"Mas, kamu mau berangkat lagi?" Tanyaku dengan nada sedih, mataku berkaca-kaca menyadari suamiku baru saja pulang dari luar kota beberapa hari yang lalu.
"Iya sayang, maaf ya," ucap suamiku lembut, mencoba menenangkan hatiku yang resah.Aku duduk lemas di tepi kasur, menatap dengan pandangan kosong ke arah suamiku yang tengah sibuk memasukkan bajunya ke dalam koper.
Hati ini semakin terasa berat, kecewa dengan kondisi yang terus terulang satu tahun terakhir ini.Mas Hans sering bolak-balik keluar kota tanpa alasan yang jelas.
"Mas, bisakah kamu jangan pergi malam ini saja? Aku kangen kamu, sudah lama kita tidak menghabiskan waktu bersama," ucapku dengan suara yang bergetar, berharap suamiku mau mempertimbangkan permintaanku.
Mas Hans menghentikan kegiatannya mengemas barang-barangnya ke dalam koper. Dia menatapku dengan wajah yang tampak terguncang, namun masih bersikeras untuk berangkat.
"Sayang, aku tahu kamu merasa kesepian, tapi aku harus pergi. Pekerjaan memanggil, dan aku harus melakukannya demi masa depan kita," jawabnya dengan nada yang penuh penyesalan.
Aku merasa semakin terpuruk, menangis dalam hati, merasa ditinggalkan dan tidak dipahami. Suasana hati ini semakin diperparah oleh kenyataan bahwa Mas Hans juga sudah lama tidak menyentuhku sebagai seorang istri.
Rasa kangen itu semakin menjadi, dan aku tak tau harus berbuat apa untuk mengatasi rasa sakit ini.Mas Hans menutup koper, menghela napas panjang, dan mencoba mendekatiku.
"Maafkan aku, sayang. Aku janji, begitu tugas ini selesai, aku akan pulang dan kita akan menghabiskan waktu lebih banyak bersama," ucapnya sambil mengusap air mataku yang mulai jatuh.
Namun, janji itu tak lagi cukup untuk menenangkan hatiku. Aku merasa terluka, dan tak tahu apakah aku masih mampu mempercayai suamiku seperti dulu lagi.
Mas Hans berjalan keluar dari kamar kami dengan cepat, seakan tak peduli dengan perasaanku yang terluka.
Aku segera berdiri dari dudukku dan berjalan mengejar Mas Hans yang sudah sampai di ruang tengah. Begitu berhasil mengejarnya, aku meraih tangannya erat, menatap matanya dengan harapan agar dia tidak pergi.
"Mas, aku mohon, jangan pergi," isakku semakin terdengar parau.
"Lepaskan, Rea! Jangan bertingkah seperti anak kecil. Aku melakukan ini demi memenuhi kebutuhan kita," ujar suamiku dengan nada yang semakin meninggi,
membuat hatiku semakin remuk.Aku mengusap air mata yang mengalir di pipiku, berusaha keras untuk tetap tegar.
"Kalau begitu, biarkan aku ikut," kekehku, berharap dia akan mengizinkanku.
"Rea!" sentak Mas Hans dengan keras, membuatku terkejut.Aku terjingkat kaget, tak pernah sebelumnya suamiku menyentakku dengan begitu keras. Hatiku semakin pilu, merasakan jarak yang tercipta di antara kami.
Mas Hans berjalan cepat meninggalkan rumah, langkah kakinya yang tegap dan wajahnya yang dingin mencerminkan perubahan yang sangat drastis dalam dirinya.
Aku memanggil namanya beberapa kali, berharap dia akan berhenti dan menjelaskan alasannya, tetapi Mas Hans tetap melanjutkan langkahnya.
Aku berlari sekuat tenaga, mengejar Mas Hans yang kini telah sampai di mobilnya. Namun, sebelum aku berhasil mendekat, dia langsung menghidupkan mesin mobilnya dan melaju keluar dari halaman rumah dengan kecepatan tinggi.
Aku tidak sempat mengejarnya karena mobilnya sangat kencang, membuatku hanya bisa menatap punggung mobil itu menjauh.Hati ini rasanya sangat sakit, apakah memang bekerja begitu penting sampai tidak ada waktu untuk keluarga? Padahal selama ini Mas Hans tidak pernah seperti ini.
