NovelToon NovelToon

The Prisoner

Insiden

Seorang pria berpostur tinggi, tampak berjalan dengan santai di sebuah bandara yang berada di Los Angeles. Tubuh atletis yang dibalut kaos hitam polos menambah ketampanan pria yang memiliki rahang tegas itu.

Dia adalah Steven Gershon, pria berusia 27 tahun yang sukses besar dalam memimpin Gershon group—perusahaan yang memiliki banyak cabang dan bergerak di berbagai bidang industri, pertambangan, pariwisata, perhotelan dan masih banyak lagi.

Steven terkenal sebagai sosok yang dingin dan irit bicara, tapi jangan tanya jika ia sedang berhadapan dengan kekasihnya. Pria itu berubah 180 derajat.

“Sayang, seminggu di Malibu, aku akan segera menemuimu.” Ujar Steven pada sang kekasih melalui sambungan telepon sambil memandangi cincin berlian yang sedang ia genggam, senyum pria itu mengembang.

Cincin yang ia pesan khusus dari seorang desain ternama di Texas—kota yang baru saja ia sambangi, dibandrol dengan harga 5 Milayar menurutnya sangat sebanding dengan bahan dan makna dari cincin itu sendiri. Dibuat dari berlian utuh yang melambangkan keabadian, mata cincin yang berbentuk round cut mempertegas cinta adalah segalanya bagi Steven dan sang kekasih.

Dia berencana, sekembalinya dari Malibu akan segera malamar sang kekasih yang hampir dua bulan ini tidak ia temui karena perjalanan bisnisnya di Negeri Paman Sam.

“Aku akan menunggu kedatanganmu, segeralah kembali. Aku mencintaimu dan sangat merindukanmu, Steve.” Sahutan dari sang kekasih benar-benar membuat pria itu melayang.

“Oh Sayang, aku semakin tidak sabar untuk pulang.” Hampir Steven berteriak. Sadar jika ini sedang di bandara, pria itu menahan suaranya.

“Hahahah,” tawa renyah sang kekasih memenuhi indra pendengaran Steven. “Artinya kau harus cepat menyelesaikan pekerjaanmu Tuan Gershon.”

“Tidak lama lagi, percayalah.” Steven meyakinkan, sebab sudah tiga kali ia membatalkan kepulangannya karena proyek yang sedang berjalan di Malibu cukup banyak melibatkan dirinya.

“Aku percaya, Steve.”

“Thank you, Sayang. Kututup teleponnya dulu, Kendry sudah datang menjemputku.” Ujar Steven saat melihat asisten pribadinya tiba di bandara untuk menjemput pria itu.

“Baik, Sayang. Kabari aku jika kalian sudah tiba di Malibu.”

“Oke Honey.” Ujar Steven sambil menutup sambungan telepon mereka.

Senyum pria itu tak kunjung surut, sekalipun percakapan dirinya dan sang kekasih sudah berakhir.

“Tuan.” Sang asisten sedikit menunduk memberi hormat kepada Steven sembari mengambil alih koper kecil milik sang majikan yang berada di sisi kanan pria itu. Dia adalah Kendry—anak seorang pelayan—yang single parent di kediaman Gershon, dia diasuh oleh orangtua Steven setelah sang ibu meninggal akibat serangan jantung. Usianya terpaut satu tahun lebih tua dari Steven.

“Kendry, aku sudah tidak sabar ingin menyematkan cincin ini di jari manis kekasihku,” masih tetap memandangi cincin tersebut, Steven mengecup benda itu. “Aku akan menikahinya dan membahagiakannya hingga nanti, aku bersum—“

Brukkk!!!

Kalimat pria itu terjeda, maniknya membola. Sebab cincin yang ia tautkan di bibirnya tadi kini hilang entah kemana akibat seorang perempuan yang tanpa sengaja menabrak tubuhnya.

“Ma—maafkan aku Tuan, aku tidak sengaja.” Sambil mengatupkan kedua tangannya, perempuan itu hendak segera pergi.

Melihat pergerakan perempuan itu yang akan berlalu begitu saja, Steven tak tinggal diam. Dia mencengkram kuat pergelangan tangan perempuan yang kini menyulut emosinya.

“Auhh—“ Rasa sakit dari cengkraman tangan Steven membuat perempuan itu meringis.

“Tuan, tolong lepaskan aku. Aku sedang buru-buru.” Pinta perempuan itu.

