"Sarah... ayo naik..." Kata pak guru yang berpakaian batik menghentikan motornya di sebelah gadis yang berseragam putih abu-abu. Gadis yang tak lain kekasihnya sendiri berjalan dengan wajah merah kepanasan di tengah teriknya matahari.
"Terimakasih Mas, aku jalan saja" tolaknya. Murid yang bernama Sarah itu memang selalu menolak jika diajak pulang bersama Rafi. Lantaran tidak ingin hubungan mereka diketahui oleh guru lain dan teman-teman sekolah.
"Sarah..." pak guru yang bernama Rafi itu setengah memaksa.
Sarah yang memang keburu lapar dan haus akhirnya mengangguk. Biasanya Sarah pulang pergi numpang angkutan, tetapi ketika berangkat tadi pagi kena hukuman tidak diberi uang jajan oleh ibu tirinya. Namun, ketika hendak naik ke atas motor, perusuh datang. Tiba-tiba saja tubuhnya ditarik kasar adik kelas yang merangkap adik tirinya.
"Pak Rafi... tolong antar saya ke toko buku," Ucap si perusuh sembari melempar tatapan meledek ke arah Sarah.
****************
Sarah Mahira Naira yang biasa dipanggil Sarah, dengan tubuh lelah pada akhirnya tiba di rumah. Di teras, gadis itu melepas sepatu sebelum masuk.
"Kok tumben sepi? Mudah-mudahan... mama nggak ada di rumah" Batinya. Rasa haus dan perut keroncongan sudah minta diisi, membuat pikiran Sarah sedikit jahat. Berharap ibu tirinya pergi. Dia letakkan tas di kursi sebelum menuju meja makan. Ia buka penutup saji. Ayam goreng, sambal, dan sayur sop, sudah tersedia di sana. Menambah perut Sarah semakin lapar.
"Mama sudah makan belum ya?" Gumamnya. Memandangi pintu kamar mama tirinya. Sarah takut jika ternyata Bianca tiba-tiba ke luar kamar, habis sudah akan dimarahi, tetapi perut lapar mengalahkan ketakutannya.
Sarah ambil piring mengisinya dengan nasi, lauk, sambal, dan sayur sop, kemudian duduk di kursi.
"Heemm..."
Suara deheman dari belakang membuat Sarah menurunkan tangannya yang sudah hendak menyuap. Denting sendok jatuh menimpa piring karena terkejut sambil menoleh.
"Mama..." Sarah seketika berdiri lalu menunduk kala menatap wajah ibu tirinya seperti Singa siap menerkam.
"Siapa yang menyuruh kamu makan?" Tanya Bianca sambil melipat tangan di dada.
"Aku lapar Mama... tadi pulang sekolah jalan kaki" jawabnya lirih karena takut. Begitulah nasib Sarah, jika tugasnya mencuci baju tidak selesai jangankan uang jajan, transport pun Sarah tidak diberi.
"Mulai berani menjawab kamu?!" Ucap Bianca Sinis.
"Maaf Ma," Sarah pun meninggalkan meja makan ambil tas di kursi hendak ke kamar. Tetapi langkahnya berhenti, kala teriakan ibu tirinya memekakkan telinga.
"Enak saja kamu mau ke kamar! Lanjutkan cucianmu yang belum selesai!" Sarkas Bianca menunjuk kamar mandi dekat dapur.
Sarah meletakkan tas nya ke tempat semula, lalu ke kamar mandi yang biasa digunakan untuk mencuci pakaian. Di tengah pintu, Sarah memandangi rendaman di dalam bak yang tertunda tadi pagi karena kesiangan.
Matanya mengembun, saat ia tinggalkan tadi pagi cucian sudah tinggal setengah, tetapi kini tambah penuh. Sudah pasti ditambah pakaian dua orang yang tinggal di rumah ini.
"Hiks hiks hiks... Papa... tolong aku. Aku capek Pa," Batinya. Lalu berjongkok di lantai kamar mandi mulai mengucek baju. Sesekali mengusap air matanya yang terus menetes.
