Sore itu di Kota Solo, di sebuah kediaman dengan pelatarannya yang luas alunan gending Jawa mengalun lembut. Ketukan Baron dan Bonang seolah membentuk harmonisasi, berpadu dalam gemerisiknya angin sore itu. Dekorasi yang dipenuhi bunga-bunga sudah berdiri indah dengan nama yang tersemat di sana.
Sitha & Danu
Siapa sangka Sitha yang sudah dua tahun selesai kuliah, kali ini melangsungkan dengan Wijaya Danu Sutjipta atau yang akrab disapa Danu. Jika benar menjadi jodohnya Sitha, Danu juga adalah seorang pria berada. Orang tuanya adalah pemilik pabrik buku tulis di area Solo - Boyolali. Orang Jawa berkata, sama-sama balungan tulang) gajah yang besar. Artinya sama-sama dari keluarga berada.
"Anaknya Ibu hari ini akan bertunangan. Semoga Danu bisa membahagiakan kamu. Acara ke depannya hingga hari H akan lancar ya, Dek," kata Bu Galuh kepada putri bungsu dan satu-satunya itu.
"Matur nuwun, Ibu."
Gadis itu tersenyum, dia mengamati lagi penampilannya di cermin dengan mengenakan kebaya berwarna Ice Blue. Rambutnya disanggul modern, dan riasan yang flawless. Begitu ayu, Sitha saat itu.
Keduanya yang berada di dalam kamar Sitha, dikejutkan dengan ketukan di pintu kamar Sitha.
Tok ... Tok ... Tok ....
Sitha dan Bu Galuh pun kompak menoleh ke sumber suara. Rupanya yang datang adalah sahabat Sitha yaitu Ambar. Bu Galuh mempersilakan Ambar untuk masuk.
"Masuk, Dek. Sitha masih di sini."
"Kula nuwun, Ibu."
Begitu Ambar sudah di sana, Bu Galuh memilih turun dan sekaligus memberikan waktu bagi Sitha dan teman baiknya itu. Tampak Ambar berdiri di belakang Sitha, tersenyum mengamati Sitha yang sudah berbalut kebaya dan begitu anggun sore itu.
"Putri Solonya cantik banget sih. Pasti nanti Mas Danu pangling loh," katanya.
"Apaan," balas Sitha sembari menundukkan wajahnya.
"Serius, cantik banget. Minta lipstiknya dikit boleh, Tha?"
"Boleh, pakai aja."
Ambar terlihat girang, dia memilih lipstik yang cocok dengan warna pakaiannya sekarang. Lalu, Ambar akhirnya memilih warna sedikit merah. Katanya lipstik berwarna merah menunjukkan kepercayaan diri dan keseksian. Ambar pun mulai mewarnai bibirnya.
"Cetar sekali, Mbar," komentar Sitha melihat sahabatnya itu.
"Sesekali."
Cukup lama Ambar berada di dalam kamar Sitha, kemudian datanglah Mbak Ipar Sitha yang akan mengajak Sitha turun ke bawah. Acara pertunangan akan segera dimulai.
"Ayo, Dek. Semua keluarganya Danu sudah datang."
"Baik, Mbak."
Ambar turun terlebih dahulu. Sedangkan Indi menggandeng adik iparnya itu. Sama seperti Sitha, kali ini Indi juga mengenakan Kebaya dengan warna lilac. Sengaja supaya sama warnanya dengan Sitha yang bertunangan. Warna kebaya Indi justru sama dengan kebaya yang dikenakan oleh Bu Galuh.
Di luar dua keluarga besar sudah berkumpul. Para pria mengenakan kemeja batik berlengan panjang. Si Kembar Nakula dan Sadewa juga mengenakan kemeja batik, sedangkan Arunika dan Devshika yang sekarang sudah berusia dua tahun mengenakan setelan Kutu Baru yang sewarna dengan kebaya yang dikenakan Indi.
"Kita mulai acaranya sekarang," kata Rama Bima.
