu berhalusinasi begitu." Roy tergelak dengan ucapannya sendiri.
"Si@lan." Umpat Rico membuat Roy semakin tergelak.
"Ada apa kau kemari, jangan bilang jika kau datang hanya untuk mengejekku."
Hahahha
"Aku datang untuk mengingatkanmu jika hari ini kita ada pertemuan dengan beberapa klien."
"Ehm balik lah. Kau temani aku nanti."
Keduanya kembali terlibat pembicaraan kali ini tentang pekerjaan dan beberapa kerjasama yang akan mereka jalani ke depannya.
Sementara itu di rumah sakit tepatnya di kamar rawat seorang gadis berusaha untuk bangun dari atas brangkarnya. Ditatapnya sang adik yang berada di brangkar tak jauh dari tempatnya. Air matanya menetes namun segera diusapnya dengan cepat.
"Kamu nggak papa nak?"
"Iya tante."
"Jangan khawatir, dokter bilang adikmu akan baik baik saja setelah ini. Hanya tinggal menunggu waktu untuknya bisa sadar kembali."
"Terimakasih tante, tapi saya nggak punya uang untuk membayar biaya rumah sakit ini."
"Kamu nggak usah memikirkan hal itu, sekarang fokus saja sama pemulihan mu dan juga adikmu. Dia membutuhkanmu untuk menguatkannya." Mama Yenni memeluk gadis yang bernama Deviana itu lembut.
Dee begitu gadis itu sering di panggil. Gadis malang itu mengaku hanya tinggal berdua dengan sang adik setelah kedua orang tua mereka meninggal setahun yang lalu.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama sang adik, Dee bekerja di sebuah bengkel kenalannya. Dia yang diusir dari rumahnya terpaksa mengontak sebuah kamar untuk tempatnya berteduh sementara.
Mama Yenni yang mendengar cerita gadis itu semakin merasa miris. Jiwa kemanusiaan dalam dirinya seolah memberontak hingga membuatnya bertekat untuk membantu kedua kakak beradik itu hingga tuntas. Paling tidak hingga keduanya bisa berdiri dan mampu menjalani kehidupan yang lebih baik lagi terlepas dari segala kesulitan yang ada.
Keduanya masih terlalu kecil untuk memikul beban hidup yang begitu keras. Bahkan anak seusia Adit seharusnya masih bersekolah namun menurut apa yang di katakan oleh Dee jika kehidupan mereka berubah semenjak kedua orang tua mereka meninggal.
Tak hanya Adit bahkan Dee pun harus rela memupus harapannya untuk bisa berkuliah hingga lulus dan menjadi seorang dokter nantinya.
Dee mengepalkan tangannya kuat, amarah dan rasa benci bercokol dalam hatinya. Melihat bagaimana kondisi sang adik yang bahkan terancam mengalami cacat di kedua kakinya membuatnya semakin membenci paman dari mendiang papanya.
Dee sangat yakin jika apa yang menimpanya dan sang adik adalah andil dari laki-laki itu. Tak puaskah mereka merampas semua milik keluarganya hingga mereka pun tak membiarkannya untuk hidup tenang.
"Aku akan membalas semua hal menyakitkan yang kalian berikan padaku dan Adit.Aku akan menuntut semuanya." Sorot mata gadis itu menyiratkan luka yang begitu dalam.
Belum sembuh luka karena kehilangan kedua orang tuanya kini luka itu ditambah lagi dengan menyaksikan sang adik yang juga harus menanggung sesuatu yang tak seharusnya mereka tanggung.
Mama Yenni benar-benar merawat keduanya dengan baik. Terutama Adit yang memang membutuhkan perhatian khusus. Bocah 10 tahun tersebut mungkin telah bisa menerima keadaan jika dirinya harus duduk di kursi roda entah sampai kapan mengingat kondisi mereka yang tidak sedang baik baik saja.
Senyum Adit selalu mengembang didepan sang kakak. Tak ingin menambah beban berat dan hanya bisa memberi semangat.
"Dek, sudah makan?"
Ehm Adit mengangguk dan melemparkan senyumnya.