Aku duduk lemas di halaman rumah, menangis tersedu-sedu, mencoba mencari jawaban atas perubahan yang terjadi pada Mas Hans.
Bibik mendekatiku dengan raut wajah yang prihatin. "Sudah, Non. Masuk, sudah malam. Biarkan Tuan pergi," ucap Bibik dengan lembut.
Titin, asistenku, juga tampak geram dengan sikap Mas Hans yang meninggalkanku begitu saja."Halah, gak usah tangisi laki-laki seperti Tuan Ibu Bos. Biarkan saja dia pergi," seru Titin dengan nada kesal.
Aku hanya bisa menatap keduanya dengan pandangan yang kosong.
"Tapi, Tin..." ucapku dengan suara yang lirih."Bu Bos harus tidur. Besok kita ada meeting," tegas Titin sambil membantu Bibik mengangkatku dari posisi duduk.
Titin mengusap lembut air mata yang mengalir di pipiku, sementara aku berjalan gontai diiringi oleh mereka berdua.
Hatiku sangat tidak karuan saat ini. Setiap langkah yang kutapaki menuju kamarku terasa berat dan penuh beban.
Sesampainya di kamar, aku langsung rebahkan tubuhku di atas ranjang, mencoba melupakan semua kejadian yang baru saja terjadi.
aku merasa begitu gelisah di atas kasur. Tidur pun jadi tak enak, pikiranku terus-menerus terganggu oleh pertanyaan yang berkecamuk di benakku.
"Apakah Mas Hans memiliki perempuan lain?" Namun, segera ku usir pikiran itu, karena tak mungkin seorang Mas Hans berbuat begitu terhadapku.
Aku sangat yakin akan cintanya padaku dan betapa ia selalu mengutamakan kebahagiaanku.Namun, kenapa perubahan sikapnya begitu mencolok? Aku tak bisa memahami alasan di balik perubahan itu. Sebagai bos di perusahaan tempat ia bekerja, memang wajar jika ia harus pergi keluar kota untuk urusan bisnis.
Tapi, mengapa belakangan ini ia kerap kali pergi tanpa memberi tau aku? Bahkan, terkadang Titin yang memberi tau aku kalo mas Hans tidak pulang ke rumah, padahal titin itu sekretaris ku.
"Apa sebenarnya yang terjadi, Mas? Kenapa kamu berubah seperti ini?" gumamku pelan sambil mencoba untuk menutup kedua mataku.
Aku berharap bisa segera terlelap dan menenangkan pikiran yang kacau ini.Tetapi, semakin kuupayakan untuk tidur, semakin sulit pula rasanya untuk melupakan kegelisahanku.
Tak henti-henti rasa cemas dan curiga mendera hatiku. Aku hanya bisa berdoa agar semua ini hanyalah perasaan yang berlebihan dan semoga Mas Han bisa kembali menjadi sosok yang dulu kukenal,penuh perhatian dan cinta.
Malam itu, angin berhembus sepoi-sepoi, mengiringi kegelisahan yang menghantui pikiran dan hatiku, aku terus bergulat dengan pikiran dan perasaannya yang tak menentu.
Baru saja ia mencoba tidur, namun mata yang terjaga membuatnya gelisah. Ia lantas mengambil ponselnya dan mencoba menelpon suaminya, Mas Hans. Namun sayang, setelah beberapa kali mencoba, ponsel Mas Hans tak kunjung diangkat. Bahkan, ponselnya terlihat nonaktif.
Aku merasa bingung dan cemas, "Kenapa Mas Hans harus menonaktifkan ponselnya di saat seperti ini? Apa yang sebenarnya terjadi?" gumamku dalam hati.
Rasa penasaran semakin memuncak,aku pun mencoba menghubungi sahabatku, Imas. Imas adalah seorang pengacara handal yang kerap kali menangani kasus perceraian.
Aku ingin tau apa penyebab utama perceraian yang sering ditangani oleh Imas. Namun sayang, Imas pun tak mengangkat telepon dariku.Kegelisahan semakin menjadi-jadi. Aku menekan pelipisku, rasa sakit kepala mulai menyerang. Ia merasa sangat pusing memikirkan apa yang tengah terjadi. Hati kecilnya berbisik,
"Apakah ada sesuatu yang terjadi pada Mas Hans? Atau... apakah ini pertanda buruk bagi pernikahan kami?"Aku mencoba menenangkan diri, menghembuskan napas panjang, dan berusaha untuk kembali tidur. Namun, pertanyaan yang menghantui pikiranku tak juga memudar.
