...POV Dimas...
...Tepat tanggal 1 Agustus 2023, pondok pesantren As-sasun Najah....
"Namaku Dimas, aku tinggal di bangsal." Aku tersenyum sembari menatap orang di depanku, dialah orang pertama yang bertanya namaku dan langsung saja aku jawab tanpa ragu ragu. "Nama kamu siapa?" Aku balik bertanya padanya sembari memberinya sebuah telapak tanganku yang terbuka tanda perkenalan orang Indonesia, atau mungkin lebih mirip Salim.
"Alfin Nasrullah, dipanggil Alfin, atau Alpin terserah." Dia memperkenalkan diri sembari ikut menampar telapak tanganku, kami bersalaman. Kami saling tersenyum, tapi berbeda denganku, senyuman Alfin sedikit membuatku jijik, dia tersenyum sumringah yang membuatku memikirkan salah satu video yutub. Kami sekarang berada di kamar bernama Maliki 2, memang sedikit aneh tapi tidak terlalu ku pedulikan. kami berdua juga duduk di samping banyak anak yang sedang beradaptasi dengan lingkungan baru. Tidak ada yang aneh, tapi ada satu hal yang membuatku risih, yaitu ukuran kamar yang sangat kecil untuk diisi 30 an anak, kamar yang seharusnya untuk satu orang malah digunakan oleh 30 anak, tidak masuk akal. Jika kalian ingin tahu luasnya, kamar ini sama saja dengan kamar kalian yang berukuran sedang.
Tepatnya itulah yang aku keluhkan 1 bulan yang lalu. Kini aku sudah mulai terbiasa dengan suasana tidur seperti ikan yang ada di kemasan kaleng, tidak semua anak juga tidur dikamar, rata rata tidur di musholla atau ditempat yang lain, sekiranya dia bisa tidur dengan nyenyak tanpa berdesak desakan di kamar. Tidak ada hal menarik selama satu bulan ini, tapi karena aku baik hati aku akan menceritakan semuanya secara runtut dari awal aku mondok.
...****************...
Semuanya dimulai ketika aku datang ke sebuah acara penyambutan murid baru yang dihadiri oleh banyak wali beserta santrinya, disini aku sedikit heran karena tidak ada sama sekali batang hidung dari seorang kakek tua yang disebut kyai itu. Acara dibuka dengan tahlilan, tapi karena aku yang tidak terlalu memperhatikan dan malah asik bengong sembari menoleh ke sana sini tidak jelas. Yang tanpa aku sadari, salah satu orang yang didoakan adalah sang kyai itu sendiri yang dari tadi aku tunggu. Aku baru menyadarinya saat seorang pemuda didepan yang mulai mengenalkan diri sebagai Gus Sofi menceritakan kronologi Kyai, bagaimana dia bisa tidak ada disini?. Tebakan kalian mungkin benar, dia meninggal beberapa Minggu yang lalu dan Gus Sofi ditunjuk sebagai penggantinya. Sang kyai menderita penyakit kanker otak dikarenakan seringnya dia begadang untuk berdzikir dan mendoakan santrinya. Aku yang mendengarnya sedikit terkejut, tapi aku berusaha agar menyimpan dalam dalam dalam pertanyaan ini, lagian, siapa juga yang mau menjawab ocehanku.
Gus melanjutkan, kyai adalah sosok yang baik hati dan dipenuhi dengan hikmah, dia memimpin pondok ini selama hampir seluruh hidupnya, kyai meninggal di umurnya yang mencapai 3/4 abad yang menjadikannya kyai tertua dibandingkan leluhurnya yang hanya 60 tahunan selisih lima belasan tahun. Kyai telah memimpin pondok ini selama 40 tahun yang juga menggantikan ayahnya, jika dipikir pikir, itu adalah usia yang sangat muda mengingat umur Gus atau lebih tepatnya Kyai sofiullah sudah hidup hampir 40 an tahun, kalo bingung ulangi. Acara ini selesai setelah Gus menyelesaikan pidato super duper sangat pendek ini tepat pukul 12 siang, padahal kami berangkat pukul 9 pagi, aku merasa, bukannya mendapatkan ilmu dari ceramah ini, aku malah merasa sangat penat terhadap ceramah super pendek ini.