Hati Sarah sakit, setiap hari harus menerima perlakuan seperti ini dari Bianca sang ibu tiri. Belum lagi perlakuan Rania adik tirinya anak kandung Bianca tak kalah kejam menyiksa fisik maupun mental.
"Papaa... aku kangen... hiks hiks hiks" Jika sudah begini, Sarah ingat papanya. Sang papa mempunyai perkebunan kelapa sawit, tetapi berada di luar kota. Pulang hanya sebulan sekali. Berulang kali Sarah ingin ikut papanya pergi, tetapi Aiman menolak khawatir mengganggu proses belajar Sarah.
Selama ini Aiman tidak pernah tahu bahwa putrinya selalu diperbudak oleh istri keduanya. Tentu saja Sarah tidak berani bercerita, karena diancam Bianca akan mengusirnya dari rumah jika sampai mengadu.
"Andai saja aku masih mempunyai ibu," Batinya. Tanganya bekerja tetapi pikiranya kemana-mana. Menurut penuturan Aiman sang papa, ibu kandung Sarah pergi meninggalkan rumah ketika Sarah masih bayi. Entah benar atau tidak cerita itu tetapi Sarah selalu berdoa agar dipertemukan dengan ibu kandungnya entah esok atau lusa.
"Saraaaah..." Teriakan dari luar mengejutkan Sarah. Belum sampai menyahut, suara langkah sandal mendekat di mana Sarah tengah membilas cucian.
"Sudah selesai belum?! Lama banget sih?! Cepat selesaikan, terus kamu gosok baju saya yang akan saya pakai sekarang," Suara Bianca dari luar seperti toak itu membuat tangan Sarah cepat menyelesaikan tugasnya, tanpa berkata-kata.
15 menit kemudian, Sarah yang masih mengenakan seragam putih abu-abu itu sudah selesai menjemur pakaian.
Ketika melewati ruang makan, Sarah berhenti menatap Bianca bersama Raina tengah makan dengan lahap sambil tertawa-tawa.
"Ma... Aku sudah selesai mencuci, sekarang boleh makan dulu kan..." Pinta Sarah memelas.
"Sejak kapan gue mau makan bareng sama loe?!" Sinis Rania.
"Gosok dulu baju saya, nanti baru boleh makan, karena satu jam lagi saya mau pergi," Sambung Bianca tanpa menoleh Sarah.
"Iya Ma" lirih Sarah, tidak ada pilihan lain, selain mengalah. Tanpa salin baju seragam, dia ke ruang setrika. Sambil menahan lelah yang luar biasa, Sarah setrika baju mahal milik ibu tirinya sambil duduk di lantai. Sesekali kepalanya melenggut karena mengantuk, ketika sadar mengucek mata.
"Ya ampuuun... mata ini... kerja sama Kek," Sarah bicara sendiri. Namun, apa mau dikata. Kemauan tidak sesuai dengan kemampuan. Hingga akhirnya gadis itu tergeletak di lantai, benar-benar tidak kuat menahan kantuk.
"Saraaaah..." Teriakan Bianca. Seketika membangunkan tubuh Sarah dengan cepat. Bau gosong terasa menyengat hidungnya, matanya terbuka lebar ketika menatap gaun yang dia setrika sudah bolong bagian dada.
"Maaf Ma" Sarah ketakutan menatap mama tirinya sekilas, dengan jantung berdebar-debar.
"Kamu sudah keterlaluan Sarah! Baju mahal kesayangan saya kamu buat gosong. Jika kemarin saya masih sabar, tidak untuk saat ini. Sebaiknya kamu pergi dari rumah ini" Usir Bianca, tanpa ampun.
"Ma... jangan usir aku Ma. Kalau Mama usir, terus aku mau kemana Ma?" Sarah memohon.
"Pergi dari sini, saya bilang! Pergiiiii..." Bianca menarik tangan Sarah dengan kasar, kemudian mendorong hingga tersungkur ke lantai.