“Buru-buru katamu?! Buru-buru sampai kau tidak bisa menggunakan matamu untuk melihat,” rahang Steven mengeras, menatap tajam penuh amarah pada perempuan itu. “Akibat kecerobohanmu, aku kehilangan cincin yang akan kuberikan untuk melamar kekasihku.” Ujar Steven penuh penekanan di setiap kata yang ia ucapkan.

Tubuh mereka yang berbenturan cukup keras, membuat cincin tersebut terlepas dari genggaman tangan Steven.

“Tuan, maafkan aku.” Terdengar lirih, perempuan itu memelas pengampunan. Dia merasa bersalah telah membuat kekacauan yang tidak seharusnya pria itu dapatkan.

“Aku akan membiarkanmu pergi setelah kau berhasil menemukan cincin itu. Kendry, bantu dia mencarinya.” Setelah memberi perintah pada dua sosok di hadapannya, Steven berniat menunggu di dalam mobil sampai cincin itu di temukan. Ia hendak mengayunkan langkah, namun tertahan oleh tubuh perempuan itu yang berlutut di bawah kakinya.

“Maafkan aku. Maafkan aku, Tuan. Ibuku sedang sekarat di rumah sakit, aku harus segera menemuinya di Hamburg. Pesawat akan terbang sebentar lagi. Jika kondisinya tidak mendesak, aku akan menyisiri setiap sudut bandara ini, sampai aku menemukan cincin milikmu. Tolong biarkan aku pergi, Tuan.” Ujar perempuan itu bersama air mata yang sudah menganak sungai membasahi pipinya, bahkan cairan bening itu tampak menetes mengenai sepatu mahal—mengkilat milik Steven.

Deg

Steven terkejut mendengar penuturan perempuan itu, ada perasaan bersalah karena sudah menahannya. Sambil menunduk, secara reflek dia menangkup lengan perempuan yang sedang menangis itu.

“Berdirilah,” kali ini nada bicara Steven terdengar lebih bersahabat.

“Semoga ibumu cepat membaik. Pergilah, beliau juga pasti sedang menunggumu.” Ujar pria itu.

“Tu—Tuan terimakasih banyak.” Manik yang tampak sendu tadi kini sedikit berbinar.

Merogoh bolpoint dari tas sandang yang ia pakai, perempuan itu meraih telapak tangan Stevan dan menuliskan sesuatu di sana.

“Tuan, aku tidak memiliki kertas. Maaf, sudah mengotori telapak tanganmu. Itu nama dan nomor ponselku. Aku khawatir, jika cincinmu tidak ditemukan, pasti sulit meminta pertanggung jawaban dariku yang keberadaannya tidak Tuan ketahui. Aku akan menebus kesalahanku, bagaimanapun caranya. Aku permisi, Tuan.” Ujarnya sembari menunduk.

Dengan langkah panjang, dia pergi meninggalkan Stevan yang mematung menatap ke arahnya.

“Lenka Lainovacka.” Sampai siluet tubuh perempuan itu menghilang, pandangan Steven kini beralih ke tulisan di telapak tangannya. Dia membaca nama perempuan itu namun mengabaikan deretan angka yang ada disana.

“Kendry, melihat orang yang kita sayangi kesakitan sungguh menyakitkan. Tapi akan lebih sangat menyakitkan ketika kita tidak berada di sisi mereka,” sekelabat bayangan masa lalu menghampiri memori Steven.

“Aku berdosa karena sudah menahannya tadi, pasti dia khawatir setengah mati sampai tidak memperhatikan jalannya. Kau tahu, bahkan lengannya yang di balut baju terasa dingin saat aku menyentuhnya. Dia sangat ketakutan Kendry, dia ketakutan memikirkan hal buruk terjadi pada ibunya. A—aku, aku—“ Steven tak sanggup melanjutkan kalimatnya, tubuh pria itu tampak bergetar hebat dan hampir ambruk.

“Tuan, kau baik-baik saja?” Dengan sigap Kendry menahan tubuh sang majikan, membawa pria itu duduk di deretan kursi yang ada disana.

Kendry tahu dan sangat tahu mengapa Tuannya melemah tiba-tiba.

Sepuluh tahun silam, sepulang mengantarkan Steven ke bandara, mobil yang orangtua pria itu tumpangi mengalami kecelakaan. Steven yang saat itu baru tiba di Finlandia tempat ia mengenyam pendidikan mendapat kabar buruk jika orangtuanya sedang koma akibat kecelakaan.