Aku berharap semoga esok hari, semua kekhawatiran ini akan terpecahkan..
***
Mentari pagi yang hangat menerobos masuk melalui celah-celah jendela kamar, menyapa kedua mataku yang baru terbuka.
Aku mendengar suara lembut bibik yang memanggilku dari luar kamar, "Nona, sudah waktunya bangun."
"Iya bik, aku udah bangun," seruku sambil menyibakkan selimut dan turun dari kasur.
Langkahku menuju kamar mandi, tubuhku masih terasa kaku setelah tidur semalaman. Air yang jernih mengalir di kulitku, menyegarkan pikiran dan tubuhku.
Selesai mandi, aku menghampiri cermin yang ada di dinding kamar. Wajahku yang segar setelah mandi membuatku teringat akan masa lalu.
Aku tersenyum tipis, mengenang bagaimana dulu aku menolak pinangan berbagai pria, hanya demi cinta sejatiku, Mas Hans. Aku memilih untuk menikah dengannya, dan sejak saat itu, banyak pria yang mencoba mendekatiku, namun tak satupun mampu menggoyahkan hatiku.
Bagiku, Mas Hans adalah segalanya. Dialah yang selalu ada di hati, menyemangati hari-hariku, dan membuat hidupku lebih berarti. Setiap detik yang kujalani bersamanya adalah berkah yang tak ternilai harganya, dan aku bersyukur telah memilihnya sebagai pasangan hidupku.
Setahun terakhir ini, perubahan suamiku begitu mencolok. Entah apa yang telah kulakukan hingga sikapnya terhadapku berubah drastis.
Usai berdandan, aku bergegas keluar kamar, berusaha melupakan sejenak kegelisahan hatiku akibat perubahan suamiku.
Di ruang makan, Titin yang kemarin malam lembur, sudah ada di sana. Aku mempersilakan dia tidur di rumahku untuk beristirahat. Dia duduk di meja makan sambil asyik memainkan ponselnya.
Tiba-tiba, ponselku berdering. Aku melihat siapa yang menelepon dan ternyata Imas, sahabatku. Kebahagiaan langsung menyelimuti hatiku, dan dengan cepat aku mengangkat teleponnya.
Imas ["Halo, bestie! Kemarin malam aku nggak sempat mengangkat telfon kamu. Gimana?" ]
Aku tersenyum mendengar suara Imas yang hangat.
Aku ["Alhamdulillah akhirnya kamu menelpon aku balik, gak bisa kau bicara di telepon bagaimana kalo nanti kita bertemu?" ]
Kami pun terlibat dalam obrolan yang mengalihkan perhatianku dari kegelisahan yang kurasakan.
Namun, di balik semangatku berbicara dengan Imas, hatiku masih terusik oleh perubahan sikap suamiku. Aku bertekad untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dan mengembalikan keharmonisan rumah tanggaku.
Setelah berbincang lama di telepon, aku memutuskan untuk menutup sambungan tersebut. Celotehan yang terasa dari suara bibi dan Titin membuatku tersenyum.
Aku melirik ke arah makanan yang ada di meja makan dan Titin menawarkan sarapan untukku. Kami pun duduk bersama, menikmati hidangan pagi itu.
Titin membacakan jadwal kegiatanku hari ini, "Hari ini Bu bos nggak terlalu sibuk." Seru titin menatapku
"Baik tin" Senyumku
Setelah menyelesaikan sarapan, aku dan Titin bersiap-siap untuk berangkat ke kantor. Karena kami memiliki mobil sendiri, kami memutuskan untuk menggunakan kendaraan pribadi masing-masing.
Sesampainya di kantor, Titin menggenggam tanganku erat, "Semoga hari Bu bos menyenangkan, ya. Nanti kalo ada meeting mendadak aku langsung bilang ke Bu bos ."
"Beres tin" seruku
Titin mengangguk dan tersenyum, merasa bersemangat menghadapi hari ini. Memandangi Titin yang mulai melangkah menjauh, aku tahu bahwa titin begitu peduli kepadaku.
Bahkan kalo aku sama mas Hans lagi marahan Titin selalu menyemangati aku, agar aku jangan cengeng dan menjadi wanita yang kuat.