Sarah hanya bisa menangis, membiarkan mama tirinya mengeluarkan pakaian dari lemari dan melemparkan ke lantai.
"Saya beri waktu 15 menit untuk mengemas pakaian kamu Setelah itu, saya tidak mau melihat wajahmu lagi," Pungkas Bianca lalu ke luar menyisakan dentum pintu yang dia tutup dengan cara di banting.
Sementara Sarah, beranjak dari lantai. Menggunakan sisa tenaganya yang nyaris tak berdaya. Ia masukkan baju ke dalam koper dan semua buku ke dalam rangsel.
Sebelum berangkat, dia menatap kamar yang sudah dia tiduri sejak kecil. Tidak menyangka dia akan diusir dengan tidak berperasaan dari rumahnya sendiri.
"Awas kamu kembali!" Ancam Bianca. Tatapan matanya nyalang menghujam dada Sarah ketika melewati ruang keluarga. Bianca tengah duduk dengan kaki di atas meja.
Sarah menarik napas panjang melewatinya begitu saja, lalu membuka pintu depan dengan air mata berlinang.
***************
Dengan rasa lelah, letih, dan lesu, Sarah berjalan kaki sambil menarik koper. Sesekali berhenti untuk beristirahat. Entah kemana tujuannya kini, dia hanya mengikuti kakinya melangkah.
Brak!
"Aaw" karena Sarah melamun, motor dari depan menghantam kopernya.
"Hee... kalau jalan lihat-lihat!" Ketus seorang gadis. Padahal dia yang menabrak, tetapi dia yang ngomel-ngomel sambil berusaha bangun karena tubuhnya ketindih motornya sendiri.
"Aku bantu," Bukannya marah, Sarah justru berjongkok membantunya.
"Loe?"
"Kamu?"
Kedua gadis itu terkejut ketika melihat wajah mereka di kaca spion bukan hanya mirip, tetapi hampir tak ada bedanya.
...~Bersambung~...
"Loe?"
"Kamu?"
Kedua gadis yang sama-sama jatuh di pinggir jalan itu terkejut, ketika memandangi wajah mereka di kaca spion. Wajah yang seperti pinang dibelah dua.
"Kamu siapa?"
"Loe siapa?"
Tanya keduanya bersamaan. Mereka bangun lalu duduk meraba wajah masing-masing masih memandangi kaca.
"Kenapa wajah kita sama ya?" Tanya Sarah.
"Gue juga heran" Jawab gadis yang baru Sarah temui. Mulutnya mengulum permen karet sesekali digelembungkan seperti balon.
"Tapi masih lebih cantik gue sih," Sambungnya percaya diri. Sambil menatap wajahnya sendiri dari beberapa sisi.
"Apa mungkin kita kembar?" Lanjut Sarah.
"Kembar gundul loe?! Nyokap gue punya anak yang cantik, imut, dan unyuk, yaitu cuma gue satu-satunya. Mana mungkin kita kembar." Gadis tengil itu menoyor dahi Sarah. Bibirnya nerocos seperti burung betet. Lantas diam sesaat memandangi wajah Sarah seperti merencanakan sesuatu.
Sarah hanya diam termangu menatap wanita di depanya yang tengah bicara tidak pakai titik koma. Wajah boleh sama, tetapi tingkah laku mereka berbeda. Sarah wanita lemah lembut, feninim, berpakaian dengan rapi. Sementara wanita yang dia temui, gayanya petentang petenteng seperti pria, lengan bajunya digulung bawahan rok selutut.
"Kenalkan. Nama gue Salma. Siswi tercantik di sekolah, bukan hanya di sekolah sih, tapi juga tercantik di seluruh dunia. Hahaha..." tawananya pun seperti pria.
Lagi-lagi Sarah hanya bisa mengerutkan kening, lalu menyambut uluran tangan Salma. "Namaku Sarah," Ucap Sarah pendek.
Salma manggut-manggut lalu memandangi rangsel yang masih di punggung Sarah, dan koper besar yang tergeletak di trotoar.
"Ngomong-ngomong... loe mau kemana? Loe calon pembokat yang baru saja merantau ke Jakarta kan? Hahaha..."