Pihak keluarga Sutjipta pun menganggukkan kepalanya. Kemudian Bapak Sutjipta mulai berbicara.
"Assalamualaikum. Kami keluarga besar Sutjipta sangat berterima kasih sudah diterima di kediaman Bapak dan Ibu Negara. Kali ini, kedatangan kami adalah untuk melangsungkan pertunangan antara putra kami Wijaya Danu Sutjipta dan putri Bapak Negara yita Sitha Pramoda Negari. Sebagai bentuk keseriusan Danu dengan Mbak Sitha, sekaligus saling mengenal satu sama lain supaya lebih mantap sebelum nanti akan melangkah ke jenjang pernikahan."
Rama Bima kemudian berdiri. "Sebelumnya, kami mengucapkan selamat datang di kediaman kami. Sugeng rawuh kagem Bapak kaliyan Ibu Sutjipta lan bebrayan."
Usai itu, Rama Bima menatap Sitha yang duduk di sisi Bu Galuh dan Indi. Ada senyuman yang tersirat di wajah Rama Bima. "Hari ini akhirnya tiba. Hari yang bahagia untuk anak kami, Sitha. Seorang pria dan keluarganya sudah datang ke rumah dan memberikan itikad baik untuk langkah lebih dekat dengan pernikahan. Mas Danu, Rama nanti titipkan Sitha kepada Mas Danu. Saling menjaga diri, tahan sampai janur kuning melengkung. Pertunangan memang lebih serius dibandingkan hanya sekadar pacaran, tapi harus tetap menjaga. Bisa kan?"
Danu yang ditanyai kemudian menganggukkan kepalanya. "Saged, Rama." Dia memberikan jawaban bahwa dia bisa menjaga diri.
"Nah, sekarang Mas Danu dan Dek Sitha. Sini, kita akan menyematkan cincin pertunangan di jari manis kalian," kata Rama Bima.
Sitha didampingi oleh Bu Galuh, diapit oleh Rama dan Ibunya. Begitu pula dengan Danu yang diapit oleh Bapak dan Ibunya. Cincin emas dengan model yang sederhana, karena Sitha adalah gadis yang menyukai kesederhanaan.
Danu mengambil cincin itu terlebih dahulu, lalu menyematkannya ke jari manis Sitha. Disambut tepukan dan tawa bahagia dari keluarga yang hadir. Pun dengan Sitha yang tersenyum, kedua matanya berkaca-kaca ketika Danu berhasil menyematkan cincin pertunangan di jari manisnya.
"Sekarang, gilirannya Mbak Sitha."
Sitha kemudian mengambil cincin dan mulai menyematkan di jari manis Danu. Pria itu tersenyum, akhirnya pertunangan itu berhasil digelar. Bahkan untuk sesaat Danu menggenggam tangan Sitha. Sembari juru kamera mengabadikan momen pertunangan itu.
Setelah tukar cincin, acara dilanjutkan dengan ramah tamah dan makan malam bersama. Bapak Sutjipta berbicara kepada Rama Bima.
"Terima kasih sudah diterima dan dijamu dengan baik," katanya.
"Sama-sama. Saya bahagia, Sitha menemukan sosok pria yang baik, pilihannya sendiri."
Rama Bima benar-benar belajar dari masa lalu, dulu sempat dia hendak menjodohkan putranya dengan putri kawannya yang sama-sama dari golongan ningrat. Dari kalangan yang sama. Akan tetapi, putranya yang bernama Satria menolak dan lebih memilih menikahi gadis pilihan hatinya sendiri. Bertahun-tahun berlalu, Satria dan Indi sudah dikarunia dengan dua pasang anak kembar sehingga Rama Bima memiliki empat orang cucu. Oleh karena itu, Rama Bima tidak cawe-cawe. Dia hanya berpesan supaya Sitha bisa menemukan pria yang baik, berakhlak mulia, taat menjalankan agamanya, dan mau bekerja keras. Tidak menyertakan harus dari kalangan ningrat dan sebagainya.