Hendak segera pergi melihat kondisi orangtuanya, penerbangan pria itu tertunda akibat badai besar dan suhu ekstrim. Keesokan harinya, di malam hari bersama gerimis yang membasahi bumi, penerbangan kembali dibuka. Stevan tiba di bandara. Selangkah mengayunkan kaki, ponsel pria itu berdering.

“Tuan, Nyonya besar dan Tuan besar sudah pergi meninggalkan kita.” Kalimat Kendry malam itu sungguh membuat seluruh tubuh Steven tak berdaya, ia kehilangan tumpuan dan terjatuh.

Kenangan pahit yang tidak bisa ia lupakan itu sungguh membuatnya merasa sedih setiap kali terlintas dalam pikirannya.

“Kendry.”

“Ya, Tuan.”

“Tolong hapus tulisan yang ada di tanganku, tidak ada yang harus perempuan itu pertanggungjawabkan dariku.” Ujar Steven.

***

Selamat datang di novel kedua Miss. Oh ya, novel ini tidak ada kaitannya dengan yang sebelumnya ya.

Miss berharap kalian suka dan selalu mendukung karya-karya Miss. Jangan lupa like dan siraman bunganya ya temen-temen. Terimakasih 🤗🤗🤗

Bukan Milikku

“Bagaimana ini Kendry? Kenapa cincin itu tidak ada di bandara?” Ujar Steven frustasi, pria itu menyurai rambutnya dengan kasar.

Sedari tadi, dia tak hentinya berjalan mondar mandir di kamar hotel tempat mereka menginap malam ini. Keberangkatan mereka ke Kota Malibu harus tertunda, sebab cincin yang terjatuh tadi tidak ditemukan. Sekalipun Steven sudah menghubungi beberapa orang kepercayaannya untuk membantu Kendry mencari keberadaan cincin itu, namun hasilnya tetap saja nihil.

“Saya tidak begitu yakin, tapi mungkin saja cincin itu sudah ditemukan seseorang dan dibawa pergi, Tuan.” Kendry begitu yakin, dia dan orang suruhan Steven sudah sangat teliti mencari cincin tersebut. Jadi dia menduga jika benda berharga milik Tuannya itu sudah diambil orang.

“Bisa saja Kendry, cepat hubungi semua toko perhiasaan di Kota ini dan jika seseorang menjual cincin milikku, beritahu mereka untuk segera menghubungi kita.”

Perhiasan mahal dan hanya ada satu-satunya di dunia itu sengaja di beri kode khusus. Akan sangat mudah dideteksi jika seseorang mencuri kemudian menjual cincin yang berharga fantastis itu.

“Baik, Tuan. Saya permisi dulu.” Ujar Kendry pamit untuk menjalankan tugas dari sang majikan.

***

[Malam hari di Kota Hamburg]

Disinilah Lenka berada, di rumah kontrakan kecil yang sudah puluhan tahun mereka tempati.

“Ma, maafkan putrimu.” Duduk bersimpuh di hadapan foto sang ibu yang Lenka taruh di lantai, perempuan berusia 21 tahun itu menangis sesenggukan memandangi potret wanita yang baru saja dimakamkan siang tadi.

Tak ada kecupan di kening Lenka yang ibunya janjikan ketika dia tiba di Hamburg, wanita itu sudah lebih dulu pergi tanpa melihat kehadirannya.

Lenka merasa bersalah, karena selama ibunya sakit, dia harus berjauhan dari wanita itu. Perempuan itu tak bisa meninggalkan perkuliahannya di LA karena dilarang sang ibu yang tidak mau pendidikan putrinya terganggu.

Suara dering ponsel Lenka sesaat menghentikan tangis perempuan itu.

“Halo, Nyonya.”

“Lenka, kau ada dimana?” Tanya suara dari seberang dengan nada penuh khawatir.

“Aku di rumah Nyonya—di dalam kamar ibuku.” Jelas Lenka.

“Astaga, aku sudah mengetuk pintumu berkali-kali. Kupikir terjadi sesuatu padamu.”

“Ma—maaf Nyonya, aku akan segera membukanya. Tunggulah sebentar.” Ujar Lenka sembari berlari kecil meninggalkan kamar.

Memutar handle pintu yang sempat terkunci, Lenka memberi ruang kepada tamunya untuk masuk.