"Memang kamu nggak melihat seragam sekolah aku," Kali ini Sarah geleng-geleng kepala. Entah mengapa, bertemu orang yang mirip dengan ini sedikit melupakan kesedihannya.
"Ooh..." Salma menatap pakaian Sarah. Ia baru sadar, rupanya mereka pun sama-sama mengenakan seragam sekolah. Hanya berbeda nemtek yang berasal dari sekolah masing-masing.
"Pasti loe kabur dari rumah kan? Kenapa... Mau dikawinkan seperti gue? Atau loe malah sudah teg dung duluan?" Lagi-lagi Salma melontarkan pertanyaan konyol.
"Enak saja kamu" Sarah menunduk diam, apakah pantas jika dia menceritakan aib istri papanya? Padahal Salma baru saja dia kenal.
"Kok loe diam?" Ulang Salma.
"Kamu sendiri mau kemana? Kok membawa koper juga?" Sarah balik bertanya. Memandangi koper Salma yang tertindih motor.
"Hahaha... kalau gue sih kabur" Jawab Salma jujur, sambil mendirikan motornya, kemudian mengangkat koper mengibas-ngibas membersihkan debu jalanan yang menempel di koper.
"Aku diusir," Sarah yang masih duduk di trotoar, wajahnya sedih mengingat perlakuan ibu tirinya.
"Gue punya rencana," Batin Salma memandangi wajah Sarah yang sedih menopang dagu di lutut.
"Terus... loe sekarang mau kemana?" Tanya Salma. Ia berharap rencananya akan berhasil.
Sarah hanya menggeleng, kali ini memeluk lutut. "Aku bingung Salma. Entah mau kemana" lirih Sarah. Di Jakarta tidak punya siapa-siapa selain papa Aiman yang nyaris tak ada waktu untuknya. Sibuk mencari uang, tetapi hanya untuk mama tirinya. Sementara dirinya, uang sekolah saja sering telat bayar. Entah papanya tahu atau tidak yang jelas, Bianca akan membayar spp jika sudah kepentok dipanggil guru.
"Kalau loe mau nurut sama gue, gue bisa kok. Memberi tempat yang layak untuk loe," Salma kali ini tidak bergurau
"Di mana?" Sarah mengangkat kepalanya cepat.
"Sekarang ikut gue" Ucap Salma, lalu beranjak meletakkan koper di atas motor bagian depan. Lalu minta Sarah agar membonceng.
"Tunggu dulu, tapi kamu nggak mau menjual aku kan?" Sarah tidak percaya begitu saja.
"Elah... memangnya tampang gue kriminal apa? Ayo, jangan sampai gue berubah pikiran. Atau loe mau menjadi gelandangan?" Salma begidik, berlagak cuek kemudian starter motor.
"Ya deh, aku ikut kamu" Sarah pun bangun lalu menarik koper duduk di belakang Salma, meletakan koper di pangkuan. Sarah sudah pasrah akan dibawa ke mana, yang penting bukan dijual atau diajak berbuat yang aneh-aneh.
"Nah... gitu dong. Tariiik..." Seru Salma. Motor pun melesat pergi. Dalam perjalanan mereka ngobrol. Lebih tepatnya Salma yang tanya begini begitu bersaing dengan derung kendaraan. Hingga tiba di mall, motor Salma berhenti.
"Kita ke kesini?" Sarah mengedarkan pandanganya. Walaupun hidup di kota besar jarang belanja di mall. Kecuali sesekali diajak papanya. Itupun ketika sang papa belum menikah dengan Bianca.
"Iya... loe jangan norak gitu, apa" jawab Salma asal nyeplos. Sarah tidak mau menjawab memilih mengikuti Salma. Rupanya Salma ke penitipan barang. Setelah menitipkan koper dan rangsel mereka, Salma mengajak Sarah ke restoran mall.
"Loe pasti belum makan bukan" Tebak Salma, ketika memesan makanan. Sarah menggeleng pelan. Jujur, saat ini perutnya memang lapar sekali. Sebab, sudah jam tiga sore.