Singkatnya aku akhirnya berteman dengan Alfin atau Alpin, terserahlah. Lalu mengenal ketua kamar berkaca mata bernama Mahmudi yang sedang mengatur kamar dan sesekali mengajak ngobrol para wali santri. Disaat tidak ada lagi orang, aku sempat ditanya dimana orang tuamu, kok kamu sendirian datang kesini?. Aku yang membawa tas tebal beserta sebuah kasur, hanya menjawab kalau mereka sedang buru buru dan langsung pulang. Mahmudi menatapku begitu lama yang membuatku tidak nyaman dan langsung berjalan keluar kamar, tepatnya menuju warung oren didepan asrama. Alfin dibelakang ternyata mengikuti ku dan berusaha mengagetkanku, tapi karena insting hebat ku, hehe, aku langsung menoleh saat Alfin masih mengendap-endap di belakang ku. Dengan kesal dia mengeluhkan aksinya yang gagal sampai akhirnya kami sampai di warung Oren yang sudah sangat aku kenal sekarang bernama mbak Erna. Iya pikiran kalian benar, dia sudah menikah dan memiliki 2 anak, dan entah kenapa dipanggil mbak sama semua santri.
Tidak ada yang spesial sampai hari berganti malam, Alfin hanya mengajakku jalan jalan, mandi sungai, berkenalan, jalan jalan, mandi sungai, begitu sampai solat asar dan magrib. Kami tidak diperbolehkan keluar pondok selepas magrib yang pada akhirnya aku dan Alfin yang gabut bermain main dengan anak SMA di Hambali 1, kamar yang nantinya akan aku pahami sebagai singgasana tertinggi. Buat yang nggak ngerti, kamar ini adalah sarang anak SMA yang memang sangat kuat dan dapat memukul siapa saja yang berbuat kesalahan, itulah ucapan yang keluar dari kakak kelas yang berkunjung ke kamar dan mulai menceritakan kisah panjangnya semalaman beberapa hari kemudian, diceritain enggak ya.
Adzan isya berkumandang yang menjadi petunjuk kalau sekarang sudah boleh keluar setelah solat. Aku pun pamit kepada anak SMA di kamar ini dan turun ke musholla. tempat ini memang memiliki lantai dua karena terlalu banyak santri yang tinggal membuat bangunan ini harus di renovasi berkali kali setiap semakin banyaknya santri yang muncul disini, sampai sampai harus tidur di musholla karena kamar yang terlalu kecil. Solat telah berakhir dan gerombolan anak baru berkumpul untuk mengelilingi desa santri ini. Yap, desa ini adalah desa santri, ingat desa, bukan kota. Desa ini memiliki banyak asrama termasuk asrama ku yang diasuh oleh kyai yang juga berbeda beda tapi masih satu keturunan dengan pendiri sekaligus orang yang membuka desa ini ke publik, yang berarti seluruh asrama ini masih dalam satu yayasan, kalau ku hitung sekitar 14 asrama putra dan lima asrama putri ditambah 3 asrama anak anak ditambah lagi dengan 1 panti asuhan ditambah lagi dengan 3 sekolah dan satu universitas, benar benar lengkap, tinggal milih, itulah kata orteku.
Dari segerombolan anak disini, aku hanya akrab dan selalu mengobrol dengan anak bernama Daffa dan Mizam, pada akhirnya kami menjadi sahabat sampai suatu hal terjadi. Daffa adalah anak yang periang dan suka sekali mengganggu kami berdua. Berbeda dengan Daffa, Mizam adalah anak yang selalu serius saat berbicara dan seperti selalu mencoba untuk memanfaatkan kami, tapi aku yakin kalau mengenalnya lebih jauh, mungkin sifat sebenarnya bukan begini. Kami berdua terus mengobrol satu sama lain sampai waktu tidur, kami tertawa dan bersikap serius sesuai dengan topik yang kami bahas, rasanya seperti membawa kenangan lama.
Kami menggelar kasur begitu sampai di asrama, seusai jalan jalan malam. Kasur lipat yang memang sudah kami bawa dari rumah itu kami gelar di depan kamar, kamar sendiri sudah terlalu penuh dengan banyak anak baru yang saling mengobrol dan ada yang tidur seperti ular, meringkuk penuh tekanan. Tidak ada lagi yang kami lakukan setelah itu, kami hanya saling mengobrol, menjahili, sampai akhirnya pandanganku teralihkan melihat seorang anak yang basah kuyup masuk kedalam kamar. Saat melihat wajahnya, aku langsung mengenalinya, tapi minusnya, aku tidak tahu namanya. Dia adalah anak yang dari tadi tidak merubah posisi duduknya tadi sore, dia hanya berdiri saat waktu solat dan selalu kembali ketempat paling pojok dikamar, Namun ada yang berbeda kali ini, dia seperti habis, mandi mungkin. Aku tidak mempedulikannya dan langsung lanjut mengobrol dan kemudian tidur begitu saja tepat jam 10 malam, walau harus terbangun ditengah malam karena berperang dengan serangga kebanggaan kita semua, nyamuk.