“Silahkan masuk Nyonya Airen, silahkan masuk Tuan Valir.” Ujar Lenka mempersilahkan.

“Terimakasih Lenka, tapi aku tidak mampir. Aku hanya mengantar adik iparku yang cerewet ini.” Sedari tadi, pria itu mendapat amukan dari Airen karena terlalu pelan menyerukan nama Lenka yang tak kunjung membuka pintu.

“Kak—“ Airen memelototkan matanya.

“Lihat, dia seperti mau memakanku,” Valir bergurau.

“Karena kakak tidak mau singgah, segeralah pulang.” Ujar Airen mencebikkan bibirnya.

“Baiklah—baiklah, jangan lupa hubungi aku jika kau mau kembali.” Tangan usil Valir mengacak-acak rambut Airen.

“Kakak—“

“Aku pamit Lenka, bye adik ipar.” Sebelum dia mendengar amukan Airen lagi, Valir segera pergi.

Lenka hanya tersenyum melihat kelakuan dua orang yang sangat baik menurutnya. Dan setelah kepergian Valir, merekapun masuk ke dalam rumah menuju ruang tamu.

“Tadi aku dan Valir singgah ke restoran dekat perumahanku.” Ujar Airen sambil mengeluarkan mangkuk kecil berbahan stainless dari dalam tote bag yang ia bawa. Mangkuk tersebut berisi Aalsuppe—sup campuran daging sapi yang diawetkan dan dimasak bersama sayuran, buah panggang, pangsit dan beberapa belut laut.

“Ini untukmu dan ini untukku, kau pasti belum makan malam kan, Lenka.” Tebak Airen yang langsung diangguki Lenka dengan senyuman.

“Terimakasih, Nyonya.” Ujar Lenka menerima pemberian Airen. Dia sangat bersyukur, sang ibu memiliki majikan yang sangat baik seperti Airen. Perempuan muda yang ia panggil ‘Nyonya’ itu membiayai penuh pengobatan sang Ibu dan selama Ibunya di rawat di rumah sakit, Valir—kakak dari kekasih Airen selalu setia menemani sang ibu. Dan malam ini, Airen menyambangi dirinya untuk makan malam bersama. Meskipun Lenka tahu, kedatangan Airen juga sekalian ingin menghiburnya.

Setelah kepergian Ayahnya mengadap sang Khalik, tepat dimana Lenka baru saja diterima disalah satu perguruaan tinggi di LA. Dia dan sang ibu terpaksa tinggal berjauhan untuk melanjutkan pendidikanya, meski dia sempat menolak berangkat namun sang ibu tetap memaksa.

Di Hamburg, ibunya bekerja sebagai pelayan dari rumah ke rumah orang kaya dan Airen adalah majikan terakhir sang ibu, wanita paruh baya itu baru sebulan bekerja disana.

“Apa rencanamu setelah ini Lenka? Apa kau akan kembali ke LA? Kudengar kau juga sedang kuliah, bukan?” Memulai perbincangan di tengah makan malam mereka yang sedang berlangsung, Airen memberi beberapa pertanyaan untuk mengisi percakapan mereka yang sempat terjeda.

“Aku tidak akan kembali ke LA, Nyonya. Aku akan menetap di Hamburg.” Jawab Lenka tanpa beban.

“What? Kenapa Lenka?” Manik Airen membeliak, bagaimana bisa perempuan muda di hadapannya itu membuat keputusan dengan sangat mudah. Apalagi itu perihal dengan masa depan Lenka.

“Aku harus bekerja dan—“ Kalimat Lenka langsung dipotong Airen.

“Jika kau khawatir dengan biaya kuliahmu, aku akan membantumu Lenka, aku akan membantumu sampai lulus.” Ujar Airen penuh kesungguhan.

“Bu—bukan begitu, Nyonya. Aku hanya ingin membalas kebaikanmu.” Lenka segera menyanggah tebakan Airen yang mengira dirinya memutuskan berhenti kuliah karena masalah biaya.

Tampak kerutan dalam di kening Airen, dia tidak mengerti maksud perkataan Lenka.

“Izinkan aku bekerja sebagai pelayan di rumahmu, Nyonya. Pelayan yang tidak perlu diberi gaji.”

“Hei Lenka, aku tulus membantu ibumu. Kau tidak perlu membayarku dalam bentuk apapun itu.” Airen menolak permintaan Lenka, sebab memang dia tidak mengharapkan balasan dari perempuan itu.