"Punya dwit nggak loe?"
"Nggak"
"Sudah gue duga. Loe sekarang mau memesan apa?" Salma mendekati buku kecil, pulpen, dan buku menu.
"Tapi..." Sarah ragu-ragu.
"Takut nggak gue bayar? Jangan khawatir, gue yang akan traktir loe makan sepuasnya. Tetapi loe harus menuruti kemauan gue," Rupanya Salma minta imbalan.
"Tapi aku mau kamu suruh apa?" Sarah agak ragu, takut jika dia beneran dijual. "Kalau kamu tidak bicara dulu, lebih baik aku pergi." Sarah beranjak. Lebih baik mati kelaparan, daripada hidup berlumur dosa.
"Tenang... tenang... Sekarang loe duduk dulu" Salma menarik tangan Sarah.
Sarah menarik napas panjang menatap mata Salma, mencari kebenaran di sana. Jika ucapanya asal ngenjeplak begitu apa mungkin wanita di depanya ini baik.
"Tadikan loe sudah cerita sama gue, kalau loe diusir ibu tiri loe, sekarang gue yang akan cerita sama loe,"
Tanpa ada yang ditutup-tutupi, Salma Haira menceritakan jika dirinya akan dijodohkan dengan guru di mana dia sekolah. Tentu saja dia menolak, lantaran belum ada keinginan untuk menikah. Salma memang tengil, suka kelayapan, jika bicara tidak difilter. Itu alasan sang mama ingin menjodohkan dengan Haris, agar ada yang mendidiknya sedikit demi sedikit.
"Jadi... kamu mau dijodohkan? Terus... apa yang harus aku lakukan?" Tanya Sarah bingung.
"Sekarang kita tukar tempat. Loe tinggal di rumah gue, dan gue sebaliknya tinggal di rumah loe" tutur Salma tersenyum penuh rencana.
"Apa? Nggak mau!" Sarah tak kalah tegas. Otak cerdasnya cepat menangkap. Dengan menerima tawaran tukar tempat, itu artinya, harus menikah dengan Haris.
"Ayolah Sarah... bukankah ini adil? Urusan mama tiri loe, gue bisa kok menghadapi. Masalah perjodohan itu, gue juga yakin kalau loe bisa hadapi," Dengan bergai cara Salma meyakinkan. Dalam ilmu akademik, Salma bisa dibilang nol besar. Tetapi jika masalah meyakinkan orang, dialah jagonya.
"Dengar Sarah, dalam hal ini, loe yang paling diuntungkan bukan? Terbebas dari ibu tiri yang jahat, nyokap gue baik dan penyayang, jangankan hanya makanan, uang jajan pun nggak bakal kekurangan. Bagaimana?" Segudang keuntungan untuk Sarah, Salma utarakan.
Sarah diam termangu, dia memang ingin terbebas dari belenggu ibu tiri dan adik tirinya. Tetapi jika menerima tawaran Salma, bagaimana dengan Rafi? Salma sangat mencintainya.
...~Bersambung~...
Sarah diam termangu menerima tawaran Salma yang sangat berat menurutnya. "Tapi aku sudah punya pacar Salma, terus... kami saling mencintai," Jawabnya kemudian. Nampak gurat kesedihan di wajah Sarah.
"Siapa pacar loe?" Salma kaget juga mendengarnya. Dia belum mau dipusingkan dengan yang namanya hubungan pernikahan. Selama ini temannya rata-rata pria, tetapi hanya sekedar bersahabat. Daripada pacaran pasti hidupnya diatur. Jangan ini, jangan itu. Harus begini, harus begitu. Salma ingin hidup bebas bergaul dengan siapapun yang penting tidak melanggar norma.
"Dia namanya Rafi, guru aku di sekolah Sal," lirih Sarah. Dirinya dengan Rafi sudah menjalin hubungan selama satu tahun. Jika Rafi tahu dibohongi, sudah jelas guru yang baik hati itu akan sakit hati kepadanya.