"Pernikahannya akan kita langsungkan kapan, Pak Bima?" tanya Pak Sutjipta.
"Monggo, kami kapan pun siap. Tentunya perlu persiapan dan pendaftaran ke Kantor Urusan Agama untuk mendaftarkan pernikahan. Semua hari baik bagi kami."
Apabila dahulunya orang Jawa ketika hendak punya gawe atau memiliki hajat akan mencari hari dan pasaran yang baik, Rama Bima sekarang lebih terbuka. Semua hari baik adanya. Semua hari sudah Allah berkahi.
"Jika tiga bulan lagi bagaimana?" tanya Pak Sutjipta.
Rama Bima mengangguk setuju. "Baiklah, tiga bulan adalah waktu yang cukup untuk mempersiapkan pernikahan Sitha dan Mas Danu nanti."
Pertunangan sudah diselenggarakan. Dalam kurun waktu tiga bulan ke depan Sitha dan Danu juga akan menikah. Akankah terjadi hal-hal yang sekiranya bisa mengguncang pernikahan keduanya?
"Aku senang akhirnya hari ini kita sudah bertunangan, Sitha," ucap Danu.
Sejak tadi pria itu lebih banyak tersenyum. Hatinya merasa berbunga-bunga karena bisa melangsungkan pertunangan dengan Sitha. Sama dengan Sitha yang lebih banyak tersenyum.
"Kamu bahagia?" tanya Danu sekarang.
"Iya," jawab Sitha singkat.
"Aku juga. Jadi gak sabar ingin meminang kamu dan menjalani kehidupan sebagai suami dan istri," kata Danu.
"Sabar dulu. Ingat pesannya Rama untuk menunggu sampai janur kuning melengkung," balas Sitha.
Danu tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Tentu dia masih mengingat dengan pesan dari Rama Bima tadi. Walau saja tetap ada angan untuk menjalin romansa, karena tak dipungkiri mereka masih muda. Ada gejolak yang sering kali meletup-letup juga.
"Ah, bagaimana bisa aku menunggu. Janur kuning melengkung masih beberapa bulan lagi bukan?"
"Jika menjalaninya dengan sabar, akan terasa sebentar kok."
Yang Sitha ucapkan ada benarnya. Kalau memang bisa menjalani dengan sabar, tidak akan terasa lama. Laksana penantian panjang tersapu hujan sehari. Pada akhirnya akan terasa sebentar dan tulus menjalaninya.
"Tiga bulan, Sitha," katanya.
"Tidak lama. Kurang dari semusim."
"Ah, itu terlalu lama. Seperti menantikan bulan purnama penuh."
Danu dan Sitha akhirnya sama-sama tertawa. Suratan hidup tidak pernah ada yang tahu. Sebelumnya, Sitha berkata ingin lulus kuliah terlebih dahulu. Berkecimpung dengan usaha jamu milik Ramanya. Namun, dalam perjalanannya Sitha bertemu dengan Danu. Pendekatan dan saling mengenal selama dua tahun, pada akhirnya mereka bertunangan hari ini.
"Sitha, aku cariin."
Rupanya Ambar mencari sahabatnya Sitha. Bahkan gadis yang sekarang mengenakan lipstick berwarna merah itu tampak tersenyum dan berdiri tepat di sisi Sitha. Ambar menghiraukan bahwa Sitha sedang berbicara dengan Danu, pria yang baru saja bertunangan dengannya.
"Aku baru ngobrol sama Mas Danu," kata Sitha.
Ambar kemudian menatap Danu dengan sorot mata yang malu-malu, dia pun berkata. "Sory ya, Mas. Aku nyariin Sitha, sejak tadi enggak ngobrol."
"Tha, kita kan best friend. Aku belahan jiwamu kan? Tapi, tidak lama lagi kamu akan menikah dengan Mas Danu, apakah itu akan mengubah hubungan kita? Aku sedih nanti," kata Ambar.