“Aku tahu ketulusanmu, Nyonya. A—aku hanya ingin memiliki peran sebagai seorang anak. Selama ibuku sakit, aku yang tidak ada di sisinya saat itu, bahkan di embusan nafas terakhir beliau membuatku merasa menjadi putrinya yang tak berguna. Aku juga harus bergantung biaya pemakaman ibuku padamu. Apa gunanya aku, Nyonya? Apa guna keberadaanku?” Tangis Lenka pecah memenuhi ruang tamu.

“Lenka, jangan berpikir seperti itu.” Berpindah ke sisi Lenka, Airen mengusap pundak perempuan itu.

“Tolong terima aku sebagai pelayanmu, Nyonya.” Kembali Lenka memohon di sela isak tangisnya.

“Aku tidak bisa Lenka, aku tidak bisa.” Airen menggeleng berkali-kali.

“Kumohon.”

Sungguh Airen bingung harus memutuskan apa, menolak permintaan perempuan itu pasti akan membuat Lenka terluka.

“Baiklah, aku memenuhi permintaamu. Dengan syarat, aku tidak mau membayarmu gratis. Aku merasa seperti orang jahat jika tidak membayarmu. Bagaimana? Apa kau mau?” Dengan berat hati, Airen terpaksa mengabulkan permintaan Lenka.

“Terimakasih, Nyonya.” Menerima syarat yang di berikan Airen, Lenka berjanji kelak akan mengabdi sebagai pelayan yang baik untuk perempuan itu.

“Hapus air matamu Nona manis, wajahmu sangat lembab sedari siang.” Ujar Airen sambil memperhatikan mata sembab Lenka.

“Baik, Nyonya.” Melepas syal yang akan Lenka gunakan untuk mengusap air matanya, sebuah benda kecil berbentuk bundar terjatuh dari kain yang melilit leher perempuan itu.

“Oh, Tuhan,” manik Lenka membeliak sempurna. “Cincin ini ternyata berada disini, tapi kenapa dia tidak menghubungiku?” Gumamnya pelan sambil mengambil cincin yang terjatuh di pangkuannya. Sudah bisa ia pastikan, cincin pria yang ia tabrak tempo hari tidak akan ditemukan di bandara.

Saat tiba di Hamburg, syal yang Lenka pakai dari LA belum sekalipun ia lepas dan ternyata cincin pria itu tersangkut di syal miliknya.

“Priamu memberikanmu cincin, Lenka. Dia berniat melamarmu.” Airen tampak sumringah melihat benda yang di pegang Lenka. Dia pikir sebelum berangkat ke Hamburg, kekasih Lenka menyelipkan cincin tersebut di syal perempuan itu sebagai kejutan untuk Lenka.

“Bukan Nyonya, aku—“

“Kau tidak perlu malu Lenka. Selamat ya.” Airen sudah kepalang senang, dia memotong penjelasan Lenka dan malah memeluk perempuan itu.

“Nyo—nya.” Ujar Lenka tertahan. “Kau salah mengartikannya.” Batin perempuan itu.

Pria Si Baik Hati?

Selesai mengemasi beberapa keperluan yang akan Lenka bawa ke rumah Airen, dirinya mengambil bakul rotan yang berisi buah persik. Buah yang baru ia petik dari halaman rumahnya subuh tadi akan ia bawa sebagai buah tangan untuk Airen.

Ya, mulai hari ini ia akan bekerja sebagai pelayan disana. Dari pagi hingga menjelang sore, Lenka akan menghabiskan waktunya di rumah Airen. Bersama tas ransel yang sudah tersampir di pundak perempuan itu, dia melangkahkan kaki meninggalkan kediamannya.

Setelah menempuh perjalanan kira-kira duapuluh menit lamanya dengan menggunakan bus Kota, Lenka tiba di sebuah kawasan perumahan elit milik sang majikan. Menyisiri jalan beralas paving block, Lenka mengedarkan pandangan mencari keberadaan rumah Airen. Sampai suara gonggongan seekor doggy membuyarkan fokus perempuan itu.

Menoleh kebelakang, Lenka berteriak histeris sebab hewan tersebut hendak mengejar dirinya.

“Tolong!!!” Seru Lenka, sambil berlari tak karuan.

“Auhh.” Sial bagi perempuan itu, dia tersandung batu hingga membuat buah persik yang berada di dalam bakul berhambur keluar.