"Oh guru..." Salma akhirnya ragu keluar dari kandang Harimau, masuk ke mulut buaya. Sejenak saling diam, tetapi Salma berpikir lagi. Menggantikan Sarah setidaknya baru pacaran, tidak mungkin juga Rafi akan menerima dirinya yang tidak sempurna seperti Sarah.
"Sarah... pepatah mengatakan. Jodoh tidak akan kemana. Makanya kita jalani dulu, mau ya Sarah... pleass..." Salma pun merayu.
Sarah menarik napas panjang, mengeluarkan kasar. Mungkin benar yang dikatakan Salma. Jika Rafi memang jodohnya, pasti akan bersatu entah bagaimana caranya. Pada akhirnya Sarah mengangguk.
"Yayy... tos..." Salma mengangkat tangan, disambut tangan Sarah. Mereka lantas makan diselingi obrolan. Keduanya menanyakan sifat Rafi dengan Haris. Begitu juga dengan sifat orang tua masing-masing.
"Sekarang kita tukar pakaian," Salma menarit tangan Sarah ke toilet mall setelah makan. Di sana mereka buka seragam sekolah masing-masing.
"Bau ketek loe, nggak?" Celetuk Salma hidungnya bergerak-gerak khas mencium sesuatu.
"Enak saja! Kamu, yang bau ketiakmu," Sarah merengut. Wajar jika bau-bau sedikit sebab sudah dia kenakan seharian.
"Hahaha..." Salma tertawa ngakak, memberikan bajunya yang baunya kebangetan itu. Lalu menerima baju Sarah. Dia endus baju putih milik Sarah yang masih wangi menurutnya.
Sementara Sarah tidak banyak bicara. Dia paham, Salma agak tomboy dan cuek. Mukanya saja kusam dan berminyak. Mungkin tidak pernah dibersihkan apa lagi sampai mengenakan wewangian.
Mereka segera mengenakan baju putih yang sudah di tangan masing-masing. Bukan hanya baju yang mereka tukar. Koper dan dokumen sekolah pun sama.
"Sekarang gue minta nomor handphone loe," Salma mengeluarkan handphone dari tas.
"Aku nggak punya hp" polos Sarah.
"Idih! Miskin amat sih loe? Segitu pelitnya ibu tiri loe. Awas saja nanti gue porotin," Omel Salma, lalu mengajak Sarah ke konter handphone, menyuruh nya untuk memilih.
"Beneran," Sarah menoleh Salma. Harga handphone paling murah saja satu juta, tetapi Salma begitu mudahnya hendak membeli.
"Pilih saja Sarah, karena kita tukar tempat, kartu atm gue, untuk loe. Terus... isinya kita bagi dua," Salma memberikan benda tipis yang berisi sekitar 50han juta, lalu akan ambil setengahnya saja. Tanpa mau ada penolakan.
Tangan Sarah gemetaran memegang atm tersebut. Rasa terkejutnya akan dibelikan handphone pun belum hilang, sudah dikejutkan lagi dengan mudahnya Salma memberikan atm kepadanya. Sekaya apa... orang tua Salma? Pertanyaan itu muncul di benak Sarah.
"Jangan bengong. Ayo cepat pilih sudah sore ini" Salma meletakan atm ke telapak tangan Sarah.
Dengan ragu-ragu Sarah menerima atm, kemudian ambil handphone sesuai pilihan salma. Karena Salma ingin handphone milik Sarah bermerk sama dengannya.
Di depan mall, Salma memberikan motornya kepada Sarah. "Alamat Nyokap gue, sudah gue kirim ke handphone loe," Pungkas Salma. Gadis itu pun rela berdesakan numpang angkutan menuju kediaman Sarah.
***************
Sarah masih termangu di depan mall, tidak percaya ada orang seperti Salma. Ya... boleh dia senang, karena terbebas dari ibu tiri. Tetapi tentu saja dia menjadi wanita jahat, telah membohongi Rafi. Pria yang tengah menghibur kala dia sedih, jika sesekali curhat tentang ibu tirinya.