Padahal walau berteman baik sekali pun, kehidupan setelah menikah akan berbeda. Bukan hanya relasi kepada sahabatnya, relasi kepada orang tua dan saudara kandung juga berbeda karena memang fokus utamanya akan beralih ke pasangan masing-masing.
Mendengarkan apa yang Ambar katanya, Danu pun berkomentar. "Yang pasti akan berbeda. Masak iya dalam pernikahan kami, lalu kamu ikut di dalamnya. Itu sangat tidak mungkin, Ambar. Walau kamu adalah sahabat baik Sitha."
"Yah, sedih deh. Padahal di Solo ini yang ku miliki hanya Sitha."
Ambar menunjukkan raut muka bersedih. Semua itu karena dia memang sendiri saja di Solo. Gadis berkulit putih itu berasal dari Purworejo, dan bekerja di perusahaan jamu milik Rama Bima. Selama di Solo, Ambar memilih kost di tempat yang tidak jauh dari pabrik jamu.
"Kehidupan seorang gadis akan berubah ketika mereka menikah, Ambar. Aku pun harus beradaptasi nanti karena akan mengikuti suamiku dan meninggalkan kediaman Rama dan Ibu," kata Sitha.
"Setidaknya Mas Danu masih berada di Solo. Masih bisa sering-sering mengunjungi Rama dan Ibu, tapi pasti enggak mengunjungi aku," balas Ambar.
Mendengar apa yang Ambar sampaikan, Sitha tersenyum. "Sudah, gak usah dipikirin. Aku masih melajang hingga tiga bulan ke depan kok. Mas Danu akan menunggu aku sampai janur kuning benar-benar melengkung. Iya kan Mas?" tanyanya.
"Iya, aku akan menunggu kamu. Pernikahan kita bukan sekadar angan, aku akan mewujudkannya Sitha. Aku akan memberikan kebahagiaan untukmu dalam hidup pernikahan kita."
Sitha kembali tersenyum. Semoga saja ucapan Danu benar-benar diwujudkan. Bukan sebatas bualan semata. Namun, perkataan Ambar segera menginterupsi mereka.
"Uluh-uluh, masih baru. Akan menikah, perkataannya manis. Kasihan aku yang menjadi obat nyamuk di sini," sahut Ambar.
Sitha terkekeh, dia kemudian pamit sebentar. "Mas, aku mau ambil minum dulu." Setelahnya dia berkata kepada Ambar. "Kamu ikut aku ambil minum enggak?"
"Aku tunggu kamu di sini deh."
Akhirnya Sitha meninggalkan Danu dan Ambar di sana. Sedangkan dia hendak mengambil minum terlebih dahulu, sejak usai di make-up tadi Sitha belum minum sama sekali sehingga tenggorokannya merasa haus.
"Ante Sitha mau ke mana?" tanya Sadewa. Keponakan kecil Sitha yang kini berusia enam tahun itu tampak bertanya kepada Sitha.
"Mau ambil minum, Mas Sadewa. Kamu mau minum juga?"
"Boleh, mau diambilin yah, Ante. Minum Teh hangat aja, Ante. Mama bilang Sadewa dan Nakula enggak boleh minum es karena cuacanya buruk, bisa batuk nanti," ceritanya.
"Ish, pinternya ponakannya Ante sampai nurut banget sih sama Mama. Minum jamu, Nang. Mau Ante ambilin Jamu Beras Kencur?" tawarnya.
Sadewa kemudian menggelengkan kepala. "Teh hangat aja kok, Ante. Lihat Ante Sitha jadi kangen Ante Irene," balasnya.
"Ante Irene lama enggak pulang yah? Boleh enggak nanti kalau Ante Sitha mau menikah mengirim undangan ke Ante Irene?"
"Iya, boleh."
Sitha tertawa bisa berbicara dengan keponakannya. Dia bahkan mencari-cari ponakan laki-lakinya yang lain yaitu Nakula. "Nakula mana, Mas? Enggak minum?"