“Oh God, persikku.” Lirih Lenka menatap buah tersebut menggelinding jauh di jalan. Tak ingin membuang waktu, perempuan itu kembali berlari mengejar persik yang semakin jauh dari jangkauannya.

Tanpa Lenka sadari, sepasang mata sedang menatap ke arah dirinya.

“Tetap awasi disana. Beritahu aku segera jika kau melihatnya.” Ujar seorang pria melalui sambungan telepon yang baru saja ia akhiri. Membuka jas yang ia kenakan, pria tersebut keluar dengan buru-buru dari dalam mobil miliknya.

Menggunakan jas tersebut untuk menahan buah persik yang tergelincir ke arahnya, pria itu menaikkan sudut bibirnya saat melihat langkah kaki Lenka berhenti dan perempuan itu segera berjongkok tepat di hadapannya. Tampak Lenka menghapus peluh di dahi putihnya, dia cukup lelah berlari.

“Terimakasih, Tuan.” Ujar Lenka tersenyum ramah kepada pria itu sambil memungut satu persatu buah persik yang tak lagi menggelinding. Menaruh buah persik itu di lipatan baju yang ia pakai, perut Lenka kini menggembul dipenuhi buah berwarna merah muda itu, sebab bakul yang ia bawa tadi sudah tertinggal jauh di belakang.

“Kau terluka.” Nada khawatir terdengar jelas dari suara pria itu saat melihat lutut Lenka berdarah dan pergelangan tangan perempuan itu tergores cukup parah.

“Aku baik-baik saja.” Ujar Lenka, dia segera berdiri setelah selesai memungut seluruh buah tangan yang akan ia berikan kepada Airen.

Mengibaskan jas yang ia gunakan untuk menahan buah persik tadi, pria itu kembali mengenakannya. Dia hendak masuk ke dalam mobil untuk mengambil kotak P3K, namun Lenka menahan langkah pria itu.

“Kau mau kemana, Tuan?” Tanya Lenka, sebab ia ingin mengucapkan ‘terimakasih’ sekali lagi kepada pria baik hati itu.

“Aku akan mengobati lukamu.” Ujarnya.

“Ti—tidak perlu, Tuan. Aku bisa melakukannya nanti,” menolak niat baik pria itu, Lenka justru mengeluarkan tiga buah persik dari lipatan bajunya.

“Ini untukmu, Tuan. Sekali lagi, terimakasih sudah menolongku.” Ujar Lenka sambil menyodorkan buah tersebut ke tangan pria itu.

Menerima buah pemberian Lenka dengan senang hati, pria itu mengulum senyum manakala kulit tangan mereka saling bersentuhan.

“Aku Piero Ackerley, panggil aku Ero. Bisa kutahu namamu, Nona?” Tanya pria itu ramah.

“Namaku Lenka Lainovacka, Tu— Ehm maksudku Ero, kau bisa memanggilku Lenka.” Jawab Lenka.

“Kau mau kemana dengan buah persik ini, Lenka?” Kembali Piero bertanya. Dari tampilan Lenka, dia bisa memastikan jika perempuan itu bukan salah satu pemilik perumahan elit di sana.

“Aku mau ke rumah majikanku,” mengeluarkan kartu nama berisikan alamat Airen dari saku celananya, Lenka mengangkat benda tipis itu di hadapan Piero. “Ini— no 37B. Aku pelayan baru disana, persik ini sengaja kupetik sebagai buah tangan untuk beliau.” Jelas Lenka pada Piero, tak ada sedikitpun rasa malu di benak perempuan itu untuk mengakui jika dirinya adalah seorang pelayan pada pria yang baru dikenalnya itu.

Manik Piero membeliak, dia cukup terkejut mendengar alamat yang ingin dituju Lenka. Ada sesuatu yang ingin ia sampaikan pada perempuan di hadapannya itu, namun Piero urungkan manakala maniknya menangkap bayangan mobil hitam di ujung jalan sana.

“Kau sudah terlalu jauh berlari tadi, rumah yang kau tuju tepat di sebelahmu, Lenka.” Ujar Piero mengarahkan pandangan ke rumah mewah tersebut.

Membalik badan ke kiri, Lenka dapat membaca dengan jelas nomor rumah yang tertempel di pagar beton itu—37B.

“Astaga aku tidak menyadarinya. Sekali lagi terimakasih Ero. Aku permisi dulu.” Ujar Lenka setengah membungkuk.