Aku terbatuk-batuk saat memasuki lift yang akan membawaku menuju ruanganku di lantai atas.Begitu sampai di tujuan, pintu lift terbuka dan aku melangkah dengan mantap menuju ruanganku.
Sesampainya di sana, aku segera masuk dan langsung mengecek pekerjaan yang menumpuk di mejaku.
Di tengah kesibukan, aku mencoba untuk menelpon Mas Hans, namun hingga saat ini ponselnya belum juga aktif.
Rasa kesalku semakin memuncak, namun aku mencoba untuk tetap tenang. Aku memang tipe perempuan yang jika disakiti, tak akan lagi peduli. Semoga saja keanehan yang terjadi ini akan segera terungkap.
Tiba-tiba, terdengar ketukan pintu di ruanganku. Tok tok.
"Masuk!" seruku dengan suara agak keras. Aku penasaran siapa yang akan datang
Ceklek
Pintu ruangan itu terbuka perlahan, dan sosok Titin tampak di baliknya. Wajah gadis itu menunjukkan ekspresi yang sulit aku artikan.
Tanpa ragu, Titin langsung duduk di kursi depan mejaku, hanya terhalang oleh meja yang memisahkan kami.
"Apa yang terjadi, Titin?" tanyaku dengan rasa penasaran.
Dengan lelah, Titin mengusap wajahnya sebelum menjawab, "Tadi, rekan bisnis dari Pak Hans meneleponku."
Aku terkejut mendengar hal itu. "Lalu, apa yang mereka katakan?"
Titin menghela napas panjang sebelum melanjutkan, "Mereka menyuruhku untuk bertanya kepadamu di mana Pak Hans. Mereka tau kalau bu bos adalah istrinya. Mereka ingin mengetahui keberadaan suamimu Bu bos."
Aku merasa semakin dibuat pusing oleh situasi ini. "Aku juga tidak tahu di mana dia sebenarnya, Titin. Mas Hans benar-benar menyebalkan! Apakah dia tidak sadar betapa khawatirnya aku dan orang-orang di sekitarnya?"
Titin menggenggam tanganku, mencoba memberikan dukungan. "Tenanglah, semoga saja Mas Hans segera memberi kabar, aneh juga sebenarnya di mana mas Hans??
rasa kekhawatiran dan kesal terus menghantuiku, menciptakan pertanyaan besar dalam hati: di mana sebenarnya suamiku, Mas Hans?
"Bilang saja tin, mas Hans lagi sakit gitu atau apalah terserah kamu saja" kesalku
"Baik Bu bos, saya permisi dulu ya"
"Iya tin"
Begitu Titin melangkah keluar dari ruanganku, beberapa karyawan bergegas masuk untuk meminta tanda tanganku pada berkas yang mereka bawa.
Aku berusaha keras untuk tetap fokus dan profesional dalam bekerja, tidak ingin membiarkan masalah pribadiku mengganggu pekerjaanku. Seiring berjalannya waktu, jam makan siang pun tiba.
Aku segera mengirim pesan kepada Imas, mengajaknya untuk segera bertemu di kafe kesukaan kami.
Sambil menunggu balasan dari Imas, aku mencoba menenangkan diri dengan menutup mata sejenak. Namun, ketenangan itu terganggu oleh ponselku yang berdering. Layar ponsel menunjukkan bahwa Mas Hans yang menelpon.
Dengan perasaan penasaran dan harap-harap cemas, aku segera mengangkat telepon itu.
Aku ["Halo, Mas Hans? Ada apa?" tanyaku, ] berusaha menjaga nada suaraku tetap tenang.
Suara Mas Hans terdengar dari seberang,
Mas Hans ["sayang maaf baru ada sinyal di sini, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan denganmu. Apakah kamu punya waktu sebentar?" ]
Aku menghela napas, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menghadapi apapun yang akan dia sampaikan.
Aku [ "Baiklah, Mas. Aku ada waktu sekarang. Silakan bicara." ]
Dengan hati berdebar, aku mendengarkan setiap kata yang diucapkan Mas Hans, berharap bisa menemukan jawaban atas semua kegundahan yang sedang kuhadapi.
Mas Hans [ sayang maaf, aku tidak bisa pulang satu Minggu ini ya?"]
Degh..