"Ituh, Nakula ikut Eyang Rama itu loh, Ante." Sadewa menjawab sambil menunjuk saudara kembarnya Nakula.
"Oh, iya."
Sekarang, Sitha mengambilkan Teh hangat sesuai dengan permintaan Sadewa. Setelah itu, Sitha juga mengambil minum Es Manten orang Solo berkata. Berupa Es dengan sirup rasa Framboze dan berisikan irisan Nanas, Kolang-Kaling, dan Agar-agar.
"Om Danu di mana kok enggak sama Ante?" tanya Sadewa.
"Itu di sana." Sitha hanya menunjuk dengan dagunya.
Benar, memang Danu ada di tempat yang lain dengan Ambar. Tampak Ambar tersenyum dan menatap pria kaya raya sekaligus kaum ningrat yang akan segera mempersunting Sitha dalam waktu tiga bulan lagi.
"Bahagia banget yah jadi Sitha. Lahir dari keluarga ningrat dan kaya raya, bahkan dia memiliki calon suami yang sekelas dengannya," katanya.
"Kamu menginginkan juga?"
"Siapa sih, Mas yang enggak senang mendapatkan pria tampan dan kaya raya. Semua orang juga pasti mau," balas Ambar.
Gadis itu tersenyum sembari menelisipkan rambutnya ke belakang telinga. Di saat itulah Danu menatap Ambar, rupanya sahabat calon istrinya itu terbilang cantik juga dengan kulitannya yang lebih putih dari Sitha. Apalagi dengan lipstik warna merah yang Ambar kenakan tentu membuat kontras warna yang menarik.
"Kamu emang gak ada pacar, Mbar?"
"Enggak, enggak ada. Kenapa, kalau enggak terlanjur sama Sitha, Mas Danu mau pacarin aku?"
Ambar mengatakan itu dengan mengedikkan bahunya. Sedangkan Danu tersenyum dengan sesekali memegangi dagunya. Kejadian di balik layar tentunya tidak akan diketahui Sitha.
"Kalian berdua di sini, Sitha di mana?" tanya Satria, kakak kandung Sitha yang saat itu mengamati Danu dan Ambar.
"Eh, Mas ... itu tadi Sitha ke sana," kata Ambar.
"Sitha baru mengambil minum kok, Mas. Kami nunggu di sini, tadi juga sebelumnya bertiga kok sama Sitha." Danu menimpali dan mengatakan bahwa sebelumnya mereka memang bertiga.
Satria mengangkat alisnya. Entah, tapi menurut Satria kedekatan pria dengan sahabat kekasihnya kadang juga memicu hal-hal yang tak diinginkan. Kendati demikian, Satria memilih untuk tidak berprasangka buruk.
Danu kemudian berbicara lagi. "Apa biar aku yang mencari Sitha, Mas?"
Satria terdiam beberapa saat, menurut pandangan Satria padahal Danu bisa berinisiatif mengambilkan Sitha minum. Sebab, berdasarkan pengalaman Satria sendiri, dia adalah pria yang mau mengambilkan atau memenuhi apa yang menjadi keperluan pasangannya yaitu Indi. Jika bisa melakukan untuk orang yang kita sayangi akan mendatangkan kebahagiaan bukan?
"Tidak perlu, biar aku yang mencari Sitha."
Usai berkata demikian, Satria memilih pergi. Dia sesekali menengok ke belakang dan masih mengamati Danu dan Ambar yang nyatanya tidak beranjak dari tempatnya. Bahkan keduanya kembali berbicara.
"Sitha kok lama ya, Mas?" tanya Ambar.
"Iya, sampai dicariin sama Mas Satria."
"Padahalnya katanya cuma minum, kok malahan jadi lama," balas Danu.
Ambar kemudian tersenyum. Dia kembali mengamati ke sekelilingnya dan mengamati pemuda tampan yang sudah menjadi tunangan sahabatnya itu. "Mas Danu berarti kerjanya di pabrik buku juga yah?"