"Sudah, tadi mama bawa lauk enak deh kak."
"Mama?" Dee menengok kanan kiri takut sang adek sedang berhalusinasi.
"Dek, yang sabar ya. Do'ain terus mama dan papa disana. Kakak tahu adek merindukan mereka tapi kita harus tetap ingat pada Allah." Dee mengusap lengan kecil Adit penuh sayang.
Hi hihi
Adit terkikik geli membuat Dee semakin tak mengerti. "Jangan jangan dia kesurupan"
"Dek."
"Kakak kenapa? Adit tahu kalau mama dan papa sudah tenang di sana, mereka juga sedang tersenyum melihat kita asal kita tidak bersedih maka mereka juga akan merasakan kebahagiaan yang sama dengan kita. Kata mama Yenni, kita tidak boleh bersedih terus agar apa yang kita inginkan bisa dikabulkan oleh Tuhan."
"Mama Yenni?"
"Heum, tadi mama datang bawain buku cerita juga alat menggambar, itu disana." Adit menunjukkan sebuah lemari kecil yang entah sejak kapan sudah ada disana. Ada beberapa buku dan alat-alat tulis terlihat disana.
"Adit senang?"
"Heum, bukunya bagus bagus. Adit juga dibelikan buku surat surat pendek supaya bisa mendoakan mama dan papa disana, ini bukunya." Adit berbinar memperlihatkan kebahagiaan yang kentara dari sorot matanya yang bening.
Dee ikut tersenyum hatinya menghangat melihat semangat yang berkobar dalam diri adiknya. Tak ada lagi kesedihan terpancar dari mata itu seperti seminggu lalu dimana sang adik selalu histeris saat menyadari kedua kakinya tak lagi bisa digunakan berjalan.
Adit terlihat sangat putus asa dan hal itu sempat membuat Deviana merasa gagal menjaga sang adik. Dee mengusap air mata yang dengan lancangnya menetes di kedua sudut matanya.
"Kalau boleh kakak tahu kenapa panggilnya mama sama tante Yenni?"
"Mama bilang kalau panggilan tante itu buat wanita cantik yang masih muda nah kalau mama katanya sudah tua sudah nggak pantas lagi dipanggil tante." Adit terkikik diujung kalimatnya membuat Dee juga tersenyum menatap haru sang adik.
"Oh ya dek, mulai besok kakak sudah kerja lagi. Apa tak apa kakak tinggal sendiri?"
"Heum, Adit kan sudah besar kak." jawab Adit dengan mata berbinar sambil menganggukkan kepalanya berulang kali demi bisa menyakinkan sang kakak kalau dirinya tak apa apa jika ditinggal sendirian.
Huuuft
Deviana menghembuskan nafas berat. Tak ada pilihan lain bagi gadis itu selain kembali bekerja di bengkel milik Bang Beni. Orang yang ditemuinya tanpa sengaja karena mobilnya mogok dijalan. Dee yang memang suka sekali membantu mendiang papanya dulu sedikit tahu tentang mesin hingga tanpa ragu gadis itu membantunya.
Siapa sangka, kemampuan otodidaknya tersebut malah menjadi ladang pencarian rizki untuknya dan sang adik. Dee masih bersyukur ditengah kehancuran keluarganya dirinya masih bisa menghidupi sang adik meski sangat terbatas.
"Oh ya kak, mama bilang kita bisa pindah rumahnya besok siang. Hari ini masih dibersihkan."
Ha
"Pindah rumah??"
"Iya."
Dee menatap sang adik tak mengerti, namun gadis itu memilih diam dan menunggu saat yang tepat untuk berbicara dengan mama Yenni. Dee tak ingin berhutang budi terlalu banyak. Wanita baya itu sudah terlalu banyak membantunya juga sang adik dirinya tak ingin semakin merepotkan.
*************
"Ric, ada Bella tuh di luar."
"Mau ngapain dia kesini, nggak ada janji temu kan dengan perusahaan papanya?"
"Mau ketemu denganmu katanya."
"Masalah apa?"
Roy mengangkat kedua bahunya tanda tak tahu. Rico menghempaskan punggungnya ke sandaran sofa, memijit pangkal hidungnya pelan.