Setelah lelah membantai beberapa nyamuk, aku kembali tidur di kasur lipat ku. Suasana sudah sangat gelap karena banyak anak yang tidur jam segini. Disaat aku masih terlentang, aku tiba tiba melihat sebuah kepala yang terpampang jelas di depanku, entah dari mana kepala itu datang. Kepala dengan rambut panjang yang diikat pada pagar besi menuju lantai 2, darah mengucur deras pada leher kepala itu, yang membuatku mengerti kalau kepala ini baru saja dipasang dan pembunuh itu bisa saja masih ada di sini. Ketakutan, seketika aku membuka mulutku dan mulai berteriak, tapi tiba tiba ada sebuah tangan yang datang dan tumbuh dari tembok di atas kepalaku, benar benar hal yang sangat biasa di film horror atau anime. Aku menjadi sangat panik dan seketika mengangkat tanganku untuk melepaskan tangan yang tumbuh, tapi tangan kurang ajar ini malah menahan seluruh tubuhku dari kaki, tangan, dan yang lainnya.
Aku yang sangat sangat panik, tidak bisa berbuat apa apa dan hanya melotot menatap kepala yang semakin lama semakin menyeramkan, si tangan ini juga menahan kepalaku yang membuatku tidak bisa menghadap kemana mana selain ke arah kepala itu. Beberapa detik aku menatap kepala yang kini darahnya mulai sedikit mengucur dibandingkan dengan yang tadi saat pertama kali kulihat, tiba tiba kepala itu menoleh menatapku sangat tajam, dengan senyuman lebar penuh darah di mulutnya semakin membuat suasana menjadi lebih kelam. "Kenapa kau malah meninggalkanku bangsad?." Aku yang mendengarnya langsung mengenali suara ini dan semakin membuatku memperhatikan kepala buntung di depanku. Dia mengucapkan kata kata mutiara dengan mengubah ekspresinya, senyuman lebarnya berubah menjadi tatapan sendu, perubahan ekspresi yang tiba tiba ini membuatku semakin yakin kalau dia adalah teman sekaligus sahabatku dimasa lalu.
"MAU SAMPAI KAPAN ELU BEGINI ANJING?, KENAPA SIH KAmu itu selalu begini ngentod?." Aku yang mendengarnya langsung terkejut bukan main, tangisan itu mengingatkanku dengan kematian tragisnya di masa lalu. Iya, wajah sendunya menatap marah ke arahku sembari menangis, giginya yang merapat antara yang atas dan bawah semakin menunjukkan amarahnya yang meluap luap, tetapi entah kenapa aku mengenalnya dengan ekspresi kesedihan. Hal ini juga yang seketika membuatku menangis, air mataku keluar begitu saja setelah melihat pipinya yang dipenuhi air mata. Melihat air mataku wajahnya kembali mengubah bentuk ekspresi, ini adalah kebiasaan sahabatku yang suka mengubah ekspresinya tanpa dia sadari, entah kenapa dia selalu menjawab tidak tahu setiap aku menanyakan hal itu.
"Maaf, aku membuatmu takut ya?." Kepala itu menundukkan kepalanya, lebih detailnya, dia hanya menundukkan matanya tidak berani menatapku, dia tetap menangis sekaligus menyesal telah meneriaki ku sebelumnya. Tanpa aku dan kepala itu duga, secara tiba tiba kepala itu terjatuh dan menimbulkan suara keras yang secara nggak langsung menunjukkan kalau dia keras kepala. Entah bagaimana caranya, kepala itu bergerak mendekatiku meninggalkan bercak darah di bagian lehernya, wajah pucat sahabatku mendatangiku secara perlahan. Aku yang semakin panik segera berusaha untuk memberontak. Kenapa aku begitu panik, padahal dia adalah sahabatku?, mungkin itu yang ada di benak kalian, jawabannya simple, karena aku manusia yang masih memiliki phobia terhadap kepala buntung. Aku memejamkan mata, tidak kuat melihat sahabatku sembari terus menggeliat seperti cacing kepanasan, walau sebenarnya aku tau kalau itu tidak ada gunanya. Aku semakin panik begitu aku merasakan sebuah gesekan di kakiku, gesekan yang seperti di serbu ribuan ulat dengan cairan merah kental menyelimuti kakiku, entah kenapa walaupun aku bisa menutup mataku, tapi aku masih seperti bisa "melihat" kepala itu berjalan di perutku dan berbalik menghadap ke tangga besi.