"Iya, melanjutkan usaha Bapak. Cuma, aku mau ke Pabrik Jamu Sido Mulyo, Rama memintaku untuk terlibat di bagian Office RnD," balasnya.
"Wah, satu tempat kerjaan dong sama Sitha dan aku. Bakalan sering ketemu," balas Ambar.
"Kamu kerja di pabrik jamu juga?"
"Iya, Mas. Kalau enggak di Solo, ya aku di Purworejo sekarang."
Danu menganggukkan kepalanya. Pembicaraan keduanya tampak mengalir begitu saja, sampai keduanya tidak menyadari bahwa Satria diam-diam mengamati keduanya. Sitha juga lewat dengan menggandeng tangan Sadewa.
"Mas Sat, kok bengong. Tumben enggak sama Mbak Indi? Biasanya Mas dan Mbak Indi itu dua sejoli banget yang enggak bisa pisah satu sama lain," ucap Sitha.
"Itu, Mbak kamu baru ngobrol sama Ibu dan tamu dari keluarganya Danu. Kamu dari mana?"
"Sadewa minum sama Ante tadi, Pa. Haus og," balas Sadewa.
"Sadewa haus yah? Kok enggak minta Papa?"
"Tadi lihat Ante, terus Sadewa ikut."
"Kenapa sih, Mas? Kayaknya ada sesuatu gitu deh," tanya Sitha.
Satria berdiri lebih dekat ke adiknya. Setelahnya, dia mulai berbicara. "Apakah Danu tak terlalu akrab dengan Ambar? Aku hanya bertanya saja."
Sitha membawa pandangannya ke arah Danu dan sahabatnya yang sedang mengobrol bersama. Sesaat Sitha mengamati bahwa semuanya itu wajar-wajar saja. "Apa tidak boleh, Mas?"
"Padahal Danu bisa mengambilkan minum untuk kamu, suatu kebahagiaan sendiri bagi kita melayani orang kita sayangi. Selain itu, terlalu dekat dengan lawan jenis juga tidak baik, Dek."
"Apa iya, Mas?"
"Setidaknya ada hati yang perlu kita jaga. Itulah alasan utama untuk tidak terlalu dekat dengan lawan jenis kita ketika kita sudah berkomitmen dengan seseorang," kata Satria.
Usai mengatakan demikian, Satria berlalu dengan menggandeng tangan Sadewa. Sedangkan Sitha masih mengamati tunangan dan sahabatnya dari jauh. Saat itu, Sitha pelan-pelan berjalan ke arah Danu dan Ambar. Samar-samar terdengar obrolan yang cukup renyah dari keduanya.
"Heboh banget ngobrolnya," kata Sitha.
"Iya, bercanda aja. Eh, tadi dicariin Mas Satria loh," balas Ambar.
"Iya, Sitha. Tadi Mas Satria abis dari sini nyariin kamu. Udah kamu temuin belum?" tanya Danu.
"Udah kok, barusan berpapasan sama Mas Satria di sana."
Ambar masih menunjukkan wajah tersenyum, dia kemudian berbicara. "Ternyata Mas Danu ini mulai minggu depan bakalan masuk di Sido Mulyo ya, Tha? Gak ngasih tahu, kan seru kalau bisa barengan."
"Emang iya? Rama belum ngasih tahu tuh?" balas Sitha.
"Benar. Mulai minggu depan aku akan masuk di bagian RnD. Bagian riset untuk mengembangkan lagi produksi jamu bisa ditingkatkan," katanya.
Sitha mangangguk-angguk. Dia malahan belum tahu. Rama Bima juga belum memberitahu apa pun kepadanya. Justru Ambar yang membuka suara terlebih dahulu. Lebih tahu Ambar, dibandingkan dirinya yang jelas-jelas adalah tunangan Danu.
"Aku lupa ngasih tahu terlebih dahulu. Tadi baru ngasih tahu Ambar karena dia tanya. Tidak apa-apa kan?"
"Gak bakalan Sitha cemburu, Mas. Kalau sama aku, Sitha itu percaya," tutur Ambar.