Aku [ Oo ]
Mas Hans [ kamu gak mau tau apa alasannya? Cuman oh saja? ]
Aku tersenyum miring mendengar perkataannya,
Aku [ tidak, karena kamu tidak lagi ke luar kota, melainkan kamu entah berada di mana? Jadi aku gak mau tau alasan kamu ] aku langsung mematikan telfon nya
****
Saat berjalan menuju lobi kantor, tiba-tiba ponselku berdering lagi. Aku melirik layar ponsel dan melihat nama Mas Hans terpampang di sana.
Hatiku masih terasa kecewa berat dan enggan untuk mengangkat teleponnya. Namun, dering telepon yang terus berbunyi membuatku merasa tidak nyaman.
Akhirnya, dengan rasa enggan, aku mengangkat teleponnya. Begitu tersambung, suara Mas Hans terdengar sangat keras di ujung sana, hingga aku harus menjauhkan ponsel dari telinga.
Mas Hans ["Apa maksud kamu bilang seperti tadi, Rea? Aku ini kerja!" ] teriaknya.
Aku mencoba menjawab dengan tenang,
Aku [ "Iya, iya, Mas. Aku tahu kamu sedang kerja. Maaf ya, aku masih banyak urusan." ]
Aku berusaha menutup pembicaraan agar tak perlu berbicara lebih lama dengan Mas Hans yang membuatku kecewa.
Dengan langkah gontai, aku melanjutkan perjalanan menuju lobi kantor, sambil berusaha melupakan kekecewaan yang kian menghantui pikiranku.
Malam itu, aku menyalakan mesin mobil dan melajukan kendaraan dengan kecepatan sedang, membelah jalanan ibu kota yang ramai.
Destinasiku adalah restoran yang sudah kusampaikan alamatnya kepada Imas. Hatiku berdebar, rasa penasaran dan gundah bercampur menjadi satu.
Setibanya di restoran, aku melangkah pasti menuju pintu masuk dan segera duduk di meja yang telah kureservasi.
Aku langsung memesan makanan untukku dan Imas, berharap ia segera datang untuk mengklarifikasi segala kegundahan hati.
Tak lama kemudian, Imas datang dengan langkah anggun dan tersenyum tipis padaku. Ia duduk di depanku, dan aku mencoba menahan rasa gugup yang mulai menggelayuti pikiranku. Aku ingin tahu kebenaran dari segala isu yang beredar.
"Kamu mau tanya apa, Rea?" tanya Imas, menatapku tajam.
Aku menghirup oksigen dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan, mencoba menenangkan diri.
"Imas, aku ingin tau kebanyakan kasus yang kamu tangani itu masalah apa??" ucapku, mencoba menahan tangis yang mulai menggenang di pelupuk mata.
Imas menatapku lama, kemudian menghela napas panjang. Ia menggenggam tanganku erat, mencoba memberikan dukungan sebelum akhirnya membuka suara.
"Rea, apa kamu sedang menghadapi masalah dalam pernikahan. Tapi aku yakin kamu bisa melewatinya. Katakan apa masalahmu ." ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Aku menatap Imas dengan haru, berusaha menahan air mataku sebisa mungkin agar tidak jatuh.
"Jawab dulu Imas pertanyaanku"
"Oke rea aku akan menjawab pertanyaan kamu, jadi kebanyakan kasusnya mereka itu adalah perselingkuhan"
Degh !!
Imas menatapku dengan tajam, penuh kecurigaan. "Lalu, ciri-ciri orang selingkuh seperti apa, Im?" tanyaku penasaran.
"Kebanyakan sih, sifatnya berbalik dari apa yang sebelumnya. Jadi, kalau dulu nggak romantis, jadi romantis. Ada lagi yang dulunya romantis, jadi cuek bebek. Ya, kira-kira begitu," jawab Imas.
"Loh, kenapa yang tadinya cuek setelah selingkuh jadi romantis?" tanyaku heran.
"Karena untuk menutupi selingkuhannya. Kenapa kamu tanya-tanya soal selingkuh, Rea? Keluarga kamu baik-baik saja kan?" Imas bertanya dengan ekspresi khawatir.
Tanpa sadar, air mataku menetes. Hatiku terasa berat dan sesak, mengingat keluarga yang sedang menghadapi masalah. Imas langsung meraih tanganku, mencoba memberi dukungan dan menguatkan hatiku di saat yang sulit ini.
"aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi dengan Mas Hans belakangan ini. Sungguh, aku dibuat pusing oleh sifatnya," keluhku sambil menatap Imas yang duduk di seberangku.
"Coba ceritakan, Rea. Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Imas dengan perasaan khawatir.
Aku pun menceritakan panjang lebar tentang sikap Mas Hans satu tahun belakangan ini. Mulai dari cara dia berbicara yang lebih dingin, sering pulang malam, hingga jarang memberi perhatian padaku. Semua aku ceritakan tanpa mengurangi ataupun menambahkan detail apa pun.
Imas tampak cemas mendengar ceritaku. Dia tahu betul betapa dalam perasaanku saat ini, karena dia adalah sahabat yang selalu ada di sampingku.
"Rea, mungkin suami kamu sedang ada masalah di perusahaannya. Kamu tahu sendiri kan, Mas Hans itu sangat mencintai kamu dan selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk keluarga," ujar Imas mencoba memberi dukungan.
Aku mengangguk, mencoba menerima pendapat Imas. Namun, di lubuk hati yang paling dalam, aku tetap merasa gelisah.
Apakah benar Mas Hans hanya memiliki masalah di pekerjaannya, atau ada sesuatu yang lebih serius yang dia sembunyikan dariku?
Aku mencoba mengabaikan perasaan aneh yang mengusik hatiku, seolah ada sesuatu yang tersembunyi di balik semua ini. Imas menyadari perubahan dalam ekspresi wajahku dan mencoba menenangkanku.
"Jangan berpikir yang aneh-aneh, ya. Mungkin hanya perasaan saja."
Aku mengangguk, berusaha meyakinkan diri sendiri untuk berpikir positif. Kami kemudian melanjutkan makan malam bersama, bercanda dan tertawa lepas.
Imas bahkan sengaja melontarkan beberapa lelucon agar aku merasa lebih baik, dia emang tau saja cara mengubah mood ku.
Tiba-tiba, terdengar seruan dari kejauhan, "Rea, Imas!" Kami berdua langsung menoleh ke arah suara itu, dan ternyata Rena, sahabat lama kami yang sudah lama tak bersua.
"Rena!" seruku dengan antusias, sedikit menaikkan volume suaraku.
Imas pun ikut berseru, "Kamu pulang kapan? Kenapa nggak ngabarin kami sih?"
"Iya Rena, kamu balik kapan? Kenapa nggak ngabarin kami juga?" tambahku sambil tersenyum lebar.
Rena mendekat dengan wajah sumringah, menjelaskan bahwa ia sudah lama pulang ke indo, karena dia harus melangsungkan pernikahan dengan seseorang yang rena jumpai tiga tahun lalu.
Ia juga menjelaskan kalo dirinya dan suaminya sudah menikah satu tahun, dan sekarang dirinya sedang hamil.
"Kenapa gak mengundang kami ren?" Tanyaku heran
"Kata suamiku aku gak boleh mengundang temanku" meringisnya
"Kok bisa gitu ya?" Hahahaha Ketawa Imas
Imas kembali bertanya tentang pertemuan dengan suami rena, rena menceritakan semuanya awal bertemu sampai sekarang menjadi suaminya.
"oh iya rea, Maaf banget ya aku gak datang ke pernikahan kamu dan suami kamu" seru rena menatapku
"oke tidak masalah Rena udah lama juga" senyumku
Rena menatap wajahku dan juga Imas kebahagiaan terlihat jelas di mata Rena, ia terlihat lebih cantik sekarang.
"rea, aku belum pernah lihat suami kamu loh?" seru penasaran
"suami rea ganteng banget, gak usah lihat suami rea nanti yang ada kamu nyidam suami rea lagi" celutuk Imas
hahahaha
Rena dan aku ketawa mendengar celutuk Imas, bisa saja Imas itu selalu bisa membuat aku Ketawa dari tadi.
"kapan kapan kalian mampir rumah dong" seru rena
"oke, kapan kapan aku main ke rumah kamu ya, dan jangan lupa kenalkan suami aneh kamu itu" seru Imas
kamipu. Mengiyakan apa yang di tawarkan Rena untuk main ke tempatnya.
**
"Iya tidak masalah
Kami pun bercengkrama dengan gembira, namun di sudut hatiku, instingku masih merasa ada yang tak beres.
Aku mencoba menepis perasaan itu dan menikmati pertemuan ini bersama sahabat-sahabat tercinta.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!