"Maafkan aku Mas Rafi," Monolognnya. Lalu dia naik ke atas motor, kemudian pergi menggunakan Google maps.
Rumah lantai dua, berpagar tinggi itulah alamat yang dia tuju. Sebenarnya rumah papa Aiman tidak kalah besar, tetapi apa gunanya jika sudah dikuasai ibu tiri.
Seperti yang sudah diberi tahu Salma, Sarah memencet bel. Tidak lama kemudian, muncul wanita seusia dengan ibu tirinya membuka pagar.
"Ma-mama..." Ucap Sarah gagap. Lidahnya rasanya kelu untuk memanggil wanita di hadapannya.
"Ya ampun Non Salma... akhirnya Non pulang. Hehehe... tapi jangan panggil saya Mama Non. Pasti Non merasa bersalah sama Mama jadi bibi ini Non kira Mama" Bibik cengengesan.
Sarah menyembunyikan rasa terkejut ternyata salah orang. "Oh iya Bibi... Mama kemana?" Sarah menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Rupanya wanita di depanya adalah art.
"Itu dia Non, Nyonya bingung loh mencari Non Salma," tutur bibi panjang lebar, lalu menekan tombol handphone menghubungi orang tua Salma sesuai perintah. Sarah mendengar dari perbincangan itu, jika Salma hanya pergi ke salon. Mungkin saja bibi melihat wajah yang dia sangka Salma itu memang glowing.
Sarah menarik napas panjang, hatinya sebenarnya sedih. Dia awalnya berpikir hanya Rafi yang dia bohongi. Tetapi rupanya akan membohongi banyak orang. Namun, semua sudah terlanjur, Sarah harus terima konsekuensinnya atas kebohongan yang dia buat.
"Nyonya sedang dalam perjalanan pulang Non. Ayo masuk Non, kok malah bengong." Bibi menurunkan koper dari motor, kemudian mengantar Sarah ke kamar.
Kamar besar, banyak fasilitas, itulah kamar Salma yang akan dipakai Sarah. Sarah benar-benar seperti mimpi menjadi putri mendadak. Betapa tidak? Kamar dirinya tidak semewah ini.
"Sekarang Nona istirahat saja, biar bibi yang membereskan pakaian. Non kok dari tadi bengong terus... tenang saja Non, dijodohkan itu tidak seberat yang Non pikirkan" Bibi merasa heran. Karena Salma telah berubah 180 derajat. Biasanya Salma bersikap penyinyilan, tetapi saat ini pendiam dan banyak melamun.
"Iya Bi... saya mandi dulu," Sarah segera ke kamar mandi. Bau kecut baju Salma membuat kepalanya lama-lama pusing.
Selesai mandi sudah tidak ada bibi di kamar. Ia membuka lemari melihat pakaian Salma. Rupanya baju mahal semua, tetapi kebanyakan baju tanpa lengan dan celana selutut.
Sarah memilih baju piama kemudian melempar tubuhnya ke kasur, tidak lama kemudian tidur. Sebelum maghrib, dia bangun. Matanya mengerjap kala seorang wanita yang tengah mantengin handphone duduk di sofa. "Pasti itu mamanya Salma" Batinya lalu Sarah menyeret bokongnya hendak turun.
"Salma..." Wanita tersebut segera bangkit, memeluk tubuh Sarah yang dia pikir Salma.
"Kamu itu loh, bikin mama bingung," Ia colek hidung Sarah menatapnya lekat. Ada yang berbeda dengan wajah putrinya.
Sarah hanya tersenyum saja, bingung entah mau menjawab apa.
"Terimakasih sayang... kamu sudah meluangkan waktu untuk ke salon, berarti nanti malam sudah siap menerima lamaran Haris bukan?" Wanita paruh baya itu senang, melihat penampilan putrinya telah berubah.
Deg.
Dada Sarah merasa sesak, nanti malam lamaran? Secepat itukah? Ya Allah... wajah Sarah berubah pucat.
...~Bersambung~...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!