“Baiklah Lenka, senang bertemu denganmu. Terimakasih juga untuk buah persikmu, akan kumakan saat di rumah.” Mengangkat satu tangan yang menggenggam buah persik sebatas dada, Piero melambaikan tangan yang satunya lagi sebagai perpisahan pada Lenka yang kini berjalan mendekati rumah mewah itu.

Setelah menekan bel yang berada di luar rumah, seorang security membukakan gerbang untuk Lenka dan mempersilahkan perempuan itu masuk. Menatap Piero yang masih berdiri di tempat semula, Lenka tersenyum dan kembali menunduk pada pria itu sebagai isyarat jika ia akan masuk ke dalam.

Piero mengangguk dan turut menyunggingkan senyum pada Lenka, sampai perempuan itu menghilang dari balik gerbang, barulah ia masuk ke dalam mobil.

“Dia bisa dimanfaatkan.” Ujar pria itu dengan wajah datar tanpa ekspresi. Menginjak pedal gas dengan sebelah kakinya, pria itu melajukan mobil dengan cukup kencang.

***

Seorang kepala pelayan menyambut Lenka di sana, dia membawa perempuan itu ke ruangan khusus pelayan untuk menjelaskan pekerjaan apa saja yang akan Lenka lakukan.

“Anda bekerja di bagian dapur dan juga taman. Di taman hanya terdapat bunga lily, pekerjaanmu cukup menyiramnya setiap pagi dan sore. Nyonya tidak memiliki alergi terhadap makanan apapun namun beliau sangat tidak menyukai makanan manis, seperti buah persik yang Anda bawa ini. Ada yang ingin Anda tanyakan?” Tanya sang kepala pelayan, sambil ekor matanya menatap persik yang menyembul dari balik baju Lenka, dia sedikit terkejut melihat luka goresan di tangan perempuan itu.

“Tidak ada, Bu.” Jawab Lenka sopan pada wanita paruh baya itu. Dia sudah cukup mengerti dengan apa yang dikatakan sang kepala pelayan.

“Tanganmu kenapa, Lenka?” Kembali kepala pelayan itu bertanya.

“A—anu, tadi aku tersandung.” Jelas Lenka singkat.

“Kotak P3K ada di rak dekat ruang tamu, segera obati lukamu dan mulai bekerja setelahnya.” Ujar kepala pelayan itu.

“Baik, Bu.”

Berlalu ke arah ruang tamu, Lenka berjalan sedikit pincang sebab luka di lututnya mulai terasa sakit. Dia mendudukkan tubuhnya di atas sofa yang berada di sisi rak tempat penyimpanan kotak P3K. Membersihkan lukanya dengan cairan alkhohol, Lenka juga mengoleskan obat merah menggunakan ujung cotton bud.

Saat sedang asyik mengobati lukanya, Valir muncul dari balik pintu masuk. Mendapati Lenka yang menatap ke arahnya, Valir menghampiri perempuan itu.

“Tuan.” Sapa Lenka sambil dengan sigap berdiri, kemudian menunduk memberi hormat kepada calon kakak ipar majikannya.

“Apa yang terjadi, Lenka?” Tanya Valir heran melihat banyak luka di tangan dan kaki perempuan itu.

“Tadi aku tersandung batu, Tuan.” Ujar Lenka menundukkan pandangannya.

“Apa luka itu tidak mengganggu pekerjaanmu?” Valir memastikan, jika luka itu menghalangi Lenka bekerja maka perempuan itu bisa mengambil libur untuk beristirahat beberapa hari. Semalam Airen sudah menceritakan kepadanya jika Lenka memutuskan untuk berhenti kuliah dan memilih bekerja sebagai pelayan di rumah Airen.

“Tidak, Tuan. Saya baik-baik saja, luka ini tidak mengganggu pekerjaan saya.”

“Syukurlah, kalau begitu tolong hangatkan kembali champurrado ini. Berikan pada Airen di kamar. Katakan padanya aku tidak mampir karena ada rapat penting di kantor perkebunan.” Ujar Valir sambil menyerahkan bubur khas Meksiko itu kepada Lenka.

“Baik, Tuan.” Lenka menerima bubur dari tangan Valir. Pria itu segera pergi meninggalkan kediaman sang calon adik ipar yang beberapa saat tadi memintanya membelikan bubur bercita rasa manis itu.

“Champurrado—bukannya Nyonya tidak menyukai makanan manis?” Batin Lenka dalam hati.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!