Bukan tak tahu dengan maksud wanita itu untuk datang, namun Rico tak ingin memberi harapan. Hatinya tak pernah lagi merasakan getaran seperti dulu. Cintanya seolah mati sebelum berkembang hingga membuat Rico enggan untuk memulai suatu hubungan.
Baginya cukup kehadiran mama, kakak ipar dan adiknya. Rico cukup senang dengan hidupnya saat ini. Tak ingin menjalin kasih atau berharap lebih, karena rasa sakit yang dia rasakan bahkan hingga kini masih sangat terasa. Dua tahun perjuangannya dulu sia sia pada akhirnya.
"Aku tak ingin menemuinya jika bukan masalah pekerjaan." putusnya kemudian membuat Roy menghela nafas.
"Sampai kapan Ric?" Rico menoleh tak mengerti pada asisten dan juga sahabatnya tersebut.
"Sampai kapan kamu mau menutup diri begini, apa kau masih mengharap kehadirannya?"
"Tidak!! Aku tak mengharap apapun tapi aku juga tak ingin merasakan hal yang sama."
"Nggak semua perempuan sama seperti dia, Ric. Harusnya kau bisa memahami itu. Coba buka hatimu dan terima mereka siapa tahu kau bisa keluar dari rasa trauma yang kau miliki. Kau lihat kak Ray, kau tahu bagaimana dia lebih dari pada yang aku tahu. Tapi lihat sekarang, dia bahagia dengan cintanya."
"Mungkin nanti, tapi tidak untuk saat ini." Rico meraih gelas diatas mejanya dan meneguk isinya hingga tandas.
Roy menggelengkan kepalanya, percuma juga memaksa jika orangnya sendiri memang tak mau.
"Oh ya Roy, tentang rumah yang mama minta bagaimana, apa sudah kau dapatkan?"
"Mama sedang meninjaunya hari ini." Roy kembali ke mejanya yang memang berada dalam satu raungan dengan Rico, hal itu dilakukan atas permintaan Rico sendiri mengingat beberapa bulan yang lalu, Bella nekat masuk ke dalam ruang kerjanya dan berusaha untuk menjerat Rico.
"Kalau begitu lebih baik kita kesana."
Ha
"Lalu bagaimana dengan pekerjaan mu, bukankah kau bilang sibuk hari ini."
"Biarkan saja, aku sedang ingin menghirup udara segar, ayo." Rico beranjak meraih jas yang dia letakkan di sandaran kursinya dan berjalan dengan tenang keluar dari ruangannya.
"Terserah lah, kan dia bosnya."
Roy merapihkan sebentar mejanya sebelum berlalu mengikuti langkah Rico yang semakin menjauh.
Di lobi dapat mereka lihat keberadaan Bella yang masih bertahan disana. Gadis cantik dengan dress bunga bunga selutut itu nampak tersenyum manis manakala melihat sosok Rico yang berjalan keluar dari dalam lift.
Dengan senyum yang mengembang Bella mendekat.
"Ric, aku tahu kau pasti akan turun juga. Aku sudah menunggumu dari tadi." gadis itu mencebik namun setelahnya menampilkan senyum nya kembali.
"Maaf aku sibuk."
"Nggak papa toh sekarang kamu sudah turun, ayo kita pergi?" Ucapnya dengan upaya meraih lengan Rico namun pemuda itu segera menipisnya.
"Aku ada urusan diluar dan maaf aku nggak ada waktu untuk urusan yang tak penting. Sebaiknya kau pulang, dan jangan lakukan hal percuma yang akan membuang waktumu."
"Bagaimana jika aku ikut, kita bisa makan setelahnya?" tawar Bella yang tak ingin kehilangan kesempatan kali ini.
"Jangan memaksaku untuk bertindak kasar padamu, Bel. Pulanglah!!"
Rico melangkah cepat diikuti oleh Roy yang hanya mengedikkan bahunya. Roy sangat tahu pasti wanita seperti Bella tak akan semudah itu menyerah. Tapi selama masih bisa diatasi maka dirinya tak akan turun tangan untuk membantu Rico.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!