Aku terkejut bukan main beberapa detik setelah aku merasakan berat kepala di perutku, aku membuka mata dan tidak percaya dengan pemandangan di depanku, terdapat sangat banyak sekali orang di kanan kiri ku dengan memakai jubah hitam berkerudung sedang berdiri menunduk seperti menatapku, mereka menutupi setengah wajah mereka dengan masker yang memiliki corak berbeda beda pada masing masing orang. Masih ada satu tempat tersisa tepat di bawah kakiku, terlihat satu orang yang memakai jubah yang sama tapi ditangannya terlihat sabit besar, aku memperhatikan dengan seksama bentuk wajahnya yang tertutup kerudung dan kegelapan malam, seketika pupil mataku membesar mengetahui wajahnya yang hilang dan hanya menyisakan tengkorak beserta daging daging yang masih menempel. matanya tiba tiba menyala merah menyala menatap tajam ke arahku seperti mau mencabut nyawaku, salah, bukan seperti, tapi dia benar benar mau membunuhku dengan sabit besar itu yang kini dia angkat tinggi tinggi.
Detik itu juga, aku langsung memberontak seperti orang gila, aku menggigit tangan yang menutupi mulutku, tapi sekeras apapun aku menggigit hingga terasa cairan merah, tangan ini sangat gigih dan tidak mau melepaskan mulutku. Terlambat, atau tidak, tepat saat orang itu mengayunkannya kepadaku, tangan tangan ini malah melepaskan ku saat senjata itu meluncur ke arahku, aku berhasil lepas sepenuhnya dan berguling ke kanan bertepatan dengan sabit itu yang menghantam lantai keramik, keramik yang dibawahnya beton itu terbelah dan sabit itu masuk begitu saja seperti membelah jeli. Dengan nafas yang tidak teratur, aku langsung berbalik dan tidak henti hentinya dibuat terkejut oleh pemandangan di depanku, kepala sahabatku kini terbelah menjadi 2 tanpa mengucurkan darah sama sekali, kepala itu sudah mati tepat saat sabit itu mengenainya dan membelahnya sekaligus lantainya. Aneh tapi nyata, orang di kanan kiri ku menghilang entah kenapa dan tangan tangan tadi juga ternyata lebih takut pada sabit kematian daripada gigitan ku, nggak kaget sih.
Aku yang hanya berpikir jika orang ini telah membunuh kepala kekasihku langsung bangkit berlari dan segera menendangnya sangat keras, entah kenapa aku tidak berpikir kalau sahabatku memang sudah mati sedari awal. Hal tidak terduga kembali muncul, orang berjubah itu menghilang begitu saja saat aku berkedip. Alhasil, aku tidak dapat menghentikan kakiku yang membuatku menendang tembok, tendangan bar bar itu membuat kakiku sakit dan membuatku terjatuh ke lantai, entah kenapa rasa sakit dari menendang tembok ini terasa seperti terjatuh dari ketinggian, ditambah mulutku seperti membisu, aku masih bisa membuka mulutku dengan normal, tapi entah kenapa tidak ada suara yang muncul sedikitpun.
"Siapa sebenarnya dirimu?" Aku yang masih berkutat dengan kakiku yang masih terluka dari dalam tanpa meninggalkan luka fisik sedikitpun, seketika tersenyum lebar mendengar suara seseorang, hal ini adalah pertanda kalau aku masih disayang Tuhan, mungkin. Aku menoleh dengan senyuman yang ku paksakan karena menahan sakit di kakiku. Yap benar apa yang kalian duga, tidak ada siapapun di asal suara itu. "Kapan dimulainya?""Memangnya kau tahu apa hah tentang hidupku.""Sudah ayo kita tidur." Aku yang kebingungan menoleh ke sana kemari, berharap kalau ini bukanlah imajinasi, walaupun aku tahu kalau aku hanya menunggu harapan palsu, tepi entah kenapa aku masih saja berharap tanpa henti.
"Manusia akan terus berusaha."
"Kami semua menunggumu."
"JANGAN MENDEKATINYA LAGI, KONTOL."
"Tuhan sudah mati."