Sedangkan Sitha hanya tersenyum saja. Seketika dia mengingat nasihat dari Mas Satria baru saja. Namun, besar harapannya juga supaya tidak terjadi apa pun.
"Iya kan, Tha? Kamu kan bakalan cemburu kan? Kamu kan paling ngertiin aku, begitu juga sebaliknya. Gak akan mungkin. Kita sahabat selamanya," kata Ambar lagi.
"Syukurlah, semoga kamu enggak marah. Senin nanti kita bertemu di Sido Mulyo, sangat seneng aku bisa berkecimpung langsung di bisnis keluarga."
Danu mengatakan itu dengan rasa bahagia, kapan lagi bisa dilibatkan dalam bisnis keluarga yang sudah berjalan lebih dari satu abad. Selain itu, bisa bertemu dengan Sitha di sela-sela bekerja.
"Wah, Mas Danu keliatan semangat banget," balas Ambar.
"Harus semangat. Kalau bisa memberikan terobosan dan inovasi baru kan bagus untuk perusahaan jamu ini."
Setelah itu, keluarga Sutjipta berpamitan dengan keluarga Negara. Mereka berjanji jelang hari H pernikahan akan kembali datang dan memberikan seserahan paningset untuk Sitha. Dalam tradisi Jawa, calon pengantin pria akan memberikan Seserahan Paningset atau Sisetan kepada Calon Pengantin Wanita sebagai wujud tanggung jawab dan juga kesanggupan Calon Pengantin Pria untuk mencukupi kebutuhan calon istrinya. Seserahan Paningset itu berupa seperangkat alat ibadah, baju, peralatan mandi, kosmetik, tas, sepatu, dan perhiasan. Biasanya akan ditambahkan dengan pemberian aneka makanan tradisonal seperti Jadah, Wajik, dan Daun Sirih.
"Baik, Pak Sutjipta. Kami akan nantikan seserahan Paningset dari keluarga Sutjipta."
Seluruh tamu pun berpamitan untuk pulang. Begitu juga dengan Ambar yang turut pulang. Danu juga berpamitan dengan Sitha. "Aku pulang dulu ya, Sitha. Senin nanti mau aku jemput atau kita bertemu di pabrik saja?"
"Bertemu di pabrik saja," balas Sitha.
"Baiklah."
Keluarga Danu membawa beberapa mobil terlebih dahulu, sedangkan Danu menyetir mobil sendiri. Siapa saja di ujung jalan, Danu melihat Ambar yang berjalan kaki. Mobil Danu pun segera berhenti karena pikirnya itu adalah Ambar, sahabat Sitha.
"Loh, kamu kok jalan kaki, Mbar?"
"Iya, Mas. Aku pesen taxi online gak bisa deh. Aku mau jalan dulu ke arah jalan raya."
"Numpang aku aja yuk, aku anterin," tawar Danu.
"Eh, seriusan Mas?"
"Iya, serius."
Akhirnya Ambar masuk ke dalam mobil Danu. Di dalam mobil tampak Ambar merapikan juntai rambutnya, dress yang Ambar kenakan juga memiliki cutting hingga ke paha. Otomatis bagian paha Ambar terekspos, Danu tak sengaja melirik kaki hingga paha Ambar yang benar-benar putih mulus. Pria itu membuang muka, dadanya berdesir. Sahabat tunangannya ini memang cantik dan memiliki badan sintal, lebih berisi. Sedangkan Sitha terbilang kurus.
"Kenapa, Mas?" tanya Ambar merapikan bagian dressnya di paha.
"Gak apa-apa."
"Oh, kirain tadi, kamu liatin apa. Mungkin perasaanku aja."
Ambar tersenyum, dia sedikit melirik Danu yang tengah mengemudikan mobil. Walau bukan berasal dari kota, Ambar juga tahu bahwa kelemahan seorang pria ada di matanya. Beberapa bagian tubuh wanita bisa menjadi godaan tersendiri untuk seorang pria.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!