"Kenapa kau selalu berjuang sendiri?"
"Apa maksudnya ini?, dimana kalian?" Aku menutup telingaku kuat kuat, karena suara suara ini bisa membuatku masuk rumah sakit jiwa, suara ini menjadi lebih keras semakin lama membuat gendang telinga seperti mau meledak. Aku yang sangat kebingungan ditambah dengan kakiku yang mendadak tidak terasa sakit lagi dan malah bisa dibuat berjalan normal, aku berjalan pelan menuju tengah halaman asrama yang masih tersambung dengan keramik dan biasa digunakan sebagai tempat solat para santri yang tidak mendapat bagian di musholla. Semakin aku berjalan sedikit, aku semakin dibuat ternganga dengan pemandangan mengejutkan yang kulihat tanpa henti, tepat di seluruh halaman terdapat banyak sekali kepala manusia utuh yang masih mengucurkan darah, berjejer rapi memutari satu tempat kosong tepat di bagian tengah yang tertancap sabit besar milik lelaki berjubah hitam dan yang membuatku semakin lelah mendapati kenyataan adalah di ujung sabit itu terdapat sebuah kepala dengan rambut panjang menjuntai menutupi wajahnya, menancap begitu saja seperti sebuah kehormatan untuk menaruh kepala itu di sana. Aku yang bingung bagaimana harus menanggapi seluruh kenyataan ini, mulai berjalan sendiri ke arah sabit itu tanpa ada kontrol dari tubuhku sendiri. Tapi secara bersamaan aku juga merasa sangat penasaran dengan kepala diujung sabit itu, pikiran ini terus datang dan selalu aku larang untuk mendekati sabit itu, tapi sepertinya tubuhku lebih penasaran daripada otaknya. Kaki dan tanganku bergerak sendiri dan mulai membuka rambut panjang yang menutupi wajahnya
"Apa maksudnya ini bangsad?, kalian pikir aku ini siapa bisa melakukan hal seperti ini, anjing!!" dengan penuh emosi, aku berteriak sekencang kencangnya, seluruh mata dari kepala di sekitar ku tiba tiba menatapku dengan tatapan marah kepadaku seperti hendak membunuhku saat itu juga jika mereka masih memiliki tubuh. "JANGAN LAWAN MEREKA KONTOL, LAWAN MU ADALAH AKU BANGSAAAD." Aku yang semakin menggila dengan semua kebingungan ini seketika tersadar saat suara Langkah kaki mendatangiku dengan sangat cepat walau lebih banyak kudengar suara retakan tengkorak daripada tamparan kaki kepada lantai. Dengan sigap, aku langsung berbalik dan melihat hal yang sangat mengejutkan, iya jangan bosan akan hal mengejutkan yang sangat random ini, lelaki dengan wajah yang sama persis denganku berlari cepat ke arahku, lelaki itu memakai jubah hitam yang aku lihat tadi milik si kepala tengkorak, aku bisa menebaknya karena ada berkas darah di bagian bawah jubah itu yang kini sedang berkibar saat seseorang yang ternyata diriku sendiri sedang berlari melewati kepala kepala dibawahnya tanpa tergelincir sedikitpun.
Tanpa sempat aku berpikir, lelaki dengan muka marah itu seketika menendang ku sangat keras saat aku berbalik. Tubuhku terpental dan terjatuh ke lantai yang anehnya terasa cair, aku tidak bisa bernafas dan dadaku terasa seperti ada yang menekannya sangat keras. Beberapa detik kemudian Aku membuka mataku yang sempat tertutup karena tendangannya yang tepat mengenai kepalaku, seperti tendangan anak silat padahal ku yakin pada diriku kalau sebenarnya aku tidak pernah belajar silat. Kali ini yang kulihat hanyalah air di sekelilingku, aku tidak terlalu terkejut karena terlalu lelah mendapati semua hal berat ini di otakku yang lelet. Aku langsung menggerakkan tanganku langsung menutupi bagian mulut dan hidung, mencegah agar tidak ada air yang masuk sembari menggoyangkan kakiku agar bisa sampai keatas. Tapi sekeras apapun aku berusaha menggerakkan tubuhku untuk berenang keatas, semua itu sia sia, karena sinar matahari yang ada di atas ku semakin meredup. Aku merasa kalau ini adalah akhir dari seluruh kejadian random yang tidak aku mengerti entah aku merasa senang atau sedih akan hal ini, karena kematian ku semakin dekat , aku kembali mengingat kehidupan bejatku saat masih hidup.
"Sampai jumpa, terima kasih karena telah menemaniku, Dimas."
"Tunggu, kan saya tanya apa yang terjadi selama elu ada disini, kamu nggak ku suruh buat nyeritain mimpi yang udah jelas lu karang agar kita takut kontol." Anak SMA di depanku dengan segera langsung berdiri setelah mendengar cerita nggak jelas ku, dia terlihat sangat marah, walaupun memang dari tadi dia memasang raut muka marah, tapi kali ini wajahnya memerah seperti iblis yang ingin menghajar ku. Aku yang ada didepannya langsung menunduk dalam dalam, aku terlalu bersemangat hingga tidak sengaja menceritakan mimpi random ku satu bulan lalu, mimpi yang berhasil aku tafsir dengan baik dari awal hingga akhir walaupun perlu aku atur lagi alurnya karena masih banyak sisa mimpi yang masih belum kuingat. Tunggu, kenapa aku bisa begitu bersemangat karena hal kecil ini, mungkin karena aku memang sudah lama tidak menceritakan hal konyol semacam ini, tapi percayalah, mimpi itu benar benar ku alami dan itu membuatku kebingungan ketika bangun. Semua orang menatapku dengan wajah datar, iya, aku dikelilingi oleh anak SMA yang siap mengeroyokku ramai ramai disini, jumlah mereka ada 13 orang yang masing masing mempunyai pangkat yang berbeda di angkatan mereka. Entah ada apa, tiba tiba seluruh angkatan anak baru, lebih tepatnya baru satu bulan, satu persatu disuruh ke kamar Hambali 1, dan selalu keluar dalam keadaan babak belur, kamar yang satu bulan lalu dipenuhi candaan dan obrolan ringan seketika berubah saat lampu dimatikan, tanda akan ada interograsi beserta beberapa bogem mentah yang akan mendarat pada korbannya, jika korbannya salah sedikit.
"Maaf mas, aku kebablasan malah nyeritain kayak gitu." Aku memegangi pahaku ketakutan beserta mengeluarkan keringat dingin seperti anak perempuan di kebanyakan anime. Aku mulai perlahan mendongak, siapa tahu kalau dia akan mengasihani ku dan kembali duduk di depanku, mungkin terlalu naif bagi beberapa orang, tapi apa salahnya berharap. tidak seperti yang kuduga, salah satu anak menendang ku sangat keras dari arah samping yang secara spontan kutangkis tendangan itu menggunakan lenganku, serangan mendadak itu tepat mengenai lenganku yang berada di depan wajahku, tendangannya sangat keras, bahkan mungkin bisa membuat orang terpelanting kesamping, tapi karena suatu hal, aku bisa menangkis dan tidak membuatku bergeser se mili pun. Hal ini membuat senior terkejut, tidak menyerah, sekali lagi dia menendang ku keras dari arah depan menggunakan bagian belakang telapak kakinya yang segera ku tangkap menggunakan telapak tanganku. Aku langsung berdiri sembari mengangkat kaki seniorku dengan angkuh membuatnya semaki terkejut dan tidak bisa mengelak, walaupun pikiran naif ku sempat menguasai, tapi aku berhasil membuat perubahan besar dengan membalikkan senior, dia tidak bisa melakukan apa apa selain memukul kakiku dengan posisi terbalik, dia terus memberontak dengan meng gerak gerakkan kakinya yang ku pegang tapi itu sia sia, tanganku yang sangat kuat mencengkeram erat kaki senior, bodohnya dia tidak mau berhenti.
"Kaulah yang duluan melakukan ini, jadi aku hanya membela diriku. NGERTI NGGAK KALIAN NGENTOD." Aku yang sedari tadi berusaha menahan diri supaya tidak disalahkan akhirnya mendapat kesempatan emas untuk menghajarnya, aku tersenyum puas seperti psikopat, senyuman lebar di kegelapan itu berhasil membuat beberapa senior yang berniat membantu, mundur kebelakang dengan wajah pucat pasi, yaa aku hanya membuat psikis mereka hancur dengan senyuman ini, apa lagi lampunya dimatikan.
"Mas, jangan memukul orang yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaanmu ya, janji." Aku terkejut, mendapati ingatan yang tiba tiba keluar di kepalaku, ini adalah ingatan tentang sahabatku, hal ini membuatku terdiam sembari melepaskan genggaman tanganku, aku baru teringat jika janji ini tidak bisa kulanggar. Senior itu kembali berdiri dan dengan marah langsung melayangkan pukulan keras tepat mengenai wajahku yang membuatku terpental ke tembok, aku yang masih dalam posisi miring sembari menahan sakit di wajahku, tanpa ampun langsung di tendangi oleh banyak kakak kelas yang ikut membantu satu senior yang menginterogasi diriku, dialah orang yang memanggil kami semua tanpa alasan satu persatu, namanya adalah Ilham mandeng, yang terakhir itu julukannya, entah kenapa dia selalu dipanggil begitu oleh teman temannya.
...****************...
Aku membuka mataku terkejut, mengapa ada suara seseorang dari dalam lautan, bukankah ini ada di dalam laut, bukannya kalau didalam laut tidak bisa mendengar apa apa, lalu suara siapa ini?. Suara ini memberiku semacam harapan baru, walaupun tau kalau ini nantinya sia sia, tapi dengan sekuat tenaga aku kembali berenang keatas berusaha menyelamatkan nyawaku yang sempat hampir menghilang, eh, gimana gimana. Entah bagaimana, Tekad dan semangat bahkan kesadaran ku yang tadi menghilang kembali muncul hanya karena suatu suara misterius yang dari tadi menggangguku, aku dari dulu tidak pernah mempercayai hal ini, tapi apakah keajaiban itu benar benar ada dalam kehidupan seseorang, atau tidak. Apapun yang aku lakukan semuanya hanya semakin menyiksa tubuhku, sekeras apapun aku berusaha berenang keatas, semua ini hanya mempercepat masuknya air ke tubuhku, hingga di satu titik keputusasaan itu kembali datang, hal yang dari awal aku lakukan memang tidak pernah berhasil, selalu saja gagal, itulah kenapa orang tuaku tidak pernah tersenyum kepadaku. Kepalaku menjadi semakin pusing ditambah dengan suasana sekitarku yang semakin gelap karena sinar matahari yang begitu terang tidak sampai pada laut dalam dan juga kesadaran ku yang kembali hilang.
"APA KAU AKAN MENYERAH BEGITU SAJA MAS?, MENGAPA KAU SELALU SEPERTI INI?, SELALU MERASA SOK KUAT PADAHAL DI OTAKNYA SAJA HANYA BERISI TERIAKAN PUTUS ASA, KAMU MENGIRA AKU INI APA, BUNUH AKU JIKA ITU MEMBUAT DIRIMU SELAMAT, BERSIKAPLAH JAHAT SESEKALI, mas, teman itu adalah seseorang yang akan membantumu menghadapi masalah, bukan?"
"Jangan menggendong pundak orang lain pada pundak mu. Terkadang, tidak, rasa tidak peduli harus selalu kau pegang demi tidak membebani pundak mu, walaupun kejam tapi inilah cara terbaik untuk menghindari beban. Ingatlah, lari dari masalah itu tidak masalah, tidak semua orang bisa menanggung masalahnya sendiri, apalagi orang lain, jika kau tidak mengerti, akan kuberi waktu untuk memaknainya baik baik."
"Selamat tinggal, terima kasih telah menyelamatkanku waktu itu. aku minta maaf telah melakukan sesuatu yang merugikan dirimu, Semoga kita bisa bertemu disana."
Tubuhku telah sampai pada bagian paling dalam lautan ini, kini hidupku sudah benar benar akan menghilang tanpa jejak dan mungkin tidak ada yang peduli jika aku ada disini, tenggelam dan dilupakan. aku juga tidak mempedulikan suara suara berbeda yang muncul bergantian, memang benar, ungkapan tentang, jika kematian menjemput, otak akan mengajak kita ke ingatan masa lalu. aku baru sadar kalau aku disiksa habis habisan karena kematian tidak segera datang menjemput, aku tidak bisa bernafas dan tekanan bawah laut ini seakan ingin meledakkan tubuhku saat itu juga.
Disaat seperti ini aku kembali mengingat apa yang terjadi 2 tahun yang lalu, aku yang sedang jalan jalan, menemukan seorang anak perempuan yang berdiri di pagar jembatan sedang membentangkan kedua tangan seperti mau melompat, aku yang sebenarnya tidak peduli pergi kesamping anak itu dan baru sadar kalau anak itu adalah seorang anak pindahan dari Rusia bernama Maria. Tanpa mempedulikan perasaannya aku langsung menarik tubuhnya dan melihatnya yang sedang menangis sesenggukan, dia begitu terkejut mengira kalau aku akan melakukan hal yang dia takuti. Aku tersenyum memikirkan kejadian itu, hal sekecil ini saja bisa membuat kami bertengkar sepanjang malam karena kesalahpahaman di antara kami, aku tersenyum mengingat hal konyol yang kami lakukan, kini aku sudah pasrah untuk mati di kedalaman laut.
"Mas, bangun mas." Aku yang tersadar langsung tersentak sampai tidak sengaja, kepalaku mengenai dagu anak yang membangunkan ku. Aku begitu terkejut melihat hal ini, entah karena apa?, aku merasa seperti telah memimpikan sesuatu yang penting tapi juga tidak. "Anjing, lu kenapa dah?, sakit banget Cok, mana palamu keras banget assu." Aku yang baru bangun tidak mempedulikannya dan hanya bisa melamun, sembari memikirkan, apa yang aku mimpikan tadi, aku dari dulu memang selalu berusaha keras mengingat dan sangat suka memaknai apa yang ku mimpikan selama ini. "hei." Tiba tiba aku dipanggil oleh suara yang lain, yang tak lain adalah teman perjalananku kemarin, Daffa. Seketika aku menoleh dan mengetahui kalau anak yang ku sundul tadi adalah Alfin yang kini memegangi dagunya, dia berada di samping yang kini tertawa melihat tingkah Alfin. "Kamu apakan anak ini?, keterlaluan banget." Daffa yang nyeletuk sembari menunjuk Alfin, sama sekali tidak ku pedulikan, yang membuat wajahnya berubah cemberut. Aku menoleh ke sana kemari dan melihat banyak anak yang sudah bangun dan berbicara satu sama lain, walaupun masih ada beberapa yang masih bermimpi, aku menoleh kearah jendela kamar untuk melihat jam yang berada tepat di depan pintu agak keatas, aku kebingungan melihat banyak anak disini dan memutuskan untuk melihat jam.
...04.10...
Aku memegangi kepalaku yang terasa pusing, kepalaku seperti sedang diguncang yang bisa saja berarti 2 kemungkinan, yang pertama menunjukkan kalau aku sedang terkena penyakit misterius yang masih berhubungan dengan mimpi tadi, atau karena aku yang masih ngantuk. Aku melanjutkan tidurku tepat di samping seorang anak yang perut bagian kanannya sedikit terbuka, aku terkejut melihat tato hitam yang memenuhi tubuhnya, aku dengan sigap langsung menutupnya sembari berpura pura tengkurap. "Lo malah tidur lagi, bangun woi udah jam 7." Daffa yang dari tadi melihatku, langsung melerai sembari tetap mempertahankan muka cemberutnya, dia masih berada di tempatnya, di samping kanan tempat aku tidur tadi sebelum akhirnya pindah ke anak bertato ini, setelah tidur tepat di samping kepalanya, aku dibuat semakin terkejut melihat 5 lubang di telinganya.
"Bacot, kukira jam berapa, udah dibangunin aja bangsad." Seketika Daffa tidak bisa lagi menahan tawanya, dia tertawa sedikit keras sembari menepuk lenganku. "Sekarang itu udah mau adzan, kamu jangan tidur." Aku yang masih merasa penasaran dengan mimpiku yang tidak bisa kuingat itu sekaligus menahan rasa terkejut bukan main di hatiku, bagaimana seorang preman pasar sepertinya bisa masuk pondok. Aku tidak mempedulikan Daffa yang masih tertawa di sampingku, dia benar benar unik, dari kemarin dia selalu diganggu teman teman seperti didorong ke sungai, di cambuk pelan pakai kain dan masih banyak lagi gangguan lain tapi dia tetap tersenyum seperti tidak memiliki beban hidup ( yang dicambuk tadi jangan dibuat serius ). Sembari menghilangkan pikiran tentang anak kurus didampingi, aku kembali memikirkan mimpi tadi sembari menutup mata agar tidak dicurigai Daffa, tapi yang kuingat hanyalah perkataan sahabatku, "terima kasih karena tetap menerimaku apa adanya." Eh atau yang ini ya, "Maafkan aku yang telah merusak kehidupanmu." Eh, bukan juga, aku masih kebingungan dan berusaha mengingat ingat lagi mimpi itu. Walaupun aku terlihat seperti mau tidur lagi, bahkan bisa dibuktikan dengan mataku yang tertutup, tapi pikiranku masih berkecamuk memikirkan makna sebenarnya sekaligus mimpi apa yang aku alami